Karena Kita Orang Miskin (2)
"Hust ... nggak boleh bilang gitu, Nak!" Aku menasehati Bunga.
"Tapi emang bener, kan, Bu? Karena kita orang miskin, makanya Eyang Ti kayak gitu. Nggak kayak ke Kalina. Minta ini itu diturutin," keluhnya.
Ingin rasanya aku membantah dan memberitahu bahwa nenek mereka tak pilih kasih. Namun, anak-anakku rupanya sudah cukup mengerti keadaan yang sebenarnya. Bukan baru sekali ini keluarga kami mendapat perlakuan tak mengenakkan dari keluarga suamiku.
"Iya, bener," sahut Kasih. "Kayak waktu Eyang Ti pulang dari Bali kemaren. Kita cuma dibeliin kaus satu. Kalina sama yang lainnya dibeliin macem-macem. Kaos lah, kalung lah, gelang, sampe sepatu yang bagus banget. Kalina juga dapet boneka. Padahal Rindi nggak dapet loh," lanjutnya.
Ah, menyedihkan memang. Aku jadi kembali teringat hari itu. Andai bisa diulang, aku pasti akan memilih tidak ke rumah mertuaku hari itu kalau tahu ujung-ujungnya hanya kekecewaan dan penghinaan yang kami dapat.
Aku ingat betul, hari itu, sepulang dari ladang, suamiku mengajak ke rumah orang tuanya.
"Ibu sama Bapak baru pulang dari Bali, Bu. Ayo, kita ke sana," ajak Mas Dadang.Sebenarnya, aku malas untuk ke sana. Perasaanku sudah tak enak saat itu. Namun, aku tidak mampu menolak ajakan suami yang terlihat begitu antusias menyambut kepulangan orang tuanya yang baru saja berlibur.
Benar saja, sesampai di sana, kami seperti orang yang tak terlihat. Ibu mertuaku sibuk bercerita tentang liburannya yang dibiayai Mas Rusli--anak tertuanya--pada keluarga anak-anaknya yang sukses. Sementara keluargaku yang terbilang paling susah, tak dihiraukannya. Bahkan, pertanyaan yang terlontar dari mulut anak-anakku tak dijawab dengan antusias seperti beliau menjawab tanya dari cucu-cucunya yang lain.
Mas Dadang adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Mas Rusli, kakak tertua suamiku bisa dibilang anak mertua yang paling sukses. Beliau mempunyai usaha mebel besar dan punya beberapa cabang di tiga kota. Belum lagi istrinya yang seorang kepala cabang sebuah bank swasta ternama. Mereka mempunyai dua orang anak yang sudah berusia remaja.
Sementara anak kedua mertuaku adalah Mbak Lulu. Meskipun Mbak Lulu tidak bekerja, penghasilan suaminya sebagai seorang pemborong proyek perumahan, lebih dari cukup untuk menyokong hidup. Apalagi, anak mereka baru satu, si Kalina itu.
Dua adik Mas Dadang pun kehidupannya terbilang mapan. Dinda--adik Mas Dadang--dan suaminya mempunyai usaha toko kelontong yang terbilang besar. Sedangkan Rahmat--adik bungsu suamiku--dan istrinya, sudah sama-sama berstatus pegawai negeri sipil.
Sementara Mas Dadang, suamiku, hanyalah seorang petani yang ditugaskan mengurus lahan milik orang tuanya. Sebenarnya, dulu kami tinggal di perantauan, dan Mas Dadang sudah bekerja sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan swasta di sana. Kehidupanku dan Mas Dadang beserta Kasih, terbilang baik meski masih mengontrak tempat tinggal. Akan tetapi, desakan orang tuanya membuat kami terpaksa kembali ke kampung halaman suamiku.
"Kalau bukan kamu yang ngurusi sawah, siapa lagi yang bisa Bapak harapkan, Nak?" Kata-kata dari bapak mertuaku delapan tahun yang lalu lah pencetus kami kembali ke tanah ini. Apalagi, tak lama setelah kata-kata itu terucap, bapak mertua mulai sakit-sakitan dan tak sanggup mengurus ladang. Terpaksalah, aku mengalah mengikut kehendak suamiku untuk pindah ke sini.
Awalnya, semua berjalan baik saja. Mertuaku baik pada kami. Namun, semua berubah saat aku hamil anak ketiga. Dengan alasan kehamilan yang jaraknya dekat dan kondisi ekonomi yang belum stabil, ibu mertuaku mulai membanding-bandingkan kehidupan keluargaku dengan kehidupan anak-anak lainnya. Ditambah lagi hasil panen yang berkurang jauh, membuat Mas Dadang mengurangi jatah hasil panen pada orang tuanya.
