Share

141. Siapa Dia?

Penulis: Henny Djayadi
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-14 22:33:05

Di kafe milik Cinta, suasana siang itu tak seramai biasanya. Beberapa pelanggan duduk tenang, menikmati kopi dan suasana yang hangat. Di sudut dekat jendela besar yang menghadap ke taman kecil, Cinta dan Anisa duduk berhadapan. Dua cangkir kopi mengepul di atas meja. Sorot mata Anisa tampak serius, berbeda dari biasanya yang penuh canda.

“Aku pikir... karena kamu sudah balik, aku bisa meninggalkan kafe ini,” ujar Anisa sambil memainkan ujung sendok di dalam cangkirnya. Suaranya tenang tapi tegas, seperti sudah memikirkan keputusan itu cukup lama.

Cinta menggeleng perlahan.

“Jangan dulu, Nis,” ucap Cinta pelan, terdengar seperti sedang memohon. “Aku masih butuh bantuanmu.”

Anisa mengangkat wajahnya, terlihat ragu. “Tapi kamu sudah kembali. Dan kafe ini sudah tidak butuh aku lagi.”

“Pengobatan Chiara belum sebenarnya belum tuntas. Dia masih harus rutin menjalani fisioterapi. Kami terpaksa pulang lebih cepat karena papa Rama sakit.”

Anisa terdiam, mencoba memikir ulang rencana hidupnya k
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Al Ghazali
siapa ya kira², lanjut terus kk Thor ......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    143. Kebodohan Widya

    Widya baru saja selesai membereskan semua bekas makan siang. Ia mengambil tisu, menyeka meja kerja Rama yang sedikit berantakan oleh sisa remah camilan. Gerakannya tenang, penuh kasih, seperti ibu mana pun yang selalu ingin memastikan segalanya sempurna untuk anaknya.Namun ketenangan itu buyar seketika saat matanya tanpa sengaja menangkap ponsel Rama yang tergeletak di samping laptop. Layar ponsel menyala, bergetar ringan. Sebuah pesan masuk.Dari kontak bernama Cintaku. Awalnya Widya tersenyum membaca nama kontak yang terkesan sangat special. Tapi senyum itu raib seketika kala dia melihat di bawahnya ada pesan dari kontak Evita dan Dion.Widya tertegun. Ia tak membaca isi pesannya, hanya sekilas menatap nama-nama itu. Tapi cukup untuk membuat benaknya dipenuhi oleh rasa curiga yang tak bisa ia abaikan. Cintaku, nama kontak itu terlalu intim, terlalu berani. Dan nama itu sepertinya tidak merujuk pada gadis pilihannya, Evita.Seketika hati Widya terasa seperti disayat. Ketenangan yang

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    142. Badai yang Akan Datang

    Berkas-berkas yang awalnya menumpuk di atas meja kerja Rama tampak sudah banyak yang berkurang. Sementara itu di meja lain yang terdapat di ruangan itu, tampak Widya sedang menyiapkan makan siang untuk putranya. Aroma makanan hangat menyeruak begitu Widya membuka kotak makan berisi hidangan kesukaan Rama. Ia menata semuanya di atas meja sambil menunggu Rama menyelesaikan pekerjaannya."Mama tahu kamu pasti belum sempat makan," ucap Widya dengan senyum tulus, penuh perhatian seorang ibu.Rama tersenyum kecil lalu bangkit dari tempat duduknya menghampiri Widya yang sudah menyiapkan makan siang untuknya."Terima kasih, Ma." Rama merasa sedikit bersalah karena belum sempat menghubungi mama dan papanya sejak pagi.Mereka mulai makan dalam diam. Hanya suara sendok dan garpu yang sesekali terdengar, hingga akhirnya Widya membuka percakapan."Bagaimana perkembangan proyek kita yang di Semarang?"Nada suaranya halus tapi penuh makna. Rama tahu, sang mama bukan peduli dengan Nasib proyek, tetap

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    141. Siapa Dia?

