Kania lebih dulu memeriksa keadaan Azka, bocah laki-laki usia tiga tahun itu. Usai melakukan beberapa aktivitas sampai selesai memberikan Azka makan pagi–yang memang sudah tidak membutuhkan asi ibunya, barulah Kania beranjak ke atas, menuju kamar Adi.
Seperti sebelum-sebelumnya, Kania memang kerap melakukan aktivitas ini. Apalagi belakangan ini saat keadaan sepasang bosnya itu tak jarang adu argumentasi. Kanialah yang terus mengurus tentang keduanya, dan yang paling banyak tentu tentang Adi.Kania berjalan perlahan dengan Azka yang ada di dalam gendongannya. Bocah kecil itu terus kegirangan entah karena apa. Sesekali Kania mencubit gemas pipi gempalnya, tak tahan.Begitu tiba di depan pintu kamar Adi, perlahan senyumnya memudar. Seketika saja lamunan yang entah muncul dari mana menyusup masuk hingga Kania bergeming di tempat. Untungnya Azka bersuara, membuat Kania segera menyadarkan diri.Tuk tuk tuk ..."Pak Adi. Sudah pagi, Pak. Sarapan sudah siap di bawah. Juga, kata ibu Bapak ada rapat jam sembilan," seru Kania.Biasanya, untuk meresponnya, Adi selalu membuat suara apa saja yang menandakan dia sudah terjaga. Tapi, sudah satu menit berlalu suara Kania terlontar namun tak kunjung juga ada sahutan dari dalam."Pak Adi!" Suara perempuan muda itu sedikit meninggi. "Pak, sudah hampir pukul delapan pagi. Satu jam lagi Bapak ada rapat, Pak!"Tak juga ada balasan. Kania jadi bimbang dibuatnya. Bagaimana ini? Kalau Adi belum juga bangun dan tidak diberitahu tentang waktu serta jadwalnya, bisa-bisa Kania yang kena imbas dari Omelan Arumi. Belum lagi pesan Arumi untuk yang itu ditekankan sekali. Apa jadinya jika Kania justru tidak menjalankan perintah dengan benar?Perempuan itu menghela napas besar. Ditatapnya Azka yang terus cengengesan di dalam gendongannya sambil terus menatapnya."Kenapa kamu? Suka ya kalau saya kena marah seperti ini?" ujar Kania pada Azka. Seolah-olah bayi itu akan menjawab saat Kania malah menyipitkan matanya.Kania terperanjat manakala pintu kamar yang tadinya senyap jutsru tiba-tiba terbuka. Dengan refleks kakinya melangkah mundur dikala tampilan Adi sudah muncul dalam pandangannya.Adi dengan pakaiannya yang sudah rapi menatap lamat pada potret Kania yang menunduk sambil mengendong putranya. Entah kenapa dalam detik yang berlalu ada keheningan yang tercipta. Adi terlalu larut dalam pandangannya pada Kania yang hari ini kembali seperti yang dia kenali. Tidak seperti tadi malam yang tampak lebih menarik."Istri saya sudah pergi?" tanya Adi kemudian."Sudah, Pak. Beliau berpesan untuk mengingatkan kalau Bapak ada rapat jam sembilan hari ini," sahut Kania.Adi hanya mengangguk kecil. "Azka kayaknya udah nyaman sama kamu. Terakhir saya gendong dia, dia malah nangis nggak karuan," ucap Adi teringat tentang putranya yang ada di gendongan Kania.Perempuan berambut panjang itu pun lantas mengangkat pandangannya. Kini, sangat jelas dia melihat pahatan wajah yang mirip dengan anak yang saat ini berada dalam dekapnya."Azka kasih kecil, Pak. Terkadang dia sensitif. Mungkin saya itu Bapak masih mengenakan pakaian yang belum diganti." Kania menjelaskan berupaya membuat Adi tidak berpikir apa-apa. "Anda mau coba, Pak?" tanya Kania kembali.Belum sampai Azka mendarat dalam gendongan Adi, bayi mungil itu justru sudah menangis karena akan terlepas dari genggaman Kania."Eh, eh, Sayang. Nggak apa-apa. Itu