Share

Bab 3

AKU LELAH

TITIK LELAH

PART 3

“Astagfirullah ....” lirih Abah setelah aku ceritakan semua masalahku dengan Mas Bima. Dengan uraian air mata, bibir ini meluapkan kata-kata emosi dalam hati.

Lega. Ya, batu besar yang mengganjal di dalam sini, seolah keluar dan memberikan ruang untuk bernapas lagi.

“Kenapa kamu nggak cerita dari dulu, Tih? Kenapa baru cerita sekarang?” tanya Emak. 

“Ratih malu, Mak,” jawabku. Emak terlihat menghela napas. 

Malu? Ya, itu memang yang aku rasakan. Malu jika harus menceritakan pahitnya biduk rumah tanggaku. Dan Mas Bima tahu kelemahanku ini. Jadi, ia seolah memanfaatkan. 

“Kami ini orang tua kandung kamu. Kenapa malu?” tanya Emak, yang seolah tak lega dengan jawabanku tadi. 

“Karena Mas Bima adalah lelaki yang mati-matian Ratih pertahankan, Mak. Jadi ratih selalu menutupi kejelekannya, Mak. Tapi, kini Ratih sudah tak kuat. Terlalu sakit dan pedas ucapan yang ia lontarkan setiap hari,” jelasku.

“Astagfirullah ....” ucap Emak seraya mengelus lenganku.

“Kamu itu baik dan cantik Ratih. Dulu bayak lelaki yang menginginkanmu. Dan kamu melabuhkan pada Bima, yang Emak pikir, Bima bisa membuatmu menjadi Ratu dalam rumah tangganya. Nyatanya bukan perlakuan sebagai ratu yang kamu terima, ternyata kamu di perlakukan seperti Babu,” ucap Emak.

“Lebih dari Babu, Mak. Babu masih di bayar. La aku? Uang yang ia kasihkan tak seberapa itulah, harus memenuhi semuanya, termasuk ia minta lagi, kalau ia lagi butuh,” balasku.

Emak dan Abah saling diam. Entah berapa kali, Emak mengusap-usap lenganku. Seolah ingin menenangkan dan menguatkan.

“Lalu apa keputusanmu?” tanya Abah. Kuteguk ludah ini yang terasa sangat susah.

“Kalau Ratih menjadi Janda, Abah dan Emak malu tidak?” tanyaku. Emak menghentikan sejenak mengusap lenganku. Abah terlihat sedikit menganga. Kemudian mengusap pelan wajahnya.

“Kami lebih malu lagi, jika melihatmu menderita dan nampak tertekan mempertahankan hidup dengan Bima, karena dari ceritamu, dia sudah sangat keterlaluan,” balas Abah. Cinta pertamaku, yang aku tak tahu bagaimana perasaannya melihat anak perempuannya, diperlakukan seperti ini. 

“Iya, Tih. Benar kata Abah. Orang tuamu masih lengkap saja, ia sudah semena-mena denganmu. Emak nggak bisa bayangin kalau kami sudah tiada. Seperti apa ia akan memperlakukanmu!” sahut Emak.

Kutarik napas ini kuat-kuat dan melepaskannya pelan. Mengatur gemuruh hebat di dalam sini. 

Benar juga kata Emak. Orang tuaku masih komplit, dia segitu teganya memperlakukanku. Apalagi kalau aku hidup sebatang kara? Iya, aku semakin yakin, kalau keputusanku ini tepat.

“Tapi, Bima tahu kalau kamu mengambil keputusan ini?” tanya Abah. Aku mengangguk pelan. “Tahu, Bah.”

“Dia tak menahan keputusanmu itu?” tanya Abah lagi. Aku menggeleng. “Tidak. Karena dia yakin kalau Ratih pasti kembali, karena bagi dia, Ratih cinta mati dengannya, Emak dan Abah jelas tak mampu menerima Ratih dan Azkia. Jadi dia yakin Ratih pasti akan pulang.”

“Astagfirullah ... segitu hinanya orang tuamu di mata suamimu itu? Walau hidup Abah dan Emak hanya pas-pasan seperti ini, tapi untuk menghidupimu dan Azkia, kami masih sanggup,” ucap Abah. Nada suaranya terdengar sangat berat. Terasa sekali kekecewaan yang terpancar.

“Keterlaluan memang si Bima!” sungut Emak. Ingin Emak sambalin itu mulut!” sungut Emak lagi, nada suaranya terdengar sangat murka dan tak terima.

“Apakah dia tahu kalau Abah mau bagi warisan?” tanya Abah. Aku segera menggeleng. “Tidak, Bah.”

“Baguslah! Lepaskan dirimu dari lelaki yang tak bisa menghormati dirimu. Kamu masih cantik dan sehat dia aja tak sayang denganmu, bagaimana kalau kamu sakit? Raih masa depanmu! Buktikan ke lelaki yang meremehkanmu itu. Kalau kamu bisa bahagia dan sukses tanpa dia. Abah jadi ingin tahu, sekuat apa dia tanpa kamu dan Azkia,” ucap Abah.

“Bener kata abahmu itu. Untung Bima nggak tahu. Kalau sampai tahu, mungkin bagianmu juga di rong-rong terus sama dia,” sahut Emak. 

“Iya, Mak. Untung surat dari Abah datangnya pagi menjelang siang. Jadi Mas Bima masih kerja. Kalau surat itu datangnya sore, entahlah!” jelasku.

“Itu tandanya Allah masih menyanyangimu, Ratih!” ucap Abah. Aku mengangguk pelan. Allah memang masih sangat menyayangiku. 

“Kita tunggu adik dan kakakmu. Mereka besok akan sampai,” ucap Abah. 

“Iya, besok rumah ini akan ramai,” balas Emak.

Kakak dan adikku mereka sudah pada menikah. Dan juga sudah punya anak. Nampaknya sih, rumah tangga mereka baik-baik saja. Tapi, entahlah. Karena selama ini mereka mikirnya, juga rumah tanggaku, baik-baik saja. Karena selama ini, aku menutupinya rapat-rapat. 

Besok aku harus siap mental. Karena aku hadir tanpa suami. Dan jelas berbagai mecam pertanyaan akan terlontar. Terutama Mbak Luna, Kakak Iparku.

....... 

Pagi menjelang.

Mas Budi, anak sulung Abah sudah datang bersama istrinya, Mbak Luna. Beserta anak semata wayang mereka, Rezki yang sudah duduk dikelas tujuh. 

“Tih, cepet amat sampai sini. Garcep banget, ya, karena mau dapat warisan,” ucap Mbak Luna. Yang mana ucapannya itu terdengar menyindir. 

Aku menolehkan pandang ke wanita berambut smoooting itu, gigi putihnya terlihat berjejer rapih. 

“Suka-suka aku dong, Mbak! Aku anak kandung Abah dan Emak. Bukan anak mantu! Kapan saja aku ke sini, ya, apa urusanmu?” balasku.

Semenjak perempuan ini menikah dengan Mas Budi, ia seolah melihatku sebagai saingan. Saingan model apa aku juga nggak faham maksudnya. 

“Gitu aja baper. Eh, suamimu mana?” tanyanya lagi. Seperti itulah Mbak Luna. Seolah dia tak sadar kalau ucapannya tadi telah melukai hati seseorang. Aku memilih diam, takku tanggapi ucapannya itu. Memilih mengambil sapu, untuk membersihkan ruang tamu. 

“Eh, Tih, kakak ipar tanya kok di cuekin, oh ... aku tahu ....” ucapnya lagi, seolah memang ingin memancing amarahku. Mengekoriku kemana aku melangkah.

Emak dan Abah beserta Mas Budi lagi ke makam. Sebelum warisan ini di bagi, mereka mau ziarah kubur dulu ke makan Mbah. 

Sedangkan adik bungsuku, belum datang. Miko dan Lastri. Sepasang kekasih yang kompak selalu telat datangnya dalam hal apapun. Lastri adik kandungku. Suami Lastri ini baik, ipar yang baiklah, nggak kayak Mbak Luna ini. 

“Tahu apa?” tanyaku sambil terus menyapu.

“Jelas Bima nggak kamu kasih tahukan? Biar kamu nggak bagi-bagi warisan sama Bima! Cerdas kamu!” ucapnya. Yang mana ucapannya itu benar-benar membuat otak ini terasa mendidih. 

“Apa urusannya sama Mbak Luna? Lagian warisan istri itu, suami nggak ada hak,” balasku.

“Iya tahu, aku pikir kamu itu polos. Ternyat licik juga, bahkan suami sendiri di liciki, ck ck ck ck salut aku sama kamu!” sahut Mbak Luna. Napas ini semakin terasa sesak.

“Eh, jadi nggak sabar nunggu harta warisan. Jelas Mas Budi pasti dapat paling banyak. Karena dia anak laki satu-satunya,” ucapnya lagi tanpa merasa berdosa. Sorot mata berbinar dan tak sabar yang aku tangkap.

Malas aku menanggapi perempuan bergelar kakak iparku ini. Aku melanjutkan untuk menyelesaikan menyapu ruang tamu.

“Aku telpon Bima ah, nggak adil dong! Masa’ dia nggak tahu kalau hari ini mertuanya bagi-bagi warisan! Sesama menantu ini, merasa kasihan kalau menantu yang lain nggak tahu,” ucap Mbak Luna lagi. Cukup membuat mataku mendelik.

.....................

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status