315Semakin hari perut Cinta makin membesar, dan semakin sering pula detak jantung Rama berpacu lebih cepat dari biasanya. Bukan karena lelah, tapi karena rasa takut yang diam-diam terus tumbuh di hatinya. Setiap kali melihat Cinta mengusap perutnya sambil tersenyum lembut, Rama akan terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang.Kebahagiaan itu nyata, tapi kekhawatiran pun tak bisa ditepis begitu saja.Bagi Cinta, ini adalah persalinan kedua. Rasa takut tentu ada, tapi ia merasa lebih siap. Ia tahu apa yang akan dihadapi, dan ia tahu bahwa kali ini, tidak seperti sebelumnya, ia tidak akan melaluinya sendiri. Ada Rama, ada keluarga yang mendukung, ada Chiara yang setiap malam mencium perutnya sambil berkata,“Adek, cepet keluar ya, kita main bareng!”Namun bagi Rama, justru inilah kali pertama dia benar-benar ikut dalam perjuangan seorang istri. Dan itu membuat hatinya semakin terenyuh, juga… takut.“Bagaimana kalau aku nggak cukup baik jadi ayah untuk anak kita, Cin?”Rama bertanya pe
“Bunda Aminah tidak bisa memiliki anak lagi, rahimnya di angkat saat kecelakaan yang menewaskan suami dan anaknya dulu. Itu sebabnya dulu Bunda Aminah tidak mau menikah, tidak ingin memberi harapan palsu pada keluarga yang menerimanya.”“Oh…” Rama kehabisan kata mendengar penjelasan dari istrinya.Perempuan bijak nan bersahaja yang selama ini begitu hangat penuh kasih terhadap anak-anak, ternyata memiliki masa lalu yang sangat pahit.Mungkin kini saatnya di bahagia dengan pria yang bisa menerimanya apa adanya, untuk menghabiskan sisa usia.Hari bahagia itu akhirnya tiba, tangis haru mengalir perlahan di sudut mata Cinta saat suara lantang menggemakan kata “Sah”, menandai momen sakral bersatunya Priambodo dan Bunda Aminah dalam ikatan suci pernikahan.Tepuk tangan, senyum bahagia, dan lantunan doa memenuhi aula sederhana Panti Asuhan, di mana seluruh keluarga besar dan anak-anak panti berkumpul menyaksikan momen bersejarah itu.Cinta menunduk sesaat, menutup wajah dengan kedua tanganny
Hari itu Rama pulang lebih awal dari biasanya. Jam kantor baru saja menyentuh sore, tetapi ia sudah tiba di halaman rumah besar keluarga Narendra. Ada alasan istimewa di balik kepulangannya yang lebih cepat, hari ini adalah jadwal pemeriksaan kandungan Cinta, dan ia ingin mendampingi istrinya sepenuhnya.Begitu mobilnya terparkir, Cinta dan Chiara sudah menunggu di depan pintu. Chiara berlari kecil menyambut sang papa dengan wajah berbinar, memeluk pinggangnya lalu berkata riang, “Ayo, Pa! Kita lihat dedeknya hari ini!”Rama membelai rambut anak gadisnya yang manis itu, lalu mengulurkan tangan pada Cinta yang tersenyum hangat padanya. Hari-hari berat yang dulu pernah mereka lewati seolah telah tergantikan dengan momen manis seperti ini.Widya dan Arman yang menyaksikan dari ruang keluarga hanya bisa tersenyum. Arman menggenggam tangan istrinya, dan dengan suara rendah berbisik, “Akhirnya, anak kita benar-benar berubah.”Widya mengangguk pelan. “Ya. Dan aku tahu, itu karena Cinta. Dia
Pagi itu, suasana Panti Asuhan terasa berbeda. Di halaman depan, beberapa mobil mewah berjejer rapi. Priambodo datang dengan pakaian rapi, ditemani keluarga besarnya, termasuk Rama, Cinta, Chiara, Widya, dan Arman. Bahkan Bi Siti ikut hadir, membawa bingkisan kecil berisi kue tradisional.Semua yang hadir tahu tujuan kedatangan mereka bukanlah sekadar kunjungan sosial biasa. Dan benar saja, setelah basa-basi seperlunya, Priambodo berdiri, menatap hangat perempuan paruh baya yang selama ini mulai mengisi banyak ruang kosong dalam hidupnya.Dengan suara mantap dan penuh ketulusan, ia berkata,"Bunda Aminah… Saya tidak datang ke sini hanya sebagai teman lama. Saya datang sebagai lelaki yang ingin berbagi sisa hidup, bersama seseorang yang saya hormati dan cintai… Bersediakah Bunda menjadi pendamping saya, di sisa usia kita?"Ruangan menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada bunda Aminah, yang tampak terkejut, bahkan menahan napas. Beberapa saat kemudian, ia menunduk pelan, lalu menggeleng s
“Ada masalah?”“Saya takut, Chiara tumbuh gede dikit sudah jadi incaran cowok-cowok nakal yang ingin memanfaatkan dia. Saya rasa dia butuh kematangan dan kedewasaan untuk menerima asset sebesar itu.”Priambodo mengangguk, memahami ketakutan Rama.“Aku ingin kamu yang mengurus perusahaan itu sampai Chia dewasa dan bisa mengelolanya sendiri. Aku tahu kamu mampu,” ucap Priambodo pelan, “tapi… kalau kamu memang tak sanggup…”Belum sempat kalimat itu selesai, Rama memotong dengan nada rendah namun jujur,“Bukan soal sanggup atau tidak, Pa. Tapi… saya harus pandai mengatur waktu antara perusahaan dan keluarga. Dengan Narendra Group saja, saya sering mengabaikan istri dan anak saya… Bagaimana jika harus ditambah satu perusahaan lagi?”Sebenarnya yang paling ditakutkan Rama adalah, jika keserakahan tiba-tiba menghampiri dirinya dan membuatnya menguasai perusahaan itu untuk kepentingannya sendiri.Priambodo menatapnya lama. Ada jeda sunyi di antara mereka. Priambodo bersandar santai di kursiny
Belum hilang rasa terkejut di wajah Rama, Widya menimpali dengan nada tenang namun penuh makna.“Sebetulnya, aku dan papamu sudah menaruh curiga dari awal kamu dirawat di rumah sakit,” katanya sambil duduk di sisi ranjang Rama. “Apalagi papamu, dia yang paling peka. Sejak lihat kamu setiap pagi muntah-muntah, dia sudah yakin jika Cinta hamil.”Cinta memerah, merasa malu jadi pusat perhatian, apalagi saat semua mata kini menatapnya.Widya melanjutkan, “Sebenarnya kami sudah berencana untuk bicara baik-baik sama kamu dan Priambodo, menyelesaikan semua ini. Tapi ya… ternyata malah terjadi penculikan itu.”Priambodo yang sedari tadi diam, akhirnya menyahut, “Saya juga sebenarnya sempat curiga. Akhir-akhir ini nafsu makan Cinta naik drastis. Dan dia sering minta Bi Siti buatkan rujak. Rujak terus tiap sore, kadang tengah malam minta juga.”“Enak, Opa! Rujak Bu Siti enaaaak banget,” sahut Chiara polos, dengan pipi bulat menggemaskan. Semua orang langsung tertawa kecil, suasana menjadi lebih