Karena Kita Orang Miskin (4)
Cukup lama untukku bisa menetralkan diri sebelum bertanya maksud ucapan Bu Lurah.
"Iya, Mbak Ratna mulai hari ini saya berhentikan," jawab Bu Lurah.
Mendengar itu, kedua lututku semakin melemas.
"Salah saya apa, Bu? Kalau saya ada salah, tolong ditegur, Bu. Asal jangan dipecat seperti ini."
"Mbak Ratna nggak ada salah, kok. Malah, selama ini pekerjaan Mbak Ratna sangat baik. Tapi ... saya terpaksa berhentiin Mbak Ratna karena ada satu hal."
"Boleh saya tau apa itu, Bu?"
"Saya ada rencana mau pesan catering makan siang buat para pekerja di kantor kelurahan. Sudah dua minggu ini nyari orang yang cocok, tapi belum ketemu. Kemarin, pas makan siang, kata Bi Sumi, Mbak Ratna yang masak, ya?"
"Iya, Bu. Maaf kalau saya lancang. Kemarin saya memang bantuin Bi Sumi masak pas beliau tiba-tiba pusing. Apa ada yang salah sama masakan saya, Bu?"
"Nggak, kok, Mbak. Malah, saya senang. Akhirnya ketemu juga orang yang pas."
"Maksud Ibu?"
"Saya mau Mbak Ratna yang nanganin pesanan makan siang buat kelurahan. Ya, itu juga kalau Mbak Ratna nggak keberatan."
Sungguh, aku tak pernah menyangka dengan apa yang diucapkan Bu Lurah. Kemarin, aku memang sengaja menawarkan bantuan saat melihat Bi Sumi--asisten rumah tangga yang bertugas masak di rumah Bu Lurah--hampir jatuh pingsan. Saat itu, beliau sedang menyiapkan bahan masakan. Katanya, makanan itu harus sudah jadi sebelum malam tiba karena akan ada tamu Bu Lurah yang mau makan malam di rumah. Berbekal resep peninggalan orang tua, aku membuat beberapa menu sesuai bahan yang tersedia. Menu-menu itu bahkan sangat jarang kubuatkan untuk anak-anak selama ini.
Tak kusangka, makanan yang kubuat mendapat respon sebaik ini. Bahkan membuatku mendapat tawaran yang ah ... tak bisa lagi aku berkata-kata. Maka, nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?
Setelah mendiskusikan kelanjutan pembicaraan tentang catering makan siang kantor kelurahan, aku pamit pada Bu Lurah. Hari ini, aku berencana mengajak anak-anak jalan-jalan. Mumpung ada kesempatan, lagipula sudah sangat lama rasanya anak-anak tidak kuajak pergi.
Dari rumah Bu Lurah, aku langsung menuju sekolah TK tempat Rindi belajar. Sebenarnya, pagi tadi aku sudah melarangnya untuk ke sekolah. Aku takut kalau dia kenapa-kenapa di sekolah karena masih sakit. Akan tetapi, putri bungsuku itu bersikeras untuk tetap berangkat sekolah.
"Adek udah sehat, kok, Bu. Kan, udah makan sate semalem," katanya disertai tawa malu-malu.
Sesampainya aku di sekolahnya, Rindi ternyata sudah menunggu. Mereka dipulangkan lebih awal karena ada satu dan lain hal. Untung saja kedatanganku tidak terlalu lama dari waktu dipulangkannya Rindi dan teman-temannya. Kalau tidak, pastilah puteri bungsuku harus menunggu sendirian karena kulihat teman-temannya sudah dijemput.
Di rumah, aku langsung menyuruh Rindi untuk berganti pakaian dan beristirahat sambil menunggu dua kakaknya pulang sekolah. Bunga dan Kasih pulang tak lama lagi. Biasanya sebelum jam dua belas siang mereka sudah ada di rumah. Berbeda dengan Rindi yang biasa pulang sekolah sebelum jam sepuluh pagi. Bunga kelas satu sekolah dasar, sementara Kasih sudah kelas tiga.
"Kita mau jalan-jalan, Sayang." Kata-kata itu kubisikkan saat berulang kali si bungsu menanyakan apa yang nanti akan kami lakukan saat kakak-kakaknya sudah pulang sekolah.
