Kania hanya bisa menatap kosong langkahnya yang menuju kamar. Setiap detik entah kenapa bayang-bayang yang suram menyusup masuk ke dalam kepalanya. Belum lagi tentang aksi Adi hari ini yang justru terkesan gamblang terhadapnya. Kania jadi semakin tak karuan dalam berpikir hingga berakhir menjatuhkan diri di atas ranjang dengan pikiran yang kacau.
Tak lama, ponselnya berbunyi. Dengan malas Kania merebut benda pipih itu lantas mendapati panggilan suara dari ibunya di kampung sana."Halo, Buk. Ada apa?" tanya Kania begitu panggilan terhubung."Halo, Nduk. Gimana kabar kamu? Sehat?"Kania enggan bangun dari posisinya yang berbaring menatap langit-langit kamar. Mendengar pertanyaan sang ibu, entah kenapa Kania ingin menangis. "Alhamdulillah baik, Buk.""Syukurlah, Nduk. Ibuk cuma mau tanya keadaan kamu. Dan yang paling penting, Ibuk rindu, Nduk. Kapan kamu pulang ke kampung?""Belum bisa kayaknya, Buk. Tahun ini Aila masuk kuliah, kan? Bapak juga harus terus menjalani pengobatan. Kalau Kania pulang, yang bantu Ibuk buat bayar semua kebutuhan siapa? Kania juga rindu sama kalian. Tapi keadaan kita nggak mendukung, Buk." Tanpa sadar air mata Kania luruh begitu saja."Nduk, kalau memang nggak bisa, jangan di paksakan. Aila bisa tamat SMA juga udah lebih dari cukup. Kalau begini terus, kasian kamunya. Kapan kamu mikirin diri sendiri kalau gitu?""Nggak apa-apa, Buk. Lagian, Kania juga bertanggung jawab untuk keluarga. Udah dulu ya, Buk? Kania mau balik kerja dulu.""Iya, iya. Jangan lupa sholat, Nduk. Terus minta pada Gusti nu agung, agar selalu memberikan kesehatan sama kamu. Nggak apa-apa rejeki kecil, asal halal. Jadi, jangan memaksakan apa pun.""Kania matikan ya, Buk?"Begitu panggilan terputus, isak tangis Kania pun sebagai di tahan agar tak mengeluarkan suara. Pesan-pesan sang ibu sudah sejak lama dia ingkari, tapi untuk kali ini dia seperti menjadi orang paling buruk di dunia. Kania tidak tahu kalau semuanya akan berjalan tidak sesuai seperti ini.Ditengah dirinya menahan tangis, Kania terlonjak ketika suara Azka yang menangis masuk ke telinganya. Buru-buru dirinya beranjak dari tempat, sigap memastikan apa yang sedang terjadi pada anak majikannya itu."Kania! Tolong. Saya nggak tahu kenapa Azka malah merengek kayak gini," adu Adi begitu mendapati Kania di sisinya."Azka, ada apa, Sayang?" kata Kania sambil merebut bayi mungil itu dari gendongan Adi. Kania lantas tersenyum kecil begitu tahu apa alasan Azka menangis. "Azka buang air besar, Pak. Dia kayaknya udah nggak nyaman. Sebentar, saya bersihkan dulu."Adi setengah membulatkan bibirnya baru tahu. Dia tidak menyadari itu. Terlalu awam dirinya ternyata tentang buah hatinya yang baru berusia tiga tahun itu.Adi jadi ingat tentang perkelahiannya dengan Arumi kemarin pagi. Itu masih tentang Azka. Adi geram pada Arumi yang terus saja pulang larut malam demi pekerjaannya. Bahkan Arumi jarang ada saat dirinya pulang dari kantor dan menemukan Azka hanya sendirian ditemani Kania.Saat Adi tanya, sejak kapan agaknya Arumi meninggalkan Azka sendirian, katanya dari pagi hingga larut. Padahal Adi sangat ingin Arumi itu menjadi ibu rumah tangga saja yang selalu ada untuk keluarga. Nyatanya, Arumi lebih memilih melanjutkan karirnya yang sebagai model iklan dan berbagai macamnya lagi.Adi tersenyum