    Di kafe milik Cinta, suasana siang itu tak seramai biasanya. Beberapa pelanggan duduk tenang, menikmati kopi dan suasana yang hangat. Di sudut dekat jendela besar yang menghadap ke taman kecil, Cinta dan Anisa duduk berhadapan. Dua cangkir kopi mengepul di atas meja. Sorot mata Anisa tampak serius, berbeda dari biasanya yang penuh canda.“Aku pikir... karena kamu sudah balik, aku bisa meninggalkan kafe ini,” ujar Anisa sambil memainkan ujung sendok di dalam cangkirnya. Suaranya tenang tapi tegas, seperti sudah memikirkan keputusan itu cukup lama.Cinta menggeleng perlahan.“Jangan dulu, Nis,” ucap Cinta pelan, terdengar seperti sedang memohon. “Aku masih butuh bantuanmu.”Anisa mengangkat wajahnya, terlihat ragu. “Tapi kamu sudah kembali. Dan kafe ini sudah tidak butuh aku lagi.”“Pengobatan Chiara belum sebenarnya belum tuntas. Dia masih harus rutin menjalani fisioterapi. Kami terpaksa pulang lebih cepat karena papa Rama sakit.”Anisa terdiam, mencoba memikir ulang rencana hidupnya k

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    140. Restu dan Keyakinan Arman

    Suasana seketika hening. Bahkan bunyi mesin di sudut ruangan terdengar lebih keras dari biasanya. Arman menatap putranya dalam diam. Tidak ada kata yang terucap dari bibirnya, hanya tatapan yang menusuk, seolah ingin memastikan jika ia tidak salah dengar.Rama menggigit bibir bawahnya, menunggu reaksi dari ayah yang selama ini jadi panutannya, dan kini menjadi sosok yang paling ingin ia yakinkan.Helaan napas Arman seolah tertahan di tenggorokan saat akhirnya dia bertanya dengan suara pelan namun penuh tekanan, “Sungguh, Ram?”Rama mengangguk perlahan.Arman mengalihkan pandangannya ke langit-langit ruangan sejenak, seolah sedang berusaha mencerna informasi yang baru saja diterimanya. Lalu dia kembali menatap putranya.“Jadi perempuan itu?”“Ya, dia... Cinta,” jawab Rama mantap, walau suaranya sedikit berat, dan tampak malu, karena dia tahu sang ayah sedang membicarakan suara desahan yang sempat dia dengar.Arman mengedipkan mata pelan, lalu menurunkan tubuhnya sedikit ke bantal, mena

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    139. Kejujuran Rama

    Rama masih berdiri terpaku di ambang pintu. Wajah Arman pucat, dan selang infus masih tertancap di tangan kirinya. Tapi yang membuat Rama terdiam adalah pemandangan lain—di atas brankar rumah sakit itu, sang ayah tetap memeriksa beberapa berkas yang tampaknya penting. Pena di tangannya bergerak pelan, tangan yang biasanya kokoh kini sedikit bergetar.“Papa...” ucap Rama lirih, suara yang lebih mencerminkan campuran rasa khawatir dan tak percaya.Arman hanya menoleh sekilas. “Kamu sudah datang.”Rama melangkah mendekat, ingin merebut berkas itu dan menyuruh ayahnya berhenti bekerja, tapi ia menahan diri. Ia tahu betul, ini bukan tentang keras kepala. Ini tentang tanggung jawab.Beruntung Cinta berhasil meyakinkannya untuk segera pulang. Seandainya tidak, mungkin Rama akan menghabiskan sisa hidupnya dalam penyesalan, karena merasa menjadi anak yang tidak berguna. Dalam hati, Rama merasa telah memilih perempuan yang tepat untuk menjadi pendamping hidupnya.Di sisi ranjang, Widya menoleh

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    138. Semoga Hanya Sementara

    Lampu-lampu jalan berpendar redup di balik jendela kamar, dan suara detak jam terdengar jelas dalam keheningan. Chiara sudah tertidur pulas di tempat tidurnya, wajah kecilnya begitu damai, napasnya teratur. Rambut hitam legamnya mengembang di atas bantal, pipinya merona, seolah semua penderitaan kemarin hanya bayang samar yang perlahan memudar.Rama duduk di tepi tempat tidur, memandangi gadis kecil itu dengan sorot mata sendu. Ia menunduk, lalu mengecup kening Chiara dengan lembut, seperti ingin menyampaikan janji diam-diam, bahwa dia akan memberikan yang terbaik untuknya, menebus kesalahan yang telah dia lakukan."Papa sayang kamu," bisik Rama lirih, nyaris tak terdengar.Dia bangkit pelan, lalu berjalan mendekati Cinta yang tengah merapikan beberapa barang di meja kecil. Ia berdiri di belakangnya, lalu melingkarkan lengannya di pinggang perempuan itu. Cinta tersenyum kecil, tidak terkejut, hanya menoleh sedikit saat Rama mendekat dan mencium bibirnya singkat namun sarat makna."Ras

