Sebuah ruangan kecil di lantai atas restoran itu berubah menjadi ruang krisis tak resmi. Arga, Zeno, Amara, Bayu, dan Vikram duduk melingkar di sekitar meja kayu tua, masing-masing menatap layar ponsel atau laptop dengan tegang. Di atas meja, dua gelas kopi tak tersentuh dan tisu yang digunakan untuk menyeka luka masih tercecer.“Namanya Braga,” kata Vikram pelan. “Dulu dia dikenal di kalangan bawah tanah sebagai orang yang ‘menyelesaikan masalah’—terutama soal adopsi ilegal.”Zeno mengangguk, matanya menatap tajam layar ponsel yang menampilkan deretan pesan. “Gue udah duga. Gue pernah denger nama itu dari kontak gue di kepolisian. Dia licin. Banyak yang tahu dia terlibat, tapi enggak ada yang bisa tangkap karena dia enggak pernah menyembunyikan bayi-bayi itu di propertinya setelah transaksi.”Amara menunduk. “Lalu Aryana ada di mana sekarang?”“Kemungkinan besar… sudah dipindahkan ke safehouse mereka atau dalam proses transit,” ujar Zeno cepat, membuka file di ponselnya. “Gue bar
Gerimis halus terus membasahi kaca jendela bus yang membawa Amara kembali ke kota. Dalam tas kecil di pangkuannya, hanya ada pakaian ganti dan ponsel.Amara menggigit bibirnya saat telepon tersambung.“Bayu….” Suaranya serak menahan gemuruh perasaan. “Aku di bus. Mau sampai Kampung Rambutan sebentar lagi.”Bayu langsung menjawab dari balik kemudi. “Kamu sendirian? Rembulan di mana?”“Aku titipkan di villa sama ibu dan Ima. Aku harus ke Jakarta … Alena sudah menjual bayinya, anaknya Rendy—adikku ke seseorang yang bahkan bukan keluarga angkat tapi orang dalam jaringan trafficking.”Bayu mencengkeram setir lebih erat. “Ya Tuhan….”“Aku enggak tahu harus mulai dari mana, tapi aku enggak bisa tinggal diam. Aku tahu aku bukan ibunya, tapi dia keponakanku, Bayu. Dia darah Rendy, dan itu artinya… darahku juga.”Suara di seberang telepon hening sejenak, lalu Bayu berkata, pelan namun tegas, “Aku akan jemput kamu. Turun di gerbang utara saja. Jangan ke area ramai. Pakai masker. Jangan se
Hujan masih mengguyur Jakarta sore itu, membasahi aspal jalanan dan menyamarkan air mata yang turun di wajah Alena. Rambutnya yang basah menempel di dahi, dan mantel hitam tipisnya tak cukup menahan dingin. Di pelukannya, Aryana—bayi laki-laki yang bahkan belum genap dua bulan—mengerang kecil dalam dekapan yang dingin dan tak peduli.Langkah kaki Alena mantap menyusuri koridor gelap sebuah bangunan tua di bilangan Tanah Abang. Bukan tempat biasa untuk seorang mantan sosialita yang pernah hidup dari pesta ke pesta dengan gaun mahal dan kamera media.Tapi hari ini, dia bukan siapa-siapa.Pintu besi di ujung lorong terbuka perlahan. Aroma rokok basi dan karpet lembap menyambutnya. Di dalam, seorang pria duduk di balik meja, menatap Alena tanpa ekspresi. Wajahnya keras, rahangnya bertato samar, dan cincin-cincin logam memenuhi jari-jarinya.Namanya Braga—orang yang dikenal di dunia gelap sebagai penghubung trafficking bayi. Tak banyak bicara, tapi dikenal ‘efisien’.“Lo bawa anaknya?
Hari itu udara terasa lebih dingin dari biasanya. Kabut tipis menyelimuti lereng perbukitan tempat villa kecil tempat Amara tinggal. Dari jendela kamar, Amara bisa melihat hutan pinus yang menua bersama suara burung yang saling bersahutan pelan. Rembulan tertidur pulas di box bayinya di sisi tempat tidur Amara, sementara suara kayu terbakar dari perapian di ruang tengah terdengar lirih.Amara duduk bersandar di tempat tidur sambil membaca buku parenting dengan konsentrasi setengah-setengah. Hatinya belum benar-benar tenang sejak kedatangan Bayu semalam. Kata-kata Bayu soal Alena dan Cassandra masih terngiang di kepalanya.Lalu ponselnya yang hanya diaktifkan saat jam-jam tertentu demi menjaga privasi, bergetar pelan. Nama Lavina terpampang di layar.Amara ragu sejenak, sebelum akhirnya menggeser ikon hijau.“Hallo, Lavina?”“Amara, kamu sibuk?”“Enggak. Rembulan lagi tidur. Ada apa?”Jantung Amara selalu bergetar hebat setiap kali Lavina menghubunginya karena sang sahabat biasa
Ruang kerja pribadi Arga di lantai tertinggi kantor CitraKredit terasa lebih sunyi dari biasanya. Tirai tak dibuka, hanya cahaya dari lampu meja kerja yang menyinari tumpukan dokumen merger yang kini tak lagi penting.Zeno berdiri di depan jendela, menatap kota Jakarta yang sibuk seakan dunia di luar baik-baik saja—berbanding terbalik dengan isi kepala Arga yang makin gelap.“Sudah enam bulan sejak Amara pergi,” suara Arga akhirnya terdengar, serak, seolah tenggorokannya tersumbat kenyataan. “Gue udah telusuri semua rekaman CCTV rumah sakit, tanya orang-orang yang pernah mengenal dia, tapi tetap enggak ada hasil.”Zeno berbalik pelan. Wajahnya tetap datar seperti biasa, tapi ada kelembutan tipis dalam nadanya saat berkata, “Karena lo nyari pakai cara yang terlalu formal. Kalau Amara enggak mau ditemukan, dia pasti akan pastikan jejaknya tertutup.”Arga mengangguk pelan, menyandarkan tubuhnya di kursi kerja. “Amara pasti sakit hati banget sampai segitu teguhnya ninggalin gue.”“Lo
Langit senja di dataran tinggi tampak lebih teduh sore itu, dengan awan lembut bergulung pelan di atas hamparan hijau yang menyelimuti perbukitan. Di balik villa kayu yang sederhana namun hangat, aroma rebusan daun mint dan kayu manis dari dapur menyebar hingga ke teras.Amara sedang duduk di kursi rotan kala itu, mengenakan sweater lembut dan kain selimut menutupi kakinya. Rembulan tertidur di box bayinya di dalam kamar, napasnya tenang. Bayi kecil itu tampak damai—dan kedamaiannya adalah satu-satunya alasan Amara masih bertahan.Deru mesin terdengar dari kejauhan. Sebuah mobil SUV abu-abu berhenti perlahan di depan pagar kayu.Bayu turun, membawa dua tas kertas dari supermarket terkenal di Jakarta dan satu kantong berisi obat-obatan.Amara menoleh sejenak, lalu kembali menatap lembah di kejauhan.“Kamu datang lagi, Bayu?” ucapnya pelan dengan ekspresi tidak enak hati.Bayu tersenyum samar. “Selama kalian belum usir aku, aku akan terus datang.”“Bagaimana aku mau mengusirmu, i