Share

Gulat jalanan.

Pagi itu Andina terbangun lebih pagi dari biasanya. Sebagai anak kost, ia terbiasa untuk mencuci baju terlebih dahulu sebelum membersihkan tubuhnya dan menjemur baju di belakang kost-kostan.

Andina mengeringkan rambutnya dan menyisirnya dengan rapi. Ia mempercantik wajahnya dengan makeup flawless. Selesai bermakeup ria, Andina mengganti piyama handuknya dengan seragam kerja. Ia rindu dengan rutinitasnya, ia rindu menghabiskan sebagian waktunya di restoran.

Dari balik jendela, cahaya matahari mulai membiaskan rona cerianya. Badung, pagi ini sangatlah cerah, secerah hati Andina yang bahagia. Ia menyaut kunci dan tas kerjanya. Sembari menutup pintu kamar, gadis itu bersiul riang.

"Kerja lagi, Din." seru Sinta, SPG rokok itu menguap sesaat lalu menyandarkan tubuhnya di tembok. Rasa kantuk masih merayapi matanya.

"Kerja dong. Badai sudah berlalu!" kata Andina, semangatnya sedang menggebu-gebu. Ia memakai stiletto, lalu meninggalkan Sinta yang menggelengkan kepalanya, "Bisa-bisanya dia masih percaya diri untuk datang ke restoran." gumam Sinta, "Gosipnya bahkan masih tersebar di sosial media." Sinta tak percaya dengan tingkah garang Andina masih berharap bisa bekerja dengan tenang di restoran. Gosip tidak mungkin memudar begitu saja. Entah apa jadinya saat ia tahu bahwa dia dan Daniel menjadi bahan perbincangan hangat seluruh staf dan pegawai hotel.

Andina melajukan motornya dengan kecepatan sedang, ia menikmati setiap panorama indah yang slalu orang-orang agungkan saat berkunjung ke Badung, Bali.

Beruntung Andina mengenal Ni Luh Ayu Sukmawati. Mereka berdua di pertemuan secara tidak sengaja saat keduanya sedang berada di pura. Ni Luh Ayu sembahyang, sedangkan Andina duduk murung sembari menatap orang-orang dengan linglung. Ni Luh Ayu yang merasa kasian dengan Andina mengajaknya pulang ke griya. Secara langsung, Andina berhutang Budi kepada Ni Luh Ayu dan keluarganya. 

Andina berhenti di parkiran khusus karyawan. Langkahnya pasti masuk ke dalam restoran melewati lobi hotel. Seperti biasanya, Andina menyapa satpam dan staff lainnya. Tapi yang Andina dapati justru tatapan tidak suka.

Andina tersenyum kikuk, ia melanjutkan langkahnya dengan pandangan yang menerawang. Menerka-nerka apa yang terjadi selama tiga hari yang ia lalui dengan jengah dan gelisah.

Tiba di dalam restoran, Andina langsung menuju ruangan Bli Wijaya.

"Bli..." sapa Andina.

"Ya."

Andina menggigit bibirnya, tatapan Bli Wijaya menyiratkan keseriusan. Membuat Andina sulit untuk bernafas normal.

"Kejadian kemarin cukup menghebohkan ya?" tanya Bli Wijaya, "Maaf jika masih berasa imbasnya."

"Saya cukup rasional dengan keadaan ini. Tapi Bli tahu sendiri bagaimana kejadiannya. Bukan saya yang menggoda bos Daniel. Saya di sini hanya korban!" jelas Andina tegas. Gadis itu mengepalkan tangannya. Geram tidak terima. 

"Saya tahu. Maka dari itu, kamu harus menjelaskan bahwa kamu memang menjadi korban atas kesalahpahaman antara kamu, Aurelie dan bos Daniel."

Andina berdecih, "Saya tidak salah! Saya tidak mau! Harusnya bos yang klarifikasi untuk membersihkan nama saya!" tukas Andina yang dibalas senyuman oleh Bli Wijaya.

"Baik. Jika kamu yang meminta bos Daniel untuk bertanggungjawab, kita harus ke ruangannya sekarang untuk membicarakannya. Keadaan akan semakin genting dan kamu semakin di pandang sebelah mata karena Aurelie tidak tinggal diam dengan masalah ini." jelas Bli Wijaya tanpa menanggalkan wajahnya yang serius.

Andina mengangguk mantap, ia hanya menginginkan namanya kembali bersih dan tidak di cap sebagai wanita penggoda.

