Karena Kita Orang Miskin (3)
"Waalaikumsalam," jawabku seraya membuka pintu.
Benar saja, Bu Lurah sudah berdiri di depan pintu rumah sederhana kami. Sungguh, aku merasa sungkan beliau mampir ke sini. Meski begitu, segera kupersilakan beliau untuk masuk.
"Nggak usah, Mbak Ratna. Saya ke sini cuma mau nganter ini," ucapnya seraya menyerahkan sebuah kantong plastik hitam berukuran sedang.
"Ini apa, Bu?" Aku bertanya setelah kantong itu berpindah tangan. Sebenarnya, tanpa bertanya pun aku sudah bisa menebak isi bungkusan ini dari aroma yang menguar saat ia mendarat di tanganku.
"Itu, sedikit jajanan buat anak-anak Mbak Ratna. O iya, saya minta maaf, ya, Mbak. Kemarin kelupaan ngasih gajinya Mbak Ratna. Ini, Mbak, silakan." Bu Lurah kembali menyerahkan sesuatu padaku. Kali ini sebuah amplop putih yang yang biasa kuterima sebagai upah mencuci dan setrika tiap minggunya.
"Alhamdulillah ... terima kasih banyak, Bu Lurah," ucapku.
Aku lagi-lagi mempersilakan beliau masuk ke rumah. Namun, beliau menolak secara halus dengan alasan masih ada sedikit kesibukan. Setelahnya, beliau pamit.
Setelah melepas kepergian mobil yang ditumpangi Bu Lurah, aku kembali ke dalam. Memanggil ketiga putriku untuk duduk bersama di ruang tengah rumah yang kami jadikan ruang serbaguna. Kadang, tempat ini menjadi ruang makan, ruang belajar anak-anak, bahkan menjadi ruang tidur saat kami sama-sama malas kembali ke kamar untuk beristirahat selepas menyaksikan tanyangan televisi.
"Kakak, tolong ambilin Ibu piring dua, ya, Nak," perintahku pada Bunga.
Anak keduaku itu langsung berdiri dan menuju dapur untuk melaksanakan perintahku. Sementara Kasih, kuberi tugas mengisi air ke kendi dan membawa empat buah gelas.
Aku sendiri ikut ke dapur untuk mengambil nasi yang kuletakkan dalam nampan berukuran sedang.
Rindi hanya kuberi tugas menjaga bungkusan dari Bu Lurah tadi saat kami ke dapur untuk menyiapkan semua yang dibutuhkan.
Saat kembali dari dapur, kulihat wajah Rindi tampak ceria. Sepertinya dia sudah tahu isi bungkusan itu. Memang aromanya sangat kuat meski bungkusannya masih tetutup rapat.
Setelah meletakkan semua alat makan di tengah, kami berempat duduk mengitarinya. Lalu, kuraih kantong yang sedari tadi dipangku Rindi, membukanya perlahan. Jujur saja, aku dan anak-anak sangat terkejut dengan isinya. Benar memang isinya sate, hanya saja dengang jumlah banyak. Empat porsi sate ayam.
Tak kuasa kutahan air mata yang berdesakan di pelupuk mata. Aku terharu. Begitu pun kulihat dengan anak-anakku. Mata mereka tampak berbinar.
Berkali-kali kuucap syukur di dalam hati. Tak lupa kusematkan doa untuk Bu Lurah yang sudah bermurah hati. Kuajak juga anak-anak melakukan hal yang sama sebelum makan.
"Enak banget, ya, Bu," ujar Rindi di tengah suapannya.
Kakak-kakaknya saling menyahuti hal yang sama.
Aku hanya menanggapi itu semua dengan senyuman. Bahagia rasanya melihat mereka bisa makan dengan lahap dan melupakan kesedihan tadi. Semoga saja kejadian tadi tidak membekas dalam benak anak-anakku. Aku berharap mereka dapat melupakannya dan tidak pernah menaruh dendam karena hal itu ke depannya.
"Coba ada Ayah, ya, Bu," celetuk Bunga di tengah suapannya.
Hal itu diiyakan oleh kedua saudarinya. Pun denganku. Andai Mas Dadang ada di sini, kami pasti akan lebih bahagia. Sayangnya, suamiku itu sedang berjuang di tanah rantau sejak lima bulan yang lalu. Semoga saja beliau selalu dalam lindungan Allah di mana pun berada. Semoga ayah dari anak-anakku itu juga bisa makan dengan layak di tempatnya kini berada.Selesai makan, anak-anakku berebut untuk membantu mencuci piring kotor kami. Rindi pun ikut antusias menawarkan diri untuk membantu. Padahal suhu tubuhnya masih tinggi.
"Adek udah sembuh, kok, Bu," kata Rindi saat kularang membantu.
