Share

Karena Suamiku Anak Bungsu
Karena Suamiku Anak Bungsu
Penulis: nataliayeslinda26

Bab 1 Anak Bungsu

“Kenapa harus pindah? Apa karena hasutan istrimu?” Aku mendekatkan badan ke dinding, mendengar pembicaraan Mas Arif, suamiku dan bapak mertuaku.

Rupanya Mas Arif mengikuti saranku semalam, mencoba lagi meminta pindah dari rumah yang kami tempati saat ini.

Bukan tanpa alasan aku ingin pindah, aku hanya ingin mandiri dalam membangun keluarga kecilku bersama Mas Arif.

“Bukan seperti itu, Pa. Arif ingin pindah rumah, karena Arif dan Fira mau mandiri, mau membangun keluarga kecil kami, sendiri.” Ku dengar jawaban Mas Arif yang sangat hati-hati mengingat bapak mertua cepat emosi dan darah tingginya kambuh.

Aku beranjak bangun dengan pelan, agar bayi kecilku yang berusia 10 bulan tidak terganggu tidurnya. Lalu duduk di kursi meja rias dan kembali menajamkan pendengaran agar percakapan suami dan bapaknya terdengar jelas olehku.

“Mandiri? Seperti apa?” sahut bapak mertua dengan ketus, dari nadanya begitu meremehkan ucapan suamiku.

“Ya ... Arif akan menghidupi keluarga kecil Arif sendiri, Pa.”

“Ha ha ha ....” Bapak mertua tertawa keras, sampai-sampai bayi kecilku menggeliat.

“Mau menghidupi pakai apa, Rif? Kau saja belum mendapat kerja, pun istrimu. Lagian, kalian tinggal di rumah ini semuanya gratis. Rumah ada, makanan ada, listrik dan air ada yang bayarin,” sahut bapak mertua lagi. Lama tak ku dengar jawaban Mas Arif, hingga bapak mertua bersuara lagi.

“Lagian, Rif. Kau itu anak bungsu bapak, harapan bapak satu-satunya yang akan menjaga dan merawat bapak ibumu sampai kami tiada,” Kali ini bapak mertua kembali mengucapkan kalimat andalannya.

Memang, sesuai adat dan kebiasaan di sini, bahwa hanya anak bungsu yang berkewajiban menjaga dan merawat orang tua hingga akhir hayat.

Dalam artian, orang tua akan tinggal serumah dengan anak bungsu, bukan anak yang lain.

Dan inilah yang selalu dijadikan alasan oleh bapak dan ibu mertua, pun semua kakak Mas Arif, jika kami berdua ingin pindah dan tinggal di kontrakan.

Ku dengar bapak beranjak kembali ke kamarnya dan Mas Arif masih di tempat semula.

Dengan pelan aku membuka pintu agar tidak mengeluarkan suara, lalu mendekati Mas Arif.

“Mas ....” Aku mengelus pundak suamiku, mukanya sangat kusut bertanda jika dirinya sedang kecewa.

“Gagal lagi, Dek,” sahutnya parau.

“Mau bagaimana lagi, Mas.” Aku menatapnya sendu, namun dengan cepat ku alihkan. Aku tidak boleh menambah bebannya dengan tuntutanku ingin pindah.

Aku beranjak ke dapur, menjerang air untuk membuat kopi Mas Arif.

Baru saja ku nyalakan kompor minyak, ku dengar nada panggilan masuk di ponsel suamiku. Pasti kakak perempuan Mas Arif.

Dan tebakan ku benar, rupanya Kak Ria, saudari perempuan Mas Arif yang nomor tiga, menelepon untuk meminta Mas Arif membeli bahan bakar untuk perahu memancing.

“Dek, Mas pergi dulu untuk–“

“Untuk beli solar ‘kan Mas?” belum selesai Mas Arif berbicara, langsung ku potong karena tahu tujuan Kak Ria meneleponnya.

Mas Arif mengangguk lemah.

“Mas jalan dulu,” sahutnya dengan suara pelan.

Aku tahu jika Mas Arif masih lelah, karena baru saja pulang mengangkut ikan segar dari pelabuhan.

“Tapi, Mas, ini kan masih panas, baru saja selesai dhuhur. Apa salahnya beli solar nya sore saja, Mas.” Aku mendengus, tak habis pikir dengan Mas Arif yang begitu lemah di hadapan kakak-kakaknya. Tidak sedikit pun menolak permintaan mereka.

“Lagian, aku sudah merebus air untuk membuat kopi, Mas.” Aku mencoba membujuk Mas Arif.

