共有

Bab 4

last update 最終更新日: 2022-07-16 19:49:29

Karena Kita Orang Miskin (4)

Cukup lama untukku bisa menetralkan diri sebelum bertanya maksud ucapan Bu Lurah.

"Iya, Mbak Ratna mulai hari ini saya berhentikan," jawab Bu Lurah.

Mendengar itu, kedua lututku semakin melemas.

"Salah saya apa, Bu? Kalau saya ada salah, tolong ditegur, Bu. Asal jangan dipecat seperti ini."

"Mbak Ratna nggak ada salah, kok. Malah, selama ini pekerjaan Mbak Ratna sangat baik. Tapi ... saya terpaksa berhentiin Mbak Ratna karena ada satu hal."

"Boleh saya tau apa itu, Bu?"

"Saya ada rencana mau pesan catering makan siang buat para pekerja di kantor kelurahan. Sudah dua minggu ini nyari orang yang cocok, tapi belum ketemu. Kemarin, pas makan siang, kata Bi Sumi, Mbak Ratna yang masak, ya?"

"Iya, Bu. Maaf kalau saya lancang. Kemarin saya memang bantuin Bi Sumi masak pas beliau tiba-tiba pusing. Apa ada yang salah sama masakan saya, Bu?"

"Nggak, kok, Mbak. Malah, saya senang. Akhirnya ketemu juga orang yang pas."

"Maksud Ibu?"

"Saya mau Mbak Ratna yang nanganin pesanan makan siang buat kelurahan. Ya, itu juga kalau Mbak Ratna nggak keberatan."

Sungguh, aku tak pernah menyangka dengan apa yang diucapkan Bu Lurah. Kemarin, aku memang sengaja menawarkan bantuan saat melihat Bi Sumi--asisten rumah tangga yang bertugas masak di rumah Bu Lurah--hampir jatuh pingsan. Saat itu, beliau sedang menyiapkan bahan masakan. Katanya, makanan itu harus sudah jadi sebelum malam tiba karena akan ada tamu Bu Lurah yang mau makan malam di rumah. Berbekal resep peninggalan orang tua, aku membuat beberapa menu sesuai bahan yang tersedia. Menu-menu itu bahkan sangat jarang kubuatkan untuk anak-anak selama ini.

Tak kusangka, makanan yang kubuat mendapat respon sebaik ini. Bahkan membuatku mendapat tawaran yang ah ... tak bisa lagi aku berkata-kata. Maka, nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?

Setelah mendiskusikan kelanjutan pembicaraan tentang catering makan siang kantor kelurahan, aku pamit pada Bu Lurah. Hari ini, aku berencana mengajak anak-anak jalan-jalan. Mumpung ada kesempatan, lagipula sudah sangat lama rasanya anak-anak tidak kuajak pergi.

Dari rumah Bu Lurah, aku langsung menuju sekolah TK tempat Rindi belajar. Sebenarnya, pagi tadi aku sudah melarangnya untuk ke sekolah. Aku takut kalau dia kenapa-kenapa di sekolah karena masih sakit. Akan tetapi, putri bungsuku itu bersikeras untuk tetap berangkat sekolah.

"Adek udah sehat, kok, Bu. Kan, udah makan sate semalem," katanya disertai tawa malu-malu.

Sesampainya aku di sekolahnya, Rindi ternyata sudah menunggu. Mereka dipulangkan lebih awal karena ada satu dan lain hal. Untung saja kedatanganku tidak terlalu lama dari waktu dipulangkannya Rindi dan teman-temannya. Kalau tidak, pastilah puteri bungsuku harus menunggu sendirian karena kulihat teman-temannya sudah dijemput.

Di rumah, aku langsung menyuruh Rindi untuk berganti pakaian dan beristirahat sambil menunggu dua kakaknya pulang sekolah. Bunga dan Kasih pulang tak lama lagi. Biasanya sebelum jam dua belas siang mereka sudah ada di rumah. Berbeda dengan Rindi yang biasa pulang sekolah sebelum jam sepuluh pagi. Bunga kelas satu sekolah dasar, sementara Kasih sudah kelas tiga.

"Kita mau jalan-jalan, Sayang." Kata-kata itu kubisikkan saat berulang kali si bungsu menanyakan apa yang nanti akan kami lakukan saat kakak-kakaknya sudah pulang sekolah.

Mendengar jawabanku, Rindi bersorak riang. Dirinya tak berhenti berjalan mondar-mandir di teras rumah sambil bersenandung lagu-lagu yang dipelajarinya di sekolah. Sepertinya dia sangat senang. Syukurlah kalau memang begitu.

Lalu, saat Bunga dan Kasih datang, Rindi langsung menceritakan rencana jalan-jalan kami. Sama seperti si bungsu, dua anakku itu pun ikut bersorak gembira. Mereka berkali-kali mengonfirmasi informasi itu padaku. Lalu, saat aku mengiyakannya, wajah mereka bertambah ceria.

