“Tumben, kamu tidak berencana untuk membuat keributan sama Via kan?” “Enggaklah, Mas! Aku mau lebih bertanggung jawab saja sama Nico,” bantah Shara buru-buru."Ya sudah, jangan lupa bawa payung untuk jaga-jaga karena sudah musim hujan." Rio mengingatkan."Aduh, ribet Mas! Nanti aku minta sopir taksi untuk parkir mepet di halaman gedung saja.""Terserah kamu, pokoknya jangan sampai Nico kehujanan.""Iya," sahut Shara pendek, lalu segera memutuskan sambungan telepon.Kadang perhatian Rio yang begitu besar terhadap Nico membuatnya merasa iri. Andai saja aku punya anak yang terlahir dari rahim aku sendiri, batin Shara penuh harap. Rasanya sudah lelah hatinya untuk menunggu keajaiban yang tidak kunjung datang.Setibanya di tempat les, Shara langsung pergi ke kelas Nico meskipun jam pulang les masih beberapa saat lagi."Di mana perempuan itu, belum datang kah?" Shara celingukan mencari keberadaan Slavia karena berpikir jika bocah yang bersamanya belajar di kelas yang sama dengan Nico."Mu
"Jadi dulu itu kamu sempat kerja di perusahaan sebelah?" tanya Nayara memastikan."Betul Mbak, masa percobaan. Sayangnya belum rejeki, jadi ya pontang-panting lagi cari kerjaan baru. Beruntung keterima di kantor ini, kalau nggak—bisa stres aku."Nayara tertegun."Itu bukannya kantor tempat Andika bekerja, Nay?" sahut Kalisa yang mendengar pembicaraan mereka."Iya, aku juga baru ingat.""Pak Andika, Mbak? Dia yang urus para pegawai saat masa percobaan."Nayara mengernyit heran. "Kok bisa? Andika itu kan sekretaris, masa dia urus yang bukan bagiannya sih?""Aku juga nggak tahu, tapi aku ingat betul kalau Pak Andika ikut kasih surat rekomendasi bagi pegawai yang nggak jadi diterima kerja."Nayara terdiam lagi."Apa mungkin kita membicarakan Pak Andika yang berbeda, Mbak? Siapa tahu nama Andika ada banyak di sana," celetuk pegawai baru yang belum lama diterima kerja itu."Ya bisa jadi sih ....""Memang Mbak kenal sama Pak Andika di sana?""Gimana nggak kenal, dia kan mantan suaminya!" sah
“Vi?” Suara seorang pria menegur dan sukses mengalihkan perhatian Slavia. “Ardan?” Rio menyipitkan matanya, seumur-umur baru sekali inilah dia melihat sosok Ardan yang sesungguhnya. Ardan sendiri baru pertama kali bertemu dengan Rio, mantan suami Slavia. “Maaf kalau aku ganggu. Raras nitip pesan, kamu disuruh cek inbox.” Ardan memberi tahu. Slavia mengangguk. “Toko sama gudang gimana, lancar?” “Masih aman terkendali, ya sudah—aku ke sana dulu.” “Oke, Dan.” Rio beralih menatap Slavia ketika Ardan sudah berlalu ke meja yang masih kosong. “Jadi selama ini kamu sama dia ...?” “Aku sama Ardan kenapa?” tanya Slavia tanpa berbelit-belit. “Kalian sudah menikah dan bocah perempuan kemarin adalah hasil dari pernikahan kamu sama dia?” “Ha ha, terserah apa pendapat kamu, Mas.” Betapa herannya Rio ketika melihat Slavia yang malah tertawa menanggapi pertanyaannya. “Mudah sekali kamu menyepelekan sesuatu yang aku tanyakan.” “Aku menjawab jujur pun percuma, mana mungkin kamu percaya s
Nayara membuka pintu kamar utama dan menarik napas panjang ketika dia mendapati ruangan dalam keadaan remang-remang. “Pasti lampu utama belum diganti juga,” gumam Nayara lirih sekali, takut membangunkan Andika. Sore tadi Andika menelepon dan mengatakan jika badannya agak kurang sehat, karena itu Nayara diminta untuk tidak membangunkannya ketika dia pulang nanti. Setelah meletakkan tasnya di atas meja, Nayara merebahkan diri di samping tubuh suaminya yang berbaring membelakanginya. Dia ingin sekali membangunkan Andika dan mengajaknya minum jahe panas, tapi tidak berani membangunkan suaminya yang selalu marah jika tidurnya diganggu. Karena itu Nayara memutuskan untuk menunggu Andika bangun sendiri sembari menyalakan televisi. Tidak berapa lama kemudian, terasa gerakan cukup keras di ranjang yang mereka tempati. Nayara pikir Andika akan bangun tidak lama lagi, sehingga dia bisa mengajaknya untuk makan di luar. “Mas?” panggil Nayara hati-hati. “Kita minum jahe di luar yuk? Biar bada
