Share

Bab 2

last update Last Updated: 2022-07-16 19:48:26

Karena Kita Orang Miskin (2)

"Hust ... nggak boleh bilang gitu, Nak!" Aku menasehati Bunga.

"Tapi emang bener, kan, Bu? Karena kita orang miskin, makanya Eyang Ti kayak gitu. Nggak kayak ke Kalina. Minta ini itu diturutin," keluhnya.

Ingin rasanya aku membantah dan memberitahu bahwa nenek mereka tak pilih kasih. Namun, anak-anakku rupanya sudah cukup mengerti keadaan yang sebenarnya. Bukan baru sekali ini keluarga kami mendapat perlakuan tak mengenakkan dari keluarga suamiku.

"Iya, bener," sahut Kasih. "Kayak waktu Eyang Ti pulang dari Bali kemaren. Kita cuma dibeliin kaus satu. Kalina sama yang lainnya dibeliin macem-macem. Kaos lah, kalung lah, gelang, sampe sepatu yang bagus banget. Kalina juga dapet boneka. Padahal Rindi nggak dapet loh," lanjutnya.

Ah, menyedihkan memang. Aku jadi kembali teringat hari itu. Andai bisa diulang, aku pasti akan memilih tidak ke rumah mertuaku hari itu kalau tahu ujung-ujungnya hanya kekecewaan dan penghinaan yang kami dapat.

Aku ingat betul, hari itu, sepulang dari ladang, suamiku mengajak ke rumah orang tuanya.

"Ibu sama Bapak baru pulang dari Bali, Bu. Ayo, kita ke sana," ajak Mas Dadang.

Sebenarnya, aku malas untuk ke sana. Perasaanku sudah tak enak saat itu. Namun, aku tidak mampu menolak ajakan suami yang terlihat begitu antusias menyambut kepulangan orang tuanya yang baru saja berlibur.

Benar saja, sesampai di sana, kami seperti orang yang tak terlihat. Ibu mertuaku sibuk bercerita tentang liburannya yang dibiayai Mas Rusli--anak tertuanya--pada keluarga anak-anaknya yang sukses. Sementara keluargaku yang terbilang paling susah, tak dihiraukannya. Bahkan, pertanyaan yang terlontar dari mulut anak-anakku tak dijawab dengan antusias seperti beliau menjawab tanya dari cucu-cucunya yang lain.

Mas Dadang adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Mas Rusli, kakak tertua suamiku bisa dibilang anak mertua yang paling sukses. Beliau mempunyai usaha mebel besar dan punya beberapa cabang di tiga kota. Belum lagi istrinya yang seorang kepala cabang sebuah bank swasta ternama. Mereka mempunyai dua orang anak yang sudah berusia remaja.

Sementara anak kedua mertuaku adalah Mbak Lulu. Meskipun Mbak Lulu tidak bekerja, penghasilan suaminya sebagai seorang pemborong proyek perumahan, lebih dari cukup untuk menyokong hidup. Apalagi, anak mereka baru satu, si Kalina itu.

Dua adik Mas Dadang pun kehidupannya terbilang mapan. Dinda--adik Mas Dadang--dan suaminya mempunyai usaha toko kelontong yang terbilang besar. Sedangkan Rahmat--adik bungsu suamiku--dan istrinya, sudah sama-sama berstatus pegawai negeri sipil.

Sementara Mas Dadang, suamiku, hanyalah seorang petani yang ditugaskan mengurus lahan milik orang tuanya. Sebenarnya, dulu kami tinggal di perantauan, dan Mas Dadang sudah bekerja sebagai karyawan tetap di sebuah perusahaan swasta di sana. Kehidupanku dan Mas Dadang beserta Kasih, terbilang baik meski masih mengontrak tempat tinggal. Akan tetapi, desakan orang tuanya membuat kami terpaksa kembali ke kampung halaman suamiku.

