Home / Romansa / Karena Utang, Dinikahi Sultan / Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

Share

Dunia Luar Yang Ternyata Peduli

Author: Erna Azura
last update Last Updated: 2025-04-07 21:24:12

Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis.

Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara.

“Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin.

Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya.

“Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan.

Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania.

“Kamu kelihatan lelah, Amara.”

Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang harus aku biasakan sebagai seorang istri.”

“Kalau kamu butuh bantuin ngoreksi tugas anak-anak, bilang ya. Aku bantuin.”

Amara mengangguk, tapi sebelum sempat menjawab, ponselnya bergetar. Nama “Ima” muncul di layar.

“Halo?”

“Maaf mengganggu, Bu. Ibu Sumiati rewel sejak tadi. Tidak mau sarapan, katanya nungguin Bu Amara yang masak sendiri .…”

Amara menutup mata sejenak. Suara Ima terdengar sabar, tapi Amara tahu benar betapa keras kepala ibunya.

“Aku pulang cepat hari ini. Tolong sabar ya, Ima. Kasih bubur dan teh hangat. Bilang aja Amara nitip kecupan di kening lalu kamu cium keningnya.”

“Baik, Bu.”

Setelah menutup telepon, Amara bersandar sebentar. Rania menatapnya khawatir, tapi tidak bertanya lagi. Mereka berdua tahu batas mana yang tak bisa dipaksa untuk diucap.

Sementara itu di kantor pusat CitraKredit.

Arga duduk di ruang rapat dengan tim legal, tapi pikirannya entah di mana.

Seseorang sedang mempresentasikan analisis risiko hukum dari platform baru mereka. Tapi Arga hanya menatap layar presentasi tanpa benar-benar membaca isinya.

“Kenapa ekspresi dia masih terbayang?” Arga membatin.

“Kenapa suara napasnya, bahkan gerakan tangannya menata piring, lebih mengganggu daripada suara Zeno yang cerewet?” Masih suara dalam benak Arga.

Arga menggenggam pulpen, menekannya berulang kali.

“Arga?” suara Zeno pelan di sampingnya. “Lo denger enggak barusan?”

Arga menoleh. “Ulangi poin terakhir.”

Zeno menyipitkan mata, lalu tersenyum menyebalkan.

“Kepikiran sesuatu … atau seseorang?”

Arga hanya menjawab dengan tatapan tajam.

Tapi dalam diamnya, satu hal ia sadari: Semakin ia ingin menjauh, bayangan Amara justru semakin dekat.

Mungkin karena tinggal bersama seorang wanita adalah hal baru bagi Arga, dia hanya belum terbiasa.

***

Amara turun dari ojek online dengan wajah letih tapi penuh rindu. Ia membawa tas belanja kecil berisi makanan kesukaan ibunya—bubur ayam tanpa santan, pisang rebus, dan susu hangat.

Begitu memasuki rumah sederhana itu, aroma kayu tua dan minyak gosok langsung menyambutnya.

“Ibu…,” panggil Amara pelan sambil membuka pintu kamar.

Ima berdiri di samping ranjang, tersenyum lega melihatnya.

“Ibu nungguin dari pagi,” ujar Ima lirih, lalu permisi keluar kamar untuk memberi ruang.

Di atas ranjang, Sumiati menoleh pelan. Mata setengah buramnya langsung berbinar.

“Ra… kamu datang,” bisiknya.

Amara duduk di sisi ranjang dan menggenggam tangan ibunya yang dingin.

“Maaf baru bisa datang sekarang, Bu. Tadi ada pelajaran tambahan. Tapi sekarang Amara di sini.”

Sumiati menatapnya lama, seperti sedang menelaah wajah anaknya yang kini lebih dewasa, lebih kalem, tapi juga lebih lelah.

Dia terus memindai Amara dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Ra … Ibu nanya sesuatu, boleh?”

Amara mengangguk. “Boleh, Bu. Apa?”

“Kenapa kamu pakai cincin kawin?”

