“Kenapa harus pindah? Apa karena hasutan istrimu?” Aku mendekatkan badan ke dinding, mendengar pembicaraan Mas Arif, suamiku dan bapak mertuaku.
Rupanya Mas Arif mengikuti saranku semalam, mencoba lagi meminta pindah dari rumah yang kami tempati saat ini.
Bukan tanpa alasan aku ingin pindah, aku hanya ingin mandiri dalam membangun keluarga kecilku bersama Mas Arif.
“Bukan seperti itu, Pa. Arif ingin pindah rumah, karena Arif dan Fira mau mandiri, mau membangun keluarga kecil kami, sendiri.” Ku dengar jawaban Mas Arif yang sangat hati-hati mengingat bapak mertua cepat emosi dan darah tingginya kambuh.
Aku beranjak bangun dengan pelan, agar bayi kecilku yang berusia 10 bulan tidak terganggu tidurnya. Lalu duduk di kursi meja rias dan kembali menajamkan pendengaran agar percakapan suami dan bapaknya terdengar jelas olehku.
“Mandiri? Seperti apa?” sahut bapak mertua dengan ketus, dari nadanya begitu meremehkan ucapan suamiku.
“Ya ... Arif akan menghidupi keluarga kecil Arif sendiri, Pa.”
“Ha ha ha ....” Bapak mertua tertawa keras, sampai-sampai bayi kecilku menggeliat.
“Mau menghidupi pakai apa, Rif? Kau saja belum mendapat kerja, pun istrimu. Lagian, kalian tinggal di rumah ini semuanya gratis. Rumah ada, makanan ada, listrik dan air ada yang bayarin,” sahut bapak mertua lagi. Lama tak ku dengar jawaban Mas Arif, hingga bapak mertua bersuara lagi.
“Lagian, Rif. Kau itu anak bungsu bapak, harapan bapak satu-satunya yang akan menjaga dan merawat bapak ibumu sampai kami tiada,” Kali ini bapak mertua kembali mengucapkan kalimat andalannya.
Memang, sesuai adat dan kebiasaan di sini, bahwa hanya anak bungsu yang berkewajiban menjaga dan merawat orang tua hingga akhir hayat.
Dalam artian, orang tua akan tinggal serumah dengan anak bungsu, bukan anak yang lain.
Dan inilah yang selalu dijadikan alasan oleh bapak dan ibu mertua, pun semua kakak Mas Arif, jika kami berdua ingin pindah dan tinggal di kontrakan.
Ku dengar bapak beranjak kembali ke kamarnya dan Mas Arif masih di tempat semula.
Dengan pelan aku membuka pintu agar tidak mengeluarkan suara, lalu mendekati Mas Arif.
“Mas ....” Aku mengelus pundak suamiku, mukanya sangat kusut bertanda jika dirinya sedang kecewa.
“Gagal lagi, Dek,” sahutnya parau.
“Mau bagaimana lagi, Mas.” Aku menatapnya sendu, namun dengan cepat ku alihkan. Aku tidak boleh menambah bebannya dengan tuntutanku ingin pindah.
Aku beranjak ke dapur, menjerang air untuk membuat kopi Mas Arif.
Baru saja ku nyalakan kompor minyak, ku dengar nada panggilan masuk di ponsel suamiku. Pasti kakak perempuan Mas Arif.
Dan tebakan ku benar, rupanya Kak Ria, saudari perempuan Mas Arif yang nomor tiga, menelepon untuk meminta Mas Arif membeli bahan bakar untuk perahu memancing.
“Dek, Mas pergi dulu untuk–“
“Untuk beli solar ‘kan Mas?” belum selesai Mas Arif berbicara, langsung ku potong karena tahu tujuan Kak Ria meneleponnya.
Mas Arif mengangguk lemah.
“Mas jalan dulu,” sahutnya dengan suara pelan.
Aku tahu jika Mas Arif masih lelah, karena baru saja pulang mengangkut ikan segar dari pelabuhan.
“Tapi, Mas, ini kan masih panas, baru saja selesai dhuhur. Apa salahnya beli solar nya sore saja, Mas.” Aku mendengus, tak habis pikir dengan Mas Arif yang begitu lemah di hadapan kakak-kakaknya. Tidak sedikit pun menolak permintaan mereka.
