Selama ini, pulang dari kantor adalah momen yang paling ditunggu-tunggu oleh Rama. Setelah seharian berkutat dengan rapat, keputusan besar, dan strategi bisnis yang menguras tenaga dan pikiran, tidak ada yang lebih menyenangkan daripada membuka pintu apartemen dan disambut oleh suara tawa kecil Chiara, serta pelukan hangat dari Cinta, dua cahaya dalam hidupnya yang membuat semua beban seolah luruh seketika.Namun malam ini, setiap langkah menyusuri lorong apartemen terasa berat, seolah tiap meter yang dilalui membawa lebih banyak beban di dadanya. Rasa bersalah seperti rantai yang melilit pergelangan kakinya, menariknya ke dalam kecemasan yang dalam. Ketakutan akan kehilangan, penyesalan karena menyimpan rahasia sebesar itu, dan kebimbangan apakah dia pantas menerima semua cinta yang diberikan istrinya.Ketika pintu terbuka, suara ceria Chiara menyambutnya."Papa!" seru Chiara sambil berlari, lalu memeluk kaki Rama dengan tawa riang.Sejenak, Rama memaksakan senyum dan membalas peluka
Perubahan sikap Widya terhadap Cinta yang begitu tiba-tiba tentu bukan tanpa sebab. Senyum puasnya di restoran tadi adalah hasil dari sebuah percakapan panjang yang terjadi sebelumnya, percakapan yang mengubah cara pandangnya, meski tidak sepenuhnya menghapus ego dan keangkuhannya.Pagi itu, tanpa pemberitahuan, Widya sudah duduk manis di ruang kerja Rama ketika putranya masuk. Rama menghentikan langkahnya, tertegun melihat sosok sang ibu di sana.“Mama?” ucap Rama pelan, masih menatap heran.Widya menoleh pelan. Tatapannya tajam, tapi tidak meledak-ledak seperti biasanya. Ia membuka pembicaraan dengan tenang namun menohok, “Anak itu, Chiara... apakah dia anak yang pernah tertabrak mobilmu beberapa waktu lalu?”Wajah Rama seketika memucat. Rahasia yang selama ini dia kubur dalam-dalam kembali menguak di hadapan orang yang tak pernah bisa dia bohongi, ibunya sendiri. Dengan anggukan kecil, Rama mengiyakan.“Iya, Ma... anak itu memang Chiara.”Widya menarik napas panjang. “Dan apakah Ci
Cinta melambaikan tangan sambil tersenyum ke arah Chiara yang berlari kecil masuk ke gerbang sekolah.“Hati-hati, Sayang,” ucap Cinta setengah berteriak, tetapi sepertinya putrinya sudah tak mendengar.Senyum Cinta bertahan hanya sejenak, sebelum berubah menjadi tatapan tegang saat ia menoleh ke ponsel di tangannya.Layar ponsel masih menampilkan pesan yang sejak pagi membuat perasaannya tidak tenang."Saya ingin bertemu. Ada hal penting yang harus kitabicarakan. Restoran Roselle, pukul 10.00."Cinta menghela napas panjang, hampir seperti mengeluarkan semua ketegangan dari dadanya. Dia masih tidak percaya pesan itu benar-benar datang dari Widya. Bukan dari Rama, bukan dari Anisa atau Tiara, tapi langsung dari sang mertua yang selama ini terang-terangan menolaknya. Bahkan menyakitinya."Ada apa? Kenapa sekarang?" bisik Cinta pada dirinya sendiri.Ia membuka pintu mobil dan masuk ke kursi pengemudi, menyandarkan kepala sejenak di setir, lalu menarik napas panjang sekali lagi sebelum men
Selama menunggu hasil tes DNA, Priambodo tidak hanya diam. Meski dia sudah memerintahkan orang kepercayaannya untuk menyelidiki kehidupan Cinta, tetapi Priambodo pun turun langsung ke lapangan.Seperti hari ini, dia mendatangi panti asuhan yang dikelola Bunda Aminah. Priambodo baru saja turun dari mobilnya. Penampilannya tetap rapi dan elegan, tapi ada ketegasan di wajahnya, seolah ia datang bukan hanya untuk bersilaturahmi.Bunda Aminah menyambut kedatangannya dengan hangat, senyum tulus menyambut pria paruh baya itu di depan pintu.“Selamat datang, Pak Priambodo,” ucap Bunda Aminah sambil menjabat tangannya. “Silakan masuk.”Priambodo membalas dengan senyum hangat. “Terima kasih, Bunda. Sudah lama saya ingin mampir langsung ke sini. Panti ini selalu terdengar baik dalam laporan donatur.”Percakapan mereka awalnya ringan, seputar kondisi panti, kegiatan anak-anak, dan pengelolaan keseharian. Priambodo bertanya tentang pendanaan dan operasional, mencoba menggali sejauh mana ketahanan
Arman melirik istrinya dan membisik pelan, penuh peringatan, “Widya… bersikaplah baik pada Chiara. Anak itu tidak tahu apa-apa. Kalau kamu mau bicara soal Cinta, nanti saja. Jangan di depan anak kecil.”Widya mendesah pelan. Ia tidak suka diberi perintah, tapi wajah polos Chiara yang mendekat perlahan memaksanya untuk mengesampingkan rasa tidak suka itu, meski hanya untuk sementara.Maka, dengan kemampuan akting yang sudah terbentuk dari lingkungan sosialnya selama bertahun-tahun, Widya menampakkan senyum tipis.“Halo, Chiara,” sapanya, suaranya dibuat lembut meski tidak hangat.Saat Widya perlahan menghampiri Chiara di ambang pintu rumah besar keluarga Narendra, tangan kecil Chiara refleks menggenggam lebih erat tangan Rama dan Cinta. Kedua orang tuanya saling menoleh, menyadari kecemasan yang tiba-tiba tumbuh di wajah gadis kecil mereka.Chiara memang masih terlalu kecil untuk benar-benar mengerti dunia orang dewasa, tapi ingatannya tajam. Ia pernah beberapa kali melihat perempuan i
Saat Cinta belum mengetahui jika Rama sudah mendaftarkan pernikahan mereka secara hukum, Cinta berharap bisa segera melihat buku nikah dan tidak perlu terus menyembunyikan hubungan di depan publik.Tapi setelah keinginan itu terwujud, ternyata ada rasa takut dan rendah diri yang membuat Cinta justru ingin terus sembunyi.Cinta menatap Chiara sejenak, seolah mendapat alasan untuk tidak menemani Rama dalam acara tersebut.“Bagaimana dengan Chiara? Kita tidak mungkin meninggalkannya sendiri.”Tapi Rama, seolah sudah hafal jalan pikir istrinya, tersenyum tenang. “Nanti kitab awa Chiara ke rumah. Biar main sama mama dan papa.” Enteng sekali Rama menjawab, seolah tanpa beban.“Kalau mama tidak bisa dititipi cucu, Chiara bisa bawa ke kafe. Anisa dan Tiara pasti dengan senang hati menjaga.”Cinta membuka mulut, ingin mencari alasan lain, tapi akhirnya menyerah. Tak ada celah. Suaminya sudah mengunci semua kemungkinan. Ia hanya bisa menghela napas pasrah, separuh ragu separuh malu. Dalam hati