Share

Bab 2

last update Last Updated: 2022-06-12 12:46:03

AKU LELAH

TITIK LELAH

PART 2

"Aku besok mau pulang!" ijinku kepada Mas Bima. Aku lihat keningnya melipat.

"Pulang? Kerjaanku banyak. Nggak bisa di tinggal! Nggak usah aneh-aneh!" balasnya. Kemudian memainkan game di gawainya lagi.

"Aku pulang sendiri saja sama Azkia, jadi nggak usah di antar!" ucapku. Aku lihat tangannya yang mengutak-atik game berhenti sejenak. Kemudian menatapku sinis. Benar-benar sudah tak aku temukan cinta pada lelaki bergelar suami ini.

"Ngapain pulang? Abah sama Emak mau minta duit? Nggak ada!" sungutnya sambil mengegas kata nggak ada.

Kuteguk ludah ini. Seperti itulah keluargaku di mata dia. Dikesampingkan dan mungkin ia anggap benalu. Tapi, kalau dari pihak dia, ada nggak ada uang, jika ada yang kesusahan dan membutuhkan uang, berbagai cara ia wajib menolong, yang mana ujung-ujungnya akan susah sendiri. Sangat kontras jika dari pihakku yang membutuhkan pertolongan.

"Emak nggak enak badan. Katanya kangen sama Azkia. Tenang saja orang tuaku nggak akan minta uang! Mereka hanya kangen dengan cucunya!" balasku asal dengan napas berat. Yang penting bisa pulang, tanpa lelaki jahara ini.

"Syukurlah! Memang harusnya tahu diri, jadi nggak ngerepotin mantu!" ketusnya. Kutarik napas ini. Melepaskannya perlahan. Sungguh terasa sesak mendengar ucapan seperti itu, terlontar dari lelaki halalku. Tak pernah aku bayangkan sebelumnya, jika akan mendapatkan suami tak punya hati seperti ini.

"Iya, Emak sama Abah tahu kok, kalau anaknya ini nggak kerja, hanya numpang hidup dengan suami! Jadi tenang saja! Aku pun juga kangen dengan mereka," sindirku.

"Ya memang faktanya begitu! Kok nggak terima!" balasnya ketus.

Sudahlah, aku memilih diam. Karena kalau aku ladeni akan panjang dan melebar plus meluber sampai kemana-mana.

"Jadi aku sama Azkia besok boleh pulangkan?" pastiku.

"Hemmm ... tapi langsung balik! Nggak usah nginep. Siapa yang akan bersih-bersih dan masak, kalau kamu nginep di sana! Ingat harus hemat. Kamu juga besok jangan bagi-bagi uang di sana! Cari uang itu susah! Sampai mau pecah kepalaku mikiri cari uang!" pesannya. Semakin membuat dada ini sesak.

"Iya," jawabku singkat.

"Yaudah sana tidur! Aku mau main game. Ganggu aja!" bentaknya. Kuhela napas panjang. Tanpa menjawab lagi, aku segera menuju ke kamar. 

"Eh, bentar!" ucapnya lagi. Membuatku menghentikan langkah kaki dan menoleh ke arahnya.

"Apa?" tanyaku. 

"Bawa sini uang yang aku berikan tadi. Delapan ratus ribu. Kamu bawa dua ratus ribu saja. Nggak yakin aku, kamu nggak bagi-bagi uang di sana! Secara mereka itu ingin kamu pulang, berharap saat pulang kamu memberikan amplop pada mereka!" ucapnya semakin mengiris hati. Cukup membuatku menganga.

Kuremas baju dada ini. Ya Allah ... Mas Bima yang aku kenal dulu, sekarang seolah aku tak bisa mengenalinya lagi. Entah kemana rasa pedulinya itu padaku.

"Bentar aku ambilakan di kamar!" balasku lirih, yanga mana area mata seketika terasa memanas. Tak mau memperuncing masalan. Biarlah.

"Hemmm ... aku tunggu! Cepetan!" balasnya dengan nada yang tak layak di sebut imam rumah tangga.

"Ratih, aku janji aku akan membahagiakanmu! Menikahlah denganku! Aku janji akan setia padamu! Aku tak akan membuatmu menderita! Aku janji! Kamu bisa pegang janjiku ini!" 

