Karena Kita Orang Miskin (16)PoV DadangSebagai seorang anak laki-laki, aku sadar betul akan tanggung jawab. Meski sudah menikah, aku tetap berkewajiban menafkahi orang tua. Itulah sebabnya aku menurut saat Ibu dan Bapak meminta agar aku, istri, dan anak sulung kami kembali ke desa untuk mengurusi ladang milik keluarga kami.Awalnya memang berat untuk menerima pilihan itu. Posisiku di kantor yang sudah terbilang baik, harus kulepaskan begitu saja. Karir yang kubangun bertahun-tahun, harus rela kutanggalkan demi bakti pada orang tua.Syukurlah, aku beristrikan seorang wanita berhati lembut bak bidadari seperti Ratna. Yang saat kuminta pendapatnya, dia mendukung apa pun langkah yang kupilih. Sungguh beruntung aku memilikinya."Kapan lagi kita bisa berbakti pada orang tua, Yah, kalau bukan sekarang?!" Itu jawaban Ratna saat aku tengah bimbang memilih jalan keluar."Berbaktilah selagi kita mampu, Yah. Ibu akan dukung apa pun keputusan Ayah. Tapi, akan lebih baik bila kita bisa memaksimal
Karena Kita Orang Miskin (16b)Tiga bulan pertama kedatanganku ke proyek, semua berjalan lancar. Aku masih rutin mengirimkan kabar dan uang kepada istri. Gaji yang tertunda membuatku malu untuk menghubungi Ratna. Juga karena aku kehabisan uang untuk sekadar mengisi pulsa.Jangankan gaji, uang tabungan hasil lemburku pun tak terbayarkan oleh mandor proyek. Dia beralasan akan dibayar langsung semuanya setelah proyek rampung, beserta bonus. Janji manis itu yang akhirnya membuatku dan empat puluh pekerja lainnya bertahan tanpa gaji hingga dua bulan lamanya. Sialnya, setelah proyek benar-benar rampung, kami ditinggal begitu saja tanpa sepeser pun uang hasil keringat.Banyak dari kami--para pekerja proyek--yang kesulitan untuk pulang ke rumah. Kebanyakan dari kami pun malu untuk kembali ke rumah tanpa sedikit pun rupiah. Hal itu mendorong separuh dari kami memilih menempuh jalur lain untuk menghasilkan uang. Aku dan sembilan belas orang lainnya sepakat untuk berangkat menuju tambang emas ya
Karena Kita Orang Miskin (17)PoV Dadang (2)Saat tersadar, napasku terasa tercekat. Bagaimana tidak, aku berada dalam timbunan tanah. Susah payah kugerakan tubuh. Namun, tubuhku terlanjur tertimbun. Untunglah wajahku tak terlalu tertimbun, hingga aku masih bisa bernapas meski sulit.Mataku memandang sekeliling. Tak kudapati teman-teman seregu. Entah mereka berada di mana. Mungkinkah mereka pergi meninggalkanku? Atau mereka juga tertimbun tanah sepertiku?Ingin rasanya berteriak memanggil mereka. Namun, sayang, aku tak sanggup mengeluarkan suara. Mulutku terasa kering dan penuh tanah.Aku harus bisa mengeluarkan diri dari timbunan tanah merah ini. Aku harus berusaha meski sulit. Jangan sampai aku mati konyol di sini.Kucoba perlahan menggerakan telapak tangan. Rasanya sulit sekali. Tanganku terasa jauh lebih berat dari bobot tubuhku. Butuh waktu cukup lama agar jariku bisa bergerak. Saat itu juga, kugali pelan tanah dengan jari-jari di kedua tangan.Meskipun sulit, aku terus mencoba.