Papa. Ya, kan?" bujuk Kania. Mungkin dalam tutur lisan yang Kania katakan tidaklah dimengerti oleh Azka. Akan tetapi, Kania paham kalau anak bayi ini pasti tahu apa yang dia maksud.Adi tak peduli jika mungkin Azka akan meraung lagi seperti sebelumnya. Dia tetap merebut bayi mungkin itu dari gendongan Kania. Syukurnya, entah memang benar apa kata Kania barusan, Azka memang tidak lagi merengek."Halo, Sayang. Apa kabar? Jarang ketemu Papa ya?" ucap Adi pada bayinya.Sementara itu, Kania justru sedang mengatur jantungnya yang sedang berdebar entah karena apa. Setelah tangannya tak sengaja bersentuhan dengan tangan Adi saat akan memberikan Azka, saat itu pula Kania jadi meneguk ludah banyak-banyak.Di sisi lain, Adi diam-diam melirik Kania. Melihat gerak perempuan itu, Adi jadi bertanya, "Kamu udah istirahat?""Uh?" gumam Kania, kaget. "U-udah, Pak.""Rapat saya batal hari ini. Azka juga sudah tenang sama saya. Kamu pergilah istirahat sebentar," suruh Adi kembali."Saya nggak masalah, Pak.""Tapi ini jadi masalah saya. Manfaatkan waktu kamu. Kalau kamu ada apa-apa boleh hubungi atau bilang langsung ke saya."Kania tetap bergeming ditempat usai mendengarkan perkataan Adi. Bahkan saat laki-laki itu sudah pergi pun, Kania tetap diam seribu bahasa.Tidak! Ini salah bukan? Harusnya Kania tidak boleh lebih masuk ke dalam keadaan yang terlalu dibuat-buat ini!Si empunya nama yang berhasil mendengarkan pekikan lantang Kania kontan terlonjak kaget bukan kepalang. Aktivitasnya mendadak terhenti, lantas berlari cepat guna mencari tahu sumber suara. Apa benar yang baru saja dia dengar itu sungguh suara orang yang ada didalam tebakannya? Begitu pintu utama itu terbuka, terpampang sudah potret Kania juga istrinya yang tengah berupaya keras bangun–entah sebab apa. Buru-buru Adi menghampiri sang istri, membantunya. "Ada apa ini? Kenapa kamu, Sayang?" tanya Adi, panik. Dia terus memeriksa bagian tubuh Arumi ingin memastikan apakah ada yang terluka atau tidak. Dibalik itu, Kania lantas mendengkus menahan tawa pahit yang terus saja menggerogoti hatinya. Dia juga sakit. Pipinya panas. Tubuhnya rasanya berat sebab ada raga lain di dalam sana. Tapi kenapa dirinya tak mendapatkan perlakuan yang sama? Kenapa dia malah semakin terluka pada saat melihat Adi begitu tampak mencintai istrinya? Di sisi lain, Arumi sebenarnya gerah dan gusar akan kecurangan y
Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya sosok mungil Arumi kembali lagi di tatap oleh Kania. Entah kenapa kali ini sosok pembantu itu berdebar saat melihat majikannya yang sejak dulu bertingkah baik terhadapnya. Seolah akan ada bahaya yang akan dia dapatkan begitu Arumi mulai mendekat. Tidak jauh berbeda dengan Kania, Arumi pun sama halnya dengan pembantunya itu. Tadinya Arumi berpikir akan mendapatkan kejutan dari mertuanya yang akan datang berkunjung, akan tetapi malah sosok yang tidak dia inginkan yang muncul. Sejenak dirinya seperti dibekukan di tempatnya apalagi mengingat segala sesuatu yang sudah tidak lagi asing di ingatannya. Perempuan muda di depannya sana begitu mengambil penuh atensinya sehingga menyesali karena tidak bertanya siapa yang hendak dia temui. Mendadak saja rasa tidak sukanya pada Kania muncul. Tatapan malas itu terpancar jelas. Belum lagi bibirnya yang tanpa senyuman walau sudah bertatap muka dengan Kania yang katanya akan selalu dia tunggu kepulangannya.
