Karena Kita Orang Miskin (6)
Cukup lama aku berdiri mematung sebelum memberanikan diri untuk membuka pintu. Entah mengapa, perasaanku tak enak. Seolah sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Nah, ada juga orangnya," ucap ibu mertuaku saat pintu terbuka.
Segera saja kupersilakan beliau dan orang yang bersamanya untuk masuk.
"Ada apa, ya, Bu?" tanyaku setelah meletakkan nampan berisi teh dan cemilan.
"Kamu tadi abis dari pujasera, ya, Ratna?" tanya ibu mertuaku.
Sontak saja aku terkejut akan pertanyaannya. Dari mana beliau bisa tahu secepat ini? Aku sudah siap sebenarnya bilamana beliau tahu, tapi tidak secepat ini.
"Iya, Bu." Aku menjawab pelan sekali sambil menunduk.
"Bener berarti dia, ya, Mbak?" Ibu mertuaku bertanya pada orang di sampingnya. Orang itu mengangguk.
"Ada apa sebenarnya, Bu? Saya belum mengerti," kataku.
"Mbak Ani ini tadi ke rumah Ibu. Katanya dompetnya hilang pas makan di Pujasera tadi siang. Ada yang ngasih tau kalau yang duduk dekat dia itu anak Ibu. Makanya tadi dia ke rumah Ibu. Tadi Ibu sama Lulu memang ke sana. Tapi kita nggak makan. Nggak mungkin kalau itu Dinda, kan dia lagi nengokin mertuanya di Jakarta. Jadi, kemungkinan itu kamu. Ternyata bener," jelas ibu mertua.
Duh, bisa-bisa aku kena semprot lagi nanti. Padahal aku sama sekali tidak mencuri. Begitu juga dengan anak-anakku. Meski hidup kami serba kekurangan, aku selalu menekankan agar anak-anakku jangan sampai membuat hal yang buruk seperti mencuri.
"Jadi, maksudnya gimana, Bu?" Aku bertanya untuk memperjelas.
"Maaf, Mbak. Saya kehilangan dompet waktu makan tadi. Barangkali Mbak ada lihat atau nemuin dompet saya," kata orang yang disebut mertuaku dengan Mbak Ani.
"Saya nggak lihat, Mbak. Sama sekali saya nggak lihat. Saya juga nggak merhatiin Mbak di sana tadi." Aku menjawab tegas.
"Tapi, tadi Mbak tuh gerakannya mencurigakan banget, loh."
Mendengar itu, ibu mertuaku menatap nyalang kepadaku.
"Ratna?" ucapnya.Aku menggeleng.
"Saya nggak nyuri, Mbak. Sumpah. Saya sama sekali nggak ada nyuri dompet Mbak." Aku membela diri."Terus, kalau bukan Mbak, siapa?"
Tatapan ibu mertua semakin tajam. Sudah pasti aku akan mendapat "nasehat" lagi nanti. Ya Allah ....
"Mbak tolong balikin, ya, dompet saya."
"Saya beneran nggak bawa dompet Mbak, kok."
"Sudahlah, Ratna. Kalau kamu yang ambil, balikin sekarang! Jangan sampai urusannya makin panjang," sela ibu mertuaku.
"Bu ... Ratna nggak nyuri!" Aku menegaskan. Tak tahan dengan tuduhan tak beralasan ini.
"Kalau Mbak emang nggak mau ngaku juga, terpaksa saya bawa kasus ini ke kantor polisi!" Mbak Ani mencoba mengancam. Bukannya membelaku, ibu mertua malah mendukung langkah Mbak Ani.
Ya Allah ... apa yang harus kuperbuat untuk membuktikan bahwa aku tidak bersalah?
Ah, ya. Bukti. Bukti apa yang dia punya untuk menjeratku?
"Mbak punya bukti kalau saya yang ambil dompet Mbak Ani? Kalau ada buktinya, saya bersedia diadili. Kalau tidak, jangan harap saya tinggal diam."
Aku harus membela diri! Kalau tidak, bisa terus aku dipojokkan dan dituduh tanpa bukti kuat.