Suara ibu itu kecil. Tapi seperti petir menyambar di dada Amara.

Amara terdiam sejenak. Jemarinya otomatis menyembunyikan tangan kirinya di balik paha.

Sumiati melanjutkan, “Ibu ini memang enggak bisa banyak gerak, tapi Ibu belum buta. Dan kamu… anak Ibu. Kalau ada yang berubah, Ibu pasti tahu.”

Padahal tadi Ima keceplosan saat Sumiati bertanya tentang asal-usul Ima, awalnya hanya obrolan ringan tapi kemudian Ima mengatakan kalau dia dibayar oleh pak Arga-suaminya Bu Amara.

“Bu Amara harus tinggal di rumah pak Arga jadi Ima dipekerjakan untuk merawat Ibu Sumiati.” Itu kalimat yang terucap polos dari bibir Ima.

Amara menunduk. Napasnya gemetar. Suaranya pelan nyaris tak terdengar saat menjawab.

“Maaf, Bu… aku… aku memang udah menikah.”

Sumiati menggenggam tangan Amara lebih erat. “Kapan?” kejar Sumiati dengan tatapan tak percaya.

“Baru kemarin.”

“Dengan siapa? Kenapa Ibu enggak tahu apa-apa? Kenapa kamu enggak bilang dari awal?”

Suara Sumiati mulai bergetar. Tangannya mencengkeram selimut.

Amara buru-buru meredakan.

“Bu, ini pernikahan yang… rumit. Aku enggak bisa cerita semuanya. Tapi, aku janji, aku baik-baik aja. Suamiku orang baik… setidaknya, dia menjaga aku dan Ibu.”

“Pernikahan bukan soal dijaga, Ra. Pernikahan itu seumur hidup. Kamu selalu bilang enggak akan menikah sebelum Ibu sehat, kamu ingat?”

Air mata Amara mulai jatuh. Ia mencium tangan ibunya dengan gemetar.

“Aku tahu. Tapi keadaan memaksaku, Bu. Aku… enggak punya pilihan. Tadinya aku enggak mau Ibu tahu utangnya Rendy. Aku enggak mau rumah ini disita. Jadi aku ambil jalan pintas.”

“Apa maksud kamu?” Kerutan di kening Suamiati kian dalam.

“Rendy berhutang sebanyak satu koma dua milyar ke perusahaan pinjol untuk membiayai judi online … tapi pemilik pinjol menawarkan pernikahan kontrak karena dia membutuhkan seorang istri—“

Belum sempat Amara melanjutkan kalimatnya, Sumiati memalingkan wajah, menahan tangis.

“Anak Ibu menikah tanpa restu. Ibu enggak ada di sana… enggak pegang tanganmu… enggak lihat kamu pakai kebaya…dan ironisnya, pernikahan kamu adalah pernikahan kontrak … ibu harus mempertanggung jawabkan dosa kamu di akhirat nanti, Amara.” Sumiati menangis.

Amara memeluk ibunya erat. “Biar aku yang bertanggung jawab, Bu … aku yang memilih ini agar kita masih punya tempat tinggal.”

Sumiati malah meraung. “Rendy! Pulang kamu Rendy! Jahat kamu Rendy sama kakak kamu.”

“Bu, sudah Bu.”

Dan untuk sesaat, dua perempuan itu tenggelam dalam pelukan, di tengah kamar kecil yang jadi saksi pengorbanan seorang anak … dan hati seorang ibu yang remuk karena putrinya menikah kontrak.

***

Rumah tua itu begitu sunyi. Ima sudah tertidur di ruang tengah, dan Sumiati pun akhirnya terlelap setelah menangis lama di pelukan putrinya.

Amara menatap wajah ibunya satu kali lagi sebelum bangkit pelan dari sisi ranjang. Ia merapikan selimut, memastikan selang oksigen tidak tertekuk, lalu mencium kening ibunya dengan lembut.

“Selamat tidur, Bu. Maaf… untuk semua yang tidak sempat Ibu saksikan hari itu.”

