Bulan berusaha memejamkan matanya, sayangnya pikirannya menjadi kacau mengingat Baby yang terus-terusan menelepon suaminya. Ditolehnya Langit yang tak ada di kamar. Sejak kapan suaminya itu keluar, dia sama sekali tak mengetahuinya. Bulan terlalu asyik dengan lamunan panjangnya. Bulan meraih ponsel miliknya, daripada kesepian lebih baik dia menelepon Mine. Beberapa kali deringan barulah sahabatnya itu menjawabnya.“Halo, Bul. Kamu nggak apa-apa, kan?”“Damn you! Bulan, Mine!”Di seberang sana Mine terkikik. Dia tahu Bulan tak suka saat dia memanggilnya begitu tapi tetap saja dilakukannya. Mine hanya ingin menghibur sahabatnya yang katanya pulang ke rumah.“Aku antar ke rumah sakit?”“Enggak usah, Mine, ada Langit yang menjagaku.”“Kamu selingkuh, kamu nggak setia semenjak ada Langit di sisimu.”“Bullshit!”Keduanya tertawa terbahak-bahak, walaupun kalimat yang mereka ucapkan hanya sederet kalimat receh bagi yang mendengarnya, tapi mampu mengusir rasa sepi dan kesedihan yang
Langit menatap ke bawah, dia kebingungan. Menoleh ke kanan dan kiri.“Memangnya ada apa di bawah. Ada lantai?”“Ada kita, Langit. Bulan dan Langit.”Langit tertawa terpingkal-pingkal, begitu juga Bulan. Tawa Langit yang cukup renyah menular padanya.Langit memegangi perutnya yang sakit sebab sejak tadi tertawa terus. “Kamu tahu bedanya Bulan yang di atas dengan Bulan yang ada di depanku?”Bulan menggeleng, dia kembali menyibukkan dirinya dengan memakan ayam yang membuatnya terpukau dengan rasanya. Daging ayamnya begitu empuk dan bumbunya meresap ke dalam. Entah bagaimana suaminya itu memasak. Atau jangan-jangan suaminya itu koki yang menyamar menjadi lawyer.Melihat Bulan menikmati makanannya Langit tersenyum.“Mau tahu apa bedanya?” Langit mengulang pertanyaan.“Tentu saja.”“Bulan di bawah lebih cantik. Bulan di bawah mampu memberi nafas bagi orang lain.”“What the hell.”Langit terkekeh mendengar istrinya mengumpat. “Jadi kamu pikir aku orang yang biasa memberi naf
Dering ponsel membuat Langit mengurungkan niatnya untuk mengatakan tentang perasaannya padanya. “Jawab dulu, Langit.” Langit mengangguk, dia sedikit menjauh dari Bulan dan menerima panggilan dari Baby. Tak banyak yang Bulan dengar, tapi samar dia mendengar Baby ingin bertemu dengannya malam ini. Bulan menghela nafas, melirik jam di pergelangan tangannya. Malam sudah larut tapi gadis itu masih ingin menemui suaminya, hubungan macam apa yang terjadi antara mereka sebenarnya. “Sudah malam, tidurlah.” “Hm, aku baru saja akan tidur.” Bulan masuk ke dalam, ada sesak merundung dadanya ketika Langit mengatakan itu padanya, sebab dia tahu, Langit akan pergi dengan gadis itu. Namun Bulan tak memiliki pilihan lain, dia mengingatkan dirinya sendiri. Bulan menatap langit-langit kamar. Nanar matanya melihat Langit yang mondar-mandir sedari tadi. Lelaki itu sedang bersiap-siap dan menunggunya tidur. Langit mendekati istrinya, Bulan memejamkan mata, tak mau membuat lelaki itu k
Hangat sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar mereka. Bulan mengerjapkan mata perlahan. Rasanya malas luar biasa. Semalaman dia mengalami kesulitan tidur menunggu suaminya pulang. Bulan menoleh ke sampingnya. Biasanya ada Langit saat dia bangun. Namun pagi ini lelaki itu tak ada di sampingnya. Terasa ada sesauatu yang berbeda ketika tempat di sampingnya itu kosong. Entah ke mana perginya lelaki itu, padahal jelas-jelas dia tahu kalau Bulan sedang tak enak badan, tapi semalaman dia tak pulang. Baru saja dia menurunkan sebelah kakinya, pintu kamarnya terbuka. Bulan mengalihkan pandangannya, tatapannya fokus pada lelaki yang berdiri di pintu kamarnya. “Masih ingat pulang?” “Sorry.” “Hm,” jawab Bulan singkat. Semalam setelah suaminya meneleponnya selama hampir lima belas menit, Langit sama sekali tak mengatakan kalau dirinya tak akan pulang, jadi Bulan pun menunggunya. “Sudah puas bermain-main?” “Main apa? Kejar-kejaran? Capek!” “Mana ku tahu, siapa tahu k
Bulan menatap suaminya yang baru saja meletakkan cangkir teh miliknya. Dia tampak sibuk dengan ponsel miliknya. Bulan berusaha mengabaikannya, dia kembali fokus pada buku yang tadi belum diselesaikannya. Dia tertarik dengan kalimat yang sedang dia baca sekarang. Manusia itu seperti buku, kalau kamu membukanya kamu akan tahu isinya. Buku dengan sampul yang indah terkadang memiliki isi yang tak sesuai dengan sampulnya.“Bulan.”Panggilan Langit padanya membuatnya meninggalkan bacaannya dan menoleh ke arah sumber suara.“Hm, ada apa?”“Aku mau menemui Ibuku, pergilah bersiap-siap.”Bulan mengerutkan dahinya, dia heran dengan Langit. Mana mungkin dia ikut dengannya menemui ibunya. Lalu bagaimana jika ibu Langit bertanya padanya. Apa yang harus dia katakan?“Aku nggak mau ikut, Langit. Lagi pula kamu belum tidur sejak kamu pulang. Apa ada sesuatu yang penting?”Langit mengangguk, dia sendiri tak ingin mengajak Bulan pergi menemui ibunya, tapi mengingat Bulan belum sembuh sepenuh
“Hem, turunlah.”“Kita sudah sampai?”Langit mengangguk, dia membantu melepaskan sabuk pengaman.“Thank you.”Bulan turun lebih dulu, saat dia hendak mengambil barang-barang yang sudah dibelinya, Langit mencegahnya. Dia tak mau Istrinya terlalu lelah gara-gara dia. Bulan pun turun seraya menunggu suaminya mengambil dessert yang dibelinya. Dia menatap sekeliling, rumah dengan model joglo itu begitu menarik minatnya. Dia melangkah lebih dulu meninggalkan Langit yang tampak kesal sebab istrinya membeli terlalu banyak makanan.“Bulan,” panggil LangitPasalnya istrinya itu malah menuju belakang rumahnya. Dia menoleh ke arah suaminya dengan memasang raut wajah kebingungan.“Lewat sini.”Bulan mengangguk, dia mengekori Langit yang masuk ke dalam lebih dulu. Bulan masih mengedarkan pandangannya, dia takjub dengan rumah Langit. Dia merasa rumah itu begitu nyaman dan membuat siapa yang ditinggal di dalamnya akan betah.Seorang perempuan yang hampir seumuran Mamanya keluar menyongsong
Bulan mendesah, dia tak sadar sudah mengucapkan kalimat harapan pada Langit.“Iya, ya, aku hanya bercanda,” ucap Langit kemudian.Dia tak suka melihat Bulan merenggut gara-gara ucapannya barusan. Mereka mengambil beberapa strawberry yang masak, Langit menyuapi istrinya yang tampak suka sekali memakannya.“yang ini asam langit, seperti wajahmu.”“Sial, sejak kapan wajahku yang setampan ini berubah menjadi asam.”Bulan tertawa terbahak-bahak, melihat raut wajah Langit yang tampak begitu kesal dengannya. Mereka berjalan beriringan menuju pohon rambutan yang tidak begitu tinggi. Lagi-lagi mata bulan berbinar melihat buah rambutan yang begitu lebat. Warna-warninya begitu memanjakan mata.“Langit aku boleh mengambilnya?”Langit mengangguk, ”Kamu duduk saja biar aku ambilkan.”Bulan menuruti perintah suaminya, dia duduk di sebuah gubuk kecil menunggu langit mengambilkan beberapa rambutan.Langit sendiri keheranan dia tak menyangka Bulan yang tidak pernah tinggal di pinggiran kota te
Bulan menyusul Ibu Langit ke dapur. Walaupun dia tak pandai memasak rasanya aneh jika dia berada di sana dan tidak melakukan apapun.“Bulan, kenapa di sini, Nak? Tak menemani Langit? Ada teman Langit datang, kan?”“Iya, Bu, Bulan tak mau mengganggu mereka.”Ibu Langit menepuk tempat kosong di sebelahnya. Walaupun raut wajahnya masih pucat, tapi tak mampu menutupi raut kegembiraannya. Bulan menurut, dia mendudukkan tubuhnya di samping Ibu mertuanya.“Kamu tahu perempuan yang mencari Langit?” tanya Ibu Langit penasaran.Pasalnya dia merasa tak suka dengan Baby yang menurutnya kurang etika.Bulan mengangguk, sedikit banyak dia memang tahu gadis itu. Namun Bulan cukup tahu diri dengan apa yang harus dia lakukan terhadap mereka.“Mereka rekan kerja, Bu.”Ibu langit mengerutkan dahinya, dia seolah tak percaya dengan ucapan Bulan barusan. Walaupun putranya seorang lawyer bukankah cukup aneh jika kliennya sampai mencarinya ke rumah orang tuanya di hari libur pula.“Entahlah, tapi Ibu