Home / Romansa / Karena Utang, Dinikahi Sultan / Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

Share

Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-04-07 21:24:12

Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis.

Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara.

“Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin.

Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya.

“Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan.

Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania.

“Kamu kelihatan lelah, Amara.”

Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang harus aku biasakan sebagai seorang istri.”

“Kalau kamu butuh bantuin ngoreksi tugas anak-anak, bilang ya. Aku bantuin.”

Amara mengangguk, tapi sebelum sempat menjawab, ponselnya bergetar. Nama “Ima” muncul di layar.

“Halo?”

“Maaf mengganggu, Bu. Ibu Sumiati rewel sejak tadi. Tidak mau sarapan, katanya nungguin Bu Amara yang masak sendiri .…”

Amara menutup mata sejenak. Suara Ima terdengar sabar, tapi Amara tahu benar betapa keras kepala ibunya.

“Aku pulang cepat hari ini. Tolong sabar ya, Ima. Kasih bubur dan teh hangat. Bilang aja Amara nitip kecupan di kening lalu kamu cium keningnya.”

“Baik, Bu.”

Setelah menutup telepon, Amara bersandar sebentar. Rania menatapnya khawatir, tapi tidak bertanya lagi. Mereka berdua tahu batas mana yang tak bisa dipaksa untuk diucap.

Sementara itu di kantor pusat CitraKredit.

Arga duduk di ruang rapat dengan tim legal, tapi pikirannya entah di mana.

Seseorang sedang mempresentasikan analisis risiko hukum dari platform baru mereka. Tapi Arga hanya menatap layar presentasi tanpa benar-benar membaca isinya.

“Kenapa ekspresi dia masih terbayang?” Arga membatin.

“Kenapa suara napasnya, bahkan gerakan tangannya menata piring, lebih mengganggu daripada suara Zeno yang cerewet?” Masih suara dalam benak Arga.

Arga menggenggam pulpen, menekannya berulang kali.

“Arga?” suara Zeno pelan di sampingnya. “Lo denger enggak barusan?”

Arga menoleh. “Ulangi poin terakhir.”

Zeno menyipitkan mata, lalu tersenyum menyebalkan.

“Kepikiran sesuatu … atau seseorang?”

Arga hanya menjawab dengan tatapan tajam.

Tapi dalam diamnya, satu hal ia sadari: Semakin ia ingin menjauh, bayangan Amara justru semakin dekat.

Mungkin karena tinggal bersama seorang wanita adalah hal baru bagi Arga, dia hanya belum terbiasa.

***

Amara turun dari ojek online dengan wajah letih tapi penuh rindu. Ia membawa tas belanja kecil berisi makanan kesukaan ibunya—bubur ayam tanpa santan, pisang rebus, dan susu hangat.

Begitu memasuki rumah sederhana itu, aroma kayu tua dan minyak gosok langsung menyambutnya.

“Ibu…,” panggil Amara pelan sambil membuka pintu kamar.

Ima berdiri di samping ranjang, tersenyum lega melihatnya.

“Ibu nungguin dari pagi,” ujar Ima lirih, lalu permisi keluar kamar untuk memberi ruang.

Di atas ranjang, Sumiati menoleh pelan. Mata setengah buramnya langsung berbinar.

“Ra… kamu datang,” bisiknya.

Amara duduk di sisi ranjang dan menggenggam tangan ibunya yang dingin.

“Maaf baru bisa datang sekarang, Bu. Tadi ada pelajaran tambahan. Tapi sekarang Amara di sini.”

Sumiati menatapnya lama, seperti sedang menelaah wajah anaknya yang kini lebih dewasa, lebih kalem, tapi juga lebih lelah.

Dia terus memindai Amara dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Ra … Ibu nanya sesuatu, boleh?”

Amara mengangguk. “Boleh, Bu. Apa?”

“Kenapa kamu pakai cincin kawin?”

Suara ibu itu kecil. Tapi seperti petir menyambar di dada Amara.

Amara terdiam sejenak. Jemarinya otomatis menyembunyikan tangan kirinya di balik paha.

Sumiati melanjutkan, “Ibu ini memang enggak bisa banyak gerak, tapi Ibu belum buta. Dan kamu… anak Ibu. Kalau ada yang berubah, Ibu pasti tahu.”

Padahal tadi Ima keceplosan saat Sumiati bertanya tentang asal-usul Ima, awalnya hanya obrolan ringan tapi kemudian Ima mengatakan kalau dia dibayar oleh pak Arga-suaminya Bu Amara.

