Hari itu matahari bersinar terik, seolah ingin membakar langit. Tapi angin sepoi yang menyelinap dari jendela apartemen membawa kesejukan yang menenangkan.Di ruang tengah, Cinta duduk di meja kerja, matanya terpaku pada layar laptop. Ia sedang memeriksa laporan keuangan kafenya, sejauh ini Anisa dan Hardy bukan hanya bisa diandalkan, tetapi juga bisa dipercaya.Sementara itu di sudut ruangan yang lain, Chiara bermain balok dengan riang, sesekali memanggil mamanya untuk menunjukkan beraneka macam bentuk yang berhasil ia buat.Cinta tersenyum, meski pikirannya sedang penuh angka dan strategi. Di tengah kesibukan, ia masih bisa mendengar tawa kecil anaknya, suara yang selalu membuat dunia terasa lebih ringan.Lalu interkom berbunyi.“Selamat siang, Bu Cinta. Kami dari pengelola gedung. Ada pengecekan saluran air mendadak karena keluhan dari unit sebelah. Hanya butuh waktu lima menit.”Cinta sempat ragu, tapi petugas itu mengenakan seragam resmi dan menunjukkan ID. Tak ada alasan untuk c
Dengan langkah cepat dan wajah serius, Theo membuka pintu ruang kerja Priambodo tanpa mengetuk lebih dulu, membuat pria paruh baya itu mendongak dengan ekspresi terkejut."Theo?" Priambodo mengernyitkan dahi dengan tatap mata penuh penasaran. "Kau tergesa-gesa sekali. Ada masalah?"Tanpa menunggu dipersilakan lebih lanjut, Theo langsung duduk dan menyodorkan ponsel ke atas meja kerja Priambodo. Layar ponsel menampilkan rekaman CCTV yang telah diputar ulang puluhan kali olehnya sebelumnya."Saya baru mendapat ini dari sumber yang cukup terpercaya, Pak. Ini rekaman CCTV saat Chiara tertabrak mobil dulu."Priambodo mengalihkan pandangan ke layar. Hatinya seketika mengeras saat melihat seorang anak kecil yang berjalan riang di trotoar, lalu… brak! tubuh mungil itu terpental oleh mobil hitam yang melaju cepat.Napasnya tercekat. Tangannya spontan mengepal di atas meja. Video itu terus berputar di kepalanya meski layar telah padam.Dengan suara pelan dan serak, dia berkata, "Itu... Chiara?"
Rama menggeleng pelan, terlihat kekecewaan di matanya. "Mama masih belum bisa menerima Cinta?" Widya tak langsung menjawab. Dia hanya menyesap air mineral dari gelas kristalnya, sikapnya tetap menunjukkan ketenangan. "Dia bukan bagian dari dunia kita, Rama. Dia hanya akan menjadi beban." Rama menarik napas panjang, lalu menatap sang ibu tajam. "Mama yang kirim pesan itu ke Cinta?" Pertanyaan itu membuat udara mendadak terasa lebih tebal. Widya menurunkan gelasnya, lalu menatap putranya lurus-lurus. "Aku? Kau menuduh mama serendah itu? Untuk apa dulu mama bersusah payah dan membayar mahal untuk menghilangkan semua jejak kecelakaan itu kalau akhirnya aku sendiri yang membongkarnya?" Nada bicara Widya terdengar dingin, namun tajam seperti belati. "Lalu siapa?" tanya Rama, frustasi. Widya mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, lalu menjawab dengan nada serius. "Orang yang ingin menghancurkan kita, Rama. Orang yang ingin melihat Narendra runtuh.” Widya menghela napas panjang,
Setelah merasa sudah mengungkapkan seluruh beban pikirannya kepada Kevin, Lilian melangkah keluar dari kantor Kevin, sepatunya berderap pelan di lantai marmer yang mengkilap, memperlihatkan keangkuhan dan kewaspadaan yang selalu dia bawa dalam setiap gerakannya. Begitu membuka pintu, tatap mata Lilian langsung menubruk ke arah Maira yang berdiri tak jauh dari sana. Dia tahu, perempuan itu hanya pura-pura sibuk mengecek berkas di meja kerjanya, karena pekerjaan perempuan itu sebenarnya adalah pemuas nafsu putranya. Tatapan Lilian tajam, penuh rasa tidak suka. Ia tidak pernah menyukai perempuan itu. Baginya, Maira bukanlah seorang sekretaris seperti yang terlihat, dia duri dalam daging, pengganggu rencana besar yang sedang dia bangun bersama Kevin. Tapi Lilian tidak bisa berbuat apa-apa, selama Kevin masih mempertahankan perempuan itu. Selama ini upayanya selalu gagal, karena Kevin sendiri yang akan mendatangi perempuan itu untuk memuaskan nafsunya. Tanpa mengucap sepatah kata pun
Di sebuah kantor megah milik Sanjaya Group, Kevin tengah duduk santai di belakang meja kerjanya, menikmati secangkir kopi sambil memandangi laptop.Di seberang Kevin, Maira duduk menyilangkan kaki dengan senyum manja dan beberapa kancing atas bajunya terbuka, ia mencoba menarik perhatian pria itu. Sejak Kevin mendapat suntikan dana dari Priambodo bisnisnya kembali menggeliat, hal ini tentu membuat Maira ingin mendapat imbalan lebih dari pelayanan yang selama ini dia berikan kepada Kevin.Namun belum sempat Maira mengungkap maksud hatinya, suasana yang awalnya tenang mendadak berubah saat pintu ruang kerja terbuka dengan kasar.Lilian melangkah masuk dengan ekspresi tajam. Tatap matanya langsung mengarah pada Maira.“Masih saja kau di sini,” gumam Lilian dengan nada pedas penuh sindiran. “Kau itu sebenarnya sekretarus atau pelacur? Nempel terus.”Lilian terlihat sangar kesal dengan keberadaan Maira di ruang kerja putranya. Maira, meski kaget, tetap mencoba tersenyum dan bersikap santun
Dengan perasaan yang tak menentu, Rama menatap layar ponsel itu sekali lagi. Foto mobilnya terpampang jelas, mobil hitam yang dulu pernah ia gunakan sebelum akhirnya dia jual ke luar pulau untuk menghilangkan jejak. Rama rela kehilangan mobil kesayangan meski terlalu banyak kenangan di dalamnya.Mata Rama menyipit, dia tahu maksud dari pesan yang terkirim ke nomor istrinya. Dan saat ini dia sedang berpikir keras untuk memilih dan memilah kata untuk membicarakan hal serius ini.“Siapa yang kirim ini?” tanya Rama dengan suara lirih, tapi bernada tajam.Cinta menggeleng pelan. “Nomornya tidak tersimpan… tidak ada nama. Tapi ini bukan kali pertama. Pesannya berulang, dan semua tentang mobilmu.”Cinta menatap Rama dengan sorot dalam. “Kemarin Chiara yang membacanya duluan… dan sejak itu dia ketakutan. Dia pikir mobil itu akan datang dan… menabraknya lagi.”Rama menggeram pelan, menahan amarahnya. “Aku akan bicara langsung ke Chiara. Dia harus tahu bahwa Papa akan melindunginya. Bahwa dia a