Aila dan Kania benar-benar berupaya keras mencari ke mana agaknya suami istri itu pergi. Tujuan ingin pergi ke tempat Adi bekerja ternyata tak juga membuahkan hasil. Nihil, alias benar-benar dibekukan segala akses dirinya mencari tahu tentang keberadaan pria itu. Apa ini memang sudah direncanakan oleh Adi? Pria itu tahu kalau Kania tidak akan menyerah dan terus mencarinya. Dan inikah jawabannya? Bahwa Adi pergi dengan segala tanggung jawab yang telah enyah. Janji kemarin menguap begitu saja. Tentang kalimat manisnya yang hendak menjadikan Kania sosok yang lebih dari pada seorang pelayan rumah tangga telah musnah ditelan kenyataan tentang dirinya yang melarikan diri. Sehari penuh tenaga serta energi kakak beradik itu dikuras begitu saja tanpa ada hasil sama sekali. Kini, keduanya benar-benar tak punya jalan apa-apa lagi. Semuanya buntu. Hal yang ingin dilakukan sudah dipatahkan begitu saja tanpa pertimbangan. "Sudahlah, Aila. Biarkan saja dia pergi. Lagi pula, semuanya pasti akan be
Kania benar-benar menceritakan segala hal yang dia lalui bersama dengan Adi. Tentang bagaimana dia mulai memberanikan diri untuk mengejar pria itu serta meyakinkan dirinya bahwa dia memang mencintai pria beristri tersebut. Akan tetapi, persepsi yang diberikan Kania tentang dirinya, beda pendapat dengan Aila. Sebagai anak kulihat jurusan psikologi–walau masih terdengar awam, Aila tahu bahwa ini bukanlah tentang diri sang kakak yang mencinta seperti apa katanya.Akan tetapi, ada sesuatu yang mendorong dalam diri untuk mengutarakan ketidakrelaan sehingga berniat untuk terus berurusan dengan si 'pelaku' yang telah merebut kehormatannya. Notabenenya yang terjadi pada sang kakak adalah pelecehan. Tetapi, karena kakaknya itu juga menerima begitu saja, tampaklah seperti dirinya yang mau-mau saja. Padahal, Kania hanya tidak bisa mengelak karena Adi itu adalah sosok yang dia hormati. Terlebih lagi, Adi memberikan janji-janji yang tidak pernah Kania dapatkan dari siapa pun. Sebab itu, Aila ya
Di tempat lain, keadaan Hayati semakin tak baik. Sesak napasnya sudah jauh lebih mengkhawatirkan. Lebih memprihatinkan lagi karena tidak ada satu pun tenaga kerja dari pihak rumah sakit yang mau berkontribusi untuk merawat Hayati.Katanya, harus melupakan pembayaran dengan jumlah yang fantastis. Walau pun sudah menjabarkan kartu kesehatan dari pemerintah, tetap saja ditolak dengan berbagai macam alasan yang sulit dicerna orang-orang disekitarnya.Tanpa sadar, keadaan Hayati tak lagi baik. Perempuan tua itu sudah terbaring di kasur berlapiskan kain selendang batik. Tidak ada yang bisa dilakukan. Orang-orang atau kerabatnya tidak ada yang punya nilai harta sebanyak itu sampai semuanya memilih untuk bungkam dan pasrah akan keadaan.Sementara di sisi lain, ada Kania yang terus merasa gelisah. Sejak malam itu dirinya tidak bisa berpikir jernih. Bukan hanya pikirannya yang penuh, tapi juga keadaan dirinya yang tidak seperti biasanya.Kadang sudah demam, kadang sudah menggigil. Juga terkadan
Tak bisa membiarkan Kania pergi begitu saja dengan kenyataan bahwa gadis itu masih enggan untuk mengalah, Adi pun berlari kecil guna menghentikan kepergiannya. Secepatnya gerakan Kania yang berjalan menjauh terhenti sebab Adi menahannya di pergelangan tangan. "Kania, sudah cukup!" tekan Adi. "Kita udah sepakat, kan? Kenapa kamu sulit sekali buat mengerti? Jangan ganggu saya! Jangan halangi kebahagiaan saya!" Kania segera menarik kuat tangannya dari genggaman pria didepannya. Kilat amarah terpampang jelas dari dua bola matanya yang gelap. "Kalah gitu bertanggung jawablah, Pak. Tanggung jawab atas apa yang sudah saya terima! Bapak merebut kesucian saya dengan iming-iming membahagiakan saya! Bapak kupa itu?" Suara kania tak kalah melengking. Panik, Adi refleks menoleh ke belakang, takut kalau ada telinga yang mendengar. Beruntung kalau Hayati sedang tidak baik keadaannya sehingga orang-orang malah fokus pada perempuan tua itu. Memang salah, tapi setidaknya Adi punya kesempatan untuk m