Nayara langsung berlari untuk menyerangnya dengan frontal. “Puas kamu? Gara-gara kelancangan kamu masuk kamar sembarangan, Mas Andika jadi menceraikan aku! Tanggung jawab kamu!” Elkan terperanjat ketika Nayara berteriak-teriak histeris di depan wajahnya. “Itu benar, Dik?” Andika mengangguk, membuat Elkan termangu. Pria itu merasa bahwa keputusan adik sepupu yang menceraikan istrinya karena sebuah salah paham, merupakan keputusan yang berlebihan. Namun, sebagai orang lain, Elkan tidak ingin ikut campur dalam masalah rumah tangga mereka. “Apa kamu kamu tidak mau memikirkan ulang keputusan kamu ini?” tanya Elkan ketika Nayara sudah pergi meninggalkan mereka. “Aku nggak mau punya istri pengkhianat, El.” “Tapi kami tidak berbuat apa pun, aku bersumpah ....” “Kamu tidur kan tadi? Memangnya kamu tahu betul apa yang terjadi?” Elkan sontak diam, dia memang sempat tertidur sehingga tidak mengetahui dengan pasti kapan Nayara masuk kamar. “Daripada nanti kamu menyesal, Andika.” “Aku n
Mobil sang calon mantan suami sudah terparkir di garasi, sehingga Nayara langsung masuk ke dalam rumah begitu saja, berharap tidak diusir lagi.“Mas Andika?” Nayara pergi ke dapur, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Dia lantas menaiki tangga menuju kamar yang menjadi saksi bisu atas kesalahan besar yang tidak pernah dilakukannya.Begitu tiba, Nayara lihat kamar itu terbuka lebar dan terdengar suara-suara cekikikan yang membuat bulu kuduknya berdiri semua.“Nakal ih kamu ....”“... makanya jangan genit kamu ....”“Genit-genit begini, tapi kamu suka kan Yang?”“Iya, Yang ... Nambah lagi boleh?”Nayara mengerutkan kening, obrolan menjijikkan macam apa itu?Didesak oleh rasa ingin tahu yang tinggi, Nayara menerobos masuk ke dalam kamar utama dan matanya terbelalak sempurna.Jantung Nayara terasa seperti diiris-iris sebilah belati ketika dia menyaksikan dua insan berbeda jenis itu sedang saling membelit penuh gelora di hadapannya.“Andika!” teriak Nayara dengan suara yang memeka
“Sejak kapan perangai Andika seperti itu sama kamu, Nay?” “Sejak kedatangan kakak sepupunya itu, Bu.” “Sepupu yang mana?” “Nggak tahu juga, katanya sepupu jauh yang aku bahkan nggak pernah lihat dia sebelum ini.” “Kok aneh ....” “Biar saja, Bu. Aku muak sama perlakuan Andika kemarin, apalagi saat aku lihat dia sedang mesra-mesraan sama perempuan lain di kamar yang dulu kami pakai ... Rasanya jijik banget, Bu.” “Ya sudah, bercerai saja. Laki-laki kalau suka main tangan sama perempuan, susah sembuhnya.” Nayara mengangguk-anggukkan kepalanya. “Untung aku belum punya anak, pokoknya Ibu jangan pernah percaya kalau Andika atau keluarganya bilang aku selingkuh, itu fitnah kejam.” “Tentu saja Ibu nggak percaya, ibu yang lebih tahu kamu seperti apa. Sudah sana berangkat, keburu siang.” Nayara mengangguk, dia harus kembali bekerja dan tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan. Apalagi menangisi Andika yang telah melukai hati dan harga dirinya, Nayara tidak sudi. Ketika taksi yang ditu
Mati aku, batin Nayara. Jadi mulai sekarang Elkan adalah atasanku? Kesialan macam apa lagi ini? Degup jantung Nayara menjadi tidak terkendali, selama Elkan mengucapkan sepatah dua patah kata di hadapan para pegawai yang sebentar lagi akan dia pimpin. Telinga Nayara mendadak tuli, dia hanya menundukkan kepala dalam-dalam, berharap supaya Elkan tidak bisa melihat keberadaannya. ‘Apa aku minta pindah cabang saja ya?’ pikir Nayara dalam hati. Cabang yang ditempati Andika juga tidak masalah, toh sebentar lagi mereka akan bercerai. Dia lebih memilih satu kantor bersama calon mantan suami daripada jadi bawahan Elkan. Pria yang pernah dia maki-maki sesuka hati sebagai pelampiasan amarahnya karena keputusan sepihak Andika yang ingin bercerai. ‘Minta pindah saja deh ya,’ pikir Nayara lagi. Di saat para pegawai sedang fokus menatap Elkan yang berbicara dengan penuh kharisma serta ketegasan tinggi, dia malah sibuk sendiri dengan isi kepalanya yang semrawut. “... jadi paham sampai di sini?”