Karena Kita Orang Miskin (5)
Aku mencoba mengalihkan pandang ke arah lain. Sembari berdoa agar ibu mertuaku tidak melihat kami di sini. Semoga saja beliau berbelok masuk ke supermarket yang pintu masuknya beberapa meja dari tempat kami makan.
Beberapa kali aku sempat mencuri pandang ke arah mertuaku itu, beliau tampak asik bercengkrama dengan cucu kesayangannya yang terlihat sibuk bertanya ini itu. Syukurlah, akhirnya mereka masuk ke super market. Aku bisa bernapas lega.
Tak bisa kubayangkan kalau ibu mertuaku melihat kami di sini. Bisa-bisa, aku dibuat malu. Seperti yang dilakukannya empat bulan lalu saat aku mengajak anak-anak makan di warung bakso di pasar saat berbelanja kebutuhan dapur setelah Mas Dadang mengirim uang.
Waktu itu, anak-anakku sedang asik menikmati bakso mereka saat neneknya datang dan memarahiku karena dianggap menghambur-hamburkan uang suami. Sakit dan malu rasanya, karena hal itu dilakukan di depan banyak orang yang sedang menikmati bakso. Padahal, harga semangkuk bakso hanyalah tujuh ribu rupiah.
Aku memesan tiga mangkok untuk anak-anak. Kebetulan, hari itu adalah hari ulang tahun Bunga. Pun, Mas Dadang yang menyuruhku mengajak anak-anak jalan-jalan dan membelikan sesuatu untuk Bunga. Hari itu, Bunga hanya mengajak makan bakso di pasar. Tak kusangka, hari yang seharusnya menjadi hari bahagia itu malah berubah menjadi hari yang menyedihkan.
Meskipun tak bilang secara langsung, aku tahu Bunga merasa kecewa dan sedih. Hari bahagianya dirusak oleh sang nenek dengan tuduhan pemborosan. Padahal, Bunga tidak meminta apa pun. Melainkan aku yang membelikannya sendal baru yang akhirnya menjadi bahan neneknya semakin mengomeliku.
Sepulang dari kami memakan bakso waktu itu, Bunga bahkan tak mau memakai sendalnya. Barulah setelah kubujuk, dia mau memakainya. Itu pun tidak dipakainya bila harus melewati rumah sang nenek.
Aku takut sekali kejadian seperti itu terulang lagi kali ini. Aku hanya ingin membahagiakan anak-anakku hari ini. Toh, uang yang kupakai pun adalah hasil jerihpayaku selama ini. Bukankah tadi Bu Lurah bilang kalau uang lebihnya itu adalah untuk anak-anakku. Jadi, kenapa tidak sesekali kusenangkan mereka dengan mengajak berjalan-jalan ke sini. Lagipula, makan di tempat ini tidak terlalu menghabiskan banyak uang. Untuk seporsi makanan sudah dengan minumnya, hanya menghabiskan tujuh belas ribu rupiah. Sedangkan harga koin untuk naik wahana hanyalah dua ribu rupiah.
Biarlah kalaupun memang nanti ibu mertuaku tahu dan memarahi, aku tak peduli. Yang penting jangan untuk saat ini. Aku tak mau kebahagiaan anak-anakku terganggu hanya karena nasehat yang seringkali terdengar seperti cacian. Ya, beliau selalu menganggap semua omelannya sebagai nasehat belaka. Nyatanya, semua itu terasa seperti cacian yang menyakitkan. Sayangnya, aku tak berani membalas atau membantah. Hanya akan membuat masalah semakin besar. Seperti api yang tertiup angin.
Bahagia rasanya melihat anak-anak makan dengan lahap. Mereka saling menimpali komentar tentang rasa makanan dan keseruan wahana yang tadi mereka naiki. Mereka juga menunjuk ini dan itu yang ada di tempat ini, seolah semua hal di sini menarik untuk dibincangkan.
"Udahan, kan, makannya, Sayang? Kita pulang sekarang, yuk!?" Aku mengajak saat ketiga puteriku selesai berdoa setelah makanan mereka habis.
"Yah ... kok, pulang, Bu?" rengek Rindi.