Tak terasa, air mataku kembali mengaliri pipi. Aku bahagia memiliki anak-anak sebaik mereka. Semoga kebaikan selalu menyertai anak-anakku.
Setelah menyelesaikan mencuci semua piring kotor bersama, kami lantas melanjutkan kegiatan dengan menonton televisi bersama. Tak ada acara istimewa, tetapi cukup menambah kebahagiaan kami. Semoga kebahagiaan ini tak berhenti sampai di sini saja. Semoga hari esok kami lebih baik dari hari ini.
Sedang asiknya menonton televisi sambil berbaring, tak terasa anak-anak sudah terlelap di tempatnya masing-masing. Karena takut mengganggu, kubiarkan anak-anak tidur di ruang tengah ini saja. Yang penting sudah kualas dengan tikar dan kuberi bantal serta selimuti tubuh mereka.
Selanjutnya, aku beralih ke kamar, memeriksa amplop putih yang tadi diberikan Bu Lurah. Setelah menerima amplop tadi, aku sempat menaruhnya di dalam lemari yang ada di kamar sebelum memulai makan bersama anak-anak. Belum kuperiksa isinya meskipun sudah pasti jumlahnya sama dengan gaji seperti biasa, seratus ribu rupiah untuk satu minggu.
Ketika membuka amplop putih itu, aku dikejutkan dengan isinya. Bukan dengan jumlah seperti biasa, kali ini jumlahnya tiga kali lipat. Mungkinkah Bu Lurah salah memberi amplop? Besok akan kutanyakan saat berangkat kerja.
Pagi hari, aku membuatkan kami sarapan sederhana, yaitu nasi goreng putih. Nasi sisa semalam yang kutumis hanya dengan sebutir bawang putih dan sedikit garam. Syukurlah anak-anak makan dengan lahap walau hanya dengan menu seadanya. Sebenarnya, bisa saja aku membeli bahan makanan untuk membuat sarapan yang lebih layak dengan menggunakan uang dari Bu Lurah semalam. Wajar saja kalau aku mengambil selembar uang yang sesuai dengan gajiku dan mengembalikan kelebihan uangnya pada Bu Lurah. Tetapi, hati kecilku menolaknya. Aku belum tahu jelas perihal uang itu. Bisa saja amplopnya tertukar.
Jadi, setelah membersihkan semua piring sisa sarapan, aku segera mengantar ketiga puteriku ke sekolahnya masing-masing. Lalu, segera menuju rumah Bu Lurah untuk bekerja dan menanyakan perihal amplop semalam. Semoga saja saat aku sampai, beliau belum berangkat kerja. Aku harus berjalan secepat mungkin.
Syukurlah, saat sampai ke rumah Bu Lurah, beliau masih duduk di teras. Bahkan, beliau tidak mengenakan seragam dinasnya seperti biasa. Apakah beliau sedang libur? Tetapi, ini, kan, bukan hari libur. Ah, tak apa. Bukan urusanku itu. Urusanku hanyalah bekerja dan menanyakan perihal amplop semalam.
Setelah dipersilakan duduk di bangku taman yang menghadap Bu Lurah, aku langsung saja menyatakan maksudku. Menanyakan perihal isi amplop yang jumlahnya sangat banyak itu. Apakah benar-benar tertukar, atau bagaimana. Aku harus mendapat penjelasan agar tak salah dalam menggunakan uang itu.
"Itu sengaja saya lebihkan, Mbak. Buat jajan anak-anak," ujar Bu Lurah.
Mendengar itu, aku tak dapat berkata-kata. Sungguh, aku sangat terharu mendengarnya. Uang sebanyak itu diberikan percuma untuk anak-anakku? Siapa yang tidak akan terharu mendapat rezeki di saat seperti ini.
"Oya, Mbak Ratna, mulai hari ini jangan nyuci di sini lagi, ya," lanjut Bu Lurah.
Seketika itu juga aku mendadak lemas. Apakah Bu Lurah memecatku? Kalau iya, besok-besok, kami akan makan apa kalau Mas Dadang tak kunjung mengirimkan uangnya?