“Lagian, aku sudah merebus air untuk membuat kopi, Mas.” Aku mencoba membujuk Mas Arif.
“Minum kopinya kalau pulang saja, Dek. Mas tidak akan lama.” Mas Arif pamit, dan dengan cepat menghilang dari hadapanku.
Ya, begitulah Mas Arif. Tidak bisa menolak permintaan kakak-kakaknya, karena beliau anak bungsu.
Bagi sebagian orang, menjadi anak bungsu adalah takdir yang menyenangkan, karena akan dimanjakan oleh saudara yang tertua.
Anak bungsu akan menjadi ‘anak emas' karena selalu disayang dengan kasih sayang dan materi.
Namun, tidak dengan suamiku. Kepadanya dibebankan segala kesalahan dari kakaknya.
Suamiku menjadi orang suruhan bagi saudaranya. Apa pun pekerjaan yang tidak bisa dilakukan saudara-saudarinya, akan menjadi tanggung jawab Mas Arif.
Mas Arif, anak bungsu dari lima bersaudara. Kakak pertama, Kak Siva, sudah berkeluarga dan tinggal tidak jauh dari rumah yang kami tempati saat ini.
Kak Siva bekerja dengan ibu mertua, yaitu membawa dan menjual ikan segar di kota lain.
Kak Ani, kakak kedua Mas Arif, sudah berkeluarga juga dan tinggal jauh di dekat pantai. Kak Ani juga bekerja sebagai pengepul ikan dan suaminya nelayan.
Ikan yang dikumpulkan Kak Ani, akan di over ke ibu mertua yang akan di jual di kota terdekat. Dan itu dulu, karena sekarang Kak Ani tidak lagi menyerahkan ikannya kepada Ibu, setelah perselisihan antara keduanya beberapa bulan yang lalu. Kak Ani menyerahkan ikannya pada orang lain.
Kakak ketiga Mas Arif juga perempuan, namanya Kak Ria. Dia yang menelepon Mas Arif tadi, untuk membeli solar karena suami nelayan.
Kak Ria bekerja sebagai penadah ikan dalam jumlah yang besar. Itulah yang membuatnya di kenal sebagai bos oleh orang-orang sekitar, dan membuat hidupnya agak mewah dari saudaranya yang lain.
Dari Kak Ria lah, ibu mertua dan Kak Siva memperoleh ikan untuk di jual di pasar kota.
Sedangkan, saudara ke-empat Mas Arif, adalah laki-laki. Namanya Kak Aji.
Kak Aji sudah berkeluarga juga dan sudah menjadi PNS, bekerja sebagai tenaga pengajar di sekolah yang jauh dari kota tempat kami tinggal.
Mas Aji menjadi anak lelaki kebanggaan bapak dan ibu mertua, karena statusnya yang PNS.
Sedangkan, suamiku hanyalah anak yang menyusahkan bagi bapak dan ibu mertua, pun saudaranya yang lain.
Karena sampai saat ini, di usia pernikahan kami yang kedua, Mas Arif belum juga mendapat pekerjaan tetap.
Hal ini yang membuatku dan Mas Arif, kadang tidak dihargai karena di anggap numpang hidup.
Aku Fira, sebagai istri Mas Arif, hanya bisa bersabar dan mengelus dada selama menjadi bagian dari keluarga Mas Arif.
Namun, bukan berarti benar seperti dugaan saudara Mas Arif, bahwa aku dan suamiku hanya menumpang hidup.
Mereka hanya mengamati keadaan kami dari luar saja, dan tidak tahu dengan kondisi yang sebenarnya.
Dugaan mereka sebenarnya di perkuat juga oleh bapak dan ibu mertua, yang selalu menceritakan bahwa aku dan Mas Arif tidak menyumbang apa pun di rumah ini.
Untuk makan dan minum, selalu di sediakan oleh ibu mertua yang punya penghasilan. Seperti kebutuhan pokok, air dan pulsa listrik.
Bahkan, ibu mertua bercerita pada anaknya yang lain, kalau semua kebutuhan bayiku di tanggung ibu mertua.
