Home / Romansa / Karena Utang, Dinikahi Sultan / Hanya Pernikahan Kontrak

Share

Hanya Pernikahan Kontrak

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-04-11 13:25:35

Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.

Foto keluarga.

Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.

Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.

Kini, semuanya tinggal kenangan.

Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.

“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.

[FLASHBACK – lima tahun lalu]

Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangku kecil di dekat kasir, tampak lebih tua dari usianya yang sebenarnya.

“Kita harus tutup sementara, Ra. Distributor enggak mau kasih utang lagi, dan kita udah enggak bisa bayar sewa.”

Amara menatap ayahnya dengan getir. “Aku masih punya tabungan, Yah. Kita bisa bertahan—”

“Kamu pakai uang itu buat lanjut kuliah. Jangan bodoh kayak Ayah. Hidup kamu masih panjang.”

Tapi seminggu kemudian, ayahnya kolaps di kamar mandi. Serangan jantung dan beliau tak sempat ditolong.

Sumiati—ibu Amara—hancur. Secara fisik dan mental. Dalam dua bulan, tubuhnya lumpuh sebelah, dan sejak saat itu, Amara memutuskan hanya ada satu prioritas dalam hidupnya: menjaga ibu.

Termasuk… menolak Bayu.

Bayu Wicaksana, cinta masa kuliahnya. Pria lembut, cerdas, dan penuh idealisme. Dosen muda yang memperjuangkan pendidikan gratis di pelosok. Mereka sempat berencana menikah setelah Amara menyelesaikan S1.

Tapi ketika semua runtuh, Amara memilih diam-diam pergi dari kehidupannya.

“Aku mencintaimu, Amara. Tapi aku bukan Tuhan yang bisa menyembuhkan ibumu, dan aku bukan pelarian untuk rasa bersalahmu.”

Itu kalimat terakhir Bayu, sebelum ia pergi ke Papua untuk program relawan pendidikan.

[FLASHBACK OFF]

Air mata Amara jatuh, satu tetes, tanpa suara.

“Maaf, Bayu. Kamu terlalu baik untuk dunia seberat ini. Dan aku… terlalu rusak untuk dicintai lagi.”

“Ra ….” Suara berat terdengar dari luar.

Amara buru-buru mengeringkan air mata di pipinya lalu bergerak ke pintu.

“Ya?” Amara membuka pintu.

“Kamu enggak buat sarapan?” Arga bertanya dengan kerutan halus di antara alisnya membuat tatapan pria itu tampak tajam.

“Oh … ini hari Sabtu, aku pikir kamu enggak ngantor.” Amara bergumam sembari menutup pintu.

Arga mengembuskan nafas jengah kemudian membalikan badan dan mulai melangkah.

“Memangnya hari Sabtu aku enggak butuh sarapan.” Arga menggerutu dengan suara rendah.

“Sorry … aku buatin sekarang.” Amara mempercepat langkahnya ke dapur dan dia mulai memasak menu sarapan pagi yang orang suruhan Zeno berikan beserta bahan-bahannya.

Amara tidak jago masak tapi dia bisa memasak, untuk rasa relatif lah apalagi ibunya selama sakit tidak bisa makan-makanan dari luar yang tidak jelas ingredients-nya.

Setelah selesai, Amara menyajikannya di meja makan tapi tidak ada Arga di sana, baik di ruang televisi yang masih bisa dijangkau penglihatan dari ruang makan.

“Arga ….” Amara memanggil.

Dia membuka satu persatu pintu yang ada di lantai satu.

Yang pertama adalah ruang kerja, dan Arga tidak ada di sana.

Lalu pintu yang kedua yang ternyata adalah mini gym dengan jendela kaca yang mengarah ke taman samping dan ada Arga di sana tapi bertelanjang dada sedang melakukan work out.

Amara tertegun, benaknya langsung mengingatkan dia tentang malam pertama.