Karena Kita Orang Miskin (17b)PoV Dadang (2)Astaghfirullah ....Aku terjatuh. Tubuhku terguling-guling ke bawah. Sekujur tubuhku terasa perih karena bergesekan dengan entah apa selama terguling. Kepalaku pun beberapa kali terbentur benda keras yang tak dapat kupastikan itu apa. Aku terus terguling hingga akhirnya tubuhku mendarat di tanah lembab.Saat mendarat, aku tak bisa membuka mata. Kepala yang sakit luar biasa membuatku tak mampu untuk membuka mata. Entah apa yang akan terjadi lagi padaku, aku sudah pasrah.Aku tersadar saat tanganku menyentuh sesuatu yang basah. Benar saja, saat membuka mata, aku melihat danau di samping tubuhku. Lebih tepatnya, aku tergeletak di tepi danau.Ah ... tubuhku rasanya sangat sakit saat digerakkan. Seperti semua tulangku patah. Aku sampai menjerit saking tak kuat menahan rasa sakitnya.Karena tak kuat menahan sakit yang semakin menjadi, aku tak mampu bergerak. Kepalaku seperti mau pecah rasanya. Seperti ada ribuan jarum yang menusuk setiap inci tu
Karena Kita Orang Miskin (18)Jantungku berdetak tak menentu karena mendengar suara yang memanggilku dari balik pintu. Suara itu, aku yakin betul milik Mas Dadang. Tetapi, apakah benar itu suamiku yang dikabarkan telah meninggal dunia.Kumantapkan diri sebelum mendekat ke pintu dan membukanya. Berkali-kali kuatur napas sebelum meraih gagang pintu. Mudah-mudahan saja benar Mas Dadang yang datang."Mas Dadang?" sapaku pada laki-laki yang sedang berdiri membelakangi pintu.Sontak, laki-laki itu berbalik. Benar, itu Mas Dadang! Alhamdulillah ....Tanpa menunggu lama, aku langsung menghambur dalam pelukannya. Menumpahkan tangis sambil memukul pelan dadanya."Mas ke mana aja? Kenapa baru datang sekarang?" tanyaku dalam tangis.Mas Dadang tak menjawab, dia malah menuntunku untuk masuk ke rumah dan langsung menutup pintu rapat-rapat.Di dalam ruang tamu, aku kembali memeluknya. Menumpahkan resah dan gelisah selama ini lewat deraian air mata. Sementara Mas Dadang hanya diam seraya membelai ram
Karena Kita Orang Miskin (19)"Bungkusan apa?" tanya ibu mertua.Aku diam. Tak berani menjawab. Takut kalau aku semakin salah bicara. Tatapan Mas Dadang tadi sudah menyiratkan ketidaknyamanan karena ucapanku."Bukan apa-apa, Bu. Cuma jajanan anak-anak yang Dadang beli semalam. Dadang nggak sempat beli apa-apa, Bu. Sisa ongkos Dadang belikan cemilan," jelas Mas Dadang pada ibunya.Entah ibu mertuaku percaya atau tidak, tapi bisa kulihat tatapan keraguannya."Oh, ya udah," katanya.Tak lama setelahnya, Mbak Lulu datang mengantar sarapan. Melihat Mas Dadang duduk bersama denganku dan ibu mertua, Mbak Lulu sangat terkejut hingga tak sengaja menjatuhkan bungkusan plastik yang dibawanya."Ini beneran kamu, Dang?" tanyanya saat mendekat ke suamiku."Iya, Mbak. Bener ini Dadang," jawab Mas Dadang.Mbak Lulu mengucap syukur berkali-kali karena mengetahui kenyataan ini.Mau tidak mau, Mas Dadang kembali menceritakan kejadian yang menimpanya walau tidak sedetail yang diceritakan padaku. Cerita M
Karena Kita Orang Miskin (20)Jantungku berdetak tak beraturan. Sepertinya Mas Bambang dan Mas Dadang saling kenal. Padahal, selama ini aku yakin betul mereka belum pernah bertemu sejak kepergian Mas Bambang tanpa kabar padaku dulu. Mas Dadang memang pernah kuceritakan perihal Mas Bambang, tapi tak pernah kutunjukkan fotonya.Mas Dadang berdiri dan berjalan ke arah Mas Bambang. Mereka langsung berpelukan. Seperti dua orang yang saling kenal akrab dan lama tak bersua."Apa kabar kamu, Bro?" Mas Bambang meninju pelan bahu suamiku setelah keduanya melepas pelukan."Alhamdulillah baik, Bang! Abang sendiri gimana? Makin keren sekarang, ya, aku lihat," ucap Mas Dadang.Keduanya lantas berangkulan dan duduk di sofa panjang yang sama."Mbak Arin nemuin ini anak di mana?" tanya Mas Bambang ke Bu Lurah.Bu Lurah menunjukku yang duduk di sofa lain.Mas Bambang mengalihkan pandang ke arah Mas Dadang setelah sebelumnya melihat arah yang ditunjuk kakaknya."Ratna? Kamu siapa Ratna, Bro?""Abang ken
Karena Kita Orang Miskin (20b)Seperti janji temu Mas Dadang dan Mas Bambang, pagi-pagi sekali Mas Bambang sudah datang ke rumah. Dia bahkan berinisiatif membawa sarapan untuk kami sekeluarga. Akhirnya, mau tak mau, kami makan bersamanya.Suamiku tampak sangat bahagia saat bercengkrama dengan kawannya itu. Begitu juga dengan Mas Bambang yang terlihat antusias menanggapi obrolan itu. Sementara aku merasa risih karena terkadang mendapati Mas Bambang yang seperti mencuri pandang ke arahku saat aku menyiapkan dan membereskan makanan.Jujur saja, aku merasa sedikit khawatir kalau Mas Dadang tahu tentang masa laluku dengan Mas Bambang. Juga tentang usahanya mendekatiku lagi.Aku mengantar anak-anak sampai ke teras saat mereka hendak berangkat ke sekolah. Dari jauh, aku melihat ibu Mas Dadang berjalan ke arah rumah kami. Tiba-tiba saja kejadian beberapa waktu lalu melintas dalam benakku. Aku takut kalau beliau datang ke rumah dan mendapati Mas Bambang ada di rumah kami.Harap-harap cemas aku