Danu Lukito bersandar ke kursinya dengan berat. Wajahnya kini lebih tenang, meski masih menyimpan waspada. Sandra tersenyum lebih lebar, seperti baru saja menemukan tambang emas.Evita sendiri masih terpaku. Hatinya campur aduk. Dia baru mengetahui siapa Dion sebenarnya. Selama menjalin hubungan, Evita selalu takut perbedaan status sosial mereka akan menjadi penghalang.Di satu sisi, Evita senang maminya tampaknya mulai menerima Dion. Di sisi lain, ada keraguan yang menggigit, apakah penerimaan itu tulus, atau karena harta?Sandra menoleh ke putrinya dan berkata ringan, “Sebagai orang tua, mami hanya ingin memastikan, kamu tidak menikahi pria tanpa masa depan. Tapi ternyata, kamu justru jatuh cinta pada masa depan itu sendiri.”Dion menatap Sandra dengan pandangan tajam yang tidak biasa. Dalam diam, ia baru benar-benar menyadari satu hal, keserakahan tidak ada batasnya. Di hadapannya berdiri seorang perempuan dengan kekayaan melimpah, status sosial menjulang, dan pengaruh yang tak ter
Danu Lukito menghembuskan napas kasar, menahan gejolak emosi yang hampir meledak. Pria muda di hadapannya ternyata cukup bernyali menghadapinya.Danu Lukito mengambil sebuah map dari meja di sampingnya. Lalu ia melemparkannya ke meja di depan Dion dan Evita.“Kau kira aku tidak tahu siapa kamu.”Dion menatap map itu dengan dahi mengernyit. Untuk pertama kalinya sejak memasuki rumah keluarga Lukito, Dion melepas genggaman tangannya pada Evita, lalu meraih map di hadapannya.Saat dibuka, isi map itu membuatnya terdiam. Riwayat hidupnya, pendidikan, pekerjaan, latar belakang keluarga. Bahkan catatan keuangan. Semuanya ada. Lengkap dan mendetail. Ia tidak menyangka begitu mudah Danu Lukito mengorek masa lalunya, bahkan dalam waktu sesingkat itu.“Saya tahu siapa kamu. Kamu pikir kamu pantas masuk ke keluarga ini hanya karena kamu berhasil menghamili putriku?”Danu Lukito mencondongkan tubuhnya ke depan, mata tajamnya menatap langsung ke wajah Dion. Suaranya kini lebih pelan, namun jauh le
Rama duduk bersandar di kepala ranjang, layar ponsel di tangannya menyala, namun pikirannya kosong. Ucapan mamanya siang tadi masih bergema, mengusik tenang pikirannya. Tentang Evita. Tentang kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi. Dan yang tak bisa ia akui bahkan pada dirinya sendiri tentang perasaan bersalah yang tiba-tiba menghinggapi.Di depan meja rias, Cinta tengah menyisir rambut panjangnya yang sudah dikeringkan. Dengan teliti ia menyemprotkan toner wajah, lalu mengoleskan serum bening dengan gerakan memutar di pipi dan dagu. Setelah itu, krim malam diratakan dengan ujung jari hingga meresap sempurna ke kulit. Ia membuka botol parfum kecil, menyemprotkan sedikit di belakang telinga dan pergelangan tangan. Aroma manis floral memenuhi ruangan.Melihat suaminya yang termenung dengan mata tak fokus, Cinta berdiri dan menghampiri ranjang. Rambutnya yang tergerai lembut menyentuh bahunya. Ia duduk di sisi Rama dan menyandarkan kepalanya ringan di bahunya.“Ada masalah di kantor?” ta
Dion menatap Evita dengan tatapan menenangkan, tangannya menggenggam jemari gadis itu dengan hangat. “Kita tidak bisa lari terus, Vit… Aku harus hadapi ini. Aku tidak akan mmbiarkan kamu sendirian.”Evita menggeleng keras, air matanya kembali mengalir. “Kamu nggak tahu mereka seperti apa, Dion. Mereka bisa kasar, mereka bisa….”“Aku tahu, Vit….” Sudah lama menjadi orang kepercaaan Rama, Dion tahu bagaimana cara orang-orang berduit menyelesaikan masalah tanpa bersentuhan dengan hukum.“Tapi ini tanggung jawabku. Kamu dan anak kita adalah tanggung jawabku. Aku yang membuatmu berada di posisi ini. Jadi aku yang harus berdiri di depan.”Dengan langkah mantap dan tarikan napas panjang, Dion menuju pintu. Gedoran di baliknya semakin keras, semakin memaksa. Dion membuka kunci, memutar gagang pintu, dan membuka perlahan.Di hadapannya berdiri tiga pria berbadan tegap, mengenakan pakaian serba hitam. Sorot mata mereka tajam, ekspresi wajah dingin dan penuh wibawa. Salah satu dari mereka melang
Danu Lukito berdiri di balik tirai ruang kerjanya, matanya mengawasi halaman depan dengan tajam. Ketika dilihatnya Evita keluar rumah dengan langkah tergesa, wajah tertunduk dan tanpa menoleh ke belakang, hatinya makin yakin, putrinya akan menemui pria yang telah menghamilinya.Danu sangat mengenal Evita yang keras kepala, dan jika dia sudah mengambil keputusan, tidak ada yang bisa menghentikannya, kecuali dengan pengawasan.Dengan gerak cepat, Danu mengambil ponselnya dan menekan nomor yang sudah tersimpan lama. Suaranya tenang tapi tegas.“Ikuti Evita. Jangan terlalu dekat, tapi pastikan ke mana dia pergi. Aku ingin tahu siapa pria itu.”Sementara itu, di apartemen Dion, suasana jauh dari tenang. Dion mondar-mandir di ruang tengah, rambutnya berantakan, matanya gelisah. Ucapan Widya siang tadi terus berputar di kepalanya, seperti gema yang tak bisa dihentikan.Dalam hatinya terus dipenuhi pertanyaan. Bukan karena perubahan sikap Evita yang dia tahu itu tidak benar, tapi kekhawatiran
Evita duduk tertunduk di ujung sofa ruang keluarga, wajahnya tertutup kedua telapak tangan. Isak tangisnya pecah tanpa bisa ditahan, bahunya bergetar hebat. Air matanya membasahi jari-jarinya, membasahi hati yang sejak lama sudah retak oleh ketakutan dan beban rahasia yang ia simpan sendiri.Di seberangnya, Danu Lukito berdiri dengan rahang mengeras, dadanya naik turun menahan emosi. Pria itu, yang selama ini menjadi ayah bijak dan tenang, kini tak kuasa menahan amarah dan rasa kecewa. Suaranya lantang, mengguncang ruangan.“Siapa, Evita? Siapa ayah dari anak itu?”Evita mengangkat wajahnya perlahan. Matanya sembab, suaranya tercekat.Belum sempat dia menjawab, Sandra menyambar lebih dulu, nadanya tajam, menusuk tanpa ampun.“Apa itu anak Rama? Dan sekarang dia mau lepas tanggung jawab begitu saja?”Evita menggeleng, kali ini dengan tegas. Tangisnya belum berhenti, tapi suaranya jelas.“Bukan, Ma. Ini bukan anak Rama.”Sandra menyipitkan mata, lalu tersenyum miring dengan nada mencibi