Aku yang mendengarnya hanya bersabar, semoga suatu saat nanti ibu mertua akan menghargai setiap sumbangsih yang aku berikan untuk rumah ini.
Karena sebenarnya, mereka tidak tahu jika aku bekerja diam-diam dari rumah dan punya penghasilan sendiri.
Usaha ini aku rintis semenjak masih kuliah dan berstatus pacaran dengan Mas Arif.
Dan sampai sekarang juga, Mas Arif tidak tahu jika aku adalah pemilik dari toko roti yang ada di kota ini.
Semenjak insiden di rumah ibu mertua, aku uring-uringan di rumah. Sudah beberapa hari aku tidak ke toko, membiarkan semuanya di hendel Firman. Karena begitu terus sedari awal. Mas Arif juga aku larang untuk bekerja ataupun membantu Kak Ria. Aku hanya takut kalau Mas Arif akan tergoda juga oleh bujukan dari orang tuanya pun saudaranya. Mengingat sebegitu keras usaha mereka untuk memprovokasi Mas Arif.Hari ini keluarga Mas Arif datang ke rumah. Ada bapak dan ibu mertua, pun anaknya yang lain. Tapi Kak Aji dan istrinya tak tampak. Oh, mungkin Kak Aji lagi di sekolah mengingat ini masih jam 9 pagi.Aku menyambut hangat keluarga Mas Arif. Mempersilahkan mereka duduk di sofa ruang tamu. Setelah menyalami bapak dan ibu mertua, aku pamit ke dapur menyiapkan minuman. Para kakak iparku sibuk mengelilingi seantero rumah, entah sedang memeriksa ataupun mencari sesuatu.“Oh, ada kulkas juga ya kamu!” sahut Kak Ria tiba-tiba dengan tegas dan terkesan menyindir sembari membuka kulkas ku dan mengama
Sejak mendengar percakapan ibu di pasar dua hari yang lalu, hati ku tak tenang. Pikiran ku berkecamuk, membayangkan suamiku akan menikah lagi. Aku yakin, kalau ibu dan anaknya yang lain akan terus memaksa suamiku menikah lagi.Hari ini aku pulang dari toko lebih awal. Amira aku titipkan di Mbak Wati. Sengaja, karena pikiran ku semakin kacau. Berbagai hal buruk terpampang jelas dalam bayangan ku.Sampai di rumah, Mas Arif tidak ada. Sepertinya belum pulang semenjak pergi dari subuh membantu iparnya, Kak Ali. Tapi hatiku berkata lain, sepertinya Mas Arif ada di suatu tempat, makanya belum pulang sampai saat ini. Aku lalu bergegas ke rumah ibu.Saat aku sampai, terlihat banyak sandal di teras rumah. Sepertinya lagi ada acara ngumpul bareng.“Assalamualaikum,” ucapku begitu sampai di depan pintu.“Walaikumsallam,” terdengar suara Kak Ani menjawab salam ku.Suasana yang begitu hening, seperti sedang membahas sesuatu yang sangat penting. Dan semua saudara Mas Arif hadir. Semuanya dengan pos
“Bapak dan Ibu mau kita berpisah, Dek,” ucap Mas Arif pelan namun sangat jelas terdengar.Deg!Jantungku serasa berhenti serentak, dadaku terasa sangat sesak, seolah tak ada udara yang masuk. Ucapan Mas Arif berhasil membuatku terdiam beberapa saat.“Dek,” Mas Arif meraih tanganku, menggenggamnya perlahan. Berhasil menyadarkanku kembali.Aku menoleh, menatap Mas Arif.“Kenapa, Mas?” ucapku kemudian.Mas Arif menoleh, seakan tak ingin menatap langsung mataku. Giliran sekarang suamiku yang diam.“Mas! Jelasin! Kenapa?” aku terus mendesak Mas Arif.Suamiku masih diam, seolah sangat berat untuk bicara. Aku yakin jika yang akan diucapkan Mas Arif sangatlah meyakiti aku sebagai istrinya.“Mas!” aku memanggilnya sekali lagi, kali ini suaraku semakin meninggi. Mas Arif terhenyak, menatapku.“Dek! Pelan-pelan dong ngomongnya!” ucap Mas Arif sembari menautkan telunjuk di bibirnya.“Makanya cepat jelasin, kenapa orang tuamu mau kita berpisah,” balasku tak mau kalah.Mas Arif menarik napasnya lal
