Share

10. Pasien Bunuh Diri

Fahmi dan Misella sedang menikmati makan siang di kantin, beruntung keadaan kantin tidak ramai, jadi kedua orang itu menikmati waktu berduaan tanpa ada gangguan suara berisik. Lebih beruntung kali ini Erza tak ikut makan siang bersama mereka.

“Tumben nggak bawa bekal makan siang. Biasanya kamu bawa bekal makan siang dari istrimu,” celutuk Misella setelah menyadari Fahmi memesan makanan kantin. “Hari ini Istri kamu nggak masak, Mas?” tebak Misella.

Fahmi terdiam sesaat, kalau dipikir-pikir semakin hari hubungan dengan Alia semakin tak begitu dekat layaknya pasangan suami istri, justru Fahmi semakin lengket dengan Misella. Sebelum menjawab, Fahmi meraih energy drink-nya. Meneguk cukup banyak.

“Hari ini dia nggak masak, Sel.” 

Mendengar itu, Misella agak kesal pada Alia.

“Istri macam apa itu tidak memasak untuk suaminya. Membiarkan suaminya kelaparan,” dumel Misella. 

“Sudah jangan dibahas. Cepat habiskan makan siang dahulu,” perintah Fahmi.

Misella memotong daging chicken steak itu dan memasukan ke dalam mulut, namun sayang hanya ujung bibir Misella yang mendapatkan kesempatan bersentuhan dengan makanan nikmat itu. Lidahnya belum sempat, karena didahului seorang perawat datang tergesa-gesa dan mereka mendapatkan informasi ada pasien yang melakukan bunuh diri. 

”Maaf, Dok. Mengganggu makan siang. Ada pasien lagi, pasien percobaan bunuh diri!” katanya.

“Bunuh diri?!”

Misella cukup terkejut, dia bahkan langsung berdiri menghadap suster itu.

“Iya, Dok. Sekarang dia sedang ada di UGD.”

Sejujurnya Misella sangat lapar dan jam makan siang terganggu.

“Astaga! Apa di sana tidak ada dokter lain?!”

Emosi Misella memuncak, dengan kesal mengenakan jas putihnya seraya berjalan ke UGD. Wanita itu sama sekali tak melirik Fahmi sebelum pergi, dia harus bersikap profesional di saat bekerja.

Misella langsung masuk ke UGD dan menanyakan seorang pasien tersebut. Di sana sudah ada dokter umum yang menangani, perawat, dan ibu korban. Dan dia melepaskan alat penyangga tangannya.

“Pasien Chintya?”

Misella terkejut melihat wajah pasien itu. Rupanya pasien itu adalah adalah Chintya yang melompat dari atas gedung dan dia pasien yang beberapa hari Misella tangani.

Ya, Chintya melakukan konseling dengannya. Misella menyarankan agar Chintya di rawat di rumah sakit untuk beberapa hari, tapi ibunya menolak, dan mengajak anaknya kabur dari rumah sakit. Misella tidak habis pikir dengan ibu pasien, tidak mau menuruti perkataan dokter.

“Iya, Dok,” jawab sang Ibu pasien.

Wanita tua itu menangis khawatir sambil membersihkan ingus yang keluar dari hidung menggunakan tisu. Tatapan sendu melihat putrinya berbaring tidak sadar diri di ranjang pasien rumah sakit.

Dokter umum yang menanganinya memberitahu kepada mereka yang di sana, “Pasien ini sangat beruntung karena dia hanya fraktur ankle (patah pergelangan kaki), luka kecil dan lecet saat terjatuh. Beruntung dia jatuh di atas tumpukan kardus. Jadi tidak ada luka yang cukup serius, nyawa masih bisa terselamatkan,” jelas dokter yang menangani kondisi fisik Chintya.

Semua mendengar penjelasan dari dokter itu merasa lega sekaligus sedikit tenang. Misella mungkin juga merasa khawatir, dia merasa tidak memberikan yang terbaik untuk Chintya, merasa gagal menghalangi keinginan Chintya untuk melakukan bunuh diri dari suicidal thoughts.

Tanpa sadar Misella memarahi ibu dari pasien.

“Kan sudah aku bilang! Sudah kubilang kamu akan membunuh anakmu! Dia tertekan, dia depresi! Sekarang lihat! Chintya melakukan percobaan bunuh diri! Kamu puas sekarang?!”

“Di-dia bilang dia tidak mau di rawat di sini,” jawabnya dengan tergagap sambil menahan tangis.

Misella semakin kesal mendengar alasan dari sang Ibu Chintya. “Aku sudah menyarankan agar dia tetap berada di sini beberapa waktu, kenapa kamu membawanya kabur, huh!”

“I-ini-i bu-kan salahku.” Suara Ibu pasien gemetaran. Takut dengan Misella.

Dokter psikiater bernama Zeta datang dan memberikan si ibu sebuah kantong plastik.

“Tenanglah, bernapas pelan-pelan di kantong itu,” pinta Zeta sambil menepuk pundak sang ibu karena merasa kasihan.

“T-tapi, bagaimana kalau dia tidak bisa jalan, Dok?” Ibu pasien menunjuk anaknya yang sedang berbaring.

“Jangan khawatir, putrimu akan baik-baik saja,” kata Zeta menenangkan.

Zeta menyuruh Misella yang masih tampak marah untuk keluar dari ruangan karena akan membuat sang Ibu bertambah sedih. Sebelum keluar Misella memberi pengarahan pada perawat agar pasien itu ditransfer ke departemen psikiatri dan meminta konsultasi dari OS (Bedah Ortopedi, cabang operasi yang menyangkut sistem musculoskeletal).

Dokter umum berkata kepada ibu pasien untuk tidak menangis lagi. Putrinya masih hidup dan bisa berjalan.

“T-api, Dok ....”

Zeta memberikan isyarat agar dokter itu ikut keluar bersama Misella. Dia akan menenangkannya tapi kenapa ibu itu masih saja menangis.

Zeta pun paham, mungkin ibu itu syok. Dia meminta ibu itu bernapas pelan-pelan menggunakan kantong plastik yang diberikan tadi.

Untuk beberapa saat Zeta menarik napas dengan panjang melihat punggung Misella. Zeta cemas, Misella akan seperti itu kepada ibu pasien lainnya, seperti tadi, Misella tidak segan-segan berteriak kepala Ibu pasien.

“Wanita gila! Dia bahkan memarahi Ibu pasien tanpa merasa bersalah!” komentar Zeta dengan suara kecil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status