"Silakan duduk, Lilian," ujar Priambodo dengan suara berat dan dalam. Nada bicaranya tidak berubah sejak terakhir mereka bertemu, hangat, namun tetap berjarak.Lilian mengangguk ringan, duduk perlahan di kursi seberangnya. Ia meletakkan tas kecilnya di pangkuan dan merapikan rambutnya sebelum akhirnya menjawab dengan lembut."Terima kasih sudah bersedia bertemu, Mas"Priambodo menatapnya sejenak, menahan napas sebelum akhirnya berbicara dengan tenang.“Aku tahu kamu tidak akan datang kalau ini bukan hal penting, Lil. Jadi, katakan saja, apa maksud dari pertemuan ini?”Lilian menatap pria di hadapannya begitu dalam. Di balik tenangnya raut wajahnya, ada badai yang siap dilepas. Lilian menghela napas panjang, menyandarkan punggungnya sejenak sebelum menatap Priambodo dengan sorot mata penuh pertimbangan. Tak ada lagi waktu untuk menjaga gengsi. Ia tahu, di hadapan pria ini, tak perlu topeng apa pun."Perusahaanku sedang diambang kehancuran, Mas," ucap Lilian lirih namun tegas. "Narendr
Hari keberangkatan ke Singapura akhirnya tiba.Pagi itu, langit terlihat begitu cerah. Matahari belum terlalu tinggi ketika mobil yang membawa Rama, Cinta, dan Chiara meluncur menuju bandara. Sepanjang perjalanan, Chiara duduk nyaman dalam pelukan Rama, tertawa-tawa kecil melihat pesawat-pesawat melintas di langit.Wajah gadis kecil itu berseri, matanya berbinar menyalakan api kebahagiaan bagi kedua orang tuanya.Beberapa hari sebelumnya, Cinta sudah menyelesaikan semua urusannya. Akhirnya ia mempercayakan kafe kepada Anisa, pemilik lama yang dia Yakini sangat mumpuni untuk memegang tanggung jawab itu.Anisa menerimanya dengan senang, meski mengingatkan akan luka di masa lalu, tapi kafe itu adalah impiannya. Hardy sempat terlihat diam saat melihat kehadiran Anisa kembali di sana. Dahulu dia bisa berinteraksi biasa saja bersama Anisa, tapi kini ada rasa canggung dan aneh yang tidak bisa Hardy ungkapkan.Cinta bisa merasakan ada sesuatu yang tersimpan, tapi memilih untuk menghormati dia
Jika darah bajingan mengalir deras dalam tubuh Kevin, darah bisnis mengalir deras dalam tubuh Rama. Berbagai permasalah yang timbul saat merencanakan perjalanan ke Singapura, calon pemimpin Narendra Group itu justru menemukan peluang bisnis.Rama tiba di lobi rumah sakit Mount Elizabeth Orchard dengan mengenakan setelan jas navy yang rapi. Wajahnya serius namun tetap tenang. Di tangan kirinya, ia membawa map berisi proposal kerja sama yang telah disiapkan dengan cermat oleh tim bisnis Narendra Group.Di sana, seorang wanita paruh baya yang berpenampilan profesional menghampirinya dengan senyum hangat."Mr. Rama Narendra? I’m Dr. Yvonne, director of international medical services. Welcome," ucapnya sambil menjabat tangan Rama.“Senang bertemu dengan Anda, Dokter,” balas Rama dengan sopan.Mereka lalu menuju ruang rapat di lantai atas. Suguhan teh dan kudapan ringan tersedia di meja. Setelah basa-basi singkat, pertemuan pun dimulai.Rama membuka pembicaraan, “Narendra Group melihat pelu