Amara pernah mengusap perut six pack itu, punggung berotot itu dan bahu lebar seluas samudra itu.

Salivanya tertelan kelat.

“Amara!” seru Arga yang ternyata memergoki Amara yang sedang terpesona menatap keindahan tubuhnya yang berkeringat.

“Eh itu … sarapan … udah jadi.” Amara gelagapan.

“Kamu sarapan duluan aja, aku mau mandi dulu.” Seperti biasa suara Arga dingin dan ketus.

Amara mengangguk lalu menutup pintu.

“Heran deh, cowok sempurna kaya dia katanya enggak punya waktu cari istri … enggak usah di cari juga kayanya cewek-cewek pada nyamperin.” Amara bergumam seiring langkahnya sampai ke dapur.

Amara langsung mencuci piring usai menghabiskan sarapan dan bersamaan dengan itu Arga tiba di ruang makan.

Parfum beraroma masculin yang di semprotkan ke tubuhnya sampai ke hidung Amara yang mancung padahal beda ruangan.

Setelah mencuci piring, Amara mulai mencuci pakaian lalu membersihkan rumah kemudian mencuci piring bekas makan Arga.

Arga tampak menonton televisi sejak selesai sarapan tadi padahal Amara berharap pria itu memiliki acara di luar sehingga dia bisa ijin untuk pulang ke rumah ibu.

Jam sembilan, seluruh pekerjaan rumah termasuk menjemur telah selesai.

Amara memberanikan diri mendatangi Arga.

Pria itu masih duduk di ruang tv, menggunakan kaos polos ketat dan celana joger.

“Arga ….” Amara memanggil namanya pelan setelah sampai di samping pria itu.

Arga mendongak, mempertemukan tatapan kemudian mengembalikan pandangannya ke layar televisi.

“Apa?” tanyanya kemudian.

“Boleh aku ke rumah ibu? Untuk makan siang kamu bisa beli dan aku janji, sebelum makan malam aku udah di rumah.”

Butuh waktu lima detik sampai Arga berkata, “Pergilah ….”

Seketika wajah Amara berbinar, dia tidak berekspektasi lebih Arga akan dengan mudah mengijinkannya.

“Makasih ya,” kata Amara tampak senang lalu pergi menaiki anak tangga.

Dari kursinya Arga bisa melihat senyum tipis Amara yang tulus saat menaiki anak tangga, senyum yang tidak pernah dia dapatkan dari wanita itu.

***

“Amara ….” Ibu tampak senang waktu Amara datang.

“Ibu … aku bawa buah Naga kesukaan Ibu, sebentar ya aku kupas dulu.” Amara pergi ke dapur dan tidak lama kembali dengan buah Naga di piring kecil.

“Amara … Kamu datang sendiri? Suami kamu mana?” Hati Amara mencelos seketika.

“Suami Amara ….” Amara tidak melanjutkan kalimatnya malah menatap Sumiati lamat-lamat.

“Suami Amara sibuk, Bu.” Amara akhirnya memiliki alasan.

“Sekali-sekali ajak dia ke sini … memangnya dia enggak mengantar kamu ke sini dan enggak menjemput kamu nanti?” Sumiati melontarkan pertanyaan yang sulit sekali Amara jawab.

“Bu … pernikahan kami hanya kontrak, aku enggak berani meminta dia mengantar dan menjemputku … tapi aku pastikan kalau Arga baik.”

Sumiati menyerongkan posisi duduknya membelakangi Amara, dia tampak kecewa.

“Mau nikah kontrak atau enggak, pernikahan kalian itu syah, Amara … dia sudah menikahimu tanpa restu Ibu, apa salahnya dia datang berkunjung ke sini untuk bersilaturahmi sama Ibu? Ibu ini Ibumu, wanita yang melahirkan perempuan yang sekarang menjadi istrinya … apa enggak bisa dia menghormati Ibu?” Sumiati menepuk dadanya sembari menaikkan intonasi.