"Kalau bukan kamu yang ngurusi sawah, siapa lagi yang bisa Bapak harapkan, Nak?" Kata-kata dari bapak mertuaku delapan tahun yang lalu lah pencetus kami kembali ke tanah ini. Apalagi, tak lama setelah kata-kata itu terucap, bapak mertua mulai sakit-sakitan dan tak sanggup mengurus ladang. Terpaksalah, aku mengalah mengikut kehendak suamiku untuk pindah ke sini.

Awalnya, semua berjalan baik saja. Mertuaku baik pada kami. Namun, semua berubah saat aku hamil anak ketiga. Dengan alasan kehamilan yang jaraknya dekat dan kondisi ekonomi yang belum stabil, ibu mertuaku mulai membanding-bandingkan kehidupan keluargaku dengan kehidupan anak-anak lainnya. Ditambah lagi hasil panen yang berkurang jauh, membuat Mas Dadang mengurangi jatah hasil panen pada orang tuanya.

Sebenarnya, aku sudah meminta agar Mas Dadang tetap memberikan uang sejumlah yang biasa diberi pada orang tuanya, tapi suamiku itu menolak dengan alasan kami juga butuh uang karena sedang membangun rumah sederhana kami.

Semenjak itulah, mertuaku terlihat pilih kasih pada keluarga kami. Terlebih setelah kehidupan dua adik Mas Dadang mulai meroket. Sementara ekonomi keluarga kami belum juga menampakkan kemajuan.

Keadaan itu tampak dalam beberapa situasi yang kami alami. Salah satunya saat mertuaku pulang dari Bali beberapa bulan yang lalu. Perlakuan yang diskriminatif kami terima secara terang-terangan.

Saat itu, hatiku teramat perih kala melihat anak-anakku bertanya pada neneknya, "Yang Ti, kok, kita cuma dapet oleh-oleh dikit?" tanya Bunga.

Bukannya memberikan alasan yang membuat anak-anakku berbesar hati, ibu mertua malah menjawab santai tanpa sedikit pun rasa bersalah, "Kalian itu aja cukup. Masih syukur Yang Ti beliin. Nggak usah banyak protes!"

"Boneka Rindi mana, Yang Ti?" tanya putri bungsuku.

"Nggak ada. Yang Ti lupa," jawab ibu mertua acuh.

Saat itu, Rindi terlihat sedih dan menatap penuh harap ke arah sepupunya--Kalina--yang memeluk dua buah boneka yang dibelikan neneknya.

"Itu, Kalina dibeliin dua. Satunya buat Rindi, dong, Yang Ti," celetuk Bunga.

Bukannya menyadari kesalahan, mertuaku itu malah memarahi Mas Dadang dan aku di depan anak-anak, "Kalian itu, punya anak, diajari sopan santun dikit, kek! Nggak ada sopan santunnya!"

Tak tahan dengan semua perlakuan itu, aku mengajak Mas Danang untuk berpamitan. Sakit rasanya mendapatkan perlakuan tak menyenangkan dari mereka yang kita anggap dan harap menjadi orang yang mestinya paling peduli. Sakitnya tak terperih. Pastinya hal yang sama juga dirasakan anak-anakku.

Untuk meredam kekecewaan dan kesedihan di hati anak-anakku, aku berinisiatif mengajak mereka untuk makan bakso bersama sore itu. Syukurlah walau hanya dengan begitu, wajah-wajah muram ketiga putri kami berangsur menghilang. Mereka bahkan kembali ceria saat ayahnya menceritakan sebuah kejadian lucu di ladang.

Saat itu, aku berharap mereka bisa menghapus kenangan buruk tadi. Sayangnya, hal tersebut tak semudah harapanku. Rasa sakit itu membekas dan masih terasa hingga kini.

"Assalamualaikum ...."

