Share

Bab 2

AKU LELAH

TITIK LELAH

PART 2

"Aku besok mau pulang!" ijinku kepada Mas Bima. Aku lihat keningnya melipat.

"Pulang? Kerjaanku banyak. Nggak bisa di tinggal! Nggak usah aneh-aneh!" balasnya. Kemudian memainkan game di gawainya lagi.

"Aku pulang sendiri saja sama Azkia, jadi nggak usah di antar!" ucapku. Aku lihat tangannya yang mengutak-atik game berhenti sejenak. Kemudian menatapku sinis. Benar-benar sudah tak aku temukan cinta pada lelaki bergelar suami ini.

"Ngapain pulang? Abah sama Emak mau minta duit? Nggak ada!" sungutnya sambil mengegas kata nggak ada.

Kuteguk ludah ini. Seperti itulah keluargaku di mata dia. Dikesampingkan dan mungkin ia anggap benalu. Tapi, kalau dari pihak dia, ada nggak ada uang, jika ada yang kesusahan dan membutuhkan uang, berbagai cara ia wajib menolong, yang mana ujung-ujungnya akan susah sendiri. Sangat kontras jika dari pihakku yang membutuhkan pertolongan.

"Emak nggak enak badan. Katanya kangen sama Azkia. Tenang saja orang tuaku nggak akan minta uang! Mereka hanya kangen dengan cucunya!" balasku asal dengan napas berat. Yang penting bisa pulang, tanpa lelaki jahara ini.

"Syukurlah! Memang harusnya tahu diri, jadi nggak ngerepotin mantu!" ketusnya. Kutarik napas ini. Melepaskannya perlahan. Sungguh terasa sesak mendengar ucapan seperti itu, terlontar dari lelaki halalku. Tak pernah aku bayangkan sebelumnya, jika akan mendapatkan suami tak punya hati seperti ini.

"Iya, Emak sama Abah tahu kok, kalau anaknya ini nggak kerja, hanya numpang hidup dengan suami! Jadi tenang saja! Aku pun juga kangen dengan mereka," sindirku.

"Ya memang faktanya begitu! Kok nggak terima!" balasnya ketus.

Sudahlah, aku memilih diam. Karena kalau aku ladeni akan panjang dan melebar plus meluber sampai kemana-mana.

"Jadi aku sama Azkia besok boleh pulangkan?" pastiku.

"Hemmm ... tapi langsung balik! Nggak usah nginep. Siapa yang akan bersih-bersih dan masak, kalau kamu nginep di sana! Ingat harus hemat. Kamu juga besok jangan bagi-bagi uang di sana! Cari uang itu susah! Sampai mau pecah kepalaku mikiri cari uang!" pesannya. Semakin membuat dada ini sesak.

"Iya," jawabku singkat.

"Yaudah sana tidur! Aku mau main game. Ganggu aja!" bentaknya. Kuhela napas panjang. Tanpa menjawab lagi, aku segera menuju ke kamar. 

"Eh, bentar!" ucapnya lagi. Membuatku menghentikan langkah kaki dan menoleh ke arahnya.

"Apa?" tanyaku. 

"Bawa sini uang yang aku berikan tadi. Delapan ratus ribu. Kamu bawa dua ratus ribu saja. Nggak yakin aku, kamu nggak bagi-bagi uang di sana! Secara mereka itu ingin kamu pulang, berharap saat pulang kamu memberikan amplop pada mereka!" ucapnya semakin mengiris hati. Cukup membuatku menganga.

Kuremas baju dada ini. Ya Allah ... Mas Bima yang aku kenal dulu, sekarang seolah aku tak bisa mengenalinya lagi. Entah kemana rasa pedulinya itu padaku.

"Bentar aku ambilakan di kamar!" balasku lirih, yanga mana area mata seketika terasa memanas. Tak mau memperuncing masalan. Biarlah.

"Hemmm ... aku tunggu! Cepetan!" balasnya dengan nada yang tak layak di sebut imam rumah tangga.

"Ratih, aku janji aku akan membahagiakanmu! Menikahlah denganku! Aku janji akan setia padamu! Aku tak akan membuatmu menderita! Aku janji! Kamu bisa pegang janjiku ini!" 

Itulah janjinya saat memintaku, untuk menjadi istrinya. Masih sangat terekam dengan jelas di ingatan. Mungkinkah ia sudah lupa dengan janjinya itu?

Ya, aku rasa dia telah lupa akan janji manisnya itu. Janji manis, semanis madu, yang kini berubah menjadi racun. Yang mana racun itu, akan siap membunuhku kapan saja.

