Aku melihat Langit dan Bumi keluar dari pintu jamaah laki-laki dengan ustad Faiz bersama mereka, pandangan kami sempat bertemu, menghadirkan gelanyar aneh dalam diriku. Aku terus beristighfar, memohon perlindungan dari sang pemilik hati manusia.“Langit, Bumi, yuk kita pulang!” ujarku cukup tenang, mencoba tidak mengiraukan kehadiran ustad Faiz di antara kami.“Iya, Bu. Ustad, kami pulang dulu, ya,” kata Langit berpamitan kepada ustadnya, kemudian anak-anakku mencium punggung tangan ustad Faiz.Aku berjalan mengikuti langkah anak-anak, hingga sebuah kalimat yang ustad Faiz ucapkan membuatku berhenti melangkah.“Aku tunggu jawabanmu, Gia, istikharahlah! Minta petunjuk Allah,” ujarnya pelan, namun masih sangat jelas terdengar di telingaku.=====================================================Pov AuthorUstad Faiz masih memandangi kepergian Gianira dan anak-anaknya hingga hilang ditelan gelapnya malam. Gianira, wanita yang hampir enam tahun ini selalu membayangi hari-hari seorang Faiz
Usai kepergian Gianira bersama anak-anaknya, Faiz tersungkur di tanah, beristighfar berkali-kali, dirinya sadar jika suda melakukan hal yang salah, namun hatinya mendorongnya untuk melakukan hal yang setan bisikan secepatnya.“Ternyata ini alasanmu selalu menolak perintah abah untuk menikah, Faiz Akbar Thilal?” tanya sebuah suara dari arah belakang tubuhnya.“A-abah?” tubuh Faiz menegang, mengetahui jika ternyata abahnya menjadi salah satu jamaah sholat maghrib di masjid barusan.=====================================================Faiz mengikuti langkah abahnya untuk segera pulang ke rumah, di ruang tamu yang berukuran cukup luas itu Faiz tengah menunggu nasibnya, pertemuan keluarga di adakan secara mendadak oleh abahnya.Selain abah dan uminya, ada juga Mantri Firman dan istrinya, kemudian turut hadir pula kakak dan adik perempuannya. Semua dikumpulkan untuk membahas mengenai masalah Faiz yang melamar seorang janda yang bahkan masa iddahnya belum tuntas.Suasana begitu hening, udar
Faiz bersujud, memohon ampun dan kasih sayang pemilik cinta, berharap inginnya dikabulkan untuk bersanding dengan seorang Gianira, hatinya sudah sangat menginginkan wanita itu untuk menjadi pendamping hidupnya, menjadi pasangan yang berbagi suka maupun duka, menjadi ayah bagi kedua anak-anak Gianira, Faiz ingin, teramat sangat ingin.Dirinya masih sibuk beristighfar, sesekali diselingi doa yang mendayu, dengan suara lirih dia mengadukan semua perasaannya kepada yang maha mengetahui isi hati, begitu khusu’ hingga dia tidak menyadari, jika sejak tadi abahnya termenung melihatnya dari balik pintu kamarnya.“Maafin abah, Faiz, semua abah lakukan untuk kebaikanmu,” lirih abah, kemudian meninggalkan kamar Faiz.=====================================================Pov GianiraAku berusaha tidak mengambil serius lamaran yang diucapkan ustad Faiz tadi, lagipula, bagaimana bisa seorang wanita yang masih terikat dengan masa iddah bisa memikirkan untuk segera menjalin hubungan dengan orang lain.
