Share

Misteri Bhumi Wana

Dalam hening hutan yang rapat, Wira bersama Meru dan Sari tiba di dekat sebuah hutan. Di pinggir hutan itu, terdapat sebuah sumur tua yang kelihatannya tak terpakai. Setelah perjalanan yang panjang, mereka memutuskan untuk beristirahat sejenak dan membersihkan diri dengan mandi bergantian.

Saat giliran Sari mandi, tanpa sengaja, cincin kesayangannya terjatuh dan bergulir ke dalam sumur tua tersebut. Sari panik dan berteriak memanggil Wira dan Meru.

“Tolong! Cincin Sari jatuh!“ teriak Sari mengagetkan Wira dan Meru.

Wira dengan sigap datang menolong, sementara Sari buru-buru memakai pakaian.

“Ada apa, Sari? Apa yang jatuh?“ tanya Wira.

“Itu cincin Sari jatuh ke dalam sumur. Cincin itu satu-satunya yang diberikan ibuku. Kang Wira ambilkan!“ Sari menjelaskan dengan wajah sangat sedih dan memelas.

Merasa iba, Wira memutuskan untuk menyelamatkan cincin tersebut dan menceburkan diri ke dalam sumur.

Tak disangka, sumur tua itu bukan hanya sumur biasa. Wira merasa seolah memasuki sebuah lorong lintas dimensi. Tak berselang lama, dia menemukan dirinya berada dalam sebuah alam misterius. Yang seharusnya dia berada di dalam air, ternyata beralih ke alam gaib.

Di sana, dia dihadapkan pada makhluk-makhluk gaib yang beraneka ragam.

Melihat sekeliling, Wira berusaha mencari cincin Sari. Dia melihat beberapa sosok seperti anak kecil bermain di sebuah tanah lapang.

“Permisi.“ Wira mendekati mereka perlahan.

“Apakah kamu melihat sebuah cincin jatuh di sekitar sini?“

Berpikir sejenak, anak yang bulat kecil menjawab, “Kalau aku melihatnya, aku akan memberitahumu, Kisanak. Tapi sekarang aku belum melihat cincin itu.“

“Terimakasih,” ucap Wira. “Bagaimana aku harus memanggilmu?“ lanjutnya.

“Saya biasa dipanggil Blentung, Kisanak.“

“Saya Wira. Dimanakah kita berada sebenarnya?“

“Kita sekarang berada di alam Bhumi Wana. Bagaimana kamu bisa sampai ke sini, Wira?“

Wira lalu menjelaskan bagaimana dia bisa memasuki alam aneh ini.

Setelah beberapa perbincangan, Blentung mulai membantu Wira dalam pencarian cincin Sari, sementara beberapa anak lain ikut berusaha mencari juga tapi dengan niat berbeda.

Mereka berjalan menyebar di area lapang.

Melihat ke atas, Wira memikirkan bagaimana kalau cincin jatuh dari atas dan menggelinding di permukaan tanah. Dia memperagakan dengan melempar sebutir kerikil ke atas. Saat jatuh dia melihat kemana arahnya pergi.

“Ini bukan, Wira?“ Blentung memegang sebuah benda kecil mengkilat dan menunjukkan pada Wira.

“Bukan. Bentuknya lebih kecil dan polos,” jawab Wira.

Blentung menyimpan cincin temuannya, lalu melanjutkan mencari lagi.

Beberapa kali, anak-anak lain juga melaporkan temuannya pada Wira. Tapi tak ada yang sesuai.

Bersama mereka total ada 9 orang termasuk Wira. Tujuh diantaranya sudah beberapa kali melaporkan, sedang satu orang hanya diam.

Begitu semua fokus mencari, salah satu anak ternyata sudah pergi menghilang. Dialah yang sedari tadi tidak melaporkan temuannya.

Setelah memikirkan berapa anak yang tadi bersamanya, Wira mulai curiga.

“Blentung temanku!“

“Ada apa Wira? Apakah kamu sudah menemukan cincinnya?“

“Belum. Tapi dimanakah salah satu temanmu?“

Memikirkannya, Blentung langsung pergi mencari keberadaan anak yang menghilang itu. Bukan karena dia temannya tersesat, tapi karena dia paham kalau temannya itu punya kebiasaan buruk.

Wira dan Blentung berterimakasih pada teman yang lain, lalu mereka pergi mencari teman yang menghilang.

