Home / Rumah Tangga / Kamu Menidurinya? / 10. Pasien Bunuh Diri

Share

10. Pasien Bunuh Diri

Author: Lusia
last update Last Updated: 2022-04-07 05:59:27

Fahmi dan Misella sedang menikmati makan siang di kantin, beruntung keadaan kantin tidak ramai, jadi kedua orang itu menikmati waktu berduaan tanpa ada gangguan suara berisik. Lebih beruntung kali ini Erza tak ikut makan siang bersama mereka.

“Tumben nggak bawa bekal makan siang. Biasanya kamu bawa bekal makan siang dari istrimu,” celutuk Misella setelah menyadari Fahmi memesan makanan kantin. “Hari ini Istri kamu nggak masak, Mas?” tebak Misella.

Fahmi terdiam sesaat, kalau dipikir-pikir semakin hari hubungan dengan Alia semakin tak begitu dekat layaknya pasangan suami istri, justru Fahmi semakin lengket dengan Misella. Sebelum menjawab, Fahmi meraih energy drink-nya. Meneguk cukup banyak.

“Hari ini dia nggak masak, Sel.” 

Mendengar itu, Misella agak kesal pada Alia.

“Istri macam apa itu tidak memasak untuk suaminya. Membiarkan suaminya kelaparan,” dumel Misella. 

“Sudah jangan dibahas. Cepat habiskan makan siang dahulu,” perintah Fahmi.

Misella memotong daging chicken steak itu dan memasukan ke dalam mulut, namun sayang hanya ujung bibir Misella yang mendapatkan kesempatan bersentuhan dengan makanan nikmat itu. Lidahnya belum sempat, karena didahului seorang perawat datang tergesa-gesa dan mereka mendapatkan informasi ada pasien yang melakukan bunuh diri. 

”Maaf, Dok. Mengganggu makan siang. Ada pasien lagi, pasien percobaan bunuh diri!” katanya.

“Bunuh diri?!”

Misella cukup terkejut, dia bahkan langsung berdiri menghadap suster itu.

“Iya, Dok. Sekarang dia sedang ada di UGD.”

Sejujurnya Misella sangat lapar dan jam makan siang terganggu.

“Astaga! Apa di sana tidak ada dokter lain?!”

Emosi Misella memuncak, dengan kesal mengenakan jas putihnya seraya berjalan ke UGD. Wanita itu sama sekali tak melirik Fahmi sebelum pergi, dia harus bersikap profesional di saat bekerja.

Misella langsung masuk ke UGD dan menanyakan seorang pasien tersebut. Di sana sudah ada dokter umum yang menangani, perawat, dan ibu korban. Dan dia melepaskan alat penyangga tangannya.

“Pasien Chintya?”

Misella terkejut melihat wajah pasien itu. Rupanya pasien itu adalah adalah Chintya yang melompat dari atas gedung dan dia pasien yang beberapa hari Misella tangani.

Ya, Chintya melakukan konseling dengannya. Misella menyarankan agar Chintya di rawat di rumah sakit untuk beberapa hari, tapi ibunya menolak, dan mengajak anaknya kabur dari rumah sakit. Misella tidak habis pikir dengan ibu pasien, tidak mau menuruti perkataan dokter.

“Iya, Dok,” jawab sang Ibu pasien.

Wanita tua itu menangis khawatir sambil membersihkan ingus yang keluar dari hidung menggunakan tisu. Tatapan sendu melihat putrinya berbaring tidak sadar diri di ranjang pasien rumah sakit.

Dokter umum yang menanganinya memberitahu kepada mereka yang di sana, “Pasien ini sangat beruntung karena dia hanya fraktur ankle (patah pergelangan kaki), luka kecil dan lecet saat terjatuh. Beruntung dia jatuh di atas tumpukan kardus. Jadi tidak ada luka yang cukup serius, nyawa masih bisa terselamatkan,” jelas dokter yang menangani kondisi fisik Chintya.

Semua mendengar penjelasan dari dokter itu merasa lega sekaligus sedikit tenang. Misella mungkin juga merasa khawatir, dia merasa tidak memberikan yang terbaik untuk Chintya, merasa gagal menghalangi keinginan Chintya untuk melakukan bunuh diri dari suicidal thoughts.

Tanpa sadar Misella memarahi ibu dari pasien.

“Kan sudah aku bilang! Sudah kubilang kamu akan membunuh anakmu! Dia tertekan, dia depresi! Sekarang lihat! Chintya melakukan percobaan bunuh diri! Kamu puas sekarang?!”

“Di-dia bilang dia tidak mau di rawat di sini,” jawabnya dengan tergagap sambil menahan tangis.

Misella semakin kesal mendengar alasan dari sang Ibu Chintya. “Aku sudah menyarankan agar dia tetap berada di sini beberapa waktu, kenapa kamu membawanya kabur, huh!”

“I-ini-i bu-kan salahku.” Suara Ibu pasien gemetaran. Takut dengan Misella.

Dokter psikiater bernama Zeta datang dan memberikan si ibu sebuah kantong plastik.

“Tenanglah, bernapas pelan-pelan di kantong itu,” pinta Zeta sambil menepuk pundak sang ibu karena merasa kasihan.

“T-tapi, bagaimana kalau dia tidak bisa jalan, Dok?” Ibu pasien menunjuk anaknya yang sedang berbaring.

“Jangan khawatir, putrimu akan baik-baik saja,” kata Zeta menenangkan.

Zeta menyuruh Misella yang masih tampak marah untuk keluar dari ruangan karena akan membuat sang Ibu bertambah sedih. Sebelum keluar Misella memberi pengarahan pada perawat agar pasien itu ditransfer ke departemen psikiatri dan meminta konsultasi dari OS (Bedah Ortopedi, cabang operasi yang menyangkut sistem musculoskeletal).

Dokter umum berkata kepada ibu pasien untuk tidak menangis lagi. Putrinya masih hidup dan bisa berjalan.

“T-api, Dok ....”

Zeta memberikan isyarat agar dokter itu ikut keluar bersama Misella. Dia akan menenangkannya tapi kenapa ibu itu masih saja menangis.

Zeta pun paham, mungkin ibu itu syok. Dia meminta ibu itu bernapas pelan-pelan menggunakan kantong plastik yang diberikan tadi.

Untuk beberapa saat Zeta menarik napas dengan panjang melihat punggung Misella. Zeta cemas, Misella akan seperti itu kepada ibu pasien lainnya, seperti tadi, Misella tidak segan-segan berteriak kepala Ibu pasien.

“Wanita gila! Dia bahkan memarahi Ibu pasien tanpa merasa bersalah!” komentar Zeta dengan suara kecil.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Kamu Menidurinya?   140. —THE END — S 2

    Para tamu bertanya-tanya termasuk Misella ikut terheran. Sontak Abian dan Alia menutup mulut tak percaya. Dikejutkan dengan kehadiran kedua orang tua Abian yang tiba-tiba datang bergabung di acara tersebut. Tak disangka-sangka mendapat surprise dari keluarga Abian. Ayah Mario, Ibu Caroline, Kak Amber dan juga Xylia si gadis kecil bule dengan rambut pirangnya."Sepertinya mereka dari keluarga terpandang," batin Misella menebak.Amber melambaikan tangan pada Abian dengan semangat sekali dan senyum lebarnya. Keluarga Abian pun semakin mendekat. Hati Alia terenyuh dengan kedatangan mereka. Alia pikir, keluarga Abian sangat mustahil untuk menginjak kaki di Jakarta. Sebab mereka lebih menyukai berada di Bali ketimbang di Jakarta, seperti pertama kali Abian memperkenalkan Alia pada keluarganya di Bali. "Siapa mereka?" ucap Papa Alia kebingungan."Mereka Keluarga saya, Pa. Ibu, ayah, dan kakakku dari Amerika," jawab Abian cepat. "Saya kira tidak akan datang."Tiffany melongo, begitu juga den

  • Kamu Menidurinya?   139. Sembilan Bulan Kemudian — S 2

    Sembilan bulan kemudian .... Setelah kejadian mengerikan di Belleza, rencana Robert berhasil total dan kematian Fahmi tidak membuat orang menaruh kecurigaan. Itulah gelapnya tinggal di hunian modern itu. Siapapun yang mempunyai uang, dia akan berkuasa. Pada dasarnya uang segalanya, termasuk uang membuat orang lain tutup mulut.Di hunian elit, Belleza unit 002 milik keluarga Robert.Keluarga Robert hidup jauh lebih bahagia daripada tahun kemarin. Kini Kayla sudah bisa berbicara walaupun belum amat jelas. Tingkah lucu dan nada bicara cadel Kayla sangat menghibur mereka. Apalagi Kayla cukup tanggap, pasti tumbuh besar menjadi anak pintar. "Kayla sayang ...!" Tiffany berteriak, melambaikan tangannya dengan senyum lebarnya. Saking kangennya dengan cucunya. "Nenek datang!"Kayla baru turun dari tangga dituntun oleh Misella. Misella langsung berkata, "Hayo, siapa yang datang itu, Kay?" nunjuknya ke arah pintu.Awalnya Kayla sempat bingung, tapi langsung sadar. Tubuh mungil itu berlari untuk

  • Kamu Menidurinya?   138. Menjadi Pembunuh — S 2

    Deg."APA KATAMU?!" Robert sangat terkejut. Berdiri dengan sorot mata tidak percaya. "Putriku tidak mungkin melakukan itu!"Bella terkaget-kaget. Tiffany yang baru sadar dari pingsan, syok kembali. Membekap mulutnya tidak menyangka. "T-tidak! Putriku bukan anak pembunuh!" Geleng-geleng kepala. "Pasti ada kesalahpahaman. Iya, kan?!""Maaf ... Saya melihat dengan kepala saya sendiri! Bahwa Putri Anda yang mendorong Fahmi!" tegas pengawal itu meyakinkan. "Harus ke atas sekarang kalau tidak percaya."Mereka langsung berlari-lari naik tangga menuju kamar Kayla. Mulut mereka terbuka lebar saat melihat jendela kaca telah hancur. Mata masing-masing menangkap punggung Misella, berdiri di antara serpihan kaca berserakan di lantai. Tidak ada yang memperdulikan betapa cantiknya warna kembang api di menyala-nyala.Robert membalikkan badan Misella. "Apa yang sebenarnya terjadi?!" tanya Robert butuh penjelasan. "Kenapa begitu berantakan di sini?!" tambah Robert.Kesadaran Misella kembali saat kedat

  • Kamu Menidurinya?   137. Terjatuh dari Penthouse — S 2

    "T-tapi Tuan ...." "Tidak ada tapi tapi!" Robert masih punya secuil rasa kasihan setelah melihat Fahmi begitu mengenaskan. "Beri waktu dua menit dan awasi dia jangan sampai menyentuh sedikitpun cucu saya! Kalau cucu saya sedang tidur, jangan sampai lelaki itu membangunkan!""Baik Tuan." Body guard menurut, mereka pun menghampiri Fahmi. "Hei! Ayo jalan!" perintahnya karena Fahmi hanya diam tak bergerak. "Cepat jalan! Sebelum Tuan Robert berubah pikiran!"Fahmi pun berjalan pincang naik ke arah tangga dikawal ketat. Meninggalkan Robert di bawah bersama putri pertama. Bella dengan penuh amarah menghampiri Robert yang melamun dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam kantong celana."Papa!" teriak Bella. "Papa yang benar saja membiarkan lelaki bajingan itu menemui Kayla?! Di atas juga ada Sella!" Marah Bella, geleng-geleng kepala kenapa Papanya berbuat demikian.Robert menatap putri pertamanya. "Sudah. Kamu jangan marah begitu," tanggap Robert

  • Kamu Menidurinya?   136. Menghajar habis-habisan — S 2

    Robert kembali ke apartemen karena baru selesai menyelesaikan beberapa pekerjaan mendadak di hari tersebut. Awalnya Robert ingin menikmati waktu malam tahun baru bersama sang istrinya, alhasil gagal. Saat pulang lelaki tua geram setelah mendapatkan pesan dari putrinya. "Dia datang sendirian?" tanya Robert pada dua body guard itu.Salah satu body guard menjawab, "Sepertinya sendiri, Tuan. Saya mendapat notif panggilan banyak sekali dari putri dan istri Anda.""Kenapa dia ada di sini?" Napas Robert terdengar berat. Sangat heran sekali. "Apa tidak punya harga diri?" sinisnya mengingat wajah Fahmi yang begitu memuakkan."Mungkin dia lapar," tebak body guard setengah bercanda."Dia lapar pada hari ini?" Satu alis Robert naik."Kan Tuan yang membuatnya miskin tak punya apa-apa. Jadi, dia berusaha mendatangi keluarga Tuan agar mendapat belas kasih," jelas body guard itu."Ah, iya. Kalau begitu kita harus cepat!"Dua b

  • Kamu Menidurinya?   135. Dendam. Benci. Marah. — S 2

    Jantung Misella terasa dihantam batu. Selama ini tidak pernah mengizinkan Fahmi melihat wajah putrinya. Batinnya pedih mendengar permintaan Fahmi, Misella merasa menjadi Ibu yang jahat. Sorot mata Fahmi hampir membuat pertahanan Misella goyah, rasa kasihan segera ditepis jauh-jauh.“Dia hanya mantan suami yang tidak tahu diri!” batinnya memperingatkan."Jangan mimpi. Jangankan Sella sebagai ibu! Aku saja tak akan membiarkanmu bertemu Kayla," sinis Bella. "Pergilah dari sini!" Bella menarik paksa tangan Misella, cepat-cepat memencet sandi pintu.Misella menoleh ke belakang, terperangah Fahmi semakin mendekat. Hah?! secepat itu? "Kak! Ayo cepat!" Menarik-narik dress Bella dengan panik."Sabar dong, Sel. Tangan Kakak jadi tremor ini," balasnya bersamaan bunyi pintu apartemen terbuka.Keduanya bergerak cepat masuk ke dalam saat pintu akan tertutup sempurna, tangan Fahmi menerobos pintu tak peduli akan terjepit. Misella dan Bella langsung mendorong sekuat tenaga agar pintu tertutup."Hanya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status