“Minum kopinya kalau pulang saja, Dek. Mas tidak akan lama.” Mas Arif pamit, dan dengan cepat menghilang dari hadapanku.

Ya, begitulah Mas Arif. Tidak bisa menolak permintaan kakak-kakaknya, karena beliau anak bungsu.

Bagi sebagian orang, menjadi anak bungsu adalah takdir yang menyenangkan, karena akan dimanjakan oleh saudara yang tertua.

Anak bungsu akan menjadi ‘anak emas' karena selalu disayang dengan kasih sayang dan materi.

Namun, tidak dengan suamiku. Kepadanya dibebankan segala kesalahan dari kakaknya.

Suamiku menjadi orang suruhan bagi saudaranya. Apa pun pekerjaan yang tidak bisa dilakukan saudara-saudarinya, akan menjadi tanggung jawab Mas Arif.

Mas Arif, anak bungsu dari lima bersaudara. Kakak pertama, Kak Siva, sudah berkeluarga dan tinggal tidak jauh dari rumah yang kami tempati saat ini.

Kak Siva bekerja dengan ibu mertua, yaitu membawa dan menjual ikan segar di kota lain.

Kak Ani, kakak kedua Mas Arif, sudah berkeluarga juga dan tinggal jauh di dekat pantai. Kak Ani juga bekerja sebagai pengepul ikan dan suaminya nelayan.

Ikan yang dikumpulkan Kak Ani, akan di over ke ibu mertua yang akan di jual di kota terdekat. Dan itu dulu, karena sekarang Kak Ani tidak lagi menyerahkan ikannya kepada Ibu, setelah perselisihan antara keduanya beberapa bulan yang lalu. Kak Ani menyerahkan ikannya pada orang lain.  

Kakak ketiga Mas Arif juga perempuan, namanya Kak Ria. Dia yang menelepon Mas Arif tadi, untuk membeli solar karena suami nelayan.

Kak Ria bekerja sebagai penadah ikan dalam jumlah yang besar. Itulah yang membuatnya di kenal sebagai bos oleh orang-orang sekitar, dan membuat hidupnya agak mewah dari saudaranya yang lain.

Dari Kak Ria lah, ibu mertua dan Kak Siva memperoleh ikan untuk di jual di pasar kota.

Sedangkan, saudara ke-empat Mas Arif, adalah laki-laki. Namanya Kak Aji.

Kak Aji sudah berkeluarga juga dan sudah menjadi PNS, bekerja sebagai tenaga pengajar di sekolah yang jauh dari kota tempat kami tinggal.

Mas Aji menjadi anak lelaki kebanggaan bapak dan ibu mertua, karena statusnya yang PNS.

Sedangkan, suamiku hanyalah anak yang menyusahkan bagi bapak dan ibu mertua, pun saudaranya yang lain.

Karena sampai saat ini, di usia pernikahan kami yang kedua, Mas Arif belum juga mendapat pekerjaan tetap.

Hal ini yang membuatku dan Mas Arif, kadang tidak dihargai karena di anggap numpang hidup.

Aku Fira, sebagai istri Mas Arif, hanya bisa bersabar dan mengelus dada selama menjadi bagian dari keluarga Mas Arif.

Namun, bukan berarti benar seperti dugaan saudara Mas Arif, bahwa aku dan suamiku hanya menumpang hidup.

Mereka hanya mengamati keadaan kami dari luar saja, dan tidak tahu dengan kondisi yang sebenarnya.

Dugaan mereka sebenarnya di perkuat juga oleh bapak dan ibu mertua, yang selalu menceritakan bahwa aku dan Mas Arif tidak menyumbang apa pun di rumah ini.

Untuk makan dan minum, selalu di sediakan oleh ibu mertua yang punya penghasilan. Seperti kebutuhan pokok, air dan pulsa listrik.

Bahkan, ibu mertua bercerita pada anaknya yang lain, kalau semua kebutuhan bayiku di tanggung ibu mertua.

Aku yang mendengarnya hanya bersabar, semoga suatu saat nanti ibu mertua akan menghargai setiap sumbangsih yang aku berikan untuk rumah ini.

Karena sebenarnya, mereka tidak tahu jika aku bekerja diam-diam dari rumah dan punya penghasilan sendiri.

Usaha ini aku rintis semenjak masih kuliah dan berstatus pacaran dengan Mas Arif.

Dan sampai sekarang juga, Mas Arif tidak tahu jika aku adalah pemilik dari toko roti yang ada di kota ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status