Cinta merasa Rama sudah berusaha memberikan yang terbaik untuknya dan Chiara. Dan yang bisa dia lakukan untuk membalasnya hanya dengan menjadi istri yang baik. Malam ini dia akan memberikan imbalan yang sepadan atas semua perjuangan Rama.Di atas pangkuan Rama, Cinta bergerak liar memberikan sentuhan yang membuat suara erangan frustrasi keluar dari bibir suaminya. Rama pun tidak menyia-nyiakan apa yang berada tepat di hadapannya, tentu bukan hanya untuk dipandang, tetapi juga dilahap.Gigitan kecil dan hisapan kuat yang diberikan Rama membuat Cinta semakin liar bergerak memburu kenikmatan. Desahan yang keluar dari mulutnya bagai bensin yang menyiram gairah Rama hingga semakin terbakar.Sebenarnya Rama sangat menikmati permainan Cinta, tetapi dia merasa sudah tidak tahan, dan waktunya untuk mengambil kendali. Rama membalikkan tubuh, dan membuat Cinta kini berada di bawah kendalinya.“Ram… Ah!”Rama menoleh ke arah pintu penghubung ke kamar Chiara saat Cinta menjerit keras menyebut nama
Untuk memuluskan rencananya, Kevin bergegas menuju ke kafe milik Cinta. Di balik kemudi mobil mewahnya, duda beranak satu itu menatap lurus ke depan.Sesekali pandangannya berpindah ke kursi penumpang di sebelahnya, tempat sebuket bunga mawar merah segar dan sebuah boneka beruang mungil duduk manis. Senyumnya samar, tapi bukan senyum bahagia. Lebih seperti sedang Menyusun rencana dengan akurat, campuran manipulasi dan ambisi.Ponselnya bergetar. Nama Maira berkedip di layar. Kevin mendengus pelan, lalu menggeser layar untuk menolak panggilan itu. Tidak sekarang, pikirnya. Dia tidak ingin diganggu oleh wanita yang sudah tak lagi punya peran dalam rencana barunya.Sesampainya di depan kafe milik Cinta, Kevin memarkirkan mobilnya dengan santai. Ia keluar sambil membawa bunga dan boneka, matanya menyapu sekeliling. Tempat itu masih sama, pikirnya. Hangat, ramah, penuh aroma kopi dan kayu manis. Seolah-olah Cinta dan Chiara akan menyambut kedatangannya dengan suka cita.Hardy yang tengah m
Kevin berdiri terpaku di depan pintu kafe, seolah kakinya tertambat di tanah. Hatinya berkecamuk, matanya kosong menatap ke jalan. Anisa berdiri tak jauh di belakangnya, menyilangkan tangan dan tetap tersenyum—senyum yang hangat di permukaan, namun penuh penghakiman di kedalaman.“Rama dan Cinta... menikah?” tanya Kevin sekali lagi, lebih kepada dirinya sendiri.Tidak mudah baginya mempercayai informasi yang terlontar dari bibir Anisa.“Benar, Pak,” sahut Anisa dengan mantap, seolah ingin meyakinkan Kevin jika telinganya tidak salah dengar.“Sedikit terburu-buru, sih. Jadi mereka menikah secara sederhana.”Cinta hamil, itu dugaan yang muncul di kepala Kevin, hingga membuatnya merasa kalah dalam segala hal dari Rama. Kevin benar-benar sudah terlambat.“Chiara terlihat sangat bahagia memiliki Papa baru yang sangat menyayanginya. Bahkan rela mengeluarkan uang banyak untuk pengobatannya.”Kevin memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan getar di rahangnya. Anisa melihat itu. Ia tahu lelak
Dengan wajah yang terlihat penuh beban, Lilian mendekati putra semata wayangnya.“Di hadapan Priam, kau harus bilang kalau Cinta berselingkuh dengan Rama saat pernikahan kalian masih sah. Katakan kalau dia mulai berubah saat perusahaanmu mulai oleng. Dan Rama? Rama menyabotase proyek-proyekmu. Dia sengaja menjatuhkanmu karena ingin merebut istrimu.”Kevin menggeleng bingung. “Tapi, Ma... itu semua tidak…”“Dengarkan aku!” bentak Lilian dengan nada dingin. “Kau hanya perlu membuat Priambodo percayamu dan semakin merasa bersalah. Kita hanya perlu mengarahkan rasa bersalah itu.”“Lalu apa?” tanya Kevin, mulai memahami arah ibunya.“Lalu kita minta bantuannya. Bukan hanya untuk mendapatkan kembali Cinta dan Chiara, tapi juga mengembalikan kehormatan keluargamu. Kita dorong dia untuk melibatkanmu dalam bisnisnya. Bukankah itu tujuan kita dari awal?” Lilian menatap tajam, penuh keyakinan.Kevin terdiam. Kepalanya penuh pertimbangan, tapi di balik wajah bimbang itu, perlahan tumbuh kembali b
