Setiap hari pertengkaran dan perdebatan. Itulah yang terjadi dalam rumah tanggaku. Sedikit saja masalah, seketika menjadi pertikaian yang hebat. Ya Allah aku lelah! Berdosakah jika aku memilih mundur? Tak ada bayangan masa depan yang cerah jika aku bertahan dengan lelaki yang selalu membuat goresan luka. Belum lagi, biaya sekolah anak. Aku tak mau anakku tak menempuh pendidikan yang tinggi. Anakku harus lebih dariku. Harus! Aku segera masuk ke dalam kamar. Meraih sepucuk surat dari Abah. Lelaki cinta pertamaku. Surat yang baru saja sampai tadi pagi. Dalam surat ini berisi, Abah memintaku segera pulang, karena warisan akan segera di bagi dengan kakak dan adikku. Aku tak mau, Mas Bima tahu hal ini. Karena jika ia tahu, bisa jadi akan dia kuasai dan aku hanya gigit jari. Bismillah ... aku harus segera pulang, hanya bersama Azkia, bagaimanapun caranya. Ya Allah ... aku lelah!
Lihat lebih banyakAku Lelah
"Hari ini kamu gajiankan, Mas?" tanyaku kepada Mas Bima. Dia baru saja pulang kerja. Baru saja melepas kemejanya.
"Iya," jawabnya dengan napas berat.
"Emm ...."
"Masak apa? Aku laper!" ucapnya, memotong ucapanku.
"Masak tempe aku sambal kering," jawabku.
"Tempe terus ... nggak bisa masak yang lain apa?" sungutnya.
"Ya, bisanya aja, sih, tapi kan uangnya ...."
"Halaah ... kamu itu di kasih berapapun tetap saja kurang!" potongnya lagi. Kuteguk ludah ini sejenak. Terasa perih di dalam sini.
Mas Bima langsung menuju ke dapur. Aku lihat segera mengambil piring dan menyentong nasi. Tak ada basa basinya untuk menawariku makan. Padahal aku ingin sekali, ia menawariku makan. Biar tak merasa di abaikan.
Aku juga ikut mengambil piring. Karena untuk sore hari, aku sengaja menunggunya pulang untuk makan bersama. Berharap rumah tangga ini terasa hangat.
Aku lihat Mas Bima menumpahkan semua kering tempe itu di piringnya.
"Loo, Mas aku belum makan, kok aku nggak di bagi lauknya? Lauknya cuma itu!" ucapku terkejut dengan tingkahnya.
Brraaagh ....
Tangannya menggebrak meja. Semakin membuatku terkejut.
"Salah siapa masak sedikit? Sudah tahu aku ini pulang kerja! Aku ini lapar!" sungutnya, kemudian melanjutkan makannya lagi dengan sorot beringasnya.
Lagi, aku hanya bisa meneguk ludah. Dengan area mata memanas aku mengambil kecap manis untuk lauk makanku. Tak mau mempertajam masalah.
Sesekali dengan cepat kuseka air mata ini. Karena kalau tahu aku menangis, amarahnya semakin menjadi.
Aku lihat dia makan dengan lahap. Tanpa memperdulikan aku yang makan hanya berlaukan kecap manis.
Memang sedikit aku memasak kering tempe. Karena hanya satu papah tempe saja. Sebenarnya bisa saling berbagi. Karena memang sudah tak ada uang lagi, untuk masak yang lebih banyak.
"Mana kopinya? Masak setiap hari minta di ingatkan!" sungutnya. Segera aku letakan piring ini dan segera membuatkan kopi untuk Mas Bima.
Ya Allah, di mana hati lelaki itu? Tak ada ibakah dia melihat istrinya hanya makan berlauk kecap manis? Sedangkan kering tempe yang ia anggap masakan itu-itu saja, tapi ia habiskan seorang diri.
"Ini kopinya!" ucapku dengan nada serak.
"Hemmm," balasnya. Segera aku letakan kopi itu disebelahnya. Aku segera melanjutkan makanku lagi. Makan yang hanya berlauk kecap manis.
"Malah lanjut makan lagi! Ambilkan aku handuk dulu! Udah gerah ini!" sungutnya. Baru saja makanan ini masuk ke mulut, dia sudah memerintahku lagi.
Kutarik napas ini kuat-kuat dan menghembuskannya perlahan. Kembali aku letakan piringku lagi. Padahal cacing di dalam perut sudah berteriak meminta haknya.
"Ini handuknya!" ucapku.
"Hemmm," balasnya, kemudian menyeruput kopi buatanku tadi.
"Ini uang gajiku!" ucapnya, seraya menyodorkan uang merah beberapa lembar. Kemudian aku menghitungnya.
"Harus cukup sampai gajian bulan depan!" pesannya.
"Gajimu kan tiga juta, Mas? Ini cuma satu juta?" tanyaku.
"Kamu pikir ibu dan adik-adikku kamu suruh puasa? Lima ratus untuk kebutuhanku, sisanya aku kasihkan Ibu semua," jelasnya.