kecil saat mendengar suara cekikikan putrinya yang sedang bersama Kania. Begitu keduanya muncul lagi di depan matanya, alih-alih Azka, justru Kania yang jadi objek matanya menatap.Kania ini tipe perempuan yang lemah lembut serta murah senyum. Akan tetapi, kenapa sangat berbeda dari apa yang Adi lihat malam itu? Yang mama sebenarnya Kania ini? Si asisten rumah tangga yang lugu atau si LC yang sangat lihai menemani para petinggi?"Sudah, Pak. Mau gendong Azka lagi?" tanya Kania.Adi menggeleng. "Saya kewalahan. Rasanya saya belum terbiasa membujuknya," tolak Adi.Kania hanya mengangguk kecil lantas mengajak Azka untuk bermain di teras. Ini kebiasaan mereka. Kalau orangtuanya sudah sama-sama sibuk, hanya Kania lah yang selalu bersama dengan Azka bahkan sampai satu harian penuh."Oh iya, Kania. Ada yang mau kamu bicarakan dengan saya?" tegur Adi sebelum Kania berjalan lebih jauh.Yang bersangkutan langsung terdiam di tempat. Lantas tubuhnya kembali berbalik untuk menatap Adi di belakangnya. "Nggak ada, Pak. Saya ajak Azka main dulu ya, Pak?""Saya akan tanggung jawab sekiranya ada apa-apa sama kamu," sergah Adi.Lagi-lagi Kania bergeming sambil meneguk berat ludahnya. Seakan oksigen di dadanya bertumpuk banyak hingga sulit sekali untuk mengeluarkannya. "Saya permisi, Pak."Si empunya nama yang berhasil mendengarkan pekikan lantang Kania kontan terlonjak kaget bukan kepalang. Aktivitasnya mendadak terhenti, lantas berlari cepat guna mencari tahu sumber suara. Apa benar yang baru saja dia dengar itu sungguh suara orang yang ada didalam tebakannya? Begitu pintu utama itu terbuka, terpampang sudah potret Kania juga istrinya yang tengah berupaya keras bangun–entah sebab apa. Buru-buru Adi menghampiri sang istri, membantunya. "Ada apa ini? Kenapa kamu, Sayang?" tanya Adi, panik. Dia terus memeriksa bagian tubuh Arumi ingin memastikan apakah ada yang terluka atau tidak. Dibalik itu, Kania lantas mendengkus menahan tawa pahit yang terus saja menggerogoti hatinya. Dia juga sakit. Pipinya panas. Tubuhnya rasanya berat sebab ada raga lain di dalam sana. Tapi kenapa dirinya tak mendapatkan perlakuan yang sama? Kenapa dia malah semakin terluka pada saat melihat Adi begitu tampak mencintai istrinya? Di sisi lain, Arumi sebenarnya gerah dan gusar akan kecurangan y
Sekitar beberapa menit menunggu, akhirnya sosok mungil Arumi kembali lagi di tatap oleh Kania. Entah kenapa kali ini sosok pembantu itu berdebar saat melihat majikannya yang sejak dulu bertingkah baik terhadapnya. Seolah akan ada bahaya yang akan dia dapatkan begitu Arumi mulai mendekat. Tidak jauh berbeda dengan Kania, Arumi pun sama halnya dengan pembantunya itu. Tadinya Arumi berpikir akan mendapatkan kejutan dari mertuanya yang akan datang berkunjung, akan tetapi malah sosok yang tidak dia inginkan yang muncul. Sejenak dirinya seperti dibekukan di tempatnya apalagi mengingat segala sesuatu yang sudah tidak lagi asing di ingatannya. Perempuan muda di depannya sana begitu mengambil penuh atensinya sehingga menyesali karena tidak bertanya siapa yang hendak dia temui. Mendadak saja rasa tidak sukanya pada Kania muncul. Tatapan malas itu terpancar jelas. Belum lagi bibirnya yang tanpa senyuman walau sudah bertatap muka dengan Kania yang katanya akan selalu dia tunggu kepulangannya.