Pagi itu rumah sakit terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan semalam menyisakan embun tipis di jendela ruang tunggu. Di ruang rawat khusus anak, Chiara duduk di ranjangnya dengan bantal peluk di tangan. Rambutnya diikat dua, seperti biasa, tapi kali ini matanya sedikit sayu.Rama duduk di sampingnya, menggenggam tangan kecil itu dengan penuh kelembutan. Senyum hangat terukir di wajahnya, meski hatinya dicekam kekhawatiran.“Chia sudah siap?” tanya Rama pelan. “Operasinya sebentar lagi. Setelah itu, kamu bakal mulai jalan pelan-pelan lagi.”Chiara menunduk. Bibirnya mengerucut, menahan rasa takut yang mulai menyeruak.“Tapi… kalau operasinya gagal? Kalau Chia nggak bisa jalan lagi?” tanya Chiara lirih, ada ketakutan dalam tiap katanya.Rama menarik napas. Ada getaran di dadanya. Ia membelai rambut anak itu, lalu memeluknya erat.“Kalau itu terjadi… papa akan jadi kaki buat kamu. Papa yang akan gendong kamu ke mana pun kamu mau. Mau ke taman, ke sekolah, ke pantai. Ke mana aja.”Chiara
Operasi Chiara berjalan sukses. Senyum dokter Lim Wei Han yang menyambut mereka di ruang konsultasi pascaoperasi menjadi kabar paling melegakan bagi Rama dan Cinta.“Operasi stabilisasi tulang kaki kiri Chiara berjalan lancar,” jelas dokter Lim Wei Han dengan nada tenang. “Kami berhasil merekonstruksi bagian yang mengalami kerusakan akibat trauma, dan implan sudah terpasang sempurna. Namun, proses penyembuhan pascaoperasi sangat krusial.”Cinta menggenggam tangan Rama erat. Matanya berkaca-kaca.“Chiara akan menjalani fisioterapi bertahap untuk memperkuat otot-otot di sekitar sendi lutut dan pergelangan kaki. Kami juga akan melakukan terapi okupasi ringan, untuk membiasakan kembali fungsi mobilitasnya secara perlahan. Dalam satu minggu ke depan, kami akan mulai dengan latihan gerakan pasif dibantu alat, kemudian progresif menuju latihan aktif dan berdiri dengan bantuan,” lanjut dokter Lim.“Berarti... dia bisa berjalan lagi?” tanya Cinta dengan suara pelan.Dokter Lim Wei Han mengangg
Priambodo menatap Kevin dalam-dalam, mencoba menelisik kebenaran dari setiap kata yang keluar. Tapi Kevin pandai bermain peran. Sorot matanya dibuat seolah-olah pecahan dari hati yang hancur.“Cinta mulai berubah sejak proyek kerja sama antara kami dan perusahaan Rama. Awalnya saya pikir dia hanya mengagumi pria itu secara profesional… tapi kemudian saya sadar, mereka lebih dari sekadar rekan bisnis. Saya terlalu sibuk menyelamatkan perusahaan yang sudah digoyang Rama. Dan saat saya sadar, mereka sudah bersama… dan meninggalkan saya.”Suara Kevin nyaris tercekat. Ia memainkan rasa bersalah yang dalam, seolah-olah ia adalah korban dari takdir dan pengkhianatan.Priambodo menarik napas berat. Wajahnya tak menunjukkan emosi yang jelas, namun tangannya yang mengusap dagu menandakan pikirannya sedang berputar.“Apa yang kamu inginkan sekarang, Kevin?” tanya Priambodo pelan.Kevin menunduk dalam-dalam, lalu mendongak dengan mata penuh luka.“Saya hanya ingin keluarga saya kembali. Saya ingi