Mbak Ani tampak salah tingkah saat kumintai bukti. Sementara ibu mertuaku malah memarahiku karena itu.
"Sudah, jangan ngelak kamu, Ratna! Tadi kata Lulu dia lihat kamu sama anak-anakmu naik becak bawa barang banyak. Iya, kan?" selidik ibu mertuaku.
"Ratna beneran nggak nyuri, Bu!"
"Lalu, uang dari mana kamu bisa belanja banyak? Kalian juga habis makan di Pujasera, kan?"
"Iya, Bu. Tapi saya nggak ada nyuri uang Mbak ini! Saya berani sumpah," ucapku.
"Halah ... nggak usah sumpah-sumpahan segala! Wong buktinya sudah jelas."
Saat aku dan ibu mertua masih sibuk berdebat, sebuah panggilan masuk ke ponsel Mbak Ani.
Setelah menerima telepon yang entah dari siapa, Mbak Ani meminta maaf padaku karena sudah salah tuduh. Dia juga bahkan berkali-kali memohon agar aku tak melaporkannya perihal tindakan tidak mengenakan yang dilakukannya padaku.
Aku yang memang tak suka cari perkara dengan orang, mengiyakan saja pintanya. Lagipula, aku tak mau buang-buang waktu untuk sesuatu yang kurang bermanfaat. Bukankah memaafkan lebih baik? Allah saja bisa memaafkan hambanya, kenapa aku tidak?
Memang aku sempat merasa sakit hati karena tuduhan tadi, tapi tak apa. Yang penting aku tidak berlaku sedemikian yang dituduhkan. Biarlah asal masalah ini cepat selesai. Karena aku masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
"Sekali lagi, saya minta maaf, ya, Mbak Ratna," ucap Mbak Ani sebelum pamit pulang.
"Iya, nggak apa, Mbak. Saya maafin, kok."
"Terima kasih, Mbak. Saya pamit dulu."
"Iya, hati-hati, Mbak."
Mbak Ani yang tadinya datang bersama mertuaku, kini pulang sendiri. Sementara ibu mertua tak langsung pulang.
"Ada yang mau Ibu tanyakan sama kamu," bisik mertuaku saat kami mengantar Mbak Ani ke teras rumah.
Duh ... ada apa lagi ini?
Karena Kita Orang Miskin (7)Tanpa menunggu lama, ibu mertua mengajakku masuk ke dalam rumah. Beliau lantas duduk di kursi ruang tamu sambil memerintahku dengan tangannya untuk ikut duduk. Entah kenpa, perasaanku tak karuan. Takut kalau akan diinterogasi soal kejadian di Pujasera tadi siang."Kamu dapat uang dari mana bisa makan-makan di Pujasera?" tanya mertuaku tanpa basa-basi."Saya dikasih Bu Lurah, Bu. Upah nyuci." Aku menjawab pelan."Oh, habis gajian?"Aku mengangguk. Entah mengapa, pertanyaan itu terasa menusuk."Kamu itu, Ratna. Sudah tau suami lagi merantau, ekonomi susah. Bisa-bisanya kamu foya-foya." Ibu mertuaku menggeleng seraya tersenyum sinis."Bukan gitu, Bu." Aku bingung bagaimana menjelaskannya."Bukan gitu gimana? Jelas-jelas kamu itu foya-foya. Gaji cuma seratus ribu aja sok-sokan makan di Pujasera sana. Lihat, tuh, Lulu. Dia aja nggak sok kaya macem kamu."Sabar, Ratna! Sabar!Aku hanya bisa diam menanggapi omongan ibu mertua. Diam memang lebih baik. Aku takut ka
Karena Kita Orang Miskin (8)Sejak bangun tidur, perasaanku menjadi tak enak kalau teringat mimpi semalam. Entah apa arti dari mimpi itu. Aku berharap semua baik-baik saja.Jujur saja, tak hentinya aku mengkhawatirkan Mas Dadang sejak gagal menelepon semalam. Entah di mana kini dirinya berada, bagaimana kini keadaannya. Aku sangat cemas.Karena terlalu memikirkan itu, aku menjadi tidak konsentrasi saat membuatkan sarapan untuk anak-anak. Hampir saja telur dadar yang kubuat hangus. Ungtungnya Bunga cepat