"Hari ini aku yang akan melayanimu, Dina. Kamu mau apa?" tanya Daniel dengan lembut saat membaringkan tubuh Andina di ranjangnya. Mereka kembali pulang ke rumah, karena merasa puncak terlalu jauh untuk perjalanan mereka berdua. Apalagi Daniel, setengah mati ia mengkhawatirkan Andina yang hanya diam saja selama perjalanan menuju rumah.
Andina menggeleng, "Aku mau sendiri!" cetusnya dengan nada datar. Wajahnya benar-benar pucat, apalagi kepalanya pusing. Ia ingin tidur, dan Daniel ingin mencegahnya.
"Tidak bisa begitu! Aku... aku harus menjagamu sebagai permintaan maafku." ujar Daniel gusar, ia ingin berjauhan dengan Andina, disaat gadis itu tak berdaya karena ulahnya.
"Please, Dina. Izinkanlah aku disini menjagamu." Andina memejamkan mata dan mengangguk.
"Tapi aku mau tidur. Jangan ganggu atau menyentuhku!" ujar Andina penuh peringatan.
Daniel tersenyum tipis, ia menuju almari untuk mengambilkan gadis itu baju ganti. Andina melihatnya de
Jakarta hari ini, tak pernah sama.Jika dahulu Daniel tak mendengar suara tawa dari Andina.Jakarta hari ini, tak pernah sama.Jika dahulu Daniel tak membuat Aurelie putus darinya.Jakarta hari ini. Langit terlihat abu-abu gelap di atas rumah berlantai dua di Bilangan Jakarta Selatan.Andina tergugu di tempatnya berdiri. Gadis itu terlihat menyendiri di balkon kamar Daniel, di temani desir angin dan detak jantungnya yang begitu cepat.Rumah itu besar, bahkan sangat luas untuk di tempati oleh tiga penguasa rumah dan empat pelayannya. Tapi kenapa hanya di kamar Daniel Andina bisa menikmati sejuknya halaman belakang rumah Sanjaya. Di sana ia bisa melihat seluruh tanaman dan bunga-bunga kesayangan Sarasvati, di sana pula ia bisa melihat bintang-bintang dikala langit sedang cerah."Dina, udah siap?" tanya Daniel sambil menjajarinya. Andina menoleh, ia tersenyum tipis."Sudah masaknya?" tanya Andina. Daniel mengangguk lalu menaruh tangan
"Ada apa dengan mobilmu?" tanya Sanjaya. Pagi ini, ia sedang menunjukkan wajah tak bersahabat. Ia jelas mengikuti saran istrinya yang terlihat muram sejak kemarin di puncak. "Kecelakaan, Pa." jawab Daniel jujur. Sanjaya tersenyum kecut, "Bagaimana bisa kecelakaan? Kalian berdua bertengkar sewaktu perjalanan!?" Sanjaya menatap Andina yang menunduk di sebelah Daniel. "Andina, Daniel tidak pernah mengalami kecelakaan sekalipun ia membawa mobil sport miliknya. Sekarang jelaskan kepada papa bagaimana kronologinya?" 'Papa.' Andina masih mempertahankan mimik wajahnya. Ia gugup. Jantungnya bahkan berdetak tidak stabil seperti nilai dollar yang naik-turun. Ia tidak mampu berbohong dengan Sanjaya ataupun Sarasvati, tapi laki-laki di sampingnya, laki-laki yang menunjukkan sikap pengecut sekaligus takut. Membuat Andina tidak tega untuk mengatakan yang sesungguhnya. Ia juga enggan membenarkan fakta jika kekasihnya memang manusia yang mempunyai kurang akal
Keesokan paginya setelah sarapan pagi bersama. Sanjaya meminta Daniel dan Andina ke ruang kerjanya. Pria satu anak itu berdiri di depan rak buku pajangan miliknya, sengaja tidak duduk di kursi kebesarannya karena ia tahu pembicaraan mereka bukan tentang bisnis keluarga. Sanjaya melipat kedua tangannya, raut wajahnya benar-benar menunjukkan sikap antagonis. "Apa kamu udah memutuskan pilihanmu, Dan?" tanya Sarasvati. Ibu satu anak ini juga memainkan perannya sebagai antagonis. Daniel mengangguk tegas lalu tersenyum, "Sudah. Aku akan keluar dari rumah ini setelah kami menikah. Benar kan, Dina?" tanya Daniel, ia menoleh, menatap Andina yang menunjukkan sikap netral. Tidak menderita, tidak merana, tidak marah, atau bahkan menangis. Andina hanya tersenyum dan mengangguk. Sarasvati tersenyum puas, seolah apa yang ia sampaikan kepada Andina kemarin benar-benar gadis itu serap dengan baik. "Ta