Setelah semua pembicaraan selesai, kedua orangtua ustad Faiz akhirnya ijin pamit untuk pulang ke rumah mereka. Aku mengantar mereka hingga ke depan pintu dan menghilang di ujung jalan. Saat masuk ke dalam rumah tubuhku luruh ke lantai, meratapi nasib yang selalu dianggap remeh orang lain hanya karena status sosial. Bukan sakit karena harus menolak ustad Faiz, tapi sakit karena dianggap tidak pantas diadapan orang lain.=====================================================Cukup lama aku meratapi nasib yang mungkin banyak orang lain tidak meninginkannya terjadi dihidup mereka, menjadi yatim piatu sejak kecil bahkan tanpa tau siapa kedua orangtua ku, sekalipun aku tidak pernah melihat wajah mereka, aku dititipkan ke panti asuhan hingga lulus sekolah menekah atas dan kemudian bekerja, saat menikah aku tidak mendapat restu dari orangtua suamiku, kemudian hidup penuh keterbatasan, suami selingkuh, mendapat penghinaan dari banyak orang, dan kini, kembali aku dihadapkan pada pelengkap nasib
“Eciiieee … Kompak bener ini jawabnya, ehem ehem,” Mbak Rima masih saja meledek, membuat anak-anak ikutan tertawa.“Sudahlah, nih kamu obati sendiri lukanya, saya mau makan laper!!” Ucap Mas Riza ketus, seraya melemparkan krim gel obat bakar, dan beranjak menuju dapur.“Ha … ha … ha, ada yang salting nih yee!!” teriak Mbak Rima masih terus tertawa, membuatku jadi tidak enak hati dengan Mas Riza.=====================================================Setelah dirasa sudah membaik aku menyusul Mbak Rima yang sudah lebih dulu ke dapur untuk melanjutkan menyiapkan sarapan pagi. Saat aku tiba di dapur tanpa sengaja pandanganku dan Mas Riza bertemu, dia lebih dulu memutus pandangan kami, mungkin masih kesal karena kopinya tumpah tadi.Aku membantu Mbak Rima memarut keju balok dan menaruhnya di atas bubur jagung buatanku tadi, setelah siap langsung ku hidangkan di atas meja makan, semua sudah berkumpul di sana kecuali Langit dan Bumi, mereka sudah sarapan tadi di rumah, jadi ku minta mereka me
Saat baru saja keluar dari desa, tiba-tiba mobil yang dikendarai Mas Riza berhenti mendadak, membuat tubuh kami semua lumayan terpental ke depan, beruntung tidak sampai celaka yang parah.Begitu memastikan jika keadaan kami baik-baik saja, Mas Riza memutuskan untuk keluar dari mobil dan melihat apa yang terjadi. Aku ikut membuka kaca jendela, dari arahku duduk dapat kulihat jika terjadi keributan di depan sana, dan alangkah terkejutnya saat samar-samar aku melihat jika penyebab keributan itu adalah kedua orang yang sangat ku kenal, bagaimana bisa? Ada apa sebenarnya dengan mereka?”=====================================================Aku melihat Mas Jazirah melayangkan bogem mentah ke wajah dan tubuh ustad Faiz bertubi-tubi, membuat guru ngaji anak-anakku itu kepayahan, banyak orang-orang mengerubungi mereka untuk melerai, namun seperti orang kesetanan Mas Jazirah terus saja memukul ustad Faiz yang bahkan tidak bisa melawan karena kondisinya yang sudah memprihatinkan.Aku melihat Mas
“Kata dokter kondisi ustad Faiz cukup serius, menurut diagnosa dokter, pemukulan yang dialami ustad menyebabkan livernya pecah hingga harus menjalani operasi besar, selain itu hidungnya patah, ya mungkin nanti agak bengkok, huft!” tutur Mas Riza menjelaskan kondisi ustad Faiz, membuatku beristigfar berkali-kali saking ngerinya.“Saya sudah hubungi keluarganya, mungkin sebentar lagi akan datang,” sambungnya lagi.Belum sempat aku membalas ucapan Mas Riza, dari arah belakang kami terdengar suara langkah dan teriakan. Membuatku, MaS Riza dan anak-anak spontan mengarahkan pandangan ke sumber suara.“Sudah saya bilang jangan dekat-dekat dengan anak saya! Tidak paham juga kamu??” aku kaget saat sebuah tamparan mendarat ke pipiku. Tes. Air mataku keluar tanpa dikomandoi.=====================================================“Ibuuu….” Teriak Langit dan Bumi bersamaan, berambur menghampiriku.“Abah! Astaghfirullah!!” suara Umi Aisyah melengking seraya menarik tubuh suaminya.“Jangan main keker
“Gi, nanti di rumah tidak usah cerita kalau bapaknya Faiz mukul kamu ke ibu, ya! Khawatir nanti ibu kepikiran. Anak-anak juga sudah saya briefing untuk menjaga rahasia ini, semoga saja mereka tidak keceplosan,” tuturnya disela-sela perjalanan kami.“Baik, Mas,” sahutku cepat. Setelah itu tidak ada percakapan apapun lagi.Tiba di depan rumah, kami dikejutkan dengan kehadiran Mas Jazirah yang berteriak-teriak di depan rumah, membuat orang-orang berkumpul di depan rumah bu Rosmalia. Mas Riza segera turun dari mobil dan terlihat berdebat dengan Mas Jazirah.Mau apalagi orang tidak tau malu itu?=====================================================Aku memutuskan mengajak anak-anak untuk turun dari mobil, kemudian menyuruh mereka langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu, sementara aku menghapiri Mas Jazirah yang masih berdebat dengan Mas Riza, membuat kerumunan orang semakin ramai menyaksikannya.“Nah ini, kalian lihat sendirikan? Si duda ini jalan sama istri saya, dasar pebinor! Be