Aila dan Kania benar-benar berupaya keras mencari ke mana agaknya suami istri itu pergi. Tujuan ingin pergi ke tempat Adi bekerja ternyata tak juga membuahkan hasil. Nihil, alias benar-benar dibekukan segala akses dirinya mencari tahu tentang keberadaan pria itu. Apa ini memang sudah direncanakan oleh Adi? Pria itu tahu kalau Kania tidak akan menyerah dan terus mencarinya. Dan inikah jawabannya? Bahwa Adi pergi dengan segala tanggung jawab yang telah enyah. Janji kemarin menguap begitu saja. Tentang kalimat manisnya yang hendak menjadikan Kania sosok yang lebih dari pada seorang pelayan rumah tangga telah musnah ditelan kenyataan tentang dirinya yang melarikan diri. Sehari penuh tenaga serta energi kakak beradik itu dikuras begitu saja tanpa ada hasil sama sekali. Kini, keduanya benar-benar tak punya jalan apa-apa lagi. Semuanya buntu. Hal yang ingin dilakukan sudah dipatahkan begitu saja tanpa pertimbangan. "Sudahlah, Aila. Biarkan saja dia pergi. Lagi pula, semuanya pasti akan be
Kania benar-benar menceritakan segala hal yang dia lalui bersama dengan Adi. Tentang bagaimana dia mulai memberanikan diri untuk mengejar pria itu serta meyakinkan dirinya bahwa dia memang mencintai pria beristri tersebut. Akan tetapi, persepsi yang diberikan Kania tentang dirinya, beda pendapat dengan Aila. Sebagai anak kulihat jurusan psikologi–walau masih terdengar awam, Aila tahu bahwa ini bukanlah tentang diri sang kakak yang mencinta seperti apa katanya.Akan tetapi, ada sesuatu yang mendorong dalam diri untuk mengutarakan ketidakrelaan sehingga berniat untuk terus berurusan dengan si 'pelaku' yang telah merebut kehormatannya. Notabenenya yang terjadi pada sang kakak adalah pelecehan. Tetapi, karena kakaknya itu juga menerima begitu saja, tampaklah seperti dirinya yang mau-mau saja. Padahal, Kania hanya tidak bisa mengelak karena Adi itu adalah sosok yang dia hormati. Terlebih lagi, Adi memberikan janji-janji yang tidak pernah Kania dapatkan dari siapa pun. Sebab itu, Aila ya
Di tempat lain, keadaan Hayati semakin tak baik. Sesak napasnya sudah jauh lebih mengkhawatirkan. Lebih memprihatinkan lagi karena tidak ada satu pun tenaga kerja dari pihak rumah sakit yang mau berkontribusi untuk merawat Hayati.Katanya, harus melupakan pembayaran dengan jumlah yang fantastis. Walau pun sudah menjabarkan kartu kesehatan dari pemerintah, tetap saja ditolak dengan berbagai macam alasan yang sulit dicerna orang-orang disekitarnya.Tanpa sadar, keadaan Hayati tak lagi baik. Perempuan tua itu sudah terbaring di kasur berlapiskan kain selendang batik. Tidak ada yang bisa dilakukan. Orang-orang atau kerabatnya tidak ada yang punya nilai harta sebanyak itu sampai semuanya memilih untuk bungkam dan pasrah akan keadaan.Sementara di sisi lain, ada Kania yang terus merasa gelisah. Sejak malam itu dirinya tidak bisa berpikir jernih. Bukan hanya pikirannya yang penuh, tapi juga keadaan dirinya yang tidak seperti biasanya.Kadang sudah demam, kadang sudah menggigil. Juga terkadan
Tak bisa membiarkan Kania pergi begitu saja dengan kenyataan bahwa gadis itu masih enggan untuk mengalah, Adi pun berlari kecil guna menghentikan kepergiannya. Secepatnya gerakan Kania yang berjalan menjauh terhenti sebab Adi menahannya di pergelangan tangan. "Kania, sudah cukup!" tekan Adi. "Kita udah sepakat, kan? Kenapa kamu sulit sekali buat mengerti? Jangan ganggu saya! Jangan halangi kebahagiaan saya!" Kania segera menarik kuat tangannya dari genggaman pria didepannya. Kilat amarah terpampang jelas dari dua bola matanya yang gelap. "Kalah gitu bertanggung jawablah, Pak. Tanggung jawab atas apa yang sudah saya terima! Bapak merebut kesucian saya dengan iming-iming membahagiakan saya! Bapak kupa itu?" Suara kania tak kalah melengking. Panik, Adi refleks menoleh ke belakang, takut kalau ada telinga yang mendengar. Beruntung kalau Hayati sedang tidak baik keadaannya sehingga orang-orang malah fokus pada perempuan tua itu. Memang salah, tapi setidaknya Adi punya kesempatan untuk m