Itulah janjinya saat memintaku, untuk menjadi istrinya. Masih sangat terekam dengan jelas di ingatan. Mungkinkah ia sudah lupa dengan janjinya itu?

Ya, aku rasa dia telah lupa akan janji manisnya itu. Janji manis, semanis madu, yang kini berubah menjadi racun. Yang mana racun itu, akan siap membunuhku kapan saja.

Ya, semakin ke sini, aku memang semakin merasa tak nyaman dengannya. Merasa setiap hari, hanya tekanan batin yang aku rasa. Yang berujung di temani dan bersahabat dengan air mata.

Kudekati anakku, buah cinta pernikahanku. Kukecup lembut keningnya. Gadis kecilku yang kini telah tertidur pulas. Ia harus sukses. Dia harus lebih dariku. Harus!

Segera aku ambil uang delapan ratus ribu. Biarlah, aku kasihkan saja uang itu. Dari pada aku tak di perbolehkan pulang. 

Kuseka dengan cepat air mata yang bergulir. Sungguh menyakitkan. Aku semakin merasa diinjak-injak. 

Setelah air mata aku pastikan aman, aku segera keluar dari kamar, memberikan uang delapan ratus ribu itu kepada Mas Bima.

"Nanti uang ini akan aku kasihkan ke kamu lagi. Aku cuma nggak mau, kamu bagi-bagi uang, atau beli oleh-oleh yang berlebihan! Kecuali orang tuamu yang suka merepotkan mantu itu bagi-bagi warisan, tak sayang kalau uang ini di belikan oleh-oleh!" ucapnya. Semakin menyulut emosiku.

"Cukup! Kapan orang tauku merepotkanmu, Mas? Kapan mereka meminta uangmu? Kapan? Yang ada ibumu, yang telah mengambil hakku! Uang yang kamu berikan kepada ibumu itu ada hakku dan Azkia, adakah kamu ijin denganku sebelumnya?" sungutku akhirnya. Mas Bima yang dari cuek dan terus fokus ke gamenya, akhirnya meletakkan gawainya dengan kasar di meja.

"Apa maksudmu ngomong kayak gitu? Aku ini laki-laki! Dan ibuku janda! Dan kamu tahu itu! Siapa lagi kalau bukan aku? Harusnya kamu itu mikir. Jangan asal ngomong!" sungutnya.

"Asal ngomong kamu bilang? Nggak kebalik? Hah?Aku selalu nurut denganmu. Uang yang biasanya kamu kasih 2,5 juta sebulan, kini kamu pangkas menjadi satu juta, adakah aku protes? Aku mau pulang, uang kamu minta delapan ratus ribu, adakah tadi aku protes? Kamu boleh menghinaku! Tapi, jangan kau hina orang tuaku! Mereka tak pernah merepotkanmu! Bahkan saat Abah sakit, meminjam uangmu tak kamu kasih, beliau diam. Kamu tahu nggak bagaimana perasaanku? Malu dan hancur!" ucap lantang.

Dengan air mata yang terus berderai, kusampaikan semua uneg-uneg hati. Sorot matanya semakin terlihat murka.

"Pandai sekali kamu ngomong! Kalau mau pulang ya pulang aja! Nggak usah ngajak tengkar! Suka banget ngajak tengkar!" sungutnya, seolah tak merasa bersalah. Seolah aku yang memicu pertengkaran ini.

"Iya, aku besok pagi akan pulang! Dan tak akan kembali lagi ke sini!" balasku akhirnya.

"Halah ... nggak mungkin kamu nggak akan balik lagi ke sini! Ortumu itu pasti keberatan kamu pulang sama Azkia. Untuk makan aja mereka susah, apalagi ditambah kehadiran kamu! Bisa-bisa kejual rumah reotnya itu!" sungutnya. "Eh, tapikan kamu memang bisanya merepotkan orang!" 

ucapan Mas Bima, semakin menguatkanku untuk pulang dan tak akan sudi menginjakan kaki lagi ke rumah ini. Kutekan dada ini, mengontrol emosi yang siap meledak.

"Kita lihat saja! Haram bagimu menjemputku dan Azkia!" ucapku.

"Ha ha ha ... ngapain juga capek-capek jemput. Ujung-ujung pasti juga pulang ke sini! Sudahlah! Aku mau main game lagi! Bikin tensi naik aja! Pulang nggak pulang, terserah!" sungutnya.

