Niat Rama untuk segera pulang tampaknya harus tertunda. Setelah percakapan penuh tekanan bersama Priambodo dan pertemuan mengejutkan dengan Kevin, kini dia harus terperangkap dalam lingkaran lain yang tak kalah menyita tenaga, mamanya sendiri dengan sirkel sosialitanya.Widya tengah duduk bersama dua temannya, mengenakan gaun elegan berwarna lembut, dan tertawa kecil dengan anggun. Di tengah-tengah mereka berdiri seorang gadis muda, anggun, sopan, dan tampak dipoles sempurna.Sekilas, Rama mengenal wajah itu dari salah satu acara sosial yang pernah ia hadiri. Gadis itu beberapa kali mencuri pandang ke arahnya, senyumnya malu-malu, tapi jelas diarahkan penuh harap.Rama mendekat sekadarnya, menahan nafas. Ia tahu betul medan ini lebih licin daripada pertemuan bisnis manapun. Dan benar saja, setelah beberapa basa-basi singkat, ibu sang gadis mulai membuka pembicaraan dengan nada menggoda.“Setelah ditinggal nikah sama Evita,” ucapnya sambil melirik putrinya, “apa rencana Rama selanjutny
Rama sempat terdiam, terpaku menatap pria paruh baya yang berdiri dengan penuh kharisma dan berwibawa di tengah keramaian pesta malam itu. Sorot matanya tajam, posturnya tegap, dan seluruh penampilannya memancarkan aura seseorang yang terbiasa dihormati.Meskipun mereka belum pernah bertemu secara langsung, Rama tahu betul siapa pria itu, Priambodo. Seorang pengusaha senior, bagian dari kelompok elite old money di negeri ini. Namanya dikenal sebagai sosok berpengaruh yang jarang tampil di media, namun semua orang penting tahu keberadaannya.Rama menarik napas dalam, berusaha menjaga ketenangan. Ia melangkah mendekat, namun belum sempat menyapa, sang papa, Arman sudah lebih dulu menyalami Priambodo dengan senyum penuh perhitungan dan keramahan yang khas di antara kalangan pengusaha.“Pak Priambodo,” sapa Arman hangat. “Senang sekali bisa bertemu Anda di acara ini.”“Arman Narendra,” jawab Priambodo sambil mengangguk pelan. “Selalu menyenangkan bertemu rekan lama di momen-momen seperti
Malam menurunkan tirainya dengan lembut, menyelimuti kamar Rama dan Cinta dengan keheningan yang hanya dipecahkan oleh desis pendingin ruangan dan detak jam dinding. Lampu temaram menerangi ruang kamar, memberi nuansa hangat namun penuh bayangan.Di depan cermin besar, Rama berdiri dengan jas abu gelap yang baru saja dikenakannya. Dasi hitam tergantung longgar di lehernya, belum terikat dengan sempurna.Dari balik pintu kamar mandi, Cinta muncul. Rambutnya masih sedikit basah, dicepol sekenanya, seolah ingin memperlihatkan leher jenjangnya. Ia mengenakan lingerie merah yang menggoda, tipis dan berani, membungkus tubuhnya yang ramping. seperti pernyataan diam bahwa ia belum rela melepas Rama pergi hari ini.Ia mendekat pelan, seperti bayangan, lalu berdiri di tepat di hadapan Rama. Dengan hati-hati, ia meraih dasi di leher suaminya. Jemarinya cekatan merapikan ikatan, sementara matanya menatap pantulan wajah Rama di cermin.“Harus seganteng ini, ya?” tanya Cinta pelan, sangat kentara d
Sekejap pikiran Cinta melayang ke masa lalu yang tidak begitu jauh. Pada saat dirinya dipertemukan kembali dengan Rama dalam situasi yang tidak terduga. Waktu itu Dion memberinya saran, agar Cinta menerima saja nasibnya menjadi perempuan simpanan Rama, dan memanfaatkan sikap royal Rama demi keuntungan. Saran yang waktu itu membuatnya marah dan malu, tapi justru jadi pemicu keputusan besar dalam hidupnya.Dan benar saja, setelah kontraknya dengan Rama berakhir, Cinta menjual semua pemberian Rama, perhiasan mahal, tas branded, dan pakaian-pakaian mewah yang ingin dia singkirkan. Dari situlah ia mulai membuka kafe yang kini menjadi tempatnya berdiri sendiri.Tak disangka, lelaki yang menjadi orang kepercayaan suaminya itu menikah dengan Evita, perempuan yang dalam ingatannya, belum lama datang ke kafe dan menyombongkan bahwa dia akan menikah dengan Rama.“Cepet banget, ya,” gumam Cinta pelan. “Rasanya belum lama Evita dateng ke kafe. Dia bilang dia yang akan nikah sama kamu.”Rama hanya
Di sebuah kafe elegan di kawasan elite, dua perempuan paruh baya duduk menghadap jendela besar. Suasana hangat sore hari menemani obrolan santai mereka. Hubungan dua sahabat itu tampaknya sudah kembali membaik. Sejak kedatangannya, Sandra tidak menyinggung masalah perjodohan putra putri mereka lagi. Bahkan dia terlihat sangat bahagia, dan itu melegakan bagi Widya.Di antara dua cangkir teh dan piring-piring kecil berisi kue, Sandra mendorong sebuah undangan pernikahan ke arah sahabatnya dengan senyum lebar menghiasi wajahnya.“Surprise, ya?” ucap Sandra bangga.Widya, mengambil undangan itu dengan rasa penasaran. Matanya menyapu cepat nama-nama yang tercetak rapi di atas kertas tebal. Saat ia membaca nama Evita dan nama calon mempelai pria, dahi Widya mengernyit tajam.“Evita akan menikah?” tanyanya, nyaris tak percaya.Sandra mengangguk dengan angkuh. “Iya. Minggu depan, dengan Dion. Aku yakin kau mengenalnya.”Widya menahan komentar. Nama Dion sangat tidak asing di telinganya."Buk
“Masuk,” ucap Rama, masih menatap Dion dengan wajah bingung.Pintu terbuka, dan sang sekretaris muncul.“Maaf, Pak. Bu Evita datang. Katanya penting.”Nama itu melesat seperti anak panah ke dada Rama. Ia terdiam sejenak, menyembunyikan gelombang rasa bersalah yang tiba-tiba kembali menghantam dadanya.“Suruh masuk.”Evita masuk beberapa detik kemudian dengan senyum lebar dan langkah ringan. Wajahnya bersinar, penuh kebahagiaan yang membuat ruangan terasa lebih terang.“Hai, Rama,” sapa Evita, lalu berpaling ke Dion, tatap matanya masih seperti biasanya, saat di depan public, sebelum akhirnya kembali memandang Rama. “Apa kabar?”Rama mencoba tersenyum, meski canggung. “Baik. Kamu?”“Sangat baik,” jawab Evita mantap. “Tapi….”Rama menatap Evita, menunggu perempuan anggun di hadapannya melanjutkan kalimatnya.“Mungkin untuk beberapa waktu ke depan, saya tidak bisa turun tangan dalam proyek-proyek kerja sama kita,” ucap Evita pelan, tapi tetap terlihat professional.Sementara Rama justru