Sebenarnya, aku sudah meminta agar Mas Dadang tetap memberikan uang sejumlah yang biasa diberi pada orang tuanya, tapi suamiku itu menolak dengan alasan kami juga butuh uang karena sedang membangun rumah sederhana kami.
Semenjak itulah, mertuaku terlihat pilih kasih pada keluarga kami. Terlebih setelah kehidupan dua adik Mas Dadang mulai meroket. Sementara ekonomi keluarga kami belum juga menampakkan kemajuan.
Keadaan itu tampak dalam beberapa situasi yang kami alami. Salah satunya saat mertuaku pulang dari Bali beberapa bulan yang lalu. Perlakuan yang diskriminatif kami terima secara terang-terangan.
Saat itu, hatiku teramat perih kala melihat anak-anakku bertanya pada neneknya, "Yang Ti, kok, kita cuma dapet oleh-oleh dikit?" tanya Bunga.
Bukannya memberikan alasan yang membuat anak-anakku berbesar hati, ibu mertua malah menjawab santai tanpa sedikit pun rasa bersalah, "Kalian itu aja cukup. Masih syukur Yang Ti beliin. Nggak usah banyak protes!"
"Boneka Rindi mana, Yang Ti?" tanya putri bungsuku.
"Nggak ada. Yang Ti lupa," jawab ibu mertua acuh.
Saat itu, Rindi terlihat sedih dan menatap penuh harap ke arah sepupunya--Kalina--yang memeluk dua buah boneka yang dibelikan neneknya.
"Itu, Kalina dibeliin dua. Satunya buat Rindi, dong, Yang Ti," celetuk Bunga.
Bukannya menyadari kesalahan, mertuaku itu malah memarahi Mas Dadang dan aku di depan anak-anak, "Kalian itu, punya anak, diajari sopan santun dikit, kek! Nggak ada sopan santunnya!"
Tak tahan dengan semua perlakuan itu, aku mengajak Mas Danang untuk berpamitan. Sakit rasanya mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari mereka yang kita anggap dan harap menjadi orang yang mestinya paling peduli. Sakitnya tak terperih. Pastinya hal yang sama juga dirasakan anak-anakku.
Untuk meredam kekecewaan dan kesedihan di hati anak-anakku, aku berinisiatif mengajak mereka untuk makan bakso bersama sore itu. Syukurlah walau hanya dengan begitu, wajah-wajah muram ketiga putri kami berangsur menghilang. Mereka bahkan kembali ceria saat ayahnya menceritakan sebuah kejadian lucu di ladang.
Saat itu, aku berharap mereka bisa menghapus kenangan buruk tadi. Sayangnya, hal tersebut tak semudah harapanku. Rasa sakit itu membekas dan masih terasa hingga kini.
"Assalamualaikum ...."
Salam dari pintu depan terdengar nyaring setelah ketukan yang menyadarkanku dari lamunan. Segera, aku berdiri dan berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang. Semakin dekat dengan pintu, aku tahu siapa pemilik suara yang familiar itu. Bu Lurah.