“Bu Amara harus tinggal di rumah pak Arga jadi Ima dipekerjakan untuk merawat Ibu Sumiati.” Itu kalimat yang terucap polos dari bibir Ima.

Amara menunduk. Napasnya gemetar. Suaranya pelan nyaris tak terdengar saat menjawab.

“Maaf, Bu… aku… aku memang udah menikah.”

Sumiati menggenggam tangan Amara lebih erat. “Kapan?” kejar Sumiati dengan tatapan tak percaya.

“Baru kemarin.”

“Dengan siapa? Kenapa Ibu enggak tahu apa-apa? Kenapa kamu enggak bilang dari awal?”

Suara Sumiati mulai bergetar. Tangannya mencengkeram selimut.

Amara buru-buru meredakan.

“Bu, ini pernikahan yang… rumit. Aku enggak bisa cerita semuanya. Tapi, aku janji, aku baik-baik aja. Suamiku orang baik… setidaknya, dia menjaga aku dan Ibu.”

“Pernikahan bukan soal dijaga, Ra. Pernikahan itu seumur hidup. Kamu selalu bilang enggak akan menikah sebelum Ibu sehat, kamu ingat?”

Air mata Amara mulai jatuh. Ia mencium tangan ibunya dengan gemetar.

“Aku tahu. Tapi keadaan memaksaku, Bu. Aku… enggak punya pilihan. Tadinya aku enggak mau Ibu tahu utangnya Rendy. Aku enggak mau rumah ini disita. Jadi aku ambil jalan pintas.”

“Apa maksud kamu?” Kerutan di kening Suamiati kian dalam.

“Rendy berhutang sebanyak satu koma dua milyar ke perusahaan pinjol untuk membiayai judi online … tapi pemilik pinjol menawarkan pernikahan kontrak karena dia membutuhkan seorang istri—“

Belum sempat Amara melanjutkan kalimatnya, Sumiati memalingkan wajah, menahan tangis.

“Anak Ibu menikah tanpa restu. Ibu enggak ada di sana… enggak pegang tanganmu… enggak lihat kamu pakai kebaya…dan ironisnya, pernikahan kamu adalah pernikahan kontrak … ibu harus mempertanggung jawabkan dosa kamu di akhirat nanti, Amara.” Sumiati menangis.

Amara memeluk ibunya erat. “Biar aku yang bertanggung jawab, Bu … aku yang memilih ini agar kita masih punya tempat tinggal.”

Sumiati malah meraung. “Rendy! Pulang kamu Rendy! Jahat kamu Rendy sama kakak kamu.”

“Bu, sudah Bu.”

Dan untuk sesaat, dua perempuan itu tenggelam dalam pelukan, di tengah kamar kecil yang jadi saksi pengorbanan seorang anak … dan hati seorang ibu yang remuk karena putrinya menikah kontrak.

***

Rumah tua itu begitu sunyi. Ima sudah tertidur di ruang tengah, dan Sumiati pun akhirnya terlelap setelah menangis lama di pelukan putrinya.

Amara menatap wajah ibunya satu kali lagi sebelum bangkit pelan dari sisi ranjang. Ia merapikan selimut, memastikan selang oksigen tidak tertekuk, lalu mencium kening ibunya dengan lembut.

“Selamat tidur, Bu. Maaf… untuk semua yang tidak sempat Ibu saksikan hari itu.”

Ia berjalan keluar rumah dengan langkah ringan, meski tubuhnya seolah ingin ambruk. Nafasnya pelan. Matanya sembab. Tapi ia tetap kuat berdiri.

***

Amara sampai di rumah tepat pukul sepuluh lewat tiga puluh malam.

Lampu sensor di halaman menyala otomatis ketika Amara turun dari mobil online yang membawanya pulang. Tubuhnya masih mengenakan blazer dan celana bahan, sepatu datarnya berdebu karena gang sempit di rumah ibunya.

Tepat saat itu sebuah mobil sport hitam berhenti perlahan di sisi rumah.

Arga turun dari balik kemudi, mengenakan setelan kerja yang mulai kusut. Dasinya sudah dilepas dan wajahnya menunjukkan lelah yang sama seperti milik Amara.

Tatapan mereka bertemu dalam diam saat berada di teras.

“Kamu baru pulang?” tanya Arga, nada suaranya datar tapi tak mengandung marah.

Amara mengangguk pelan. “Dari rumah Ibu.”