Kupejamkan sejenak mata ini. Kuremas uang satu juta rupiah itu. Bagaimana aku harus membaginya? Sedangkan token listrik saja hampir dua ratus ribu. Belum jajan Azkia, yang sekarang lagi ngaji sore.
Semenjak Bapak mertua meninggal dua bulan yang lalu, hasil kerja Mas Bima, kepotong sana sini. Bahkan menurutku lebih banyakan ke Ibunya.
"Kalau gitu, ijinkan aku kerja. Uang segini nggak cukup untuk sebulan!" keluhku.
"Mau bikin malu aku kamu? Nggak usah kerja! Kalau kamu pinter ngaturnya pasti cukup uang segitu!" balasnya.
"Tapi sama sekali nggak bisa nabung! Bagaimana nasib kita di masa tua, kalau tak ada tabungan dari sekarang? Bagaimana nasib pendidikan Azkia?" bantahku.
"Halaah ... protes mulu bisanya! Bersyukur bisa nggak sih? Masih banyak orang di luar sana yang kelaparan! Nggak megang duit sepeserpun! Bersyukur! Jangan ngeluh terus!" sungutnya, kemudian berlalu seraya menyambar handuknya.
Hilang nafsu makanku. Menetes lagi air mata ini dan segera aku menyekanya. Sesaknya di dalam sini luar biasa.
Ya Allah aku lelah! Berdosakah jika aku memilih mundur? Tak ada bayangan masa depan yang cerah jika aku bertahan dengan lelaki seperti itu.
Belum lagi, biaya sekolah Azkia. Aku tak mau Azkia tak menempuh pendidikan yang tinggi. Azkia harus lebih dariku. Harus!
Aku segera masuk ke dalam kamar. Meraih sepucuk surat dari Abah. Lelaki cinta pertamaku. Surat yang baru saja sampai tadi pagi.
Dalam surat ini berisi, Abah memintaku segera pulang, karena warisan akan segera di bagi dengan kakak dan adikku. Aku tak mau, Mas Bima tahu hal ini. Karena jika ia tahu, bisa jadi akan dia kuasai dan aku hanya gigit jari.
Bismillah ... aku harus segera pulang, hanya bersama Azkia, bagaimanapun caranya.
Ya Allah ... aku lelah!
************
"Aku sudah tahu semuanya Gibran. Karena ....""Karena kamu mendengarkan, apa yang aku katakan dengan Tante Ratih. Kamu juga ada di restoran itu kan? Aku lihat kamu." Sengaja aku memotong ucapan Azkia. Azkia terlihat menggigit bibir bawahnya."Jadi kamu tahu aku ada di sana?" tanya Azkia balik. Mungkin dia hanya memastikan saja. "Iya, aku melihat kamu, mungkin hanya aku yang melihat kamu, mamamu tidak melihat kamu." Azkia terlihat menarik napasnya sejenak. "Karena aku sangat penasaran, apa yang sebenarnya kalian tutupi dari aku, hingga kalian sangat susah sekali menceritakan, apa yang sebenarnya terjadi. Dan tadi malam, Mama juga sudah menceritakan semuanya padaku. Aku percaya dengan mamaku, karena firasat seorang ibu untuk anaknya, itu tidak pernah meleset." Aku menganggukkan kepala ini, paham apa yang dikatakan oleh Azkia. "Maafkan aku Azkia. Aku tidak ada niat ingin menyakiti kamu, ataupun menyakiti Alina. Tapi di hati ini, memang hanya ada kamu. Hanya nama kamu yang ada di dalam
"Apa benar yang dikatakan oleh Alina seperti itu?" Tentu saja aku menganga setelah mendengarkan semuanya. Ternyata Alina sudah menyampaikan semuanya kepada Tante Ratih. Aku pikir dia tidak seberani itu, ternyata aku salah menilai Alina. Aku dan Tante Ratih memang sudah makan. Setelah itu tanpa basa-basi, Tante Ratih menceritakan pertemuannya dengan Alina. Tentu saja cukup membuatku syok, karena aku ternyata telah didahului start oleh Alina. Segera aku raih minuman yang telah dipesankan oleh Tante Ratih, yang tinggal separuh ini. Tentu saja aku bingung mau menjawab apa. Mungkin ekspresiku sudah terlihat sangat gelagapan.Apalagi tatapan mata Tante Ratih sangat tajam padaku, cukup membuat nyali ini menciut sebenarnya. "Jangan bohong sama Tante, Gibran. Tante sangat paham kamu, karena Tante kenal kamu dari kecil. Jadi kamu tidak bisa bohong dengan Tante. Karena Tante tahu kamu itu bohong atau jujur." Tante Ratih berkata lagi, seolah menginginkan aku untuk sebuah kejujuran. Segera aku
