Share

Bab 7

Beberapa menit berlalu seperti menunggu seharian bagi Alan. Duduk di kursi tunggu yang terletak persis di luar kamar yang di tempati Elma menunggu sambil menahan emosi. Lengannya terkepal dan matanya tajam menatap pintu yang tertutup seperti ingin merobohkan pintu yang tak berdosa itu.

Beberapa waktu lalu sebelum Alan diusir oleh Ratna dari kamar yang ditempati Elma, Alan nyaris saja mengamuk dan akan menghajar Erwan yang begitu menempel pada Elma. Sebenarnya bukan mau Erwan berdekatan dengan Elma, rasa sakit yang mendera pada kepala Elma membuat Elma tanpa sadar erat memegang Erwan, hingga Erwan tak tega jika dirinya mengikis jarak dengan Elma.

"Alan, Ayo kita tunggu diluar, biarkan Erwan memeriksa Elma," ajak Ratna pada menantunya itu sambil sedikit menarik lengan Alan.

"Engga bisa bun, Alan harus nungguin Istri Alan," tolak Alan. Ia sengaja mempertegas panggilannya pada Elma agar Erwan tahu diri dan menjauh dari Elma.

Tapi sayang, keinginan Alan untuk Erwan menjauhi Elma tak ditanggapi baik oleh Ratna maupun Erwan, malah dirinya yang diseret keluar oleh Ratna. Mau tak mau Alan terpaksa menuruti perintah Ratna dan tak tega juga melihat Elma kesakitan.

Ratna tahu betul pria yang belum genap sehari menjadi menantunya itu begitu posesif pada putri satu satunya itu. Tak pandang bulu pada siapapun pria yang mendekati Elma dengan tujuan apapun, Alan tak terima. Alan selalu cemburu.

Kesal memang, tapi beruntung Alan mendengarkan Ratna, dengan susah payah ia berhasil mengeluarkan Alan dari kamar Elma guna memberikan ruang untuk Erwan memeriksa Elma. Jika ia tetap di kamar melihat Erwan menyentuh Elma, sudah pasti dirinya tak akan bisa mengendalikan diri bukan.

Meninggalkan Alan yang sedang kesal di luar, di dalam kamar Elma sedang merasakan kesakitan yang teramat sangat, rasa sakit yang menjalar seperti dipukul bertubi tubi boleh benda keras hingga kupingnya mendengung begitu sakit, Ia mencengram kuat tangan Erwan yang sedang memasukan obat penenang dan penghilang rasa sakit ke dalam tabung infus.

Setelah tetes demi tetes cairan yang berada di dalam jarum suntik berpindah tempat, tak lama dari itu rasa sakit mulai berangsur angsur menghilang, digantikan dengan rasa kantuk yang datang perlahan.

Hantaman kantuk itu Elma tahan sekuat tenaga, ia ingin bicara pada pria yang telah ia anggap seperti penyelamat kesepiannya ini. Elma menatap lekat Wajah Erwan yang sedang menangani dirinya.

"Ka Erwan, apa yang terjadi?" tanya Elma.

"Tidak terjadi apa apa, kamu sudah baik baiik saja El," jawab Erwan.

Sebenarnya Erwan tahu betul maksud dari pertanyaan Elma, Erwan tahu betul jika banyak kebingungan yang dialami Elma. Tapi demi kesehatan mental Elma, Erwan tak bisa sembarangan menjelaskan keadaan Elma sekarang.

"Tapi ka, kenapa orang tadi bersikeras aku harus ingat dia, dan mengaku jika pria itu suami El?"

"Sudah, jangan difikirkan, saat ini yang terpenting kamu sehat dulu, tidak usah memikirkan apapun, tidurlah," ucap Erwan dengan lembut sambil menaikkan selimut untuk menutupi tubuh Elma hingga leher, kemudian mengusap dahi Elma dengan sayang.

Tak lama dari itu, Elma langsung terlelap, dibuai oleh rasa kantuk dan tertidur dalam karena efek dari obat penenang yang baru saja Erwan berikan. Elma seketika melupakan segalanya, melupakan jika dirinya kini seperti kembali ke masa dirinya sendirian tanpa ada yang menemani. Meskipun masa itu telah berlalu, namun kini Elma merasakannya lagi.

Erwan tatap lekat wajah polos di hadapannya, merasa miris kenapa hal buruk ini terjadi. Gadis ceria dan tegar seperti Elma harus mendapat cobaan seperti ini.