Karena Kita Orang Miskin (3)"Waalaikumsalam," jawabku seraya membuka pintu.Benar saja, Bu Lurah sudah berdiri di depan pintu rumah sederhana kami. Sungguh, aku merasa sungkan beliau mampir ke sini. Meski begitu, segera kupersilakan beliau untuk masuk."Nggak usah, Mbak Ratna. Saya ke sini cuma mau nganter ini," ucapnya seraya menyerahkan sebuah kantong plastik hitam berukuran sedang."Ini apa, Bu?" Aku bertanya setelah kantong itu berpindah tangan. Sebenarnya, tanpa bertanya pun aku sudah bisa menebak isi bungkusan ini dari aroma yang menguar saat ia mendarat di tanganku."Itu, sedikit jajanan buat anak-anak Mbak Ratna. O iya, saya minta maaf, ya, Mbak. Kemarin kelupaan ngasih gajinya Mbak Ratna. Ini, Mbak, silakan." Bu Lurah kembali menyerahkan sesuatu padaku. Kali ini sebuah amplop putih yang yang biasa kuterima sebagai upah mencuci dan setrika tiap minggunya."Alhamdulillah ... terima kasih banyak, Bu Lurah," ucapku.Aku lagi-lagi mempersilakan beliau masuk ke rumah. Namun, belia
Karena Kita Orang Miskin (4)Cukup lama untukku bisa menetralkan diri sebelum bertanya maksud ucapan Bu Lurah."Iya, Mbak Ratna mulai hari ini saya berhentikan," jawab Bu Lurah.Mendengar itu, kedua lututku semakin melemas."Salah saya apa, Bu? Kalau saya ada salah, tolong ditegur, Bu. Asal jangan dipecat seperti ini.""Mbak Ratna nggak ada salah, kok. Malah, selama ini pekerjaan Mbak Ratna sangat baik. Tapi ... saya terpaksa berhentiin Mbak Ratna karena ada satu hal.""Boleh saya tau apa itu, Bu?""Saya ada rencana mau pesan catering makan siang buat para pekerja di kantor kelurahan. Sudah dua minggu ini nyari orang yang cocok, tapi belum ketemu. Kemarin, pas makan siang, kata Bi Sumi, Mbak Ratna yang masak, ya?""Iya, Bu. Maaf kalau saya lancang. Kemarin saya memang bantuin Bi Sumi masak pas beliau tiba-tiba pusing. Apa ada yang salah sama masakan saya, Bu?""Nggak, kok, Mbak. Malah, saya senang. Akhirnya ketemu juga orang yang pas.""Maksud Ibu?""Saya mau Mbak Ratna yang nanganin
Karena Kita Orang Miskin (5)Aku mencoba mengalihkan pandang ke arah lain. Sembari berdoa agar ibu mertuaku tidak melihat kami di sini. Semoga saja beliau berbelok masuk ke supermarket yang pintu masuknya beberapa meja dari tempat kami makan.Beberapa kali aku sempat mencuri pandang ke arah mertuaku itu, beliau tampak asik bercengkrama dengan cucu kesayangannya yang terlihat sibuk bertanya ini itu. Syukurlah, akhirnya mereka masuk ke super market. Aku bisa bernapas lega.Tak bisa kubayangkan kalau ibu mertuaku melihat kami di sini. Bisa-bisa, aku dibuat malu. Seperti yang dilakukannya empat bulan lalu saat aku mengajak anak-anak makan di warung bakso di pasar saat berbelanja kebutuhan dapur setelah Mas Dadang mengirim uang.Waktu itu, anak-anakku sedang asik menikmati bakso mereka saat neneknya datang dan memarahiku karena dianggap menghambur-hamburkan uang suami. Sakit dan malu rasanya, karena hal itu dilakukan di depan banyak orang yang sedang menikmati bakso. Padahal, harga semangk
Karena Kita Orang Miskin (6)Cukup lama aku berdiri mematung sebelum memberanikan diri untuk membuka pintu. Entah mengapa, perasaanku tak enak. Seolah sesuatu yang buruk akan terjadi."Nah, ada juga orangnya," ucap ibu mertuaku saat pintu terbuka.Segera saja kupersilakan beliau dan orang yang bersamanya untuk masuk."Ada apa, ya, Bu?" tanyaku setelah meletakkan nampan berisi teh dan cemilan."Kamu tadi abis dari pujasera, ya, Ratna?" tanya ibu mertuaku.Sontak saja aku terkejut akan pertanyaannya. Dari mana beliau bisa tahu secepat ini? Aku sudah siap sebenarnya bilamana beliau tahu, tapi tidak secepat ini."Iya, Bu." Aku menjawab pelan sekali sambil menunduk."Bener berarti dia, ya, Mbak?" Ibu mertuaku bertanya pada orang di sampingnya. Orang itu mengangguk."Ada apa sebenarnya, Bu? Saya belum mengerti," kataku."Mbak Ani ini tadi ke rumah Ibu. Katanya dompetnya hilang pas makan di Pujasera tadi siang. Ada yang ngasih tau kalau yang duduk dekat dia itu anak Ibu. Makanya tadi dia ke