Mendengar jawabanku, Rindi bersorak riang. Dirinya tak berhenti berjalan mondar-mandir di teras rumah sambil bersenandung lagu-lagu yang dipelajarinya di sekolah. Sepertinya dia sangat senang. Syukurlah kalau memang begitu.
Lalu, saat Bunga dan Kasih datang, Rindi langsung menceritakan rencana jalan-jalan kami. Sama seperti si bungsu, dua anakku itu pun ikut bersorak gembira. Mereka berkali-kali mengonfirmasi informasi itu padaku. Lalu, saat aku mengiyakannya, wajah mereka bertambah ceria.
"Sudah, sudah, buruan sana ganti bajunya. Jangan lupa sholat. Kita berangkat abis sholat. Makan siang di sana, ya? Mau, kan?"
"Siap, Bu!" Ketiga puteriku menjawab serempak.
Sesuai rencana, aku mengajak anak-anak untuk berjalan-jalan ke salah satu pusat perbelanjaan yang terletak tak begitu jauh dari tempat tinggal kami. Bukan mall besar, hanya sebuah supermarket yang dilengkapi dengan foodcourt dan taman bermain anak-anak. Aku mengajak anak-anak makan siang di sana sambil mereka bermain.
Kami berangkat naik angkutan umum dari jalan raya yang tak jauh dari rumah. Cukup memakan waktu untuk sampai ke tempat tujuan kami. Di sini, kami tak mengenal macet, jadi, waktu dua puluh lima menit menang terasa jauh untuk sebuah perjalanan.
Saat sampai di tempat tujuan kami, anak-anak langsung berhambur minta naik semua wahana yang ada. Aku menuruti saja dan membelikan beberapa koin untuk mereka gunakan sebagai alat penggerak mesin mainan yang mereka akan naiki. Sengaja tak kuberi banyak agar mereka tak lupa waktu. Lagipula, ini sudah saatnya kami untuk makan.
Sementara anak-anak bermain, aku memesan makanan untuk kami berempat. Aku sudah hapal betul kesukaan anak-anak, jadi kupilihkan saja sesuai selera mereka. Ayam goreng mentega. Menu yang terbilang mewah untuk kami.
Segera kupanggil ketiganya saat makanan kami sudah siap di meja. Mereka langsung datang saat kupanggil. Memang seperti itu, aku mengajarkan mereka untuk disiplin dan tidak menunda sesuatu. Ya, walaupun kadang masih saja mereka abai. Setidaknya, aku berusaha mengajari mereka dengan sebaik mungkin.
Sedang asik menikmati santapan, hati kecilku seolah menyuruh menatap ke arah pintu masuk. Astaghrifullah ... ibu mertuaku sedang berjalan ke arah kami. Beliau menggenggam tangan cucu kesayangannya, Kalina.
Karena Kita Orang Miskin (5)Aku mencoba mengalihkan pandang ke arah lain. Sembari berdoa agar ibu mertuaku tidak melihat kami di sini. Semoga saja beliau berbelok masuk ke supermarket yang pintu masuknya beberapa meja dari tempat kami makan.Beberapa kali aku sempat mencuri pandang ke arah mertuaku itu, beliau tampak asik bercengkrama dengan cucu kesayangannya yang terlihat sibuk bertanya ini itu. Syukurlah, akhirnya mereka masuk ke super market. Aku bisa bernapas lega.Tak bisa kubayangkan kalau ibu mertuaku melihat kami di sini. Bisa-bisa, aku dibuat malu. Seperti yang dilakukannya empat bulan lalu saat aku mengajak anak-anak makan di warung bakso di pasar saat berbelanja kebutuhan dapur setelah Mas Dadang mengirim uang.Waktu itu, anak-anakku sedang asik menikmati bakso mereka saat neneknya datang dan memarahiku karena dianggap menghambur-hamburkan uang suami. Sakit dan malu rasanya, karena hal itu dilakukan di depan banyak orang yang sedang menikmati bakso. Padahal, harga semangk