Meninggalkan Elma yang tertidur lelap, kini Erwan harus siap menghadapi kecemburuan Alan diluar sana. Erwan berjalan gontai keluar dari kamar dan mendapati tatapan tajam menghunus dari Alan.

"Ikut aku," ajak Erwan sebelum menerima semburan amarah dari sepupunya itu.

Erwan sedikit bingung, kemana Bundanya Elma pergi, mengapa srigala ganas ini dibiarkan sendirian hingga akan menghajar dirinya karena kecemburuan nya yang tak berdasar itu.

Alan mengikuti langkah Erwan masuk ke ruangannya yang tak jauh dari kamar Elma, menunggu waktu untuk memberi peringatan pada Erwan.

Setelah sampai di ruangannya, Erwan tak langsung bicara, terlebih dahulu ia membuatkan kopi untuk Alan, berharap emosi Alan yang masih nampak dimatanya itu sedikit mereda.

"Duduklah dulu, aku buatkan kau kopi," intruksi Erwan yang dilakukan oleh Alan.

Sebenarnya tanpa di suruh pun tentu saja Alan akan duduk, tak sudi jika dirinya diperintah oleh orang lain. Kini Alan sedang menahan diri untuk tak mematahkan kedua tangan sepupunya itu karena berani sekali menyentuh istrinya. Alan sedang berpura pura tenang dihadapan Erwan padahal didalam sedang menahan gejolak karena amarah.

Tak lama berselang, dua cangkir kopi yang asapnya masih mengepul dan menguarkan aroma menenangkan tersaji di atas meja. Terlebih dulu Erwan menikmatinya sedikit, tak peduli suhunya masih sangat panas, menikmati aroma menguar yang begitu ia sukai itu.

"Jangan muncul lagi dihadapan Elma," gertak Alan menatap sengit sepupunya itu.

"Hei, kau bercanda?, aku dokter, mana mungkin aku mengabaikan pasien ku?" tolak Erwan menjawab santai saja.

Bahkan Erwan dengan tanpa takut sedikitpun menarik sebungkus rokok dari balik saku celananya kemudian mengambilnya satu batang lalu menyalakan nya, berharap dirinya masih bisa berfikir waras, tak ikut tersulut emosi.

Dokter muda itu kemudian menatap sepupu arogan nya dengan tatapan mencemooh yang begitu kentara hingga tak sedikitpun ada rasa takut, Erwan menghembuskan asap dari mulutnya ke atas membuat lawan bicaranya yang sedang menahan emosi itu menggeram tak suka.

"Kau memang dokter gadungan brengsek," geram Alan. Alan benar benar gak habis fikir, manusia urakan seperti Erwan bisa menjadi dokter andalan rumah sakit miliknya ini.

Erwan tak peduli dengan umpatan Alan, ia hanya terkekeh menanggapinya.

"Aku ingin bicara serius soal keadaan Elma saat ini."

Kini sikap Erwan berubah serius terhadap Alan, "Elma mengalami trauma hingga ia melupakan sebagian ingatannya, bisa jadi ia hanya melupakan hal yang tak ia inginkan."

Sejenak pria karismatik itu menjeda kata katanya sambil menatap sengit pada wajah Alan yang bersandar di sofa ruangannga yang tanpa AC tersebut.

"Apa maksud mu?" tanya Alan menjadi khawatir.

"Aku perhatikan, Elma seperti kesakitan saat kau mendesaknya untuk mengingatmu."

"Omong kosong, kau tahu betul aku dan Elma saling mencintai, ini hanya masalah waktu untuk Elma mengingatku lagi," ucap Alan keras kepala sambil tertawa getir.

"Memang hanya masalah waktu, jika pun tidak, kau bisa menggunakan cara lain, mungkin membuat ingatan baru," saran Erwan lalu meraih cangkir kopinya lalu menyesapnya dengan hidmat.

Alan termenung sesaat mengingat segala yang telah ia perbuat, anggap saja dirinya sedang buntu

"Untuk saat ini aku sarankan menjauhlah sementara dari Elma, jangan mengatakan jika kau adalah suaminya, karena sudah jelas bukan jika kau menikahi Elma dalam keadaan Elma tak dasarkan diri."

"Kau memang Dokter gila, bilang saja kau tidak mampu menyembuhkan Elma dan ingin memilikinya untuk dirimu sendiri, jangan mimpi," geram Alan.

Alan meninggalkan ruangan Erwan begitu saja, ia membanting pintu sekuat tenaga, mata Erwan hanya menatap punggung yang sedang emosi itu tanpa berniat untuk menahan kepergian Alan.

"Lihat saja nanti Aku akan menghentikanmu."

"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status