Ya, semakin ke sini, aku memang semakin merasa tak nyaman dengannya. Merasa setiap hari, hanya tekanan batin yang aku rasa. Yang berujung di temani dan bersahabat dengan air mata.

Kudekati anakku, buah cinta pernikahanku. Kukecup lembut keningnya. Gadis kecilku yang kini telah tertidur pulas. Ia harus sukses. Dia harus lebih dariku. Harus!

Segera aku ambil uang delapan ratus ribu. Biarlah, aku kasihkan saja uang itu. Dari pada aku tak di perbolehkan pulang. 

Kuseka dengan cepat air mata yang bergulir. Sungguh menyakitkan. Aku semakin merasa diinjak-injak. 

Setelah air mata aku pastikan aman, aku segera keluar dari kamar, memberikan uang delapan ratus ribu itu kepada Mas Bima.

"Nanti uang ini akan aku kasihkan ke kamu lagi. Aku cuma nggak mau, kamu bagi-bagi uang, atau beli oleh-oleh yang berlebihan! Kecuali orang tuamu yang suka merepotkan mantu itu bagi-bagi warisan, tak sayang kalau uang ini di belikan oleh-oleh!" ucapnya. Semakin menyulut emosiku.

"Cukup! Kapan orang tauku merepotkanmu, Mas? Kapan mereka meminta uangmu? Kapan? Yang ada ibumu, yang telah mengambil hakku! Uang yang kamu berikan kepada ibumu itu ada hakku dan Azkia, adakah kamu ijin denganku sebelumnya?" sungutku akhirnya. Mas Bima yang dari cuek dan terus fokus ke gamenya, akhirnya meletakkan gawainya dengan kasar di meja.

"Apa maksudmu ngomong kayak gitu? Aku ini laki-laki! Dan ibuku janda! Dan kamu tahu itu! Siapa lagi kalau bukan aku? Harusnya kamu itu mikir. Jangan asal ngomong!" sungutnya.

"Asal ngomong kamu bilang? Nggak kebalik? Hah?Aku selalu nurut denganmu. Uang yang biasanya kamu kasih 2,5 juta sebulan, kini kamu pangkas menjadi satu juta, adakah aku protes? Aku mau pulang, uang kamu minta delapan ratus ribu, adakah tadi aku protes? Kamu boleh menghinaku! Tapi, jangan kau hina orang tuaku! Mereka tak pernah merepotkanmu! Bahkan saat Abah sakit, meminjam uangmu tak kamu kasih, beliau diam. Kamu tahu nggak bagaimana perasaanku? Malu dan hancur!" ucap lantang.

Dengan air mata yang terus berderai, kusampaikan semua uneg-uneg hati. Sorot matanya semakin terlihat murka.

"Pandai sekali kamu ngomong! Kalau mau pulang ya pulang aja! Nggak usah ngajak tengkar! Suka banget ngajak tengkar!" sungutnya, seolah tak merasa bersalah. Seolah aku yang memicu pertengkaran ini.

"Iya, aku besok pagi akan pulang! Dan tak akan kembali lagi ke sini!" balasku akhirnya.

"Halah ... nggak mungkin kamu nggak akan balik lagi ke sini! Ortumu itu pasti keberatan kamu pulang sama Azkia. Untuk makan aja mereka susah, apalagi ditambah kehadiran kamu! Bisa-bisa kejual rumah reotnya itu!" sungutnya. "Eh, tapikan kamu memang bisanya merepotkan orang!" 

ucapan Mas Bima, semakin menguatkanku untuk pulang dan tak akan sudi menginjakan kaki lagi ke rumah ini. Kutekan dada ini, mengontrol emosi yang siap meledak.

"Kita lihat saja! Haram bagimu menjemputku dan Azkia!" ucapku.

"Ha ha ha ... ngapain juga capek-capek jemput. Ujung-ujung pasti juga pulang ke sini! Sudahlah! Aku mau main game lagi! Bikin tensi naik aja! Pulang nggak pulang, terserah!" sungutnya.

Kuatur napas yang bergemuruh hebat ini. Ya Allah ... hati laki-laki ini, terbuat dari apa sebenarnya?

Ok Mas Bima! Malam ini, malam terakhir aku tidur di rumahmu ini. Karena kali ini, aku tak main-main dengan ucapanku.

Kita lihat saja! Siapa yang akan menyesal dan berakhir menangis darah karena mengemis maaf. 

****************

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status