Kuatur napas yang bergemuruh hebat ini. Ya Allah ... hati laki-laki ini, terbuat dari apa sebenarnya?

Ok Mas Bima! Malam ini, malam terakhir aku tidur di rumahmu ini. Karena kali ini, aku tak main-main dengan ucapanku.

Kita lihat saja! Siapa yang akan menyesal dan berakhir menangis darah karena mengemis maaf. 

****************

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   TAMAT

    "Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 41

    "Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 40

    Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 39

    Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 38

    "Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 37

    "Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 36

    "Sudah selesai kan kita makannya. Jadi apa yang ingin kamu sampaikan sama Tante?" tanya Tante Ratih kepadaku.Kami memang sengaja diam terlebih dahulu. Lebih tepatnya, Tante Ratih memintaku untuk makan dulu. Katanya, beliau juga sedang lapar. Makanya lebih baik makan dulu, baru menceritakan semuanya. Mungkin Tante Ratih tahu, kalau bercerita terlebih dahulu, nafsu makan akan hilang. Jadi lebih baik, makan dulu baru bercerita. Ini bisa jadi pelajaran buat aku, bagaimana caranya nanti, jika aku komunikasi dengan anakku kelak. Tidak seperti mamaku yang nggak pernah memikirkan aku, aku ini udah makan atau belum. Yang ia tahu, kalau aku punya masalah, harus cerita tapi tak bisa mengambil hatiku. Mengambil hatiku untuk aku mau bercerita dengan sendirinya. Yang ada, aku terpaksa bercerita, karena kalau tidak cerita, Mama akan terus bertanya dan bertanya, hingga aku mau bercerita. Semacam tekanan. Lebih tepatnya memang aku tertekan. "Sebelumnya, Alina ucapkan maaf dan terima kasih dulu Tan

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 35

    "Tante Aku sudah di rumah makan yang aku sebutkan tadi." Ucapku lewat sambungan telepon, aku yang menelpon Tante Ratih, karena aku memang sudah sampai dan Tante Ratih belum. "Iya Alina, Tante lagi di jalan, bentar lagi juga sampai kok, kamu tunggu saja ya, sebentar." Seperti itulah tanggapan dari Tante Ratih. Suaranya cukup lembut sekali, itu yang aku suka dari Tante Ratih. Mudah-mudahan kelak, jika aku menjadi orang tua, aku bisa seperti Tante Ratih, yang sangat bisa mengerti keadaan anaknya. Bisa menjadi teman dan ibu untuk anaknya. Jadi, anak tidak merasa kesepian dan tidak sungkan juga, untuk menceritakan apa pun yang sedang terjadi pada dirinya. Kalau anak mungkin biasanya akan mendambakan ibu kandungnya sendiri, untuk menjadi sosoknya kelak, tapi mungkin berbeda denganku. Aku justru mendambakan ibunya orang lain, yang aku idolakan atau akan aku jadikan panutan nantinya."Ya Tante aku cuma ngabarin aja kok. Tante hati-hati ya di jalan." Seperti itulah tanggapanku. "Iya Alina,

  • Kamu Berulah, Waspadalah!   Bab 34

    "Sudah enakan perutnya?" tanya Azkia setelah aku sampai di ruang TV. Segera aku anggukkan kepala ini. Sebelum aku masuk ke ruang tv, aku melihat Azkia dan Gibran sedang bercanda. Tanpa adanya aku, mereka terlihat sangat baik-baik saja. Bahkan ada rasa iri juga menyelimuti hati ini. Tapi aku juga harus sadar diri, kalau aku memang bukan siapa-siapa. Gibran dari kecil memang teman Azkia. Kalau denganku, mungkin hanya suatu kebetulan saja. Aku segera duduk tak jauh dari Azkia. Tak mungkin juga aku duduk di dekat Gibran. Aku datang mereka terdiam. Rasanya aku semakin tak enak hati. "Ini tadi aku buatkan es. Kayaknya cuacanya sangat mendukung sekali jika minum es. Sambil ngobrol-ngobrol ringan gitu." Azkia terlihat sangat happy. Itu yang bisa aku rasakan saat ini. Biasanya kalau Azkia happy seperti ini, aku lebih happy lagi. Tapi kenapa tidak untukku kali ini? Kali ini aku merasa ada batasan. Ya, kali ini aku merasa benar-benar ada batasan antara Aku dan Azkia. Aku melihat Gibran seda

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status