"Sudah, sudah, buruan sana ganti bajunya. Jangan lupa sholat. Kita berangkat abis sholat. Makan siang di sana, ya? Mau, kan?"

"Siap, Bu!" Ketiga puteriku menjawab serempak.

Sesuai rencana, aku mengajak anak-anak untuk berjalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan yang terletak tak begitu jauh dari tempat tinggal kami. Bukan mall besar, hanya sebuah supermarket yang dilengkapi dengan foodcourt dan taman bermain anak-anak. Aku mengajak anak-anak makan siang di sana sambil mereka bermain.

Kami berangkat naik angkutan umum dari jalan raya yang tak jauh dari rumah. Cukup memakan waktu untuk sampai ke tempat tujuan kami. Di sini, kami tak mengenal macet, jadi, waktu dua puluh lima menit menang terasa jauh untuk sebuah perjalanan.

Saat sampai di tempat tujuan kami, anak-anak langsung berhambur minta naik semua wahana yang ada. Aku menuruti saja dan membelikan beberapa koin untuk mereka gunakan sebagai alat penggerak mesin mainan yang mereka akan naiki. Sengaja tak kuberi banyak agar mereka tak lupa waktu. Lagipula, ini sudah saatnya kami untuk makan.

Sementara anak-anak bermain, aku memesan makanan untuk kami berempat. Aku sudah hapal betul kesukaan anak-anak, jadi kupilihkan saja sesuai selera mereka. Ayam goreng mentega. Menu yang terbilang mewah untuk kami.

Segera kupanggil ketiganya saat makanan kami sudah siap di meja. Mereka langsung datang saat kupanggil. Memang seperti itu, aku mengajarkan mereka untuk disiplin dan tidak menunda sesuatu. Ya, walaupun kadang masih saja mereka abai. Setidaknya, aku berusaha mengajari mereka dengan sebaik mungkin.

Sedang asik menikmati santapan, hati kecilku seolah menyuruh menatap ke arah pintu masuk. Astaghrifullah ... ibu mertuaku sedang berjalan ke arah kami. Beliau menggenggam tangan cucu kesayangannya, Kalina.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 41b

    Karena Kita Orang Miskin (41b)Meski sedikit sulit, aku mencoba untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi pada kami hingga hari itu. Sepanjang hari Mas Dadang memilih menemaniku pergi ke pantai untuk melepaskan rasa sesak yang menghimpit dada karena mengingat semua peristiwa buruk yang pernah menimpa keluarga kami. Urusan catering dan jualan lainnya kami percayakan pada Ratri dan karyawan lainnya. Anak-anak juga tidak rewel meminta ikut, jadi aku bisa pergi berduaan dengan Mas Dadang.Dua minggu kemudian, Mas Bambang meminta kami menemaninya untuk menemui Bulek Ima demi meminta restu meminang Ratri. Kami sekeluarga pergi bersama. Anak-anak kami bawa serta karena hari itu bertepatan dengan libur sekolahnya.Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Bulek Ima sangat senang dengan pinangan Mas Bambang. Sesuai rencana, satu bulan setelah lamaran itu akan diadakan akad nikah dan resepsi di kampung halaman. Setelah itu, Mas Bambang akan membawa Ratri serta ibunya untuk tinggal di rumahnya.A

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 41a

    Karena Kita Orang Miskin (41)Pagi-pagi sekali, Mas Dadang mengajakku berkunjung ke rumah Mas Mamat. Sudah pasti tujuannya untuk menanyakan ke mana larinya hak suamiku yang harusnya diberikan sejak tiga tahun yang lalu itu. Karena hingga detik ini kami belum merasa menerima barang sepeser pun."Assalamualaikum ...." Mas Dadang mengucap salam setelah ketukannya di pintu rumah tak mendapat jawaban.Cukup lama sampai salam kami dibalas. Mas Mamat yang membukakan pintu tampak terkejut dengan kedatangan kami. Akan tetapi, dia berpura-pura tersenyum. Aku tahu itu karena gelagatnya yang mencurigakan seperti dulu waktu dia baru pulang dari perantauan.Kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya. Sementara dia pamit ke belakang untuk menyiapkan sajian. Sebenarnya, kami sudah menolak untuk dijamu, tetapi dia tetap bersikukuh bahwa tamu adalah raja. Jadi, kami biarkan saja dia berlalu dan menghilang di balik kain pintu pembatas dapurnya.Kami menunggu cukup lama hingga dia muncul k