Ia berjalan keluar rumah dengan langkah ringan, meski tubuhnya seolah ingin ambruk. Nafasnya pelan. Matanya sembab. Tapi ia tetap kuat berdiri.

***

Amara sampai di rumah tepat pukul sepuluh lewat tiga puluh malam.

Lampu sensor di halaman menyala otomatis ketika Amara turun dari mobil online yang membawanya pulang. Tubuhnya masih mengenakan blazer dan celana bahan, sepatu datarnya berdebu karena gang sempit di rumah ibunya.

Tepat saat itu sebuah mobil sport hitam berhenti perlahan di sisi rumah.

Arga turun dari balik kemudi, mengenakan setelan kerja yang mulai kusut. Dasinya sudah dilepas dan wajahnya menunjukkan lelah yang sama seperti milik Amara.

Tatapan mereka bertemu dalam diam saat berada di teras.

“Kamu baru pulang?” tanya Arga, nada suaranya datar tapi tak mengandung marah.

Amara mengangguk pelan. “Dari rumah Ibu.”

Jawabannya singkat. Tapi suara itu serak. Matanya merah, sembab. Hidungnya kemerahan. Dan bahunya tampak sedikit bergetar seperti habis menahan tangis dalam perjalanan pulang.

Arga mengerutkan kening.

“Kenapa … kamu nangis?” Arga membuka pintu.

Amara tak menjawab.

Arga menghentikan langkah di tengah rumah membuat Amara ikut menghentikan langkahnya juga.

Lalu Arga berbalik dan maju satu langkah mendekat. “Aku enggak marah. Aku cuma tanya .…”

Mata cantik Amara yang masih terdapat jejak buliran kristal menatap Arga lekat lantaran terkejut mendengar panggilan aku-kamu keluar dari mulut pria itu yang biasanya formal.

“Aku tahu,” potong Amara pelan. “Aku tahu kamu enggak marah.” Amara menyahut sama santainya.

Dan seketika Arga tersadar kalau mereka sudah menggunakan panggilan tidak formal.

Amara melengos pergi tanpa bicara, menaiki tangga menuju kamarnya—masih dengan langkah tenang, tapi seperti robot yang kehilangan daya.

Arga berdiri di ujung tangga paling bawah selama beberapa detik.

“Apa yang terjadi di rumahnya … sampai dia pulang seperti ini?”

Pertanyaan itu menggantung di benak Arga. Tapi seperti biasa, ia memilih tidak menyelami terlalu dalam.

Karena dalam perjanjian mereka, perasaan tidak termasuk di dalam kontrak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Hanya Pernikahan Kontrak

    Pagi itu, Amara duduk di ujung ranjangnya dengan wajah sendu. Cahaya matahari masuk pelan lewat tirai tipis, menyinari pigura kecil yang tergenggam erat di tangannya.Foto keluarga.Ayahnya mengenakan kemeja kotak-kotak, tersenyum lebar dengan tangan memegang bahu Amara kecil yang waktu itu masih berseragam SMA. Di sampingnya, sang ibu memeluk bahu Amara dari belakang. Dan Rendy ada di sampingnya, wajah sang adik masih polos belum mengenal dunia yang kotor.Mereka berdiri di depan toko kelontong sederhana, rumah usaha keluarga yang menjadi pusat kehidupan mereka bertahun-tahun.Kini, semuanya tinggal kenangan.Amara menyentuh permukaan kaca pigura itu dengan jari pelan. Setiap detail wajah orangtuanya masih terekam kuat dalam pikirannya.“Kalau Ayah masih hidup… pasti aku enggak akan berakhir seperti ini,” gumamnya lirih.[FLASHBACK – lima tahun lalu]Amara berdiri di tengah toko, menatap rak kosong yang dulunya penuh dengan beras, minyak, dan mi instan. Ayahnya duduk di bangk

    Last Updated : 2025-04-11
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tubuh Menyerah Tapi Hati Melawan