Karena Kita Orang Miskin (6)Cukup lama aku berdiri mematung sebelum memberanikan diri untuk membuka pintu. Entah mengapa, perasaanku tak enak. Seolah sesuatu yang buruk akan terjadi."Nah, ada juga orangnya," ucap ibu mertuaku saat pintu terbuka.Segera saja kupersilakan beliau dan orang yang bersamanya untuk masuk."Ada apa, ya, Bu?" tanyaku setelah meletakkan nampan berisi teh dan cemilan."Kamu tadi abis dari pujasera, ya, Ratna?" tanya ibu mertuaku.Sontak saja aku terkejut akan pertanyaannya. Dari mana beliau bisa tahu secepat ini? Aku sudah siap sebenarnya bilamana beliau tahu, tapi tidak secepat ini."Iya, Bu." Aku menjawab pelan sekali sambil menunduk."Bener berarti dia, ya, Mbak?" Ibu mertuaku bertanya pada orang di sampingnya. Orang itu mengangguk."Ada apa sebenarnya, Bu? Saya belum mengerti," kataku."Mbak Ani ini tadi ke rumah Ibu. Katanya dompetnya hilang pas makan di Pujasera tadi siang. Ada yang ngasih tau kalau yang duduk dekat dia itu anak Ibu. Makanya tadi dia ke
Karena Kita Orang Miskin (7)Tanpa menunggu lama, ibu mertua mengajakku masuk ke dalam rumah. Beliau lantas duduk di kursi ruang tamu sambil memerintahku dengan tangannya untuk ikut duduk. Entah kenpa, perasaanku tak karuan. Takut kalau akan diinterogasi soal kejadian di Pujasera tadi siang."Kamu dapat uang dari mana bisa makan-makan di Pujasera?" tanya mertuaku tanpa basa-basi."Saya dikasih Bu Lurah, Bu. Upah nyuci." Aku menjawab pelan."Oh, habis gajian?"Aku mengangguk. Entah mengapa, pertanyaan itu terasa menusuk."Kamu itu, Ratna. Sudah tau suami lagi merantau, ekonomi susah. Bisa-bisanya kamu foya-foya." Ibu mertuaku menggeleng seraya tersenyum sinis."Bukan gitu, Bu." Aku bingung bagaimana menjelaskannya."Bukan gitu gimana? Jelas-jelas kamu itu foya-foya. Gaji cuma seratus ribu aja sok-sokan makan di Pujasera sana. Lihat, tuh, Lulu. Dia aja nggak sok kaya macem kamu."Sabar, Ratna! Sabar!Aku hanya bisa diam menanggapi omongan ibu mertua. Diam memang lebih baik. Aku takut ka
Karena Kita Orang Miskin (8)Sejak bangun tidur, perasaanku menjadi tak enak kalau teringat mimpi semalam. Entah apa arti dari mimpi itu. Aku berharap semua baik-baik saja.Jujur saja, tak hentinya aku mengkhawatirkan Mas Dadang sejak gagal menelepon semalam. Entah di mana kini dirinya berada, bagaimana kini keadaannya. Aku sangat cemas.Karena terlalu memikirkan itu, aku menjadi tidak konsentrasi saat membuatkan sarapan untuk anak-anak. Hampir saja telur dadar yang kubuat hangus. Ungtungnya Bunga cepat menegurku, kalau tidak, anak-anak pasti akan menunggu lebih lama lagi.Berulang kali aku beristighfar untuk menghalau pikiran buruk. Kemungkinan apa pun bisa terjadi. Bisa saja ponsel Mas Dadang hilang atau kartunya rusak.Aku harus sabar. Mas Dadang bukan tipe pria yang suka berselingkuh. Aku kenal betul suamiku itu. Pasti, nanti Mas Dadang akan menghubungi kami.Setelah anak-anak berangkat sekolah, aku langsung menuju dapur untuk memasak pesanan Bu Lurah. Aku tak boleh larut dalam pi
Karena Kita Orang Miskin (9)Kami berempat sampai di rumah sakit tepat pukul lima sore. Kami lantas segera menuju meja resepsionis untuk menanyakan lokasi ruang rawat ibu mertuaku. Beliau dirawat di ruang VIP di lantai tiga rumah sakit ini.Sesaat sebelum masuk ke lift yang pintunya sudah terbuka, Bunga menarik tanganku."Bu, itu Bude Lulu, kan?" katanya. Tangannya menunjuk orang di ruang tunggu pengambilan obat.Kuurungkan niat naik lift dan berjalan menuju orang yang ditunjuk Bunga. Benar saja, itu Mbak Lulu. Beliau sedang mengantre obat untuk ibunya.Anak-anakku berebut untuk mencium tangan budenya. Kegiatan itu membuat Mbak Lulu tersenyum dan berbalik mengecup satu per satu keponakannya. Kebiasaannya memang begitu. Mbak Lulu sangat sayang pada anak-anakku sejak dulu. Bahkan sebelum beliau hamil dan melahirkan Kalina.Mbak Lulu lantas mengajakku duduk pada kursi ruang tunggu itu. Sementara anak-anak diberikan uang untuk membeli camilan di kantin rumah sakit yang jaraknya masih terj