Supervisor dan pelayan restoran tersebut berjalan menuju lift, mereka menuju lantai  enam, tempat dimana Daniel menunggu Andina dengan senang.

Pintu lift terbuka, secara bersamaan Aurelie juga baru saja keluar dari lift yang berbeda. Mereka berdua saling melempar pandang. Pandangan permusuhan.

Dari sisi kecantikan, tinggi badan, otak yang encer dan kemapanan, Andina jelas kalah telak dengan Aurelie. Tapi Andina masa bodoh. Ia tidak ada hubungannya dengan retaknya pertunangan Daniel dan Aurelie.

"Masih berani datang ke sini!" Suara Aurelie menukik tajam. Ia mencengkram lengan kiri Andina.

Andina tersenyum miring, "Siapa yang saya takutkan? Tidak ada!" ujar Andina dengan gegabah.

Hari juga masih pagi, orang sedang semangat-semangatnya memulai aktivitas, begitu juga Andina dan Aurelie. Keduanya terlibat aktivitas fisik yang menyebabkan terjadinya rambut rontok dan bekas cakaran kuku di wajah, lengan, dan leher.

Tak ada yang melerai keduanya. Perkelahian kedua wanita itu justru menjadi tontonan menarik staf dan office boy yang sedang membersihkan lantai. Jarang-jarang ada gulat jalanan perempuan di hotel. Apalagi keduanya tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Andina menumpahkan kekesalannya kepada Aurelie, Aurelie menumpahkan amarahnya kepada Andina.

Bli Wijaya berlari ke kamar Daniel saat keadaan sudah chaos. Kedua wanita itu sama-sama memegang vas keramik. Satu hantaman saja bisa berakibat fatal untuk keduanya.

Bli Wijaya memencet bel pintu. Berkali-kali hingga membuat Daniel yang sedang menyisir rambutnya berdecak kesal.

"Ada apa?" tanya Daniel saat pintu sudah terbuka.

"Andina dan Aurelie berkelahi!" jelas Bli Wijaya, panik.

Daniel melangkahkan kakinya lebar-lebar, ia melihat suasana di depan lift sudah berantakan.

Aurelie menggeram. Amarah, kecewa dan dendam telah membuatnya membabi buta. Ia mengangkat vas keramik untuk menghantam kepala Andina. Dengan cepat Daniel meringkuk, melindungi tubuh Andina yang gemetar ketakutan.

Mata Aurelie terbelalak saat darah merembes keluar dari kepala Daniel. Seketika langkah kakinya berangsur mundur, ia menutup mulutnya.

"Panggil ambulans! Panggil polisi! CEPAT!" teriak Bli Wijaya yang menggema di koridor hotel. Beberapa staf langsung tergopoh-gopoh menuju lift untuk meminta resepsionis menghubungi polisi dan ambulans.

Tubuh Daniel terhuyung lemas ke badan Andina. Dalam ketakutan, Andina berusaha tersadar saat ada laki-laki yang mendekap erat tubuhnya, membebaninya dengan berat.

"BLI..." Tanpa buang waktu, Andina berteriak meminta Bli Wijaya untuk membantunya memapah Daniel.

"Sang Hyang Widhi." gumam Bli Wijaya sembari memapah tubuh Daniel. Sedangkan Andina tertatih-tatih mengikuti mereka masuk ke dalam lift.

Sampai di lobi hotel, suasana begitu menghebohkan saat suara sirene ambulans dan polisi saling bersautan.

Kemeja Daniel berlumuran darah. Andina menangis ketakutan memeluk tubuh Daniel yang mulai tak sadarkan diri.

Beberapa orang perawat membantu Daniel dan Andina masuk ke dalam mobil ambulans. Mereka diberikan pertolongan pertama, sedangkan Bli Wijaya menghampiri polisi untuk menjelaskan kronologi kejadian menyeramkan di lantai enam.

Aurelie masuk ke dalam kamar, ia membanting pintu dan cepat-cepat mengunci pintunya. Kakinya terasa lemas. Tubuhnya gemetar, ia meringkuk ketakutan, ia tidak menyangka bahwa ia bisa menjadi pembunuh jika Daniel tidak terselamatkan. Ia tak tahu harus melarikan diri ke mana, kepalanya hanya berisi dengan kekacauan dan ketakutan. 

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Junaedi Juna
ngawur tenan iki
goodnovel comment avatar
Fazli Avana
seru banget
goodnovel comment avatar
Nia Kurniawati
yehhh Aurelie dendam si dendam kok malah salah sasaran
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status