Ya Allah ....Karena Kita Orang Miskin (4)Cukup lama untukku bisa menetralkan diri sebelum bertanya maksud ucapan Bu Lurah."Iya, Mbak Ratna mulai hari ini saya berhentikan," jawab Bu Lurah.Mendengar itu, kedua lututku semakin melemas."Salah saya apa, Bu? Kalau saya ada salah, tolong ditegur, Bu. Asal jangan dipecat seperti ini.""Mbak Ratna nggak ada salah, kok. Malah, selama ini pekerjaan Mbak Ratna sangat baik. Tapi ... saya terpaksa berhentiin Mbak Ratna karena ada satu hal.""Boleh saya tau apa itu, Bu?""Saya ada rencana mau pesan catering makan siang buat para pekerja di kantor kelurahan. Sudah dua minggu ini nyari orang yang cocok, tapi belum ketemu. Kemarin, pas makan siang, kata Bi Sumi, Mbak Ratna yang masak, ya?""Iya, Bu. Maaf kalau saya lancang. Kemarin saya memang bantuin Bi Sumi masak pas beliau tiba-tiba pusing. Apa ada yang salah sama masakan saya, Bu?""Nggak, kok, Mbak. Malah, saya senang. Akhirnya ketemu juga orang yang pas.""Maksud Ibu?""Saya mau Mbak Ratna yang nanganin
Karena Kita Orang Miskin (5)Aku mencoba mengalihkan pandang ke arah lain. Sembari berdoa agar ibu mertuaku tidak melihat kami di sini. Semoga saja beliau berbelok masuk ke supermarket yang pintu masuknya beberapa meja dari tempat kami makan.Beberapa kali aku sempat mencuri pandang ke arah mertuaku itu, beliau tampak asik bercengkrama dengan cucu kesayangannya yang terlihat sibuk bertanya ini itu. Syukurlah, akhirnya mereka masuk ke super market. Aku bisa bernapas lega.Tak bisa kubayangkan kalau ibu mertuaku melihat kami di sini. Bisa-bisa, aku dibuat malu. Seperti yang dilakukannya empat bulan lalu saat aku mengajak anak-anak makan di warung bakso di pasar saat berbelanja kebutuhan dapur setelah Mas Dadang mengirim uang.Waktu itu, anak-anakku sedang asik menikmati bakso mereka saat neneknya datang dan memarahiku karena dianggap menghambur-hamburkan uang suami. Sakit dan malu rasanya, karena hal itu dilakukan di depan banyak orang yang sedang menikmati bakso. Padahal, harga semangk
Karena Kita Orang Miskin (6)Cukup lama aku berdiri mematung sebelum memberanikan diri untuk membuka pintu. Entah mengapa, perasaanku tak enak. Seolah sesuatu yang buruk akan terjadi."Nah, ada juga orangnya," ucap ibu mertuaku saat pintu terbuka.Segera saja kupersilakan beliau dan orang yang bersamanya untuk masuk."Ada apa, ya, Bu?" tanyaku setelah meletakkan nampan berisi teh dan cemilan."Kamu tadi abis dari pujasera, ya, Ratna?" tanya ibu mertuaku.Sontak saja aku terkejut akan pertanyaannya. Dari mana beliau bisa tahu secepat ini? Aku sudah siap sebenarnya bilamana beliau tahu, tapi tidak secepat ini."Iya, Bu." Aku menjawab pelan sekali sambil menunduk."Bener berarti dia, ya, Mbak?" Ibu mertuaku bertanya pada orang di sampingnya. Orang itu mengangguk."Ada apa sebenarnya, Bu? Saya belum mengerti," kataku."Mbak Ani ini tadi ke rumah Ibu. Katanya dompetnya hilang pas makan di Pujasera tadi siang. Ada yang ngasih tau kalau yang duduk dekat dia itu anak Ibu. Makanya tadi dia ke
Karena Kita Orang Miskin (7)Tanpa menunggu lama, ibu mertua mengajakku masuk ke dalam rumah. Beliau lantas duduk di kursi ruang tamu sambil memerintahku dengan tangannya untuk ikut duduk. Entah kenpa, perasaanku tak karuan. Takut kalau akan diinterogasi soal kejadian di Pujasera tadi siang."Kamu dapat uang dari mana bisa makan-makan di Pujasera?" tanya mertuaku tanpa basa-basi."Saya dikasih Bu Lurah, Bu. Upah nyuci." Aku menjawab pelan."Oh, habis gajian?"Aku mengangguk. Entah mengapa, pertanyaan itu terasa menusuk."Kamu itu, Ratna. Sudah tau suami lagi merantau, ekonomi susah. Bisa-bisanya kamu foya-foya." Ibu mertuaku menggeleng seraya tersenyum sinis."Bukan gitu, Bu." Aku bingung bagaimana menjelaskannya."Bukan gitu gimana? Jelas-jelas kamu itu foya-foya. Gaji cuma seratus ribu aja sok-sokan makan di Pujasera sana. Lihat, tuh, Lulu. Dia aja nggak sok kaya macem kamu."Sabar, Ratna! Sabar!Aku hanya bisa diam menanggapi omongan ibu mertua. Diam memang lebih baik. Aku takut ka