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 40b

    Karena Kita Orang Miskin (40b)"Bener, Dek?" Aku bertanya pada Ratri.Dia mengangguk seraya tersenyum malu."Iya, Mbak," katanya."Mas Bambang ngajak serius setelah kami dekat dua minggu yang lalu, Mbak," lanjut Ratri."Boleh, kan, Mbak?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Aku kenal Mas Bambang. Pria itu baik dan bertanggung jawab. Ya, walaupun aku pernah ditinggalkannya tanpa kabar.Biarlah itu menjadi masa lalu. Mungkin itu hanya sebab dan pertanda bahwa dia bukanlah jodohku. Sekarang, dia berniat serius dengan Ratri. Semoga dia bisa membahagiakan adik sepupuku itu."Alhamdulillah ...." Mas Bambang dan Ratri menjawab bersamaan.Hal itu membuat aku dan Mas Dadang tersenyum."Mirip kita dulu, ya, Bu?" bisik Mas Dadang.Aku jadi mengingat kejadian serupa di masa dulu. Ketika Mas Dadang datang memintaku pada almarhum Kakek."Iya, Yah," balasku seraya menahan tawa karena mengingat kejadian serupa."Rencananya, saya mau minta tolong ditemani kalian untuk min

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 40a

    Karena Kita Orang Miskin (40)Segera aku berjalan ke arah Ratri yang tampak sedang asik berbincang dengan beberapa orang di dalam toko bangunan milik Mas Bambang. Mas Dadang yang berjalan di sampingku selalu mengingatkan, "Kontrol emosi, ya, Bu. Ini tempat umum. Apalagi pemiliknya kita kenal." Sementara aku menanggapinya hanya dengan berdeham."Dek ...." Aku menegur Ratri seraya menyentuh pundaknya. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku tadi. Ratri langsung menengok dengan wajah pias."Mbak ...," katanya seraya menunduk.Di sana ada Mas Bambang yang tersenyum ramah padaku dan Mas Dadang."Datang juga kamu, Bro," sapa Mas Bambang pada suamiku."Iya, Bang. Maaf baru pulang dari rumah sakit soalnya," jawab Mas Dadang.Selanjutnya, mereka terlibat obrolan panjang yang dimulai dari kabar kesehatan Rindi. Sedangkan aku dan Ratri masih saling diam. Sesekali kami bersitatap. Namun, secepat kilat Ratri akan mengalihkan tatapannya setelah itu.Mas Bambang mengajak kami masuk ke ruangan pri

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 39

    Karena Kita Orang Miskin (39)Segera saja kukantongi benda yang kutemukan itu. Akan kumintai penjelasan bila Ratri datang nanti. Apa penyebab benda ini ada di kamarnya.Selama ini, aku mengenal Ratri sebagai gadis baik-baik. Hanya saja perubahan sikapnya pada Mas Dadang dua minggu belakangan ini saja yang aneh. Selebihnya, aku tidak melihat hal mencurigakan dari adik sepupuku itu.Namun, benda yang kutemukan ini seperti mematahkan penilaianku. Bila bungkus ini ada di kamar Ratri, berarti dia pernah menggunakannya. Berarti, dia pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki hingga takut hamil.Astaghfirullah ....Sungguh, aku benar-benar tak menyangka dengan temuanku ini. Bisa-bisanya Ratri seperti ini. Bagaimana tanggapan Bulek Ima nantinya kalau tahu Ratri seperti ini saat berada dalam pengawasanku. Entah apa yang akan kujelaskan nanti pada Bulek Ima tentang ini seandainya hasil dari alat tes yang digunakan Ratri menunjukkan garis dua.Aku menanti kedatangan Ratri dengan cemas. Sam

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 38

    Karena Kita Orang Miskin (38)Akibat dari perebutan harta warisan, hubungan kami dengan keluarga Mas Dadang kembali berantakan. Mas Dadang yang menolak untuk membicarakan perihal pembagian warisan adalah penyebabnya. Bukan tanpa sebab Mas Dadang menolak hal itu. Melainkan hanya untuk menghormati mendiang ibunya yang tanah makamnya belum juga kering.Namun, bukannya disambut baik, Mas Dadang malah dimusuhi. Suamiku bahkan diancam tidak mendapat bagian warisan oleh saudara-saudaranya. Tak kusangka, Mbak Lulu pun bersikap demikian.Akhirnya, Mas Dadang memilih mengalah. Suamiku itu pun tak mau menuntut haknya. Lebih baik kami berusaha sendiri untuk mencapai kesuksesan, prinsipnya.Alhamdulillah, semakin hari, usaha kami kian lancar. Utang-utang kami di bank pun sudah lunas. Begitu juga dengan cicilan di tempat lainnya.Aku juga bisa menambah karyawan untuk membantuku. Salah satunya adalah Ratri--adik sepupuku. Aku mengajaknya kerja atas permintaan Bulek Ima--ibunya Ratri, adik dari almar

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status