“Vi?” Suara seorang pria menegur dan sukses mengalihkan perhatian Slavia. “Ardan?” Rio menyipitkan matanya, seumur-umur baru sekali inilah dia melihat sosok Ardan yang sesungguhnya. Ardan sendiri baru pertama kali bertemu dengan Rio, mantan suami Slavia. “Maaf kalau aku ganggu. Raras nitip pesan, kamu disuruh cek inbox.” Ardan memberi tahu. Slavia mengangguk. “Toko sama gudang gimana, lancar?” “Masih aman terkendali, ya sudah—aku ke sana dulu.” “Oke, Dan.” Rio beralih menatap Slavia ketika Ardan sudah berlalu ke meja yang masih kosong. “Jadi selama ini kamu sama dia ...?” “Aku sama Ardan kenapa?” tanya Slavia tanpa berbelit-belit. “Kalian sudah menikah dan bocah perempuan kemarin adalah hasil dari pernikahan kamu sama dia?” “Ha ha, terserah apa pendapat kamu, Mas.” Betapa herannya Rio ketika melihat Slavia yang malah tertawa menanggapi pertanyaannya. “Mudah sekali kamu menyepelekan sesuatu yang aku tanyakan.” “Aku menjawab jujur pun percuma, mana mungkin kamu percaya s
Nayara membuka pintu kamar utama dan menarik napas panjang ketika dia mendapati ruangan dalam keadaan remang-remang. “Pasti lampu utama belum diganti juga,” gumam Nayara lirih sekali, takut membangunkan Andika. Sore tadi Andika menelepon dan mengatakan jika badannya agak kurang sehat, karena itu Nayara diminta untuk tidak membangunkannya ketika dia pulang nanti. Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Nayara merebahkan diri di samping tubuh suaminya yang berbaring membelakanginya. Dia ingin sekali membangunkan Andika dan mengajaknya minum jahe panas, tapi tidak berani membangunkan suaminya yang selalu marah jika tidurnya diganggu. Karena itu Nayara memutuskan untuk menunggu Andika bangun sendiri sembari menyalakan televisi. Tidak berapa lama kemudian, terasa gerakan cukup keras di ranjang yang mereka tempati. Nayara pikir Andika akan bangun tidak lama lagi, sehingga dia bisa mengajaknya untuk makan di luar. “Mas?” panggil Nayara hati-hati. “Kita minum jahe di luar yuk? Biar bada
Nayara langsung berlari untuk menyerangnya dengan frontal. “Puas kamu? Gara-gara kelancangan kamu masuk kamar sembarangan, Mas Andika jadi menceraikan aku! Tanggung jawab kamu!” Elkan terperanjat ketika Nayara berteriak-teriak histeris di depan wajahnya. “Itu benar, Dik?” Andika mengangguk, membuat Elkan termangu. Pria itu merasa bahwa keputusan adik sepupu yang menceraikan istrinya karena sebuah salah paham, merupakan keputusan yang berlebihan. Namun, sebagai orang lain, Elkan tidak ingin ikut campur dalam masalah rumah tangga mereka. “Apa kamu kamu tidak mau memikirkan ulang keputusan kamu ini?” tanya Elkan ketika Nayara sudah pergi meninggalkan mereka. “Aku nggak mau punya istri pengkhianat, El.” “Tapi kami tidak berbuat apa pun, aku bersumpah ....” “Kamu tidur kan tadi? Memangnya kamu tahu betul apa yang terjadi?” Elkan sontak diam, dia memang sempat tertidur sehingga tidak mengetahui dengan pasti kapan Nayara masuk kamar. “Daripada nanti kamu menyesal, Andika.” “Aku n
Mobil sang calon mantan suami sudah terparkir di garasi, sehingga Nayara langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, berharap tidak diusir lagi.“Mas Andika?” Nayara pergi ke dapur, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Dia lantas menaiki tangga menuju kamar yang menjadi saksi bisu atas kesalahan besar yang tidak pernah dilakukannya.Begitu tiba, Nayara lihat kamar itu terbuka lebar dan terdengar suara-suara cekikikan yang membuat bulu kuduknya berdiri semua.“Nakal ih kamu ....”“... makanya jangan genit kamu ....”“Genit-genit begini, tapi kamu suka kan Yang?”“Iya, Yang ... Nambah lagi boleh?”Nayara mengerutkan kening, obrolan menjijikkan macam apa itu?Didesak oleh rasa ingin tahu yang tinggi, Nayara menerobos masuk ke dalam kamar utama dan matanya terbelalak sempurna.Jantung Nayara terasa seperti diiris-iris sebilah belati ketika dia menyaksikan dua insan berbeda jenis itu sedang saling membelit penuh gelora di hadapannya.“Andika!” teriak Nayara dengan suara yang memeka