"Bu, maafkan Arif yang selama ini selalu menjadi beban Ibu sama Bapak,” sahut Mas sendu. Nada suaranya bergetar, bertanda jika hatinya sedang tidak baik-baik saja.Ku lirik suamiku sekilas, wajahnya memerah. Dan alhasil, bulir bening jatuh dari pelupuk matanya. Mas Arif menangis. Ya, suamiku menangis.Aku kembali mengusap pelan punggung lelaki yang sangat aku cintai setelah Abbah.Mas Arif mengusap matanya yang basah, berusaha menguatkan hatinya. Lalu menengadahkan wajahnya, kembali menatap Ibu dan Bapak bergantian. Suamiku meraih tangan Ibunya, menggenggamnya erat sembari berujar.“Bu, Pak, jauh di lubuk hati Arif, sangat ingin membahagiakan Ibu dan Bapak sampai kapan pun,”Bapak masih belum bergeming. Ibu memalingkan wajahnya sebentar, lalu kembali menatap suamiku. Tatapannya berubah, seperti menatap suamiku dengan penuh kasih sayang.“Tapi, mengapa tindakanmu tidak mencerminkan ucapanmu, Rif?” sahut Bapak, akhirnya bersuara.Ingin sekali aku menjawab ucapan Bapak, namun ku urungkan
“Ariiif, Firaaaa!”“Ariiif, Firaaaa!”Aku terbangun mendengar suara memanggilku dan Mas Arif, diiringi gedoran pintu yang cukup keras.Aku meraih handphone di atas nakas, pukul 05.30 WITA.Aku menguap beberapa kali, mataku masih sangat berat. padahal aku baru saja berbaring sehabis salat subuh. Aku melirik ke samping, tak ada Mas Arif. Oh iya, tadi kan Mas Arif pergi salat di Masjid, tapi masa belum pulang?Aku segera beranjak bangun dari ranjang. Orang diluar masih terus memanggil dengan suara yang bertambah keras, sampai-sampai bayiku yang masih terlelap menggeliat beberapa kali. Maklumlah, rumah kontrakan ini cukup sederhana, tak ada plafon.Siapa yang memanggil dan menggedor pintuku sepagi ini?Aku menyambar jilbab instan dan segera memakainya, lalu bergegas menuju pintu utama. Sebelum membuka pintu, aku mengintip sebentar dibalik cela jendela. Sekedar melihat siapa gerangan di luar. Rupanya, orang diluar tak asing di mataku.“Fira!!!”Aku terhentak saat orang di depanku memanggil
“Halo, Kak Sinta, akhirnya ketemu juga!” Aku menyapa Kak Sinta yang terlihat sedikit gugup.“Santai saja, Kak. Jangan terlalu takut, santai,” sambungku lagi, sengaja menyindir Kak Sinta. Bodoh amat, walau ada suaminya, aku tidak takut, karena perempuan seperti Kak Sinta harus dibuat kapok, biar tobat gibahin orang.Tanpa basa-basi, aku langsung memutar rekaman pembicaraanku dengan Kak Sinta. Aku tidak ingin menunggu Kak Sinta mengatakan yang sebenarnya, karena itu mustahil. Manusia seperti Kak Sinta akan terus mempertahankan kesalahannya, dan aku akan terus dijadikan kambing hitam dari mulut dosanya.Semuanya diam, fokus mendengar suara nyaring Kak Sinta dari handphone yang ku pegang. Ku perbesar volumenya, membuat suara Kak Sinta semakin terdengar cempreng. Ku lirik sekilas kea rah Kak Vivi, dadanya naik turun seperti menahan amarah yang meluap. Apalagi Kak Aji, tak kalah sangar tampangnya. Ah, terserahlah. Hanya Kak Dino yang menunduk, sepertinya menahan malu, malu karena perbuatan