Ditelantarkannya gemerlap kota Jakarta di sepanjang jalur kereta api dari stasiun Gambir menuju stasiun Tugu Yogyakarta.Daniel dan Andina termenung selama perjalanan yang tak kurang dari delapan jam tersebut. Dua-duanya sama-sama berkutat dengan pikiran sendiri-sendiri.Andina resmi menjadi istri Daniel. Begitu juga Daniel yang resmi menjadi rakyat biasa.Ditinggalkannya kemewahan yang selama ini menjadi garis takdirnya. Ia kini hanya menjadi laki-laki biasa. Laki-laki pengangguran yang harus menafkahi istrinya. Entah bagaimana caranya, pikiran Daniel sedang terlalu rumit untuk mencari solusinya. Otaknya sedang tidak bekerja dengan baik, otaknya hanya diisi dengan hal-hal mesum yang harusnya dilakukan pengantin baru, di hari pertama resmi menjadi sepasang suami-istri."Harusnya malam ini adalah malam pertama kita, Dina. Tapi kita justru menghabiskan waktu di kereta." ujar Daniel dengan nada penuh kecewa. Ia merengut. Beruntunglah mereka menggunakan
Andina menghela nafas panjang sambil memandangi suaminya. Tak sepatah kata pun terucap. Namun, ia tahu, mereka sama-sama merasakan manis dan pahitnya secara bersamaan. Begitu besarnya perubahan yang terjadi. Betapa getir rasanya, namun juga betapa ia merasakan begitu dekat dengannya sekarang ini. "Maafkan aku, Mas, Maaf. Tapi, yang datang dan pergi akan membuatmu lebih mengerti, dan semoga ini menjadi perjalanan menuju pendewasaan diri untukmu." Andina mengelus pipi Daniel yang masih memejamkan matanya di atas ranjang. Terlihat betapa kusut wajah suaminya, betapa menyedihkannya wajah Daniel. Ia pasti begitu mendamba malam pertama. Begitu ingin menikmati malam-malam indah pengantin baru. Tapi bukankah Daniel pernah merasakannya sebelumnya. Merasakan bagaimana malam pertama yang ia lakukan bersama Aurelie. Andina mengikat rambutnya tinggi-tinggi sebelum berjongkok untuk membuka kopernya. Ia mengambil beberapa potong baju ganti untukn
"Rammmmmpok!!!" seru Andina kesal saat Daniel melepas bibirnya. Bibirnya tak lagi perawan, bibirnya sudah dilumat begitu lama oleh suaminya sendiri. "Sstttt..." Daniel mengusap bibir Andina yang basah dan terlihat lebih merah dari biasanya. "Kamu rampok tahu! Kamu udah ngrampok bibirku!" seru Andina lagi, ia berontak dipelukan Daniel yang masih memeluknya erat. "Tapi kamu suka, Dina. Kamu tadi membalas ciumanku. Ya, walaupun masih belum profesional!" ledek Daniel. Kepalanya menunduk untuk melihat wajah Andina yang tersipu malu. Andina menyembunyikan wajahnya di ketiak Daniel. Ia bersembunyi dari tatapan Daniel yang akan menciderai perangainya. Daniel menyeringai lebar, istrinya sudah masuk dalam perangkapnya. Dan, ia akan memperjelas bahwa hari-hari berikutnya ia akan meminta Andina untuk memberinya kecupan mesra, kecupan-kecupan yang akan menjadi jembatan penghubung antar kedua hatinya. "Thankyou, b
Pernahkah kamu merasakan konsentrasimu terenggut begitu saja hanya karena ciuman pertama. Itulah yang dirasakan oleh Andina sekarang.Wajahnya benar-benar tersipu malu karena Daniel terus saja menggodanya dengan hal-hal yang mereka lakukan di kamar hotel hingga pukul tujuh malam. Melakukan praktek-praktek absurd yang membuat keduanya sama-sama memiliki kartu as.Andina memandang suaminya dengan intens sebelum melangkah menuju pintu, "Jadi jalan-jalan gak?" ujarnya sambil menutup wajahnya dengan masker. Ia bermaksud untuk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah. Seperti ia sudah tak mempunyai alasan lagi untuk tersenyum yang sedaritadi mengembang dengan sempurna.Daniel mengangguk, ia pun mengambil masker dan topi untuk menutupi sebagian wajahnya. Ia takut jika nanti akan ada orang akan mengenalinya."Besok kita check out, Dina." ujar Daniel ketika keduanya sudah keluar dari lobi hotel.Andina mengangguk, "Iya... Setelah ini kit
Daniel menyeringai bodoh ketika ia terbangun dari mimpi indahnya. Bagaimana tidak indah mimpinya, seorang gadis galak yang ia gilai menemaninya tidur di ranjang untuk pertama kalinya. Bahkan gadis itu masih terjaga disampingnya. Mengulum senyum sembari memainkan hpnya."Selamat pagi, cantik.""Pagi mas."Daniel tersenyum senang, ia memiringkan posisi tidurnya untuk menghadap wajah Andina. Tangannya merengkuh perut Andina dengan manja.Andina mengerjap dan melihat Daniel.Tubuhnya terasa tidak nyaman dan Daniel menyadarinya."Ada yang gak nyaman?" tanya Daniel.Andina mengangguk dan tersipu saat Daniel membelai lembut pipinya."Apa katakan?"Andina menyeringai, "Aku bahkan tidak berani memejamkan mataku, sayang. Aku takut kamu meraba dan menggagahi tubuhku sebelum aku benar-benar yakin akan perasaanku." batin Andina lalu menyandarkan tubuhnya ke kepala tempat tidur.