“Sejak kapan perangai Andika seperti itu sama kamu, Nay?” “Sejak kedatangan kakak sepupunya itu, Bu.” “Sepupu yang mana?” “Nggak tahu juga, katanya sepupu jauh yang aku bahkan nggak pernah lihat dia sebelum ini.” “Kok aneh ....” “Biar saja, Bu. Aku muak sama perlakuan Andika kemarin, apalagi saat aku lihat dia sedang mesra-mesraan sama perempuan lain di kamar yang dulu kami pakai ... Rasanya jijik banget, Bu.” “Ya sudah, bercerai saja. Laki-laki kalau suka main tangan sama perempuan, susah sembuhnya.” Nayara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Untung aku belum punya anak, pokoknya Ibu jangan pernah percaya kalau Andika atau keluarganya bilang aku selingkuh, itu fitnah kejam.” “Tentu saja Ibu nggak percaya, ibu yang lebih tahu kamu seperti apa. Sudah sana berangkat, keburu siang.” Nayara mengangguk, dia harus kembali bekerja dan tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi menangisi Andika yang telah melukai hati dan harga dirinya, Nayara tidak sudi. Ketika taksi yang ditu
Mati aku, batin Nayara. Jadi mulai sekarang Elkan adalah atasanku? Kesialan macam apa lagi ini? Degup jantung Nayara menjadi tidak terkendali, selama Elkan mengucapkan sepatah dua patah kata di hadapan para pegawai yang sebentar lagi akan dia pimpin. Telinga Nayara mendadak tuli, dia hanya menundukkan kepala dalam-dalam, berharap supaya Elkan tidak bisa melihat keberadaannya. ‘Apa aku minta pindah cabang saja ya?’ pikir Nayara dalam hati. Cabang yang ditempati Andika juga tidak masalah, toh sebentar lagi mereka akan bercerai. Dia lebih memilih satu kantor bersama calon mantan suami daripada jadi bawahan Elkan. Pria yang pernah dia maki-maki sesuka hati sebagai pelampiasan amarahnya karena keputusan sepihak Andika yang ingin bercerai. ‘Minta pindah saja deh ya,’ pikir Nayara lagi. Di saat para pegawai sedang fokus menatap Elkan yang berbicara dengan penuh kharisma serta ketegasan tinggi, dia malah sibuk sendiri dengan isi kepalanya yang semrawut. “... jadi paham sampai di sini?”
“Setelah ini tugas apa lagi, Pak?” tanya Nayara sembari mengelap kaca. “Kita pergi ke hotel,” jawab Elkan tegas. “Ap—apa? Ke hotel?!” “Ya.” “Jangan bercanda, Pak!” Elkan menatap wajah Nayara yang terlihat panik, pembalasan dendam akan dimulai sebentar lagi. “Apa saya kelihatan bercanda?” Nayara sontak gelisah, dia tidak mungkin menuruti perintah Elkan yang satu itu kan? “Tapi ... tapi buat apa kita ke hotel, Pak?” tanya Nayara terbata. “Untuk membuktikan ucapan kamu yang tadi.” “Ucapan ...? Ucapan yang mana sih, Pak? Kapan?” “Jangan pura-pura lupa kamu, bukankah tadi kamu bilang kalau kamu mau ajak saya ke hotel biar bisa tidur di ranjang yang mewah?” Nayara langsung mematung dengan bibir terkatup rapat. “Sa—saya ....” “Kamu juga bilang kalau kamu yang akan membayar tarif hotelnya, jadi saya tagih janji kamu setelah pulang kerja.” Mampus aku! Tubuh Nayara terasa panas dingin, dia terkena serangan panik yang luar biasa. “Itu tadi ... hanya ... itu ....” “Hanya apa? Itu
"Kamu kelihatannya sangat bersemangat untuk pergi ke hotel bersama saya, ya?""Jangan nuduh, Pak!"Elkan tersenyum sinis. "Tidak usah sok alim, bukankah kamu sendiri yang menawari saya untuk pergi ke hotel mewah?"Nayara jelas tidak dapat berkutik lagi, diam-diam dia mengutuk mulutnya yang tidak pernah bisa direm setiap kali dalam keadaan emosi."Saya ... duduk di belakang saja ya, Pak?" kata Nayara ketika dia dan Elkan sampai di parkiran."Kamu pikir saya sopir?""Bukan begitu, tapi ....""Sudah jangan banyak alasan, cepat masuk."Nayara mati kutu, biarlah dia ikuti apa maunya atasan galak ini. Daripada dipecat, kehidupan justru akan lebih buruk setelah dia resmi menyandang gelar janda."Menurut kamu, hotel di sana bagus tidak?" tanya Elkan sembari menyebut salah satu hotel di kota besar."Jangan, Pak! Mahal, yang lain saja ....""Kalau hotel di dekat gedung olahraga?""Itu kelasnya para artis, Pak. Dompet saya bisa langsung kritis ini ...." Elkan berdecak sembari mengemudi."Hotel y