menegurku, kalau tidak, anak-anak pasti akan menunggu lebih lama lagi.Berulang kali aku beristighfar untuk menghalau pikiran buruk. Kemungkinan apa pun bisa terjadi. Bisa saja ponsel Mas Dadang hilang atau kartunya rusak.Aku harus sabar. Mas Dadang bukan tipe pria yang suka berselingkuh. Aku kenal betul suamiku itu. Pasti, nanti Mas Dadang akan menghubungi kami.Setelah anak-anak berangkat sekolah, aku langsung menuju dapur untuk memasak pesanan Bu Lurah. Aku tak boleh larut dalam pi
Karena Kita Orang Miskin (9)Kami berempat sampai di rumah sakit tepat pukul lima sore. Kami lantas segera menuju meja resepsionis untuk menanyakan lokasi ruang rawat ibu mertuaku. Beliau dirawat di ruang VIP di lantai tiga rumah sakit ini.Sesaat sebelum masuk ke lift yang pintunya sudah terbuka, Bunga menarik tanganku."Bu, itu Bude Lulu, kan?" katanya. Tangannya menunjuk orang di ruang tunggu pengambilan obat.Kuurungkan niat naik lift dan berjalan menuju orang yang ditunjuk Bunga. Benar saja, itu Mbak Lulu. Beliau sedang mengantre obat untuk ibunya.Anak-anakku berebut untuk mencium tangan budenya. Kegiatan itu membuat Mbak Lulu tersenyum dan berbalik mengecup satu per satu keponakannya. Kebiasaannya memang begitu. Mbak Lulu sangat sayang pada anak-anakku sejak dulu. Bahkan sebelum beliau hamil dan melahirkan Kalina.Mbak Lulu lantas mengajakku duduk pada kursi ruang tunggu itu. Sementara anak-anak diberikan uang untuk membeli camilan di kantin rumah sakit yang jaraknya masih terj
Karena Kita Orang Miskin (10)Belum sempat aku mengatakan perihal Mas Dadang yang hilang kontak, Mbak Lulu terburu-buru kembali ke kamar ibunya setelah menerima pesan yang entah apa."Kalian hati-hati, ya, Na! Kalau ada apa-apa, jangan lupa hubungi Mbak, ya," katanya sebelum pergi.Selama perjalanan pulang, anak-anak asyik berceloteh tentang apa saja yang mereka lihat di luar kaca jendela mobil. Sementara aku sibuk mencerna maksud kata-kata Mbak Lulu tentang pesan dari Mas Dadang. Entah apa maksudnya semua itu.Sampai di rumah pun aku masih mencoba menguak teka-teki dari pesan Mas Dadang ke Mbak Lulu. Aku bahkan kesulitan untuk terlelap karenanya. Belum lagi kalau memikirkan mimpiku tentang Mas Dadang. Sepertinya semua saling berkaitan. Akan tetapi, aku belum bisa menemukan benang merahnya.Selepas salat Subuh, aku segera berangkat menuju pasar untuk berbelanja kebutuhan masak pesanan makan siang untuk pegawai kantor kelurahan. Hari ini biarlah aku tak membuatkan anak-anak sarapan. Bi
Karena Kita Orang Miskin (11)Sepanjang perjalanan pulang dari rumah keluarga Mas Mamat, aku sempat melihat beberapa orang tampak bisik-bisik saat aku lewat. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak peduli. Semoga saja bukan gosip aneh-aneh seperti yang tadi kudengar dari puteri sulungku.Sisa hari kujalani seperti biasa. Tak terlalu ada sesuatu yang aneh atau istimewa. Anak-anak bangun tidur, salat, berangkat mengaji, kami berempat salat berjamaah, makan malam, lalu tidur. Aku malah ingin hari cepat berlalu sampai lusa agar segera bisa bertemu Mas Dadang.Saat tidur, aku kembali memimpikan Mas Dadang. Mimpinya masih sama. Mas Dadang menanjak bukit sambil menggandeng anak laki-laki. Entah apa arti mimpi itu, aku belum mengerti.Paginya, rutinitas kami--aku dan anak-anak--berjalan seperti biasanya. Sebenarnya, hari ini aku berencana mengajak anak-anak untuk menjenguk neneknya yang dijadwalkan pulang dari rumah sakit hari ini. Namun, urung kulakukan setelah Mbak Lulu mengatakan bahwa ib