“Bu ….” Amara meraih tangan Sumiati dan menggenggamnya erat.

Penjelasan apapun tak akan membuat Sumiati mengerti.

“Nanti aku bilang sama Arga … kalau dia enggak sibuk, mungkin dia mau datang ke sini bertemu Ibu.” Akhirnya Amara melambungkan sebuah harapan untuk Sumiati.

Sumiati kembali menyerongkan tubuhnya menghadap Amara lalu tersenyum.

“Ibu ingin lihat wajah suamimu, tampan atau enggak? Karena Ibu punya putri yang cantik, baik dan pekerja keras.” Sumiati menyisir surai Amara menggunakan tangannya.

Amara lalu teringat Rania yang pernah mengira kalau Arga adalah seorang pria tua.

“Kalau Arga adalah pria seumuran ayah, bagaimana Bu?” Amara berteka-teki.

“Enggak mungkin kamu memanggil suamimu dengan namanya kalau dia pria tua.” Ibu menjawab enteng.

“Ih Ibu pinter … kayanya pinternya aku dari Ibu, deh.”

Sumiati tertawa sembari merebahkan kepala di pundak Amara.

***

Amara menepati janji, dia pulang sebelum makan malam.

Sampai di rumah dia langsung ke dapur untuk memasak makan malam.

Tadi dia melihat mobil Arga masih terparkir di garasi dan saat hendak ke dapur, dia melewati ruang kerja yang pintunya terbuka sebagian dan melihat Arga ada di sana.

Sepanjang memasak, Amara tidak habis pikir—pria seperti Arga yang diusianya masih terbilang muda tapi menghabiskan waktu di rumah saja saat weekend.

“Dia enggak punya teman apa?” Amara membatin.

Amara menyajikan makan malam di meja lalu memanggil Arga ke ruang kerja.

“Arga …,” panggilnya dengan suara lembut.

Arga mendongak dari layar MacBook, sesaat tatapan mereka bertemu.

Tidak ada sorot mata dingin yang biasa Amara dapatkan.

“Makan malamnya sudah siap,” kata Amara datar.

Arga melepaskan kaca matanya lalu bangkit dari kursi dan mengikuti Amara ke ruang makan.

Seperti biasa, Arga makan dalam diam. Sesekali Amara melirik Arga karena ada yang ingin dia katakan tapi segan.

Tapi setelah makan malam selesai dan Arga sedang menikmati kopinya, Amara akhirnya berani bicara.

“Arga … tadi waktu aku ke rumah Ibu, Ibu bertanya tentang kamu ….”

Arga meletakan cangkir kopinya sambil menatap Amara.

“Ibu bertanya, kapan kamu mau menemui Ibu?” sambung Amara hati-hati.

“Untuk apa? Kita hanya menikah kontrak selama setahun.” Kalimat itu meluncur dingin dan ketus.

Deg.

Amara terpekur sembari menatap Arga dengan kerjapan mata sering.

“Ibumu tahu kalau kita menikah kontrak?” Arga bertanya lagi dan dijawab anggukan kepala oleh Amara, bahkan dia tidak berani bersuara.

“Lalu … kenapa dia masih bertanya kapan aku akan menemuinya?”

Amara menelan saliva.

“Aku juga enggak akan bawa kamu ke rumah kedua orang tuaku bahkan sampai saat ini mereka belum tahu kalau aku sudah menikah … akan ada saatnya nanti, saat pesta pernikahan kakak tiriku, aku akan mengenalkanmu kepada mereka tapi hanya sebatas itu, kamu enggak perlu menjadi menantu yang baik sampai datang ke rumah mereka.” Arga bangkit dari kursinya padahal kopi di cangkir belum habis seakan pria itu tidak menerima lagi negosiasi apalagi bantahan.

Amara tertunduk lesu, hatinya mencelos tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah.