Jawabannya singkat. Tapi suara itu serak. Matanya merah, sembab. Hidungnya kemerahan. Dan bahunya tampak sedikit bergetar seperti habis menahan tangis dalam perjalanan pulang.

Arga mengerutkan kening.

“Kenapa … kamu nangis?” Arga membuka pintu.

Amara tak menjawab.

Arga menghentikan langkah di tengah rumah membuat Amara ikut menghentikan langkahnya juga.

Lalu Arga berbalik dan maju satu langkah mendekat. “Aku enggak marah. Aku cuma tanya .…”

Mata cantik Amara yang masih terdapat jejak buliran kristal menatap Arga lekat lantaran terkejut mendengar panggilan aku-kamu keluar dari mulut pria itu yang biasanya formal.

“Aku tahu,” potong Amara pelan. “Aku tahu kamu enggak marah.” Amara menyahut sama santainya.

Dan seketika Arga tersadar kalau mereka sudah menggunakan panggilan tidak formal.

Amara melengos pergi tanpa bicara, menaiki tangga menuju kamarnya—masih dengan langkah tenang, tapi seperti robot yang kehilangan daya.

Arga berdiri di ujung tangga paling bawah selama beberapa detik.

“Apa yang terjadi di rumahnya … sampai dia pulang seperti ini?”

Pertanyaan itu menggantung di benak Arga. Tapi seperti biasa, ia memilih tidak menyelami terlalu dalam.

Karena dalam perjanjian mereka, perasaan tidak termasuk di dalam kontrak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   TAMAT

    Udara pagi itu hangat, seperti menyimpan restu yang tak terucap dari langit. Di pelataran rumah sederhana yang disulap menjadi tempat akad, kain putih dan bunga melati menggantung indah, menghias setiap sudut seperti senyum yang dipintal dari harapan.Di dalam kamar pengantin perempuan, Ima duduk di depan cermin, mengenakan kebaya putih gading yang sederhana namun membuat auranya memancar. Tangannya dingin, bahkan lebih dingin dari ujung jari penata rias yang tengah merapikan sanggulnya.“Sudah cantik sekali, Mbak Ima ….”“Kalau aku tiba-tiba pingsan pas ijab kabul gimana?” tanya Ima pelan.Penata rias terkekeh pelan. “Kalau Mbaknya pingsan, Mas Bayu juga mungkin ikut pingsan bareng.”Ima tertawa canggung. Di dalam hatinya, bergemuruh rasa yang tak bisa dibahasakan. Ia bukan gadis kota, tak biasa jadi pusat perhatian, apalagi mengenakan kebaya dengan selendang renda, duduk di kursi pengantin yang dikelilingi puluhan mata.“Aku cuma gadis biasa,” bisiknya pada pantulan diri di ce

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Semuanya Akan Berbalik

    Langit Amsterdam kelabu. Angin musim gugur meniup dedaunan kuning yang berputar-putar di jalanan sepi di distrik Noord.Di dalam sebuah apartemen tua berlantai tiga yang retaknya terlihat jelas dari luar, Cassandra duduk di tepi kasur kecil berlapis kain kumal, menatap jendela berkabut dengan mata kosong.Sudah dua minggu listrik dan air di tempat itu dimatikan. Uang simpanannya habis untuk membayar biaya hidup mereka sejak melarikan diri dari Indonesia. Sementara Rendy telah ditahan pihak kepolisian Belanda.Beberapa bulan sebelumnya, mereka berdua datang dengan paspor turis dan sisa tabungan Cassandra—uang hasil menjual mobil dan perhiasan yang dulu dibelikan keluarganya. Di awal, mereka menyewa apartemen murah di kawasan yang cukup terpencil. Cassandra berpikir bisa memulai hidup baru, mungkin mencari pekerjaan, menyamar sebagai istri WNI, atau menyewa identitas palsu.Tapi Rendy punya rencana lain.Dia mulai berhubungan dengan seorang pria dari lingkaran gelap. Rendy tergoda