    Amara masuk ke kamarnya malam itu dengan lelah yang bukan sekadar fisik. Ia membuka pigura foto keluarga yang tadi pagi sempat ia peluk, lalu meletakkannya kembali ke nakas.Ia duduk di ranjang. Diam. Tak menangis. Tapi matanya kosong.“Mungkin aku harus belajar untuk tak merasa sama sekali.”“Karena di dunia ini, perasaan yang paling menyakitkan adalah… ketika kamu masih berharap, tapi sudah tahu akhirnya.”Tangannya menggenggam seprai. Denting jam berdetak pelan, seperti menyindir kesepian yang semakin dalam. Di lantai bawah, semua lampu sudah mati. Suara langkah kaki pun nyaris tak terdengar.Tok. Tok.Pintu kamarnya diketuk dua kali. Lembut tapi tak ragu.Amara menoleh perlahan. Napasnya menggantung.“Amara.” suara Arga terdengar dari balik pintu. Datar, seperti biasa. Tapi entah kenapa, malam ini terdengar sedikit lebih… berat.Amara berdiri dan membuka pintu. Arga berdiri di sana, hanya mengenakan kaus tipis dan celana panjang rumah. Wajahnya teduh, tak semarah tadi saa

    Last Updated : 2025-04-11
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tanpa Sadar Mengkhawatirkan

    Amara nyaris terlambat ke sekolah hari ini karena tadi air tiba-tiba mati dan dia harus cosplay jadi tukang ledeng, berbekal video YouTube akhirnya dia bisa membereskan masalah itu karena ternyata filter airnya mampet dan mau tidak mau Amara harus mengurasnya dulu.Apa sih yang tidak bisa Amara lakukan?Sesampainya di sekolah dengan tubuh sedikit berkeringat dan lelah yang terasa di sekujur tubuh, Amara berjalan menyusuri koridor dan buku catatan di pelukannya.Suasana jam pertama masih sepi. Suara tawa siswa terdengar di kejauhan dan aroma kapur tulis bercampur wangi kopi dari ruang guru menyambutnya begitu masuk.Rania sudah duduk di mejanya, menatap Amara sambil mengangkat alis saat dia datang.“Kamu pasti abis jadi asisten rumah tangga seksi ya?” seloroh Rania, mencoba mencairkan suasana.Amara tertawa kecil. “Memangnya aku seksi?”Rania mengangguk pelan. “Tapi serius, Ra… kamu makin beda. Dulu kamu paling cerewet soal anak-anak bolos, guru yang malas ngoreksi, bahkan soal

    Last Updated : 2025-04-12
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tidak Ingin Dianggap Perhatian

    Amara yang baru kembali dari kamarnya mengambil sweater kini telah duduk di kursi meja makan.Di hadapannya, kartu ATM berwarna hitam tergeletak di atas meja, sunyi—tapi penuh beban.Tanggal pernikahan mereka menjadi PIN.Simbol bahwa meskipun status mereka hanya kontrak, Arga mengikatnya dalam bentuk yang tak biasa: tanggung jawab.Amara menggenggam kartu itu, menghela napas.“Dulu aku cuma butuh uang untuk menebus utang Rendy… sekarang, aku mulai bingung, sebenarnya aku ini istri, asisten rumah tangga, atau manajer keuangan?”Langkah kaki terdengar dari arah dapur. Arga datang dengan dua gelas jus jeruk dan dua mangkuk bubur ayam hangat dari restoran langganan yang baru diantarkannya tadi lewat layanan pesan antar.“Buburnya jangan lupa diaduk. Telurnya di bawah,” ucap Arga datar, meletakkan mangkuk di depan Amara tanpa menatap.Amara meliriknya sesaat sebelum mengambil sendok.Senyap. Hanya suara kicau burung dan sesekali suara sendok bergesekan dengan mangkuk.Amara meli

    Last Updated : 2025-04-12
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Perubahan Sikap Arga

    Chapter 10 – Di Balik Sorotan dan Undangan LamaMobil sedan hitam Arga meluncur tenang di jalanan menuju