Karena Kita Orang Miskin (10)Belum sempat aku mengatakan perihal Mas Dadang yang hilang kontak, Mbak Lulu terburu-buru kembali ke kamar ibunya setelah menerima pesan yang entah apa."Kalian hati-hati, ya, Na! Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi Mbak, ya," katanya sebelum pergi.Selama perjalanan pulang, anak-anak asyik berceloteh tentang apa saja yang mereka lihat di luar kaca jendela mobil. Sementara aku sibuk mencerna maksud kata-kata Mbak Lulu tentang pesan dari Mas Dadang. Entah apa maksudnya semua itu.Sampai di rumah pun aku masih mencoba menguak teka-teki dari pesan Mas Dadang ke Mbak Lulu. Aku bahkan kesulitan untuk terlelap karenanya. Belum lagi kalau memikirkan mimpiku tentang Mas Dadang. Sepertinya semua saling berkaitan. Akan tetapi, aku belum bisa menemukan benang merahnya.Selepas salat Subuh, aku segera berangkat menuju pasar untuk berbelanja kebutuhan masak pesanan makan siang untuk pegawai kantor kelurahan. Hari ini biarlah aku tak membuatkan anak-anak sarapan. Bi
Karena Kita Orang Miskin (11)Sepanjang perjalanan pulang dari rumah keluarga Mas Mamat, aku sempat melihat beberapa orang tampak bisik-bisik saat aku lewat. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak peduli. Semoga saja bukan gosip aneh-aneh seperti yang tadi kudengar dari puteri sulungku.Sisa hari kujalani seperti biasa. Tak terlalu ada sesuatu yang aneh atau istimewa. Anak-anak bangun tidur, salat, berangkat mengaji, kami berempat salat berjamaah, makan malam, lalu tidur. Aku malah ingin hari cepat berlalu sampai lusa agar segera bisa bertemu Mas Dadang.Saat tidur, aku kembali memimpikan Mas Dadang. Mimpinya masih sama. Mas Dadang menanjak bukit sambil menggandeng anak laki-laki. Entah apa arti mimpi itu, aku belum mengerti.Paginya, rutinitas kami--aku dan anak-anak--berjalan seperti biasanya. Sebenarnya, hari ini aku berencana mengajak anak-anak untuk menjenguk neneknya yang dijadwalkan pulang dari rumah sakit hari ini. Namun, urung kulakukan setelah Mbak Lulu mengatakan bahwa ib
Karena Kita Orang Miskin (12)Aku terpaksa menghentikan makan dan berjalan ke arah pintu. Begitu juga dengan anak-anak yang tampak antusias. Mereka terlihat buru-buru menghabiskan makanan di piring yang tersisa sedikit.Saat membuka pintu, tak kudapati Mas Dadang, melainkan ibunya. Ibu mertuaku itu datang dengan wajah yang mengisyaratkan kemarahan."Ibu? Mari masuk, Bu," tawarku.Tanpa menjawab, beliau langsung masuk dan duduk di kursi ruang tamuku."Ibu mau minum apa? Biar saya buatkan.""Nggak usah! Suruh anak-anakmu main, sana! Ada hal penting yang mau saya bicarakan sama kamu!" Suara ibu mertua terdengar tegas dan penuh penekanan."Baik, Bu," balasku.Aku lantas ke belakang dan memberikan selembar uang lima ribu rupiah pada Kasih."Kakak ajak adek-adek jajan, ya!" Perintahku pada Kasih."Iya, Bu. Makasih," jawab Kasih. Kedua adiknya pun mengatakan hal yang sama."Sama-sama, Sayang-sayangnya Ibu." Aku mengecup kening ketiganya bergantian sebelum mereka menghilang dari balik tirai p