Pagi itu rumah sakit terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan semalam menyisakan embun tipis di jendela ruang tunggu. Di ruang rawat khusus anak, Chiara duduk di ranjangnya dengan bantal peluk di tangan. Rambutnya diikat dua, seperti biasa, tapi kali ini matanya sedikit sayu.Rama duduk di sampingnya, menggenggam tangan kecil itu dengan penuh kelembutan. Senyum hangat terukir di wajahnya, meski hatinya dicekam kekhawatiran.“Chia sudah siap?” tanya Rama pelan. “Operasinya sebentar lagi. Setelah itu, kamu bakal mulai jalan pelan-pelan lagi.”Chiara menunduk. Bibirnya mengerucut, menahan rasa takut yang mulai menyeruak.“Tapi… kalau operasinya gagal? Kalau Chia nggak bisa jalan lagi?” tanya Chiara lirih, ada ketakutan dalam tiap katanya.Rama menarik napas. Ada getaran di dadanya. Ia membelai rambut anak itu, lalu memeluknya erat.“Kalau itu terjadi… papa akan jadi kaki buat kamu. Papa yang akan gendong kamu ke mana pun kamu mau. Mau ke taman, ke sekolah, ke pantai. Ke mana aja.”Chiara
Dengan wajah yang terlihat penuh beban, Lilian mendekati putra semata wayangnya.“Di hadapan Priam, kau harus bilang kalau Cinta berselingkuh dengan Rama saat pernikahan kalian masih sah. Katakan kalau dia mulai berubah saat perusahaanmu mulai oleng. Dan Rama? Rama menyabotase proyek-proyekmu. Dia sengaja menjatuhkanmu karena ingin merebut istrimu.”Kevin menggeleng bingung. “Tapi, Ma... itu semua tidak…”“Dengarkan aku!” bentak Lilian dengan nada dingin. “Kau hanya perlu membuat Priambodo percayamu dan semakin merasa bersalah. Kita hanya perlu mengarahkan rasa bersalah itu.”“Lalu apa?” tanya Kevin, mulai memahami arah ibunya.“Lalu kita minta bantuannya. Bukan hanya untuk mendapatkan kembali Cinta dan Chiara, tapi juga mengembalikan kehormatan keluargamu. Kita dorong dia untuk melibatkanmu dalam bisnisnya. Bukankah itu tujuan kita dari awal?” Lilian menatap tajam, penuh keyakinan.Kevin terdiam. Kepalanya penuh pertimbangan, tapi di balik wajah bimbang itu, perlahan tumbuh kembali b
Kevin berdiri terpaku di depan pintu kafe, seolah kakinya tertambat di tanah. Hatinya berkecamuk, matanya kosong menatap ke jalan. Anisa berdiri tak jauh di belakangnya, menyilangkan tangan dan tetap tersenyum—senyum yang hangat di permukaan, namun penuh penghakiman di kedalaman.“Rama dan Cinta... menikah?” tanya Kevin sekali lagi, lebih kepada dirinya sendiri.Tidak mudah baginya mempercayai informasi yang terlontar dari bibir Anisa.“Benar, Pak,” sahut Anisa dengan mantap, seolah ingin meyakinkan Kevin jika telinganya tidak salah dengar.“Sedikit terburu-buru, sih. Jadi mereka menikah secara sederhana.”Cinta hamil, itu dugaan yang muncul di kepala Kevin, hingga membuatnya merasa kalah dalam segala hal dari Rama. Kevin benar-benar sudah terlambat.“Chiara terlihat sangat bahagia memiliki Papa baru yang sangat menyayanginya. Bahkan rela mengeluarkan uang banyak untuk pengobatannya.”Kevin memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan getar di rahangnya. Anisa melihat itu. Ia tahu lelak
Untuk memuluskan rencananya, Kevin bergegas menuju ke kafe milik Cinta. Di balik kemudi mobil mewahnya, duda beranak satu itu menatap lurus ke depan.Sesekali pandangannya berpindah ke kursi penumpang di sebelahnya, tempat sebuket bunga mawar merah segar dan sebuah boneka beruang mungil duduk manis. Senyumnya samar, tapi bukan senyum bahagia. Lebih seperti sedang Menyusun rencana dengan akurat, campuran manipulasi dan ambisi.Ponselnya bergetar. Nama Maira berkedip di layar. Kevin mendengus pelan, lalu menggeser layar untuk menolak panggilan itu. Tidak sekarang, pikirnya. Dia tidak ingin diganggu oleh wanita yang sudah tak lagi punya peran dalam rencana barunya.Sesampainya di depan kafe milik Cinta, Kevin memarkirkan mobilnya dengan santai. Ia keluar sambil membawa bunga dan boneka, matanya menyapu sekeliling. Tempat itu masih sama, pikirnya. Hangat, ramah, penuh aroma kopi dan kayu manis. Seolah-olah Cinta dan Chiara akan menyambut kedatangannya dengan suka cita.Hardy yang tengah m