Karena Kita Orang Miskin (8)Sejak bangun tidur, perasaanku menjadi tak enak kalau teringat mimpi semalam. Entah apa arti dari mimpi itu. Aku berharap semua baik-baik saja.Jujur saja, tak hentinya aku mengkhawatirkan Mas Dadang sejak gagal menelepon semalam. Entah di mana kini dirinya berada, bagaimana kini keadaannya. Aku sangat cemas.Karena terlalu memikirkan itu, aku menjadi tidak konsentrasi saat membuatkan sarapan untuk anak-anak. Hampir saja telur dadar yang kubuat hangus. Ungtungnya Bunga cepat menegurku, kalau tidak, anak-anak pasti akan menunggu lebih lama lagi.Berulang kali aku beristighfar untuk menghalau pikiran buruk. Kemungkinan apa pun bisa terjadi. Bisa saja ponsel Mas Dadang hilang atau kartunya rusak.Aku harus sabar. Mas Dadang bukan tipe pria yang suka berselingkuh. Aku kenal betul suamiku itu. Pasti, nanti Mas Dadang akan menghubungi kami.Setelah anak-anak berangkat sekolah, aku langsung menuju dapur untuk memasak pesanan Bu Lurah. Aku tak boleh larut dalam pi
Karena Kita Orang Miskin (9)Kami berempat sampai di rumah sakit tepat pukul lima sore. Kami lantas segera menuju meja resepsionis untuk menanyakan lokasi ruang rawat ibu mertuaku. Beliau dirawat di ruang VIP di lantai tiga rumah sakit ini.Sesaat sebelum masuk ke lift yang pintunya sudah terbuka, Bunga menarik tanganku."Bu, itu Bude Lulu, kan?" katanya. Tangannya menunjuk orang di ruang tunggu pengambilan obat.Kuurungkan niat naik lift dan berjalan menuju orang yang ditunjuk Bunga. Benar saja, itu Mbak Lulu. Beliau sedang mengantre obat untuk ibunya.Anak-anakku berebut untuk mencium tangan budenya. Kegiatan itu membuat Mbak Lulu tersenyum dan berbalik mengecup satu per satu keponakannya. Kebiasaannya memang begitu. Mbak Lulu sangat sayang pada anak-anakku sejak dulu. Bahkan sebelum beliau hamil dan melahirkan Kalina.Mbak Lulu lantas mengajakku duduk pada kursi ruang tunggu itu. Sementara anak-anak diberikan uang untuk membeli camilan di kantin rumah sakit yang jaraknya masih terj
Karena Kita Orang Miskin (10)Belum sempat aku mengatakan perihal Mas Dadang yang hilang kontak, Mbak Lulu terburu-buru kembali ke kamar ibunya setelah menerima pesan yang entah apa."Kalian hati-hati, ya, Na! Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi Mbak, ya," katanya sebelum pergi.Selama perjalanan pulang, anak-anak asyik berceloteh tentang apa saja yang mereka lihat di luar kaca jendela mobil. Sementara aku sibuk mencerna maksud kata-kata Mbak Lulu tentang pesan dari Mas Dadang. Entah apa maksudnya semua itu.Sampai di rumah pun aku masih mencoba menguak teka-teki dari pesan Mas Dadang ke Mbak Lulu. Aku bahkan kesulitan untuk terlelap karenanya. Belum lagi kalau memikirkan mimpiku tentang Mas Dadang. Sepertinya semua saling berkaitan. Akan tetapi, aku belum bisa menemukan benang merahnya.Selepas salat Subuh, aku segera berangkat menuju pasar untuk berbelanja kebutuhan masak pesanan makan siang untuk pegawai kantor kelurahan. Hari ini biarlah aku tak membuatkan anak-anak sarapan. Bi
Karena Kita Orang Miskin (11)Sepanjang perjalanan pulang dari rumah keluarga Mas Mamat, aku sempat melihat beberapa orang tampak bisik-bisik saat aku lewat. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak peduli. Semoga saja bukan gosip aneh-aneh seperti yang tadi kudengar dari puteri sulungku.Sisa hari kujalani seperti biasa. Tak terlalu ada sesuatu yang aneh atau istimewa. Anak-anak bangun tidur, salat, berangkat mengaji, kami berempat salat berjamaah, makan malam, lalu tidur. Aku malah ingin hari cepat berlalu sampai lusa agar segera bisa bertemu Mas Dadang.Saat tidur, aku kembali memimpikan Mas Dadang. Mimpinya masih sama. Mas Dadang menanjak bukit sambil menggandeng anak laki-laki. Entah apa arti mimpi itu, aku belum mengerti.Paginya, rutinitas kami--aku dan anak-anak--berjalan seperti biasanya. Sebenarnya, hari ini aku berencana mengajak anak-anak untuk menjenguk neneknya yang dijadwalkan pulang dari rumah sakit hari ini. Namun, urung kulakukan setelah Mbak Lulu mengatakan bahwa ib