Karena Kita Orang Miskin (12)Aku terpaksa menghentikan makan dan berjalan ke arah pintu. Begitu juga dengan anak-anak yang tampak antusias. Mereka terlihat buru-buru menghabiskan makanan di piring yang tersisa sedikit.Saat membuka pintu, tak kudapati Mas Dadang, melainkan ibunya. Ibu mertuaku itu datang dengan wajah yang mengisyaratkan kemarahan."Ibu? Mari masuk, Bu," tawarku.Tanpa menjawab, beliau langsung masuk dan duduk di kursi ruang tamuku."Ibu mau minum apa? Biar saya buatkan.""Nggak usah! Suruh anak-anakmu main, sana! Ada hal penting yang mau saya bicarakan sama kamu!" Suara ibu mertua terdengar tegas dan penuh penekanan."Baik, Bu," balasku.Aku lantas ke belakang dan memberikan selembar uang lima ribu rupiah pada Kasih."Kakak ajak adek-adek jajan, ya!" Perintahku pada Kasih."Iya, Bu. Makasih," jawab Kasih. Kedua adiknya pun mengatakan hal yang sama."Sama-sama, Sayang-sayangnya Ibu." Aku mengecup kening ketiganya bergantian sebelum mereka menghilang dari balik tirai p
Karena Kita Orang Miskin (13)Aku menuju ruang tamu setelah mengatur napas berkali-kali. Sebenarnya, aku enggan untuk bertemu Mas Bambang. Tetapi, aku juga harus menegaskan sesuatu padanya. Juga bertanya tentang tujuannya datang ke sini.Aku duduk setelah meletakkan gelas berisi teh manis di sisi meja yang menghadap Mas Bambang. Sekilas mata kami bertemu, tapi aku segera memalingkan wajah. Takut kalau akan semakin menimbulkan fitnah. Mas Bambang menyeruput tehnya secara perlahan seraya matanya--kuperhatikan--sesekali mengerling ke arahku.Baru setelah dia menaruh kembali cangkir teh yang tinggal setengah, aku mengeluarkan tanya, "Maaf, ada apa, ya, Mas ke sini?""Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari Mba Arin," jawabnya santai seraya menyandarkan tubuh ke sandaran kursi plastik yang didudukinya."Bisa langsung ke intinya saja?""Sepertinya kamu sedang berusaha menghindari saya, Ratna. Apa saya ada salah?""Tolong, Mas! Langsung ke intinya saja! Saya tidak punya banyak waktu." Aku
Karena Kita Orang Miskin (14)Sungguh, aku tak menyangka akan dipisahkan dengan Mas Dadang seperti ini. Dunia dan harapanku runtuh bersamaan kenyataan pahit yang kudengar. Tak sanggup lagi rasanya aku menjalani hari-hari setelah ini. Mas Dadang pergi bersama separuh hati dan jiwaku.Setelah menenangkan diri dan menghapus sisa air mata, aku berjalan gontai ke rumah. Mas Bambang yang datang entah kapan, menawarkan bantuan untuk mengantar, tapi kutolak. Takut semakin menjadi fitnah.Di sepanjang perjalanan menuju rumah, aku kembali tak kuasa menahan bendungan air mata. Setiap sudut desa ini mengingatkanku pada Mas Dadang. Semua kenangan kami di jalan desa semakin membuatku hancur.Mas ... kenapa kamu pergi tinggalin aku dan anak-anak? Lututku melemas. Aku seperti bisa melihat kejadian dulu saat kami pertama kali sampai ke desa ini. Hari itu, Mas Dadang mengajakku ke tanah kelahirannya untuk mengenalkan diriku pada keluarganya.Seperti sebuah film yang diputar di layar besar, aku melihat