Mungkin nanti dia akan terus memberikan kebohongan-kebohongan lainnya hingga setahun kemudian bercerai dengan Arga.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Gita
Haduhhh nyesss bener bacanya.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Diam Lebih Aman

    “Kamu enggak harus anter aku sampai ruangan, Bay.” “Enggak apa-apa ….” Bayu tidak meninggalkan Amara meski perawat dari ruang rawat telah menjemput, dia merasa wajib memastikan Amara sampai ke ruangannya.“Apakabar ibu kamu, Ra? Apa dia tahu tentang ini?” “Ibu tahu Arga akan menikah lagi … tapi aku enggak tahu bagaimana perasaan ibu yang sebenarnya.”“Kalau kamu … bagaimana perasaan kamu?” Amara menundukan kepala, dia tidak berani menjawab.“Kalau kamu hancur … maka ibu kamu lebih hancur, Ra.” Bayu bergumam sembari menatap kepala Amara dari belakang.Sungguh, andaikan dia bisa lebih awal bertemu Amara—Bayu janji tidak akan pernah membuat Amara ada di posisi seperti ini.Kursi roda yang didorong Bayu berhenti tepat di depan pintu kamar rawat inap. Di sana, berdiri seorang pria dengan wajah tegas dan sorot mata tajam yang langsung menusuk ke arah mereka. Arga.Amara menelan ludah. Dadanya sesak.Bayu tak gentar. Ia tetap mendorong kursi roda itu hingga tepat di depan Arga

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Suami Pura-Pura

    Tok … Tok …Ketukan di pintu membuyarkan lamunan Amara semenjak kepergian Arga.Ceklek.Seorang perawat masuk dengan senyum ramah.“Pagi, Bu …,” sapanya riang.“Pagi ….” Amara bergumam.“Ibu sendiri?” Sang perawat bertanya sambil mengecek infusan.“Iya … suami saya pergi sebentar ….” “Ibu udah sarapan?”“Sudah ….”“Banyak sarapannya?” Perawat melihat bekas makan Amara yang belum diambil bagian catering.“Habiskan ya Bu, memang tidak enak … namanya juga makanan sehat, tapi si bayi sangat membutuhkannya.” Amara hanya tersenyum.Bagaimana bisa dia menelan makanan ketika mengetahui suaminya sedang melakukan fitting dengan calon istri baru.“Sebentar lagi kita akan observasi kandungan ibu ya … Ibu siap-siap dulu, saya akan bawa kursi roda.” Amara mengangguk saja lalu perawat pergi.Mau siap-siap pun tangannya terikat selang infus, jadi Amara tetap diam di atas ranjang.Dan lagi memangnya siapa yang harus dia buat terkesan sedangkan dia sudah memiliki suami dan sedang

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Istri Yang Pantas

    Arga berdiri di samping ranjang, berpakaian rapi. Kemeja putih tergulung di lengan, celana krem casual yang dipadukan dengan sepatu sneakers—pakaian yang terlalu ‘santai’ untuk kunjungan rumah sakit, tapi terlalu serius untuk sekadar jalan-jalan. Amara tahu itu.“Ra, aku harus pergi,” ucap Arga lembut.Tak ada jawaban.Amara hanya membelakangi tubuhnya. Diam. Tanpa gerakan.“Fitting… buat pernikahan itu,” lanjut Arga dengan suara semakin pelan, seolah malu pada kalimatnya sendiri.Tubuh Amara tetap tak bereaksi. Hari Sabtu datang tanpa kehangatan. Cahaya pagi merambat pelan di dinding kamar rumah sakit, namun tak membawa secuil pun rasa tenang bagi Amara yang masih terbaring diam di tempat tidurnya.Udara sejuk dari pendingin ruangan tak mampu menenangkan dada yang sesak, apalagi menyembuhkan luka yang terus menganga.Arga menunduk, mendekat, dan menyingkap sedikit selimut dari bahu Amara. Ia membungkuk, melabuhkan kecupan panjang di sana—kecupan yang ingin menyampaikan serib