Karena Kita Orang Miskin (7)Tanpa menunggu lama, ibu mertua mengajakku masuk ke dalam rumah. Beliau lantas duduk di kursi ruang tamu sambil memerintahku dengan tangannya untuk ikut duduk. Entah kenpa, perasaanku tak karuan. Takut kalau akan diinterogasi soal kejadian di Pujasera tadi siang."Kamu dapat uang dari mana bisa makan-makan di Pujasera?" tanya mertuaku tanpa basa-basi."Saya dikasih Bu Lurah, Bu. Upah nyuci." Aku menjawab pelan."Oh, habis gajian?"Aku mengangguk. Entah mengapa, pertanyaan itu terasa menusuk."Kamu itu, Ratna. Sudah tau suami lagi merantau, ekonomi susah. Bisa-bisanya kamu foya-foya." Ibu mertuaku menggeleng seraya tersenyum sinis."Bukan gitu, Bu." Aku bingung bagaimana menjelaskannya."Bukan gitu gimana? Jelas-jelas kamu itu foya-foya. Gaji cuma seratus ribu aja sok-sokan makan di Pujasera sana. Lihat, tuh, Lulu. Dia aja nggak sok kaya macem kamu."Sabar, Ratna! Sabar!Aku hanya bisa diam menanggapi omongan ibu mertua. Diam memang lebih baik. Aku takut ka
Karena Kita Orang Miskin (8)Sejak bangun tidur, perasaanku menjadi tak enak kalau teringat mimpi semalam. Entah apa arti dari mimpi itu. Aku berharap semua baik-baik saja.Jujur saja, tak hentinya aku mengkhawatirkan Mas Dadang sejak gagal menelepon semalam. Entah di mana kini dirinya berada, bagaimana kini keadaannya. Aku sangat cemas.Karena terlalu memikirkan itu, aku menjadi tidak konsentrasi saat membuatkan sarapan untuk anak-anak. Hampir saja telur dadar yang kubuat hangus. Ungtungnya Bunga cepat menegurku, kalau tidak, anak-anak pasti akan menunggu lebih lama lagi.Berulang kali aku beristighfar untuk menghalau pikiran buruk. Kemungkinan apa pun bisa terjadi. Bisa saja ponsel Mas Dadang hilang atau kartunya rusak.Aku harus sabar. Mas Dadang bukan tipe pria yang suka berselingkuh. Aku kenal betul suamiku itu. Pasti, nanti Mas Dadang akan menghubungi kami.Setelah anak-anak berangkat sekolah, aku langsung menuju dapur untuk memasak pesanan Bu Lurah. Aku tak boleh larut dalam pi
Karena Kita Orang Miskin (9)Kami berempat sampai di rumah sakit tepat pukul lima sore. Kami lantas segera menuju meja resepsionis untuk menanyakan lokasi ruang rawat ibu mertuaku. Beliau dirawat di ruang VIP di lantai tiga rumah sakit ini.Sesaat sebelum masuk ke lift yang pintunya sudah terbuka, Bunga menarik tanganku."Bu, itu Bude Lulu, kan?" katanya. Tangannya menunjuk orang di ruang tunggu pengambilan obat.Kuurungkan niat naik lift dan berjalan menuju orang yang ditunjuk Bunga. Benar saja, itu Mbak Lulu. Beliau sedang mengantre obat untuk ibunya.Anak-anakku berebut untuk mencium tangan budenya. Kegiatan itu membuat Mbak Lulu tersenyum dan berbalik mengecup satu per satu keponakannya. Kebiasaannya memang begitu. Mbak Lulu sangat sayang pada anak-anakku sejak dulu. Bahkan sebelum beliau hamil dan melahirkan Kalina.Mbak Lulu lantas mengajakku duduk pada kursi ruang tunggu itu. Sementara anak-anak diberikan uang untuk membeli camilan di kantin rumah sakit yang jaraknya masih terj
Karena Kita Orang Miskin (10)Belum sempat aku mengatakan perihal Mas Dadang yang hilang kontak, Mbak Lulu terburu-buru kembali ke kamar ibunya setelah menerima pesan yang entah apa."Kalian hati-hati, ya, Na! Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi Mbak, ya," katanya sebelum pergi.Selama perjalanan pulang, anak-anak asyik berceloteh tentang apa saja yang mereka lihat di luar kaca jendela mobil. Sementara aku sibuk mencerna maksud kata-kata Mbak Lulu tentang pesan dari Mas Dadang. Entah apa maksudnya semua itu.Sampai di rumah pun aku masih mencoba menguak teka-teki dari pesan Mas Dadang ke Mbak Lulu. Aku bahkan kesulitan untuk terlelap karenanya. Belum lagi kalau memikirkan mimpiku tentang Mas Dadang. Sepertinya semua saling berkaitan. Akan tetapi, aku belum bisa menemukan benang merahnya.Selepas salat Subuh, aku segera berangkat menuju pasar untuk berbelanja kebutuhan masak pesanan makan siang untuk pegawai kantor kelurahan. Hari ini biarlah aku tak membuatkan anak-anak sarapan. Bi