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    137. Pengorbanan dan Beban Rama

    Suasana Bandara Changi dipenuhi para pelancong yang lalu-lalang. Cinta menggenggam tangan Chiara yang mengenakan sweater kuning pucat dan celana panjang berbahan lembut. Rambut pendek Chiara tampak rapi, dan pipinya mulai kembali merona. Tak ada lagi selang infus di tangan, tak ada lagi kursi roda. Hari itu mereka kembali ke Indonesia, siap menghadapi kenyataan yang selama ini mereka tunda.Rama berjalan beberapa langkah di depan mereka, mengenakan hoodie abu-abu dan kacamata hitam gelap. Penampilannya berbeda dari biasanya, tidak mencolok, sebagai upaya untuk terlihat tidak dikenali. Dia tidak ingin wajahnya tertangkap kamera bandara atau bahkan dikenali oleh kenalan lama yang bisa saja langsung mengabari kedua orang tuannya yang belum tahu apa pun tentang Cinta dan Chiara.Cinta memerhatikan Rama dari belakang. Wajahnya tenang, tapi dalam hatinya dia tahu Rama sedang berperang dengan pikirannya sendiri. Perjalanan pulang ini bukan sekadar soal berpindah tempat. Ada hal rumit yang se

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    136. Pulang

    Evita tak menjawab. Ia hanya menatap Dion, penuh luka, penuh kecewa, dan tanpa kata. Dion terdiam, membaca tatapan itu. Ia tahu, perempuan di hadapannya sedang hancur. Bukan karena dia, tapi karena pria lain. Namun Evita berdiri di pintunya malam ini. Itu cukup.“Mau masuk?” tanya Dion penuh basa basi sambil membuka lebar pintu kamarnya, memberi jalan kepada Evita.Calon penerus Loekito Corporation itu melangkah masuk, mengabaikan harga dirinya. Ia hanya ingin berhenti merasa sendiri, walau sejenak.Dengan perlahan Dion menutup pintu kamarnya, dan menatap Evita yang berdiri memunggungi dirinya.“Ada yang bisa ku bantu?”Tak ada jawaban, Evita membalikkan tubuhnya, menatap Dion dengan tatapan yang sulit di artikan.“Aku menyesal….” Evita menjeda kalimatnya sambil menatap mata Dion yang melebar menunggunya melanjutkan kalimat.Evita menghembuskan napas secara kasar, mengurai kegugupan dan menyingkirkan luka hatinya. Dia ingin bersenang-senang sejenak.“Aku menyesal karena melakukannya d

  • Karena Cinta, Tuan Penguasa tak Sanggup Menahan Gairah    135. Berkunjung ke Kamar Sebelah

    Evita terdiam sejenak. Ada dilemma dalam hatinya, berbohong atau mengatakan keadaan yang sejujurnya.“Iya, Tante… Kami meninjau proyek bersama. Semuanya berjalan lancar, kok.” Bagi Evita ini jawaban yang paling menguntungkan“Bagus,” sahut Widya cepat, nadanya penuh harapan. “Berarti sekarang kalian sedang bersama, kan? Kalian menikmatinya.”Evita kembali tertawa, kali ini terdengar sedikit canggung. “I iya, Tante.”Widya mengangguk pelan meski Evita tak bisa melihatnya. “Tante senang mendengarnya. Kamu tahu, Evita… tadi papanya Rama marah-marah habis hubungi Rama. Katanya Rama main perempuan lagi… padahal kan sekarang dia sedang bersama kamu.”Widya tertawa renyah, seolah menganggap kekhawatiran sang suami adalah hal yang lucu, dan pantas ditertawakan bersama Evita.“Tante percaya sama kamu. Tante yakin, Rama tidak akan aneh-aneh kalau kalau sama kamu.Ada jeda dari seberang, lalu terdengar suara tawa Evita. “Terima kasih, Tante. Aku… aku tidak tahu harus menjawab apa. Tapi aku sena

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status