Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
Aku Lelah"Hari ini kamu gajiankan, Mas?" tanyaku kepada Mas Bima. Dia baru saja pulang kerja. Baru saja melepas kemejanya."Iya," jawabnya dengan napas berat."Emm ....""Masak apa? Aku laper!" ucapnya, memotong ucapanku. "Masak tempe aku sambal kering," jawabku."Tempe terus ... nggak bisa masak yang lain apa?" sungutnya."Ya, bisanya aja, sih, tapi kan uangnya ....""Halaah ... kamu itu di kasih berapapun tetap saja kurang!" potongnya lagi. Kuteguk ludah ini sejenak. Terasa perih di dalam sini.Mas Bima langsung menuju ke dapur. Aku lihat segera mengambil piring dan menyentong nasi. Tak ada basa basinya untuk menawariku makan. Padahal aku ingin sekali, ia menawariku makan. Biar tak merasa di abaikan.Aku juga ikut mengambil piring. Karena untuk sore hari, aku sengaja menunggunya pulang untuk makan bersama. Berharap rumah tangga ini terasa hangat.Aku lihat Mas Bima menumpahkan semua kering tempe itu di piringnya."Loo, Mas aku belum makan, kok aku nggak di bagi lauknya? Lauknya cu
AKU LELAHTITIK LELAHPART 2"Aku besok mau pulang!" ijinku kepada Mas Bima. Aku lihat keningnya melipat."Pulang? Kerjaanku banyak. Nggak bisa di tinggal! Nggak usah aneh-aneh!" balasnya. Kemudian memainkan game di gawainya lagi."Aku pulang sendiri saja sama Azkia, jadi nggak usah di antar!" ucapku. Aku lihat tangannya yang mengutak-atik game berhenti sejenak. Kemudian menatapku sinis. Benar-benar sudah tak aku temukan cinta pada lelaki bergelar suami ini."Ngapain pulang? Abah sama Emak mau minta duit? Nggak ada!" sungutnya sambil mengegas kata nggak ada.Kuteguk ludah ini. Seperti itulah keluargaku di mata dia. Dikesampingkan dan mungkin ia anggap benalu. Tapi, kalau dari pihak dia, ada nggak ada uang, jika ada yang kesusahan dan membutuhkan uang, berbagai cara ia wajib menolong, yang mana ujung-ujungnya akan susah sendiri. Sangat kontras jika dari pihakku yang membutuhkan pertolongan."Emak nggak enak badan. Katanya kangen sama Azkia. Tenang saja orang tuaku nggak akan minta uang
AKU LELAHTITIK LELAHPART 3“Astagfirullah ....” lirih Abah setelah aku ceritakan semua masalahku dengan Mas Bima. Dengan uraian air mata, bibir ini meluapkan kata-kata emosi dalam hati.Lega. Ya, batu besar yang mengganjal di dalam sini, seolah keluar dan memberikan ruang untuk bernapas lagi.“Kenapa kamu nggak cerita dari dulu, Tih? Kenapa baru cerita sekarang?” tanya Emak. “Ratih malu, Mak,” jawabku. Emak terlihat menghela napas. Malu? Ya, itu memang yang aku rasakan. Malu jika harus menceritakan pahitnya biduk rumah tanggaku. Dan Mas Bima tahu kelemahanku ini. Jadi, ia seolah memanfaatkan. “Kami ini orang tua kandung kamu. Kenapa malu?” tanya Emak, yang seolah tak lega dengan jawabanku tadi. “Karena Mas Bima adalah lelaki yang mati-matian Ratih pertahankan, Mak. Jadi ratih selalu menutupi kejelekannya, Mak. Tapi, kini Ratih sudah tak kuat. Terlalu sakit dan pedas ucapan yang ia lontarkan setiap hari,” jelasku.“Astagfirullah ....” ucap Emak seraya mengelus lenganku.“Kamu itu
Bab 4"Mbak, aku ini ada salah apa, sih, sama kamu?" sungutku, perempuan berbadan semox itu terlihat masih mengutak atik gawainya. Aku tak ingin ia menelpon Mas Bima. Bisa hancur semuanya. Memang lah ipar satu ini suka sekali cari gara-gara denganku."Nggak ada salah, sih ... karena aku kan kakak ipar yang baik, jadi selalu memaafkanmu, walau kamu tak meminta maaf, padahal kamu selalu membuat kesalahan, karena ketemu kamu saja itu sudah salah," ucapnya santai tapi membuat hati dan otak ini terasa mendidih.Kutarik napas ini kuat-kuat, kulepaskan perlahan. Mengatur emosi yang sudan naik ke ubun-ubun. Terasa ingin aku jambak-jambak rambut smootingnya itu. Dan ingin aku maki ia kasar-kasar."Emmm, nomor Bima masih yang ujungnya 78 nggak, ya?" tanyanya semakin membuat panasnya hati ini terasa ingin meledak."Mbak, kalau aku ke sini, tanpa bersama Mas Bima, apa urusannya denganmu? Kalau Mas Bima nggak ikut kesini, itu artinya dia lagi sibuk! Banyak kerjaan!" ucapku asal, masih terus mengon