Tok! Tok! Tok!Tiba-tiba aku mendengar, suara kamarku sedang diketuk seseorang. Akhirnya aku segera beranjak dan membuka pintu kamar ini. "Tante? Ada apa?" Ternyata tante Ratih yang mengetuk pintu kamar ini. Beliau terlihat mengembangkan senyum yang sangat bersahaja."Ada yang ingin Tante katakan sama kamu. Bisa meminta waktunya sebentar?" jawab dan tanya balik Tante Ratih. Dengan ragu aku anggukkan kepala ini. "Tentu saja boleh, Tante." Tante Ratih terlihat mengulas senyum. Senyum khas seorang ibu. "Kalau gitu, mumpung Azkia masih tidur, karena Tante tadi sudah mengeceknya, kamu segera bersiap. Habis itu, kita ketemuan langsung digarasi mobil. Tante ingin bicara sama kamu, di luar rumah ini. Karena tante nggak mau, Azkia mendengarnya." Tante Ratih berkata dengan sangat tegas. Tentu saja aku tidak bisa menolaknya bukan?"Emang Tante mau ngomong masalah apa?" tanyaku tentu saja aku penasaran. Karena kali ini, beliau hanya ingin bicara empat mata denganku, tanpa adanya Azkia. Sebenar
Bisa jadi, kalau aku tahu sesungguhnya, aku akan marah dengan mereka dan mungkin bisa membuatku untuk tidak mau diajak Gibran pulang ke Malaysia. Ya, aku lebih baik berpikir positif saja. Agar kewarasan ini tetap terjaga."Aku ke kamar dulu, ya. Rasanya aku udah ngantuk pengen istirahat." Sengaja aku pamit dengan Gibran, untuk pergi ke kamarku sendiri. Gibran terlihat menganggukkan kepalanya. "Iya aku juga mau ke kamarku. Aku mau nelpon mama, mau ngabarin kalau kamu beneran mau diajak ke Malaysia." Aku mengulas senyum lagi. Kemudian aku anggukkan lagi kepala ini. Setelah itu kami saling diam dan kemudian saling beranjak untuk menuju ke kamar masing-masing. Aku tak langsung menuju ke kamar, tapi aku ingin mencari Mama terlebih dahulu. Tapi setelah aku telusuri seluruh isi rumah ini, tak ku jumpai mamaku. Kira-kira Mama pergi ke mana, ya? Kok tumben Mama nggak ada ngomong atau bagaimana gitu sama aku. Ya udahlah, dari pada aku capek mencari mama, jadi aku memutuskan untuk menuju ke
"Azkia kamu baik-baik saja?" tanya Gibran padaku. Cukup membuatku mengerutkan kening dengan pertanyaan seperti itu. "Apakah di matamu aku terlihat tidak baik-baik saja?" Aku sengaja bertanya balik. Karena aku memang ingin menjalankan saran dari mama, agar aku terlihat baik-baik saja. Apa mungkin ekspresiku tidak meyakinkan, hingga dia bertanya seperti itu?"Kamu terlihat memaksa untuk baik-baik saja, itu yang aku lihat dari kamu Azkia." Aku tetap memancarkan senyum, saat mendengar jawaban itu dari Gibran. Tetap berusaha untuk tenang agar dia tetap merasa kalau aku memang baik-baik saja. "Itu hanya perasaanmu saja. Aku baik-baik saja. Aku tidak kenapa-napa." Sengaja aku menanggapi seperti itu. Gibran terlihat sedang mengatur napasnya."Terasa ada yang berbeda. Apakah kamu sudah tidak nyaman aku berada di sini?" Aku menggelengkan kepala pelan. Hingga bola mata kami saling beradu pandang. Jujur saja, jika bola mata kami saling beradu pandang seperti ini, aku merasakan kenyamanan. Ya,
"Sebenarnya aku sama Azkia tidak ada masalah apa-apa Tante. Yang menjadi masalah adalah Gibran. Tapi aku memang tidak tahu kalau Azkia jangan Gibran itu ada hubungan dari kecil. Karena memang mereka tidak pernah bercerita apapun kepada Alina." Seperti itu dulu, untuk aku mengawali cerita ini. Tante Ratih terlihat mengerutkan keningnya. Mungkin Tante Ratih masih bingung, dengan apa yang aku katakan. "Jadi kamu sama Gibran sudah saling mengenal? Bukannya Gibran ada di Malaysia, sedangkan kamu ada di sini? Yang menjadi pertanyaan Tante, kok, bisa saling mengenal kalian? Kenal lewat mana? Apa sebelumnya Gibran pernah datang ke Indonesia untuk menemui kamu atau bagaimana?" Ternyata dari ucapan awalku itu, sudah menjadi banyak pertanyaan di benak Tante Ratih. Tapi aku cukup memaklumi, jika Tante Ratih banyak pertanyaan seperti itu. Karena memang sungguh sulit dipahami. Kutelan terlebih dahulu ludah ini. Rasanya tenggorokan ini tercekat. Terus aku atur hati ini, agar tetap aku bisa mengua
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen