Beberapa menit berlalu seperti menunggu seharian bagi Alan. Duduk di kursi tunggu yang terletak persis di luar kamar yang di tempati Elma menunggu sambil menahan emosi. Lengannya terkepal dan matanya tajam menatap pintu yang tertutup seperti ingin merobohkan pintu yang tak berdosa itu.
Beberapa waktu lalu sebelum Alan diusir oleh Ratna dari kamar yang ditempati Elma, Alan nyaris saja mengamuk dan akan menghajar Erwan yang begitu menempel pada Elma. Sebenarnya bukan mau Erwan berdekatan dengan Elma, rasa sakit yang mendera pada kepala Elma membuat Elma tanpa sadar erat memegang Erwan, hingga Erwan tak tega jika dirinya mengikis jarak dengan Elma."Alan, Ayo kita tunggu diluar, biarkan Erwan memeriksa Elma," ajak Ratna pada menantunya itu sambil sedikit menarik lengan Alan."Engga bisa bun, Alan harus nungguin Istri Alan," tolak Alan. Ia sengaja mempertegas panggilannya pada Elma agar Erwan tahu diri dan menjauh dari Elma.Tapi sayang, keinginan Alan untuk Erwan menjauhi Elma tak ditanggapi baik oleh Ratna maupun Erwan, malah dirinya yang diseret keluar oleh Ratna. Mau tak mau Alan terpaksa menuruti perintah Ratna dan tak tega juga melihat Elma kesakitan.Ratna tahu betul pria yang belum genap sehari menjadi menantunya itu begitu posesif pada putri satu satunya itu. Tak pandang bulu pada siapapun pria yang mendekati Elma dengan tujuan apapun, Alan tak terima. Alan selalu cemburu.Kesal memang, tapi beruntung Alan mendengarkan Ratna, dengan susah payah ia berhasil mengeluarkan Alan dari kamar Elma guna memberikan ruang untuk Erwan memeriksa Elma. Jika ia tetap di kamar melihat Erwan menyentuh Elma, sudah pasti dirinya tak akan bisa mengendalikan diri bukan.Meninggalkan Alan yang sedang kesal di luar, di dalam kamar Elma sedang merasakan kesakitan yang teramat sangat, rasa sakit yang menjalar seperti dipukul bertubi tubi boleh benda keras hingga kupingnya mendengung begitu sakit, Ia mencengram kuat tangan Erwan yang sedang memasukan obat penenang dan penghilang rasa sakit ke dalam tabung infus.Setelah tetes demi tetes cairan yang berada di dalam jarum suntik berpindah tempat, tak lama dari itu rasa sakit mulai berangsur angsur menghilang, digantikan dengan rasa kantuk yang datang perlahan.Hantaman kantuk itu Elma tahan sekuat tenaga, ia ingin bicara pada pria yang telah ia anggap seperti penyelamat kesepiannya ini. Elma menatap lekat Wajah Erwan yang sedang menangani dirinya."Ka Erwan, apa yang terjadi?" tanya Elma."Tidak terjadi apa apa, kamu sudah baik baiik saja El," jawab Erwan.Sebenarnya Erwan tahu betul maksud dari pertanyaan Elma, Erwan tahu betul jika banyak kebingungan yang dialami Elma. Tapi demi kesehatan mental Elma, Erwan tak bisa sembarangan menjelaskan keadaan Elma sekarang."Tapi ka, kenapa orang tadi bersikeras aku harus ingat dia, dan mengaku jika pria itu suami El?""Sudah, jangan difikirkan, saat ini yang terpenting kamu sehat dulu, tidak usah memikirkan apapun, tidurlah," ucap Erwan dengan lembut sambil menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Elma hingga leher, kemudian mengusap dahi Elma dengan sayang.Tak lama dari itu, Elma langsung terlelap, dibuai oleh rasa kantuk dan tertidur dalam karena efek dari obat penenang yang baru saja Erwan berikan. Elma seketika melupakan segalanya, melupakan jika dirinya kini seperti kembali ke masa dirinya sendirian tanpa ada yang menemani. Meskipun masa itu telah berlalu, namun kini Elma merasakannya lagi.Erwan tatap lekat wajah polos di hadapannya, merasa miris kenapa hal buruk ini terjadi. Gadis ceria dan tegar seperti Elma harus mendapat cobaan seperti ini.Meninggalkan Elma yang tertidur lelap, kini Erwan harus siap menghadapi kecemburuan Alan diluar sana. Erwan berjalan gontai keluar dari kamar dan mendapati tatapan tajam menghunus dari Alan."Ikut aku," ajak Erwan sebelum menerima semburan amarah dari sepupunya itu.Erwan sedikit bingung, kemana Bundanya Elma pergi, mengapa srigala ganas ini dibiarkan sendirian hingga akan menghajar dirinya karena kecemburuan nya yang tak berdasar itu.Alan mengikuti langkah Erwan masuk ke ruangannya yang tak jauh dari kamar Elma, menunggu waktu untuk memberi peringatan pada Erwan.Setelah sampai di ruangannya, Erwan tak langsung bicara, terlebih dahulu ia membuatkan kopi untuk Alan, berharap emosi Alan yang masih nampak dimatanya itu sedikit mereda."Duduklah dulu, aku buatkan kau kopi," intruksi Erwan yang dilakukan oleh Alan.Sebenarnya tanpa di suruh pun tentu saja Alan akan duduk, tak sudi jika dirinya diperintah oleh orang lain. Kini Alan sedang menahan diri untuk tak mematahkan kedua tangan sepupunya itu karena berani sekali menyentuh istrinya. Alan sedang berpura pura tenang dihadapan Erwan padahal didalam sedang menahan gejolak karena amarah.Tak lama berselang, dua cangkir kopi yang asapnya masih mengepul dan menguarkan aroma menenangkan tersaji di atas meja. Terlebih dulu Erwan menikmatinya sedikit, tak peduli suhunya masih sangat panas, menikmati aroma menguar yang begitu ia sukai itu."Jangan muncul lagi dihadapan Elma," gertak Alan menatap sengit sepupunya itu."Hei, kau bercanda?, aku dokter, mana mungkin aku mengabaikan pasien ku?" tolak Erwan menjawab santai saja.Bahkan Erwan dengan tanpa takut sedikitpun menarik sebungkus rokok dari balik saku celananya kemudian mengambilnya satu batang lalu menyalakan nya, berharap dirinya masih bisa berfikir waras, tak ikut tersulut emosi.Dokter muda itu kemudian menatap sepupu arogan nya dengan tatapan mencemooh yang begitu kentara hingga tak sedikitpun ada rasa takut, Erwan menghembuskan asap dari mulutnya ke atas membuat lawan bicaranya yang sedang menahan emosi itu menggeram tak suka."Kau memang dokter gadungan brengsek," geram Alan. Alan benar benar gak habis fikir, manusia urakan seperti Erwan bisa menjadi dokter andalan rumah sakit miliknya ini.Erwan tak peduli dengan umpatan Alan, ia hanya terkekeh menanggapinya."Aku ingin bicara serius soal keadaan Elma saat ini."Kini sikap Erwan berubah serius terhadap Alan, "Elma mengalami trauma hingga ia melupakan sebagian ingatannya, bisa jadi ia hanya melupakan hal yang tak ia inginkan."Sejenak pria karismatik itu menjeda kata katanya sambil menatap sengit pada wajah Alan yang bersandar di sofa ruangannga yang tanpa AC tersebut."Apa maksud mu?" tanya Alan menjadi khawatir."Aku perhatikan, Elma seperti kesakitan saat kau mendesaknya untuk mengingatmu.""Omong kosong, kau tahu betul aku dan Elma saling mencintai, ini hanya masalah waktu untuk Elma mengingatku lagi," ucap Alan keras kepala sambil tertawa getir."Memang hanya masalah waktu, jika pun tidak, kau bisa menggunakan cara lain, mungkin membuat ingatan baru," saran Erwan lalu meraih cangkir kopinya lalu menyesapnya dengan hidmat.Alan termenung sesaat mengingat segala yang telah ia perbuat, anggap saja dirinya sedang buntu"Untuk saat ini aku sarankan menjauhlah sementara dari Elma, jangan mengatakan jika kau adalah suaminya, karena sudah jelas bukan jika kau menikahi Elma dalam keadaan Elma tak dasarkan diri.""Kau memang Dokter gila, bilang saja kau tidak mampu menyembuhkan Elma dan ingin memilikinya untuk dirimu sendiri, jangan mimpi," geram Alan.Alan meninggalkan ruangan Erwan begitu saja, ia membanting pintu sekuat tenaga, mata Erwan hanya menatap punggung yang sedang emosi itu tanpa berniat untuk menahan kepergian Alan."Lihat saja nanti Aku akan menghentikanmu.""Sekian lama tak menginjakkan kaki di tempat bernuansa temaram dan remang remang yang dipenuhi hingar bingar pesta. Malam ini Alan malah berada disini, tersesat duduk sendirian menenggak berbotol botol minuman memabukkan hampir memenuhi meja yang bisa membuatnya lupa diri. Ia sedang mengalami kekacauan karena tak bisa melakukan apa yang ingin ia lakukan. Tubuh tegap nya yang selalu gagah dan ditakuti banyak orang itu kini bersandar lemah tak berdaya karena kalah oleh keadaan, rasa melayang tak bisa ia kontrol, pusing yang mendera sengaja ia buat, ingin ia tak sadarkan diri agar lupa sejenak akan keadaan Elma yang hilang ingatan, sialnya lagi hanya dirinya yang tak ada dalam memori Elma. Mulutnya meracau tak jelas mengumpati keadaan yang menurutnya sialan itu, namun racauannya tenggelam oleh suara musik yang menghentak hentak mengiringi semua pengunjung club malam yang sedang asik berpesta. Meski dalam pengaruh alkohol, Alan tetap mengingat perkataan Erwan tadi siang agar sejenak dir
Mata kabur dipengruhi alkohol, membuat Alan mengira sosok yang telah ia kungkung di bawahnya adalah wanita yang ia inginkan. Kekuatannya kembali, kala menyentuh kulit mulus yang telah membuka pakaian bagian atasnya itu menggoda dirinya dengan sentuhan sensual, namun hasratnya lebih menguasai dibandingkan akal warasnya. Ditambah pencahayaan yang redup membuat ia makin tak jelas dengan sosok wanita yang menempel terus menerus padanya ini."Al, aku merindukanmu."Bisikan sensual itu membuat gerakan Alan yang sedang mencumbui kulit halus itu terhenti. Otak warasnya berangsur angsur ditarik dari kegilaan karna minuman memabukkan itu. Suara itu sangat jelas, wanita di bawah lingkungannya ini bukan Elma istrinya, bukan wanita yang ia inginkan. Alan menjauhkan diri dengan kasar, menghentak tubuhnya agar menjauh dari wanita yang telah ia sadari adalah Nindi. "Sial," umpat Alan. Lengan Nindi kehilangan, tubuh setengah telanjangnya kini merasakan terpaan hawa dingin AC kamarnya, hasratnya me
Tengah malam, setelah dirinya tersadar dari pengaruh obat bius yang membuatnya tertidur sepanjang hari. Elma mengedarkan mata bulatnya mencari keberadaan seseorang, entah itu kedua orang tuanya ataupun Erwan. Sayangnya nihil, tak ada tanda tanda seseorang akan menemaninya untuk melalui malam ini. Elma jadi sedikit takut dengan ruangan luas ini.Kamar inap ini memang terasa nyaman karena Alan sengaja menempatkan Elma di kamar VVIP yang fasilitasnya seperti hotel, namun tetap saja Elma merasa amat kesepian. "Kemana semua orang?" gumam Elma setelah beberapa saat menunggu dan tetap tak ada orang yang datang. Pada akhirnya Elma hanya berbaring sambil menatap langit kamar yang berwarna putih tanpa corak, tak ada yang bisa ia lakukan, sungguh sangat bosan. Merenungkan apa yang telah terjadi pada dirinya, bertanya bagaimana bisa ia terbaring degan kondisi mengenaskan seperti ini, dengan rambut yang dipangkas habis, bahkan kedua orang tuanya dan Erwan tampak berbeda. Terlebih ada seorang p
Ego memuncak kala hal berharga miliknya ada yang berani menyentuh, melupakan logika dan menolak semua alasan, yang dia tahu hanyalah tak ada pria yang boleh lancang menyentuh wanitanya meskipun seorang dokter sekalipun. Alan bukanlah pria biasa, saat dirinya mengklime sesuatu maka itu adalah miliknya, jiwa posesif nya menakutkan bahkan bisa menjadi bencana.Berdiri menatap Erwan dengan sorot permusuhan yang begitu kental, melupakan semua orang yang berkumpul didalam sana, terasa mencekam namun Erwan tak perduli, dirinya malah asik bercengkrama dengan kedua orang tua Elma yang baru saja tiba. Sebelum kedatangan orang tua Elma, Alan dan Erwan sempat berdebat sengit, Erwan menatap sinis kedatangan Alan dengan penampilan Alan yang mengejutkannya, pakaiannya sudah rapih dan terlihat masih gagah memang, namun yang mengesalkan adalah terdapat beberapa tanda kemerahan yang terpampang nyata di lehernya. Erwan seperti dikhianati karena telah menyerahkan gadis kecilnya pada Alan. "Rupanya kau
Sibuk menekuri ponsel yang diberikan oleh pria yang telah ia tahu bernama Alan dan mengaku kini telah berstatus suaminya itu, Elma terpana dengan kenyataan Yang terpampang dalam Ponsel yang tengah ia genggam ini. Semua kenangan tersimpan dalam galeri berbentuk fhoto maupun vidio, bahkan ia telah membuka semua sosial media yang ia miliki termasuk pesan singkat yang diterima atau terkirim. Bahkan bukti bahwa dirinya telah melangsungkan pernikahan sederhana dikamar inap ini saat dirinya terbaring koma pun, Alan telah mengabadikannya dan menyimpan memori itu dalam ponselnya. "Kamu istriku mau kamu percaya atau tidak El, hanya milikku," ucap Alan sebelum melenggang pergi meninggalkan dirinya sendirian untuk berfikir dalam kamar inapnya. Ada rasa yang tak biasa menyusup dalam sanubarinya, entahlah Elma tak mengerti, rasa itu tak bisa dikatakan bahagia, sedih atau apapaun namanya, yang pasti ada perasaan sakit yang terasa namun ia tak mengerti apa. Sempat Elma berfikir bagaimana bisa di
"Bisakah aku tinggal dengan orang tua ku?" cicit Elma takut takut. Netra Alan menelisik, sudah menyagka jika keinginan ini yang akan terlontar dari mulut istrinya. Sepertinya Perlu sedikit perjuangan lagi untuk benar benar mendapatkan Elma, dengan kondisinya saat ini, tak cukup hanya dengan mempertegas status Elma sebagai seorang istri. Alan ingin marah dengan keadaan, tapi Alan tahu ini semua salahnya, akibat kecerobohannya. "Tentu, untuk sementara kita bisa tinggal di rumah orang tua mu," jawab Alan. Netra jernih itu membulat, menciptakan kilatan bahagia dan kelegaan. Elma ingin merasakan bahagia bersama orang tuanya, mengingat janji Sang bunda yang tak akan meninggalkan dirinya lagi seperti sebelumnya. "Terima kasih ka," ucap Elma tulus. Alan hanya tersenyum singkat lalu menarik tubuh Elma mendekat padanya. Namun sayang secara refleks Elma menjauh dan menepis uluran tangan Alan membuat Alan menggeram tak suka. Netra kelamnya terlihat kecewa, padahal Elma sudah menjadi istrin
"Ada orang yang melihatmu masuk ke apartemen Nindi, dan memotrernya." "Urus orang yang mendapatkan foto itu, pastikan jangan sampai ada yang tahu," ucap Alan lalu memutus sambungan telpon sepihak tanpa menunggu jawaban dari Bagas. Sejenak Alan termangu, memikirkan masalah yang begitu bertubi tubi yang ditimbulkan oleh Nindi. Wanita itu memang begitu gigih, bergerak tanpa bisa Alan membaca langkahnya. Anak dari salah satu investor perusahaannya itu benar benar menyulitkan. Netra bening yang sibuk memperhatikan wajah Alan disampingnya itu seperti lupa berkedip, mengagumi wajah rupawan Alan, merasakan kegusaran dari pria yang telah menjadi suaminya itu. "Apakah ada masalah?" tanya Elma tiba tiba. Alan begitu terkejut dengan pertanyaan Elma, ia kira Elma sudah tidur, ternyata sejak tadi dirinya mperhatikan Alan yang tengah menelpon. Jangankan Alan, bahkan Elma sendiri merasa terkejut dengan perhatian kecil yang ia lakukan. Elma tak percaya, seperti dirinya terbiasa melakukan interak
Ratna masuk kedalam kamar saat dua pria beda usia yang kini berstatus menantu dan mertua itu berdiri berhadapan saling menantang, saling menatap sengit satu sama lain. "Ada apa ini?" tanya Erwan heran. Mertua dan menantu itu memutus tatapan dan mengalihkan perhatian mereka pada kedatangan Ratna "Bunda, segera berkemas kita pulang sekarang," ucap Hans. Kebingungan pun tercetak di wajah Ratna melihat suaminya yang tiba tiba sikapnya berubah itu, Berubah tak ramah dan seperti ingin mengusir keberadaan menantunya dengan tatapan tak menyenangkan. "Dan kau Alan, pergi dari sini, aku tak ingin melihatmu berdekatan dengan anakku," lanjutnya. Seketika Semua orang yang ada di ruangan itu kaget, tak menyangka Hans memiliki keberanian mengusir putra dari Tristan Bagaskara yang sebelumnya begitu ia takuti hingga merelakan anaknya dinikahi meskipun dalam keadaan tak sadarkan diri. Hans kini tak peduli, jikapun Alan akan menghancurkan perusahaan percetakan nya yang sudah ia bangun susah payah