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Arah

    Zeno berdiri di tepi pagar ketika Arga mulai melajukan kendaraannya, dengan tangan bersedekap dan senyum kecil menyambut mereka yang akan berangkat menuju rumah utama.“Kalian hati-hati di jalan ya,” ujar pria itu saat mobil Arga berhenti di depannya. “Terima kasih, Mas Zeno … untuk Aryana … untuk semuanya.” Zeno terkekeh kecil. “Santaiii. Gue cuma ingin liat sahabat gue bahagia.”“Lo enggak ikut mampir ke rumah?” tanya Arga kemudian.“Gue harus balik ke kantor. Masih ada jadwal meeting sore ini.”“Titip salam buat mbak Clara ya, Mas,” ujar Amara sambil tersenyum tipis.Zeno mengangguk. “Pasti. Dia akan senang dengar kamu pulang karena selama ini Arga uring-uringan terus sewaktu nyariin kamu.”Setelah berpamitan, Arga melajukan kendaraannya kembali dan dengan satu tarikan nafas panjang, mereka pun melanjutkan perjalanan terakhir siang itu—menuju rumah mereka sendiri.***Rumah itu berdiri megah tapi bersahaja, dengan desain kontemporer bernuansa hangat. Amara sempat menghe

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Pulang

    Langit siang itu cerah, tapi udara terasa lebih lembut dari biasanya. Seolah alam pun tahu bahwa hari ini akan menjadi awal baru bagi seseorang yang telah lama bersembunyi dari dunia.Amara berdiri di ambang pintu kamar, menatap koper besar yang sudah tertutup rapat. Di sisinya, Ima sedang melipat selimut kecil dan meletakkannya ke dalam tas kain berisi kebutuhan bayi. Di sisi lain, Arga sedang berbicara lewat telepon dengan nada serius—mengatur kepergian mereka semua ke Jakarta.“Aku sudah hubungi Bayu. Dia akan datang bawa mobil dan kursi roda untuk Ibu,” ucap Arga sambil menutup telepon.Dia menghampiri Amara lalu duduk di sebelahnya.Amara hanya mengangguk pelan. Pandangannya melayang ke luar jendela, ke halaman belakang Villa Bayu yang selama enam bulan terakhir menjadi tempat persembunyiannya—tempat ia lari dari pria yang selalu menyakiti hatinya, tempat ia menangis dalam sepi, dan tempat ia belajar menerima luka.“Aku akan kangen tempat ini,” gumamnya lirih.Arga menoleh.

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Keputusan Untuk Pulang

    Cahaya pagi menembus celah tirai kamar dan mendarat tepat di wajah Amara.Ia mengerjap perlahan, merasa hangat dan terkurung dalam pelukan yang kokoh. Nafas hangat menyentuh tengkuknya, dan ketika Amara menunduk sedikit, ia menyadari tubuhnya tak terlapisi sehelai kain pun.Kesadarannya kembali—tentang malam yang penuh desahan dan rintihan. Tentang sentuhan yang begitu familiar, tentang gairah yang meledak dan pelukan yang menenangkan setelahnya.Pelan-pelan, Amara menoleh ke belakang. Arga masih terlelap, wajahnya tampak damai dan tenang, seakan beban bertahun-tahun telah rontok bersamaan dengan malam itu. Tangan Arga masih memeluk pinggang Amara, dan kakinya terlilit di antara kaki Amara seperti berusaha memastikan perempuan itu tidak akan pergi lagi.Amara menggigit bibir bawahnya. Perasaan campur aduk menyerangnya—antara malu, bersalah, canggung, dan mungkin sedikit bahagia.Ia mencoba menarik tubuhnya perlahan, tapi Arga malah menariknya lebih erat. Suara baritonnya terdenga

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Demi Rembulan

    “Sebelum datang ke sini, saya ke rumah sakit dulu untuk menanyakan hasil tes dna dan ternyata hasilnya sudah keluar.” Arga menyimpan amplop di atas meja yang langsung Amara raih dan membukanya.Makan malam sudah selesai dan mereka pindah ke ruang televisi.Arga mengangkat Rembukan dari bouncer lalu memangkunya.Tidak ada penolakan atau gerakan gelisah meski Rembulan terus mendongak menatap Arga seakan sedang merekam baik-baik wajah yang jadi sering ada itu.“Dia memang anak kandung Rendy, hasilnya cocok.” Arga berujar kembali sebelum selesai Amara membaca seluruh tulisan di dalam kertas.“Syukurlaaaah ….” Amara mendesah lega.Ima memberikan Aryana kepada Amara. “Kamu makan dulu, Ma.” “Baik, Bu.” Amara langsung memakai apron menyusui untuk menyusui Aryana sementara ibu Sumiati menundukan kepala dengan mata terpejam di kursi rodanya seperti sedang bicara dengan sang Maha Pencipta mungkin mengucapkan banyak rasa syukur karena Aryana-cucunya bisa diselamatkan dan bisa berkumpu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status