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Kesepakatan Baru

    “Kamu enggak ke kantor?” Amara menatap Arga yang hendak duduk di tepi ranjang setelah bagian catering yang mengantar makan siang, pergi.“Enggak, nanti Zeno datang bawa kerjaan.” Arga menyahut sembari membuka plastik pelindung makanan.“Kamu makan siang dulu ya ….” Arga mendekatkan sendok ke mulut Amara.Amara membuka mulut, tidak protes karena sang janin butuh asupan gizi.“Ga, boleh aku telepon Ima?” Arga menatap ragu.“Aku ingin tahu apakah ibu juga melihat berita ini?” “Nanti kamu kepikiran ….” Arga menolak secara halus.“Tapi aku juga harus tahu dan bagaimana keadaan ibu setelah melihat berita itu.” Amara mulai ngegas.Akhirnya Arga mengeluarkan ponselnya dari saku celana.Amara mengotak-ngatik ponsel Arga mencari nama Ima namun jempolnya berhenti ketika melihat panggilan keluar dan ada satu nama kontak yang menarik perhatian.My Lovely Wife.Amara menekan nama itu lalu muncul nomor yang sangat dia kenal, nomor ponselnya.Jantung Amara bergetar hebat, dia mematung

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Rencana Yang Berhasil

    Berdamai dengan keadaan adalah satu-satunya cara untuk Amara bisa bertahan hidup dan membiayai berobat ibunya.Jadi meski hati sakit dan kecewa tapi Amara tetap membuatkan sarapan untuk Arga mengingat pria itu masih suaminya dan membiayai hidupnya juga ibu.“Bu, istirahat saja … biar saya yang masak sarapan buat Ibu dan bapak,” tegur Bi Eti dari arah belakang sembari membawa sapu.“Enggak apa-apa Bi, sebentar lagi selesai.” Amara menuang sup ke mangkuk besar lalu membawanya ke ruang makan diikuti bi Eti dengan membawa teman nasi yang lain.“Bu, nyalain ya tvnya? Biar enggak sepi … lagian tv di ruang makan enggak pernah di nyalain, nanti rusak lho Bu.”Amara tertawa pelan. “Nyalain aja, Bi … palingan Bibi mau nonton gosip ya?” Bi Eti menyengir. “Iya Bu, lagi nungguin up date proses kasus perceraian artis.” Dia mengaku.Tidak lama Arga datang dengan pakaian kerja rapih namun lengan kemeja yang belum di kancing.Langkahnya sampai di samping Amara sampai dia bisa menghirup aroma

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Pemain Tak Diundang

    Suasana ruang kerja Arga hening. Hanya suara detak jam dinding dan sesekali notifikasi email yang berbunyi di laptopnya. Arga baru saja kembali dari pertemuan membosankan bersama keluarga Wibisono dan WO. Baru saja duduk, ponselnya berdering.Nama “Alena Wibisono” terpampang di layar.Dengan malas, Arga mengangkat. “Kenapa?”“Aku enggak terima, Ga.” Suara Alena terdengar tajam dan panas, bahkan tanpa salam.Arga menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. “Alena, aku lagi kerja—” Kalimat Arga menggantung.“Justru karena kamu kerja di depan publik itulah aku telepon sekarang!” potong Alena. “Kamu pikir semua orang di ruangan tadi enggak lihat sikap kamu? Kamu malu-maluin aku, malu-maluin keluarga aku, dan buat WO itu bingung harus bagaimana.”“Lagian aku enggak suruh kalian bikin pesta besar-besaran,” sahut Arga datar.“Kamu enggak bisa terus bersikap kayak gitu, Ga!” suara Alena meninggi. “Aku ngerti kamu cinta sama Amara, aku ngerti kamu enggak mau nikah sama aku, tapi kamu udah sep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status