Terjadi sedikit pertikaian saat mereka bertemu. Semakin meyakinkan bahwa anak itu yang telah mengambil cincin Sari.

Benar saja, dia menemukan bahwa cincin Sari dipegang oleh makhluk gaib jahat yang berpenampilan seperti anak nakal. Dengan kekuatannya, Wira berhasil merebut kembali cincin Sari dengan sedikit adegan kejar-kejaran. Kemampuan Wira berlari masih bisa diterapkan di alam Bhumi Wana.

Sambil bersyukur, dia kembali mengikuti lorong menuju sumur dan keluar dengan selamat.

Sari, Meru, dan Lonbur menunggu di luar sumur dengan khawatir. Saat Wira muncul dengan cincin Sari yang bersinar, kebahagiaan terpancar dari wajah mereka.

Mereka lalu mendirikan sebuah kemah dari ranting dan dedaunan. Lalu menyalakan api unggun di dekatnya.

Wira menceritakan pengalamannya di dunia dalam sumur dan memperkenalkan teman barunya.

Mereka akhirnya tahu, bahwa aliran waktu di alam manusia dan alam Bhumi Wana itu berbeda. Wira dan Blentung sudah lebih dari sehari mencari cincin dan mengalahkan anak jahat yang mau mencuri cincin itu. Tapi ternyata baru beberapa aghita di dunia luar.

Satu aghita hampir setara dengan setengah jam di dunia nyata. Perbandingan waktu dunia Bhumi Wana dan dunia luar sekita 4 kali. Jika Wira di Bhumi Wana 4 hari penuh, maka di dunia luar baru sekitar sehari saja.

Memikirkan hal ini, Wira bertanya pada Blentung, “Apakah ada lorong lain untuk memasuki alam itu?“

“Kenapa, Wira? Kamu mau kembali ke sana lagi?“

“Aku hanya berpikir. Kalau aliran waktu di luar dan di dalam sana berbeda. Bukankah dengan melakukan pelatihan dan penggemblengan selama beberapa tahun di sana, itu hanya menjadi beberapa waktu saja di luar? Itu akan cukup mempersingkat proses tapi sebenarnya tetap prosesnya panjang.“

Semua yang mendengar mengangguk setuju.

“Kalau kamu mau masuk lagi dari tempat lain, kalau tidak salah ada beberapa lorong lain di luar sana. Tapi saya belum bisa memastikan keberadaannya.“

Mendengar penjelasan Blentung, Wira mau mengajak Blentung untuk ikut dalam perjalanan. Agar suatu saat dia bisa menemukan lorong lain menuju alam Bhumi Wana.

Para gadis beristirahat di dalam kemah, sedangkan Wira berjaga di dekat api. Dia bersemedi dan mengumpulkan banyak energi dari alam. Lalu Blentung berubah menjadi seekor katak bertubuh langsing dan kaki panjang, namun memiliki semacam sayap selaput di punggungnya.

Melihat perubahan Blentung, Lonbur yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara.

“Saudaraku, apakah kamu bisa mengajariku bagaimana cara berubah menjadi bentuk manusia?“ tanya Lonbur.

“Krok! Thung! Kreok thung!“ jawab Blentung dalam bahasa katak.

“Jangan begitulah, Saudaraku. Aku baru bertapa beberapa tahun. Dan baru bisa berbahasa manusia. Sekarang aku punya sepasang sayap ini, karena kakek Garuda Emas yang memberikannya padaku.“

Mendengar nama Garuda Emas, Blentung kembali menjadi bentuk manusia.

“Maafkan aku saudara. Aku memang belum bisa berbahasa manusia kalau dalam bentuk katak. Karena sejatinya aku berasal dari bangsa jin air. Jadi kalau berubah menjadi bentuk hewan, aku belum bisa berbahasa manusia. Tolong ajak aku menemui guru besar itu.“ Blentung menerangkan dan ingin dipertemukan dengan guru Garuda Emas.

“Ikut saja dengan kami, saudaraku. Suatu saat kita akan kembali bertemu guru. Ayo istirahat dulu.“

Setelah kembali menjadi katak, Blentung berdiam di atas batu dekat sumur. Lalu Lonbur terbang ke dahan pohon dan bediam di sana.

Di sisi Wira, fluktuasi energi mengalir deras di sekitar tubuhnya. Angin lembut perlahan meresap ke dalam tubuh Wira.

Api unggun menari-nari mengikuti aliran energi Wira. Tampak indah dan cantik cahaya menerangi kemah mereka.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status