Salam dari pintu depan terdengar nyaring setelah ketukan yang menyadarkanku dari lamunan. Segera, aku berdiri dan berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang. Semakin dekat dengan pintu, aku tahu siapa pemilik suara yang familiar itu. Bu Lurah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 41b

    Karena Kita Orang Miskin (41b)Meski sedikit sulit, aku mencoba untuk mengikhlaskan semua yang telah terjadi pada kami hingga hari itu. Sepanjang hari Mas Dadang memilih menemaniku pergi ke pantai untuk melepaskan rasa sesak yang menghimpit dada karena mengingat semua peristiwa buruk yang pernah menimpa keluarga kami. Urusan catering dan jualan lainnya kami percayakan pada Ratri dan karyawan lainnya. Anak-anak juga tidak rewel meminta ikut, jadi aku bisa pergi berduaan dengan Mas Dadang.Dua minggu kemudian, Mas Bambang meminta kami menemaninya untuk menemui Bulek Ima demi meminta restu meminang Ratri. Kami sekeluarga pergi bersama. Anak-anak kami bawa serta karena hari itu bertepatan dengan libur sekolahnya.Alhamdulillah, semua berjalan lancar. Bulek Ima sangat senang dengan pinangan Mas Bambang. Sesuai rencana, satu bulan setelah lamaran itu akan diadakan akad nikah dan resepsi di kampung halaman. Setelah itu, Mas Bambang akan membawa Ratri serta ibunya untuk tinggal di rumahnya.A

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 41a

    Karena Kita Orang Miskin (41)Pagi-pagi sekali, Mas Dadang mengajakku berkunjung ke rumah Mas Mamat. Sudah pasti tujuannya untuk menanyakan ke mana larinya hak suamiku yang harusnya diberikan sejak tiga tahun yang lalu itu. Karena hingga detik ini kami belum merasa menerima barang sepeser pun."Assalamualaikum ...." Mas Dadang mengucap salam setelah ketukannya di pintu rumah tak mendapat jawaban.Cukup lama sampai salam kami dibalas. Mas Mamat yang membukakan pintu tampak terkejut dengan kedatangan kami. Akan tetapi, dia berpura-pura tersenyum. Aku tahu itu karena gelagatnya yang mencurigakan seperti dulu waktu dia baru pulang dari perantauan.Kami dipersilakan masuk dan duduk di ruang tamu rumahnya. Sementara dia pamit ke belakang untuk menyiapkan sajian. Sebenarnya, kami sudah menolak untuk dijamu, tetapi dia tetap bersikukuh bahwa tamu adalah raja. Jadi, kami biarkan saja dia berlalu dan menghilang di balik kain pintu pembatas dapurnya.Kami menunggu cukup lama hingga dia muncul k

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 40b

    Karena Kita Orang Miskin (40b)"Bener, Dek?" Aku bertanya pada Ratri.Dia mengangguk seraya tersenyum malu."Iya, Mbak," katanya."Mas Bambang ngajak serius setelah kami dekat dua minggu yang lalu, Mbak," lanjut Ratri."Boleh, kan, Mbak?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk dan tersenyum sebagai jawaban. Aku kenal Mas Bambang. Pria itu baik dan bertanggung jawab. Ya, walaupun aku pernah ditinggalkannya tanpa kabar.Biarlah itu menjadi masa lalu. Mungkin itu hanya sebab dan pertanda bahwa dia bukanlah jodohku. Sekarang, dia berniat serius dengan Ratri. Semoga dia bisa membahagiakan adik sepupuku itu."Alhamdulillah ...." Mas Bambang dan Ratri menjawab bersamaan.Hal itu membuat aku dan Mas Dadang tersenyum."Mirip kita dulu, ya, Bu?" bisik Mas Dadang.Aku jadi mengingat kejadian serupa di masa dulu. Ketika Mas Dadang datang memintaku pada almarhum Kakek."Iya, Yah," balasku seraya menahan tawa karena mengingat kejadian serupa."Rencananya, saya mau minta tolong ditemani kalian untuk min

