Di dalam mobil yang melaju cepat menembus keremangan senja, amarah memenuhi dada Priambodo. Rahangnya mengeras, jemarinya menggenggam lutut dengan penuh tekanan, nyaris gemetar menahan gejolak dalam hati. “Brengsek! Bukan cuma Kevin yang kurang ajar, Rama juga!” Priambodo tampak geram. Suara pria paruh baya itu membelah keheningan di dalam mobil. “Kenapa dia bertindak sendiri? Kenapa tidak bicara dengan kita dulu? Kalau dia bergerak seperti ini bisa membahayakan keselamatan Cinta dan Chiara!” Theo tetap tenang di kursi kemudi, meski ia tahu kemarahan itu bukan sepenuhnya tidak berdasar. Ia melirik Priambodo sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. “Dari informasi Selo Ardi… Rama sudah sangat merindukan mereka, Pak. Terutama Chiara.” Priambodo menoleh, matanya menyipit curiga. “Maksudmu?” “Beberapa hari lalu, Rama sempat masuk rumah sakit. Stres, tekanan mental, fisiknya juga drop. Dia menolak dirawat lama, katanya hanya ingin cepat pulih agar bisa menjemput istri dan ana
Cinta menarik napas, matanya mulai memerah karena amarah dan luka lama yang kembali terbuka.“Jadi ini semua… hanya tentang harta?” bisik Cinta hampir tidak terdengar. “Kau menikahiku dulu karena tahu siapa orang tuaku? Karena kau tahu Papa Priambodo orang kaya?”Kevin mendesis pelan, berjalan mengitari Cinta seperti pemangsa mengelilingi mangsanya. “Sudah kuduga, kau akan sadar juga. Ya, aku dan Mama tahu siapa orang tuamu. Kami sudah tahu sejak awal. Tapi kau terlalu lugu, terlalu sibuk mencari cinta, sampai lupa memeriksa niat orang di sekelilingmu.”Cinta menahan air mata yang menggenang. Hatinya terasa diremas.“Jadi sejak awal semua ini sandiwara?” tanya Cinta lirih. “Termasuk sikap manismu? Pelukanmu? Janjimu?”Kevin menatapnya, matanya dingin. “Semuanya hanya alat untuk satu tujuan, mewarisi apa yang seharusnya jadi milik kami.”Cinta terdiam, menggenggam jemarinya erat, berusaha tetap berdiri meski tubuhnya terasa lemas. Otaknya berpikir bagaimana dia bisa keluar dari masalah
Setelah beberapa menit menunggu yang terasa sangat lama bagi Maira, pintu ruang tunggu terbuka. Theo masuk lebih dulu dengan langkah cepat, diikuti oleh Priambodo yang wajahnya terlihat tegang namun tetap berusaha tenang.Maira langsung berdiri. Nafasnya masih tak beraturan, tapi suara yang keluar dari mulutnya tetap terdengar jelas. “Saya tahu… saya tahu ke mana Kevin membawa Cinta dan Chiara.”Theo melirik sekilas pada Priambodo sebelum bertanya dengan nada datar.“Anda bisa menjelaskan maksud kedatangan Anda ke sini?”Nada tenang itu sebenarnya hanya untuk menguji. Maira menangkapnya dan menatap Theo dengan sorot kecewa, tapi tak terpancing.“Saya tidak sedang bermain-main. Saya tahu betul apa yang saya dengar. Setelah Kevin ditelepon pengacaranya, dia marah besar dan berkata akan melakukan apa pun untuk mewujudkan rencananya. Kevin... tidak akan menyerah begitu saja. Beberapa waktu lalu, saya sempat mendengar percakapannya dengan Bu Lilian. Mereka menyusun rencana untuk menculik
“Rama kita harus cepat bertindak. Kita harus cari mereka sekarang juga.”“Apa yang sebenarnya terjadi?” Rama bisa menangkap nada penuh kekhawatiran pada suara Priambodo.Terdengar hembusan napas kasar Priambodo, membuat suasana hati Rama terasa semakin kacau.“Aku baru saja melaporkan mamanya Kevin atas keterlibatannya pada kecelakaan yang menewakan mamanya Cinta beberapa tahun yang lalu. Ada kemungkinan Kevin ingin menukar kebebasan mamanya dengan Cinta dan Chiara.”“Bangsat!” Rama mengumpat, amarah yang sudah tidak tertahan membuatnya lupa sedang berbicara dengan siapa."Aku akan kerahkan semua orangku untuk mencari keberadaan mereka. Kita tak boleh terlambat menemukan Cinta dan Chiara."Rama mengangguk pelan meskipun sambungan telepon belum tertutup, suaranya serak tapi mantap:"Aku akan temukan mereka. Dan kali ini… aku tidak akan membiarkan siapa pun mengambil keluarga kecilku lagi."Dengan tangan gemetar dan napas terputus-putus, Rama menutup telepon dengan Priambodo lalu segera
Di seberang, Priambodo sempat terdiam, suara tenangnya menjawab beberapa detik kemudian.“Rama, tenang dulu,” ucap Priambodo terdengar kalem. “Cinta berangkat ke sekolah sejak pagi. Sopir yang mengantarnya pun bru saja tiba di rumah. Kalau tidak terlihat di luar, mungkin mereka masih berada di dalam sekolah.”Rama mengepalkan tangan. Ia melirik sekitar halaman sekolah yang tak seramai sebelumnya dengan lalu-lalang orang tua dan anak-anak.“Masuklah. Tanyakan ke pihak sekolah. Jangan langsung berasumsi buruk, Rama,” ucap Priambodo lagi.Tapi Rama tidak menjawab. Dadanya terasa sesak, antara panik dan marah yang bergumul tak karuan. Dalam pikirannya, ia merasa seperti dipermainkan, entah oleh keadaan, oleh perasaannya sendiri, atau bahkan oleh keluarga Priambodo.Tanpa mengucapkan terima kasih, tanpa salam, Rama langsung mematikan sambungan telepon dengan kasar. Ponselnya ia masukkan ke dalam saku jasnnya. Nafasnya masih memburu, dan matanya berkilat tajam karena kecewa.“Kalau ini cuma
Suasana pagi yang semula terasa biasa saja di kantor Kevin mendadak berubah tegang. Kevin mondar-mandir di ruang kerjanya, wajahnya memerah oleh amarah.Tangan Kevin mengepal erat sambil memelototi layar ponselnya yang masih memperlihatkan pesan dari pengacaranya yang berisi tentang Lilian resmi ditahan atas laporan Priambodo.“Sialan!” geramnya, lalu menghempaskan ponsel ke sofa kulit di sudut ruangan.Kevin menggeram, lalu segera mengambil ponsel cadangan dari laci tersembunyi. Dengan cepat dia menekan nomor rahasia yang hanya ia gunakan untuk urusan "kotor".Begitu tersambung, suara pria di seberang langsung menjawab,“Halo, Tuan Kevin.”Kevin menggeram pelan tapi penuh tekanan, “Kita jalankan rencana itu sekarang. Tak ada lagi waktu menunda. Semua harus berjalan sesuai target.”“Tentu, Tuan. Sasaran tetap yang kita bicarakan dulu, atau ada perubahan?”Kevin menghela napas, lalu menatap kosong ke luar jendela.“Semua orang yang membuat hidupku berantakan harus bayar. Termasuk Priam