Cinta merasa Rama sudah berusaha memberikan yang terbaik untuknya dan Chiara. Dan yang bisa dia lakukan untuk membalasnya hanya dengan menjadi istri yang baik. Malam ini dia akan memberikan imbalan yang sepadan atas semua perjuangan Rama.Di atas pangkuan Rama, Cinta bergerak liar memberikan sentuhan yang membuat suara erangan frustrasi keluar dari bibir suaminya. Rama pun tidak menyia-nyiakan apa yang berada tepat di hadapannya, tentu bukan hanya untuk dipandang, tetapi juga dilahap.Gigitan kecil dan hisapan kuat yang diberikan Rama membuat Cinta semakin liar bergerak memburu kenikmatan. Desahan yang keluar dari mulutnya bagai bensin yang menyiram gairah Rama hingga semakin terbakar.Sebenarnya Rama sangat menikmati permainan Cinta, tetapi dia merasa sudah tidak tahan, dan waktunya untuk mengambil kendali. Rama membalikkan tubuh, dan membuat Cinta kini berada di bawah kendalinya.“Ram… Ah!”Rama menoleh ke arah pintu penghubung ke kamar Chiara saat Cinta menjerit keras menyebut nama
Jika darah bajingan mengalir deras dalam tubuh Kevin, darah bisnis mengalir deras dalam tubuh Rama. Berbagai permasalah yang timbul saat merencanakan perjalanan ke Singapura, calon pemimpin Narendra Group itu justru menemukan peluang bisnis.Rama tiba di lobi rumah sakit Mount Elizabeth Orchard dengan mengenakan setelan jas navy yang rapi. Wajahnya serius namun tetap tenang. Di tangan kirinya, ia membawa map berisi proposal kerja sama yang telah disiapkan dengan cermat oleh tim bisnis Narendra Group.Di sana, seorang wanita paruh baya yang berpenampilan profesional menghampirinya dengan senyum hangat."Mr. Rama Narendra? I’m Dr. Yvonne, director of international medical services. Welcome," ucapnya sambil menjabat tangan Rama.“Senang bertemu dengan Anda, Dokter,” balas Rama dengan sopan.Mereka lalu menuju ruang rapat di lantai atas. Suguhan teh dan kudapan ringan tersedia di meja. Setelah basa-basi singkat, pertemuan pun dimulai.Rama membuka pembicaraan, “Narendra Group melihat pelu
Hari keberangkatan ke Singapura akhirnya tiba.Pagi itu, langit terlihat begitu cerah. Matahari belum terlalu tinggi ketika mobil yang membawa Rama, Cinta, dan Chiara meluncur menuju bandara. Sepanjang perjalanan, Chiara duduk nyaman dalam pelukan Rama, tertawa-tawa kecil melihat pesawat-pesawat melintas di langit.Wajah gadis kecil itu berseri, matanya berbinar menyalakan api kebahagiaan bagi kedua orang tuanya.Beberapa hari sebelumnya, Cinta sudah menyelesaikan semua urusannya. Akhirnya ia mempercayakan kafe kepada Anisa, pemilik lama yang dia Yakini sangat mumpuni untuk memegang tanggung jawab itu.Anisa menerimanya dengan senang, meski mengingatkan akan luka di masa lalu, tapi kafe itu adalah impiannya. Hardy sempat terlihat diam saat melihat kehadiran Anisa kembali di sana. Dahulu dia bisa berinteraksi biasa saja bersama Anisa, tapi kini ada rasa canggung dan aneh yang tidak bisa Hardy ungkapkan.Cinta bisa merasakan ada sesuatu yang tersimpan, tapi memilih untuk menghormati dia