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 40a

    Karena Kita Orang Miskin (40)Segera aku berjalan ke arah Ratri yang tampak sedang asik berbincang dengan beberapa orang di dalam toko bangunan milik Mas Bambang. Mas Dadang yang berjalan di sampingku selalu mengingatkan, "Kontrol emosi, ya, Bu. Ini tempat umum. Apalagi pemiliknya kita kenal." Sementara aku menanggapinya hanya dengan berdeham."Dek ...." Aku menegur Ratri seraya menyentuh pundaknya. Sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku tadi. Ratri langsung menengok dengan wajah pias."Mbak ...," katanya seraya menunduk.Di sana ada Mas Bambang yang tersenyum ramah padaku dan Mas Dadang."Datang juga kamu, Bro," sapa Mas Bambang pada suamiku."Iya, Bang. Maaf baru pulang dari rumah sakit soalnya," jawab Mas Dadang.Selanjutnya, mereka terlibat obrolan panjang yang dimulai dari kabar kesehatan Rindi. Sedangkan aku dan Ratri masih saling diam. Sesekali kami bersitatap. Namun, secepat kilat Ratri akan mengalihkan tatapannya setelah itu.Mas Bambang mengajak kami masuk ke ruangan pri

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 39

    Karena Kita Orang Miskin (39)Segera saja kukantongi benda yang kutemukan itu. Akan kumintai penjelasan bila Ratri datang nanti. Apa penyebab benda ini ada di kamarnya.Selama ini, aku mengenal Ratri sebagai gadis baik-baik. Hanya saja perubahan sikapnya pada Mas Dadang dua minggu belakangan ini saja yang aneh. Selebihnya, aku tidak melihat hal mencurigakan dari adik sepupuku itu.Namun, benda yang kutemukan ini seperti mematahkan penilaianku. Bila bungkus ini ada di kamar Ratri, berarti dia pernah menggunakannya. Berarti, dia pernah melakukan hubungan intim dengan laki-laki hingga takut hamil.Astaghfirullah ....Sungguh, aku benar-benar tak menyangka dengan temuanku ini. Bisa-bisanya Ratri seperti ini. Bagaimana tanggapan Bulek Ima nantinya kalau tahu Ratri seperti ini saat berada dalam pengawasanku. Entah apa yang akan kujelaskan nanti pada Bulek Ima tentang ini seandainya hasil dari alat tes yang digunakan Ratri menunjukkan garis dua.Aku menanti kedatangan Ratri dengan cemas. Sam

  • Karena Kita Orang Miskin   Bab 38

    Karena Kita Orang Miskin (38)Akibat dari perebutan harta warisan, hubungan kami dengan keluarga Mas Dadang kembali berantakan. Mas Dadang yang menolak untuk membicarakan perihal pembagian warisan adalah penyebabnya. Bukan tanpa sebab Mas Dadang menolak hal itu. Melainkan hanya untuk menghormati mendiang ibunya yang tanah makamnya belum juga kering.Namun, bukannya disambut baik, Mas Dadang malah dimusuhi. Suamiku bahkan diancam tidak mendapat bagian warisan oleh saudara-saudaranya. Tak kusangka, Mbak Lulu pun bersikap demikian.Akhirnya, Mas Dadang memilih mengalah. Suamiku itu pun tak mau menuntut haknya. Lebih baik kami berusaha sendiri untuk mencapai kesuksesan, prinsipnya.Alhamdulillah, semakin hari, usaha kami kian lancar. Utang-utang kami di bank pun sudah lunas. Begitu juga dengan cicilan di tempat lainnya.Aku juga bisa menambah karyawan untuk membantuku. Salah satunya adalah Ratri--adik sepupuku. Aku mengajaknya kerja atas permintaan Bulek Ima--ibunya Ratri, adik dari almar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status