"Iya, Bu. Kok, pulang? Kita, kan, belum liat-liat ke dalem." Kasih berkata sembari menunjuk pintu supermarket.
"Iya, Bu. Kita ke dalem dulu, dong, Bu," tambah Bunga.
Rencana awal, memang aku akan mengajak anak-anak untuk masuk ke sana sehabis makan siang. Tetapi, setelah melihat nenek mereka masuk ke sana, aku jadi ragu dan mengurungkan niat tersebut. Padahal, aku juga butuh untuk membeli beberapa bahan makanan untuk mulai memasak pesanan Bu Lurah. Kebetulan, tadi Bu Lurah sudah memberikan uang untuk belanja.
"Besok-besok lagi aja, ya? Abis dari sini Ibu mau belanja ke pasar. Siapa yang mau ikut?" Terpaksa kualihkan perhatian mereka. Lebih baik kami beralih ke pasar tradisional, agar aman.
Syukurlah, anak-anakku mau mengikuti ajakanku. Kami pun pergi dari tempat makan tadi menuju pasar tradisional yang cukup besar. Aku harus berbelanja beberapa bahan dulu untuk persiapan masak besok.
Di pasar, aku langsung menuju toko-toko dan membeli semua yang kubutuhkan. Mulai dari sayur-mayur, bawang, serta telur dan daging ayam. Anak-anak sempat bertanya semua itu untuk apa. Aku hanya menjawab, "Ibu dapet kerjaan baru, Sayang. Kerjanya masak-masak di rumah."
"Wah, masak enak-enak, ya, Bu?" tanya Rindi.
"Insya Allah."
Selesai belanja, aku mengajak anak-anak membeli baju. Hanya satu buah kaus untuk masing-masing anak. Walau hanya itu, anak-anakku tampak sangat bahagia. Aku juga bahagia melihatnya.
Selesai dengan semua kegiatan kami di pasar, kami langsung pulang. Kali ini, kami pulang dengan menumpang dua buah becak. Sengaja naik becak agar tidak perlu repot berjalan dari jalan raya ke rumah sambil membawa banyak barang.
Saat becak yang kami tumpangi hampir sampai di rumah, tak sengaja kami berpapasan dengan mobil Mbak Lala yang berjalan dari arah rumah ibu mertua. Sepertinya mereka baru saja hendak pulang. Kalina membuka jendela dan memperlihatkan sebuah boneka barbie kepada Rindi yang duduk satu becak denganku. Aku bisa membaca gerak bibirnya, "Dibeliin Eyang Ti."
Melihat itu, puteri bungsuku otomatis menunduk. Aku tahu pasti, anakku juga ingin punya yang seperti itu. Umur Kalina dan Rindi memang hanya terpaut tiga bulan. Wajar kalau mereka saling menginginkan hal yang sama.
Untuk menenangkan hatinya, aku berbisik pada Rindi, "Doain Ibu, ya. Insya Allah Ibu beliin yang kayak gitu juga buat Adek."
Syukurlah, setelah mendengar itu wajah anakku kembali ceria. Dia berkali-kali mengangguk sambil tersenyum padaku.
"Siap, Bu," katanya.Kami sampai di rumah tepat selepas azan Ashar. Langsung kuperintahkan anak-anak untuk mandi, lalu salat dan bersiap berangkat mengaji. Seperti biasa, mereka menuruti kata-kataku tanpa membantah.
Setelah semua anak-anak sudah berangkat, aku segera membereskan semua barang belanjaan dan menatanya sesuai tempatnya agar mudah untuk kuambil. Untuk ayam, karena belum mempunyai kulkas, maka langsung kuungkep dengan bumbu. Rencananya, besok aku akan membuat menu ayam goreng, tahu balado, dan sayur sup untuk menu makan siang dua puluh orang di kelurahan.
Malam nanti, rencananya aku akan menelepon Mas Dadang untuk memberitahukan soal pekerjaan baruku ini. Kalau masih sore seperti ini biasanya Mas Dadang masih sibuk. Selama ini kami berkomunikasi saat malam hari. Itu pun Mas Dadang yang menelepon. Aku dilarang menelepon duluan olehnya. Katanya, nanti pulsaku bisa cepat habis karena kartu sim yang kugunakan tidak ada paket telepon murahnya. Beda dengan nomor Mas Dadang yang memang ada paket murahnya.
Namun, aku akan menelepon kali ini. Sudah kuisi pulsa dua puluh ribu tadi. Mudah-mudahan cukup untuk kami melepas rindu lewat sambungan telepon. Anak-anak juga sudah menanyakan ayah mereka terus. Kangen, katanya.
Mas Dadang pasti senang mendengar kabar pekerjaanku yang baru ini. Seperti sebelumnya, saat aku mengabari Mas Dadang bahwa akan bekerja sebagai buruh cuci di rumah Bu Lurah. Mas Dadang tak pernah protes dengan pekerjaanku. Selama aku mampu, aku diijinkannya melakukan apa pun yang sekiranya baik dan tidak menentang ajaran agama.
Mengingat Mas Dadang membuat rinduku semakin besar padanya. Andai kehidupan kami tak sesulit ini, mungkin suamiku masih di sini. Tidak merantau jauh ke pulau seberang setelah gagal panen lima bulan yang lalu.
Kalau ingat itu, aku menjadi sangat sedih. Uang tabungan kami yang jumlahnya tak seberapa harus terkorbankan untuk menutupi semua kerugian di ladang. Ah ... tak sanggup aku mengingatnya. Hanya akan semakin menambah luka.
Mas ... semoga kamu baik-baik saja, ya, di sana. Namamu selalu berada di urutan depan dalam setiap doaku dan anak-anak. Kami menyayangimu seperti kamu menyayangi kami, Mas.
Tak mau berlama-lama larut dalam nostalgia, aku segera melanjutkan kegiatan membereskan sisa-sisa belanjaan. Tepat setelah aku menyelesaikannya, ketukan terdengar dari pintu rumah. Mungkin anak-anak sudah pulang mengaji.
Aku lantas berjalan ke depan untuk membukakan pintu. Tetapi, langkahku berhenti saat mendengar suara ibu mertua yang sedang berbincang dengan satu orang lain. Entah siapa.
Karena Kita Orang Miskin (6)Cukup lama aku berdiri mematung sebelum memberanikan diri untuk membuka pintu. Entah mengapa, perasaanku tak enak. Seolah sesuatu yang buruk akan terjadi."Nah, ada juga orangnya," ucap ibu mertuaku saat pintu terbuka.Segera saja kupersilakan beliau dan orang yang bersamanya untuk masuk."Ada apa, ya, Bu?" tanyaku setelah meletakkan nampan berisi teh dan cemilan."Kamu tadi abis dari pujasera, ya, Ratna?" tanya ibu mertuaku.Sontak saja aku terkejut akan pertanyaannya. Dari mana beliau bisa tahu secepat ini? Aku sudah siap sebenarnya bilamana beliau tahu, tapi tidak secepat ini."Iya, Bu." Aku menjawab pelan sekali sambil menunduk."Bener berarti dia, ya, Mbak?" Ibu mertuaku bertanya pada orang di sampingnya. Orang itu mengangguk."Ada apa sebenarnya, Bu? Saya belum mengerti," kataku."Mbak Ani ini tadi ke rumah Ibu. Katanya dompetnya hilang pas makan di Pujasera tadi siang. Ada yang ngasih tau kalau yang duduk dekat dia itu anak Ibu. Makanya tadi dia ke
Karena Kita Orang Miskin (7)Tanpa menunggu lama, ibu mertua mengajakku masuk ke dalam rumah. Beliau lantas duduk di kursi ruang tamu sambil memerintahku dengan tangannya untuk ikut duduk. Entah kenpa, perasaanku tak karuan. Takut kalau akan diinterogasi soal kejadian di Pujasera tadi siang."Kamu dapat uang dari mana bisa makan-makan di Pujasera?" tanya mertuaku tanpa basa-basi."Saya dikasih Bu Lurah, Bu. Upah nyuci." Aku menjawab pelan."Oh, habis gajian?"Aku mengangguk. Entah mengapa, pertanyaan itu terasa menusuk."Kamu itu, Ratna. Sudah tau suami lagi merantau, ekonomi susah. Bisa-bisanya kamu foya-foya." Ibu mertuaku menggeleng seraya tersenyum sinis."Bukan gitu, Bu." Aku bingung bagaimana menjelaskannya."Bukan gitu gimana? Jelas-jelas kamu itu foya-foya. Gaji cuma seratus ribu aja sok-sokan makan di Pujasera sana. Lihat, tuh, Lulu. Dia aja nggak sok kaya macem kamu."Sabar, Ratna! Sabar!Aku hanya bisa diam menanggapi omongan ibu mertua. Diam memang lebih baik. Aku takut ka
Karena Kita Orang Miskin (8)Sejak bangun tidur, perasaanku menjadi tak enak kalau teringat mimpi semalam. Entah apa arti dari mimpi itu. Aku berharap semua baik-baik saja.Jujur saja, tak hentinya aku mengkhawatirkan Mas Dadang sejak gagal menelepon semalam. Entah di mana kini dirinya berada, bagaimana kini keadaannya. Aku sangat cemas.Karena terlalu memikirkan itu, aku menjadi tidak konsentrasi saat membuatkan sarapan untuk anak-anak. Hampir saja telur dadar yang kubuat hangus. Ungtungnya Bunga cepat menegurku, kalau tidak, anak-anak pasti akan menunggu lebih lama lagi.Berulang kali aku beristighfar untuk menghalau pikiran buruk. Kemungkinan apa pun bisa terjadi. Bisa saja ponsel Mas Dadang hilang atau kartunya rusak.Aku harus sabar. Mas Dadang bukan tipe pria yang suka berselingkuh. Aku kenal betul suamiku itu. Pasti, nanti Mas Dadang akan menghubungi kami.Setelah anak-anak berangkat sekolah, aku langsung menuju dapur untuk memasak pesanan Bu Lurah. Aku tak boleh larut dalam pi
Karena Kita Orang Miskin (9)Kami berempat sampai di rumah sakit tepat pukul lima sore. Kami lantas segera menuju meja resepsionis untuk menanyakan lokasi ruang rawat ibu mertuaku. Beliau dirawat di ruang VIP di lantai tiga rumah sakit ini.Sesaat sebelum masuk ke lift yang pintunya sudah terbuka, Bunga menarik tanganku."Bu, itu Bude Lulu, kan?" katanya. Tangannya menunjuk orang di ruang tunggu pengambilan obat.Kuurungkan niat naik lift dan berjalan menuju orang yang ditunjuk Bunga. Benar saja, itu Mbak Lulu. Beliau sedang mengantre obat untuk ibunya.Anak-anakku berebut untuk mencium tangan budenya. Kegiatan itu membuat Mbak Lulu tersenyum dan berbalik mengecup satu per satu keponakannya. Kebiasaannya memang begitu. Mbak Lulu sangat sayang pada anak-anakku sejak dulu. Bahkan sebelum beliau hamil dan melahirkan Kalina.Mbak Lulu lantas mengajakku duduk pada kursi ruang tunggu itu. Sementara anak-anak diberikan uang untuk membeli camilan di kantin rumah sakit yang jaraknya masih terj
Karena Kita Orang Miskin (10)Belum sempat aku mengatakan perihal Mas Dadang yang hilang kontak, Mbak Lulu terburu-buru kembali ke kamar ibunya setelah menerima pesan yang entah apa."Kalian hati-hati, ya, Na! Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi Mbak, ya," katanya sebelum pergi.Selama perjalanan pulang, anak-anak asyik berceloteh tentang apa saja yang mereka lihat di luar kaca jendela mobil. Sementara aku sibuk mencerna maksud kata-kata Mbak Lulu tentang pesan dari Mas Dadang. Entah apa maksudnya semua itu.Sampai di rumah pun aku masih mencoba menguak teka-teki dari pesan Mas Dadang ke Mbak Lulu. Aku bahkan kesulitan untuk terlelap karenanya. Belum lagi kalau memikirkan mimpiku tentang Mas Dadang. Sepertinya semua saling berkaitan. Akan tetapi, aku belum bisa menemukan benang merahnya.Selepas salat Subuh, aku segera berangkat menuju pasar untuk berbelanja kebutuhan masak pesanan makan siang untuk pegawai kantor kelurahan. Hari ini biarlah aku tak membuatkan anak-anak sarapan. Bi
Karena Kita Orang Miskin (11)Sepanjang perjalanan pulang dari rumah keluarga Mas Mamat, aku sempat melihat beberapa orang tampak bisik-bisik saat aku lewat. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak peduli. Semoga saja bukan gosip aneh-aneh seperti yang tadi kudengar dari puteri sulungku.Sisa hari kujalani seperti biasa. Tak terlalu ada sesuatu yang aneh atau istimewa. Anak-anak bangun tidur, salat, berangkat mengaji, kami berempat salat berjamaah, makan malam, lalu tidur. Aku malah ingin hari cepat berlalu sampai lusa agar segera bisa bertemu Mas Dadang.Saat tidur, aku kembali memimpikan Mas Dadang. Mimpinya masih sama. Mas Dadang menanjak bukit sambil menggandeng anak laki-laki. Entah apa arti mimpi itu, aku belum mengerti.Paginya, rutinitas kami--aku dan anak-anak--berjalan seperti biasanya. Sebenarnya, hari ini aku berencana mengajak anak-anak untuk menjenguk neneknya yang dijadwalkan pulang dari rumah sakit hari ini. Namun, urung kulakukan setelah Mbak Lulu mengatakan bahwa ib
Karena Kita Orang Miskin (12)Aku terpaksa menghentikan makan dan berjalan ke arah pintu. Begitu juga dengan anak-anak yang tampak antusias. Mereka terlihat buru-buru menghabiskan makanan di piring yang tersisa sedikit.Saat membuka pintu, tak kudapati Mas Dadang, melainkan ibunya. Ibu mertuaku itu datang dengan wajah yang mengisyaratkan kemarahan."Ibu? Mari masuk, Bu," tawarku.Tanpa menjawab, beliau langsung masuk dan duduk di kursi ruang tamuku."Ibu mau minum apa? Biar saya buatkan.""Nggak usah! Suruh anak-anakmu main, sana! Ada hal penting yang mau saya bicarakan sama kamu!" Suara ibu mertua terdengar tegas dan penuh penekanan."Baik, Bu," balasku.Aku lantas ke belakang dan memberikan selembar uang lima ribu rupiah pada Kasih."Kakak ajak adek-adek jajan, ya!" Perintahku pada Kasih."Iya, Bu. Makasih," jawab Kasih. Kedua adiknya pun mengatakan hal yang sama."Sama-sama, Sayang-sayangnya Ibu." Aku mengecup kening ketiganya bergantian sebelum mereka menghilang dari balik tirai p
Karena Kita Orang Miskin (13)Aku menuju ruang tamu setelah mengatur napas berkali-kali. Sebenarnya, aku enggan untuk bertemu Mas Bambang. Tetapi, aku juga harus menegaskan sesuatu padanya. Juga bertanya tentang tujuannya datang ke sini.Aku duduk setelah meletakkan gelas berisi teh manis di sisi meja yang menghadap Mas Bambang. Sekilas mata kami bertemu, tapi aku segera memalingkan wajah. Takut kalau akan semakin menimbulkan fitnah. Mas Bambang menyeruput tehnya secara perlahan seraya matanya--kuperhatikan--sesekali mengerling ke arahku.Baru setelah dia menaruh kembali cangkir teh yang tinggal setengah, aku mengeluarkan tanya, "Maaf, ada apa, ya, Mas ke sini?""Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari Mba Arin," jawabnya santai seraya menyandarkan tubuh ke sandaran kursi plastik yang didudukinya."Bisa langsung ke intinya saja?""Sepertinya kamu sedang berusaha menghindari saya, Ratna. Apa saya ada salah?""Tolong, Mas! Langsung ke intinya saja! Saya tidak punya banyak waktu." Aku