“Tapi sampai saat inipun saya tidak tau apa mas Jazira sudah mengurus perceraian kami atau belum, karena sampai sekarang saya belum menerima surat panggilan dari pengadilan agama, Mas.”“Tidak masalah, saya bisa mengeceknya, nanti jika sudah ketahuan terdaftar, Mbak Gia tinggal menunggu jadwal sidangnya, dan kita akan datang ke persidangan, saya akan bantu kamu untuk proses perceraian ini sampai selesai,” ujar Mas Riza serius, aku baru kali ini melihatnya bicara panjang lebar kepadaku tanpa ada nada ketus di suaranya.“Iya, Mbak Gia tenang aja, Mas Rizaku ini pengacara handal, kalau cuma lawan orang macam Jazirah aja mah gampil, iyakan, Mas?” gurau Mbak Rima. Kalau aku tidak salah melihat, wajah Mas Riza memerah dibuatnya, lucu sekali, membuatku ikut tersenyum.=====================================================Setelah menyelesaikan pembahasan mengenai langkah apa yang akan aku ambil untuk menghadapi proses perceraian nanti, aku melanjutkan untuk membersihkan kamar Bu Rosmalia, se
“Buku nikah kami dibawa mas Jazirah, Mas, malam itu saat dia menjatuhkan talaknya, dia meminta buku nikah kami yang disimpan di lemari, katanya untuk syarat mengurus perceraian,” sahutku lesu, karena kutahu, tanpa buku nikah itu maka aku tidak bisa mengajukan tuntutan perceraian.“Sepertinya si Jazirah ingin menggantung statusmu, Gi, tapi tenang, kita bisa jadikan ini justru senjata untuk menekan Jazira untuk menyerahkan buku nikah kalian dengan cuma-cuma.” Mas Riza tersenyum saat mengakhiri ucapannya.=====================================================“Hari ini kamu ke rumah orang tuanya Jazirah, cari mantan suamimu di sana dan minta buku nikah kalian, bilang sama dia kalau kamu saja yang urus perceraiannya!,” titah Mas Riza.“Mas Jazirah tidak akan memberikannya, Mas, kalau dia memang mengijinkan saya untuk mengurus perceraian kami, pasti dia tidak akan repot-repot meminta buku nikah itu,”“Kamu tenang saja, sudah saya bilang, posisimu kuat, kita memiliki bukti dia berselingkuh d
Dia benar-benar berubah, bukan lagi seperti suami yang ku kenal baik dan lembut itu, Jazirah yang kini adalah monster yang rela melakukan apapun untuk memenuhi keinginannya dan orangtuanya.Aku berusaha melepaskan cengkraman tangannya, namun gagal, tenaganya lebih kuat dariku.“Baiklah, jika itu yang kamu inginkan, Jazirah. Kamu sudah memaksa saya, untuk melaporkan kamu dan calon istrimu dengan pasal perzinahan, kalian berhubungan saat kamu masih terikat pernikahan dengan saya, selain itu saya juga berhak membatalkan pernikahan kalian besok, karena kamu, tidak memiliki surat perijinan menikah lagi dari istri pertamamu, yaitu saya. Paham, Jazirah?” ujarku tenang, mengatakan apa yang sudah diajarkan Mas Riza tadi.Perlahan-lahan cengkraman tangan Jazirah di daguku mengendur, sepertinya dia termakan ancamanku, rasakan, kamu fikir Gianira yang miskin ini tidak bisa melawan, hah?.=====================================================Pov Jazirah“Kamu mengancamku, Gi?” aku tidak percaya d
Sejujurnya aku masih mencintai Gianira, dia wanita terbaik yang ku temui, tidak pernah menuntut, selalu berkata lemah lembut di hadapanku. Dia juga pandai mendidik kedua putraku, mengisi kekosongan figur ayah yang tidak bisa kuberikan kepada Langit dan Bumi. Tapi semua itu harus ku akhiri, cukup sudah aku membangkang kepada perintah kedua orangtuaku, hidup susah yang ku alami enam tahun ini adalah bukti jika aku kualat karena sudah membatah perkataan ibu dan bapakku.=====================================================Pov GianiraAku bingung harus menjawab apa ketika Jazirah memintaku untuk menunjukan bukti perselingkuhannya, aku tidak memiliki bukti-bukti tersebut, bahkan undangan pernikahan mereka saja aku belum sempat memintanya kepada tetanggaku. Aku terlalu gegabah datang ke sini tanpa membawa bukti.“Mana buktinya, Gianira?” tanyanya lagi, membuatku makin tersudut.Jazirah tersenyum penuh kemenangan, sepertinya aku gagal menekannya untuk mau memberikan buku nikah kami. Aku ham
Aku melihat Langit dan Bumi keluar dari pintu jamaah laki-laki dengan ustad Faiz bersama mereka, pandangan kami sempat bertemu, menghadirkan gelanyar aneh dalam diriku. Aku terus beristighfar, memohon perlindungan dari sang pemilik hati manusia.“Langit, Bumi, yuk kita pulang!” ujarku cukup tenang, mencoba tidak mengiraukan kehadiran ustad Faiz di antara kami.“Iya, Bu. Ustad, kami pulang dulu, ya,” kata Langit berpamitan kepada ustadnya, kemudian anak-anakku mencium punggung tangan ustad Faiz.Aku berjalan mengikuti langkah anak-anak, hingga sebuah kalimat yang ustad Faiz ucapkan membuatku berhenti melangkah.“Aku tunggu jawabanmu, Gia, istikharahlah! Minta petunjuk Allah,” ujarnya pelan, namun masih sangat jelas terdengar di telingaku.=====================================================Pov AuthorUstad Faiz masih memandangi kepergian Gianira dan anak-anaknya hingga hilang ditelan gelapnya malam. Gianira, wanita yang hampir enam tahun ini selalu membayangi hari-hari seorang Faiz
Usai kepergian Gianira bersama anak-anaknya, Faiz tersungkur di tanah, beristighfar berkali-kali, dirinya sadar jika suda melakukan hal yang salah, namun hatinya mendorongnya untuk melakukan hal yang setan bisikan secepatnya.“Ternyata ini alasanmu selalu menolak perintah abah untuk menikah, Faiz Akbar Thilal?” tanya sebuah suara dari arah belakang tubuhnya.“A-abah?” tubuh Faiz menegang, mengetahui jika ternyata abahnya menjadi salah satu jamaah sholat maghrib di masjid barusan.=====================================================Faiz mengikuti langkah abahnya untuk segera pulang ke rumah, di ruang tamu yang berukuran cukup luas itu Faiz tengah menunggu nasibnya, pertemuan keluarga di adakan secara mendadak oleh abahnya.Selain abah dan uminya, ada juga Mantri Firman dan istrinya, kemudian turut hadir pula kakak dan adik perempuannya. Semua dikumpulkan untuk membahas mengenai masalah Faiz yang melamar seorang janda yang bahkan masa iddahnya belum tuntas.Suasana begitu hening, udar
Faiz bersujud, memohon ampun dan kasih sayang pemilik cinta, berharap inginnya dikabulkan untuk bersanding dengan seorang Gianira, hatinya sudah sangat menginginkan wanita itu untuk menjadi pendamping hidupnya, menjadi pasangan yang berbagi suka maupun duka, menjadi ayah bagi kedua anak-anak Gianira, Faiz ingin, teramat sangat ingin.Dirinya masih sibuk beristighfar, sesekali diselingi doa yang mendayu, dengan suara lirih dia mengadukan semua perasaannya kepada yang maha mengetahui isi hati, begitu khusu’ hingga dia tidak menyadari, jika sejak tadi abahnya termenung melihatnya dari balik pintu kamarnya.“Maafin abah, Faiz, semua abah lakukan untuk kebaikanmu,” lirih abah, kemudian meninggalkan kamar Faiz.=====================================================Pov GianiraAku berusaha tidak mengambil serius lamaran yang diucapkan ustad Faiz tadi, lagipula, bagaimana bisa seorang wanita yang masih terikat dengan masa iddah bisa memikirkan untuk segera menjalin hubungan dengan orang lain.
Setelah semua pembicaraan selesai, kedua orangtua ustad Faiz akhirnya ijin pamit untuk pulang ke rumah mereka. Aku mengantar mereka hingga ke depan pintu dan menghilang di ujung jalan. Saat masuk ke dalam rumah tubuhku luruh ke lantai, meratapi nasib yang selalu dianggap remeh orang lain hanya karena status sosial. Bukan sakit karena harus menolak ustad Faiz, tapi sakit karena dianggap tidak pantas diadapan orang lain.=====================================================Cukup lama aku meratapi nasib yang mungkin banyak orang lain tidak meninginkannya terjadi dihidup mereka, menjadi yatim piatu sejak kecil bahkan tanpa tau siapa kedua orangtua ku, sekalipun aku tidak pernah melihat wajah mereka, aku dititipkan ke panti asuhan hingga lulus sekolah menekah atas dan kemudian bekerja, saat menikah aku tidak mendapat restu dari orangtua suamiku, kemudian hidup penuh keterbatasan, suami selingkuh, mendapat penghinaan dari banyak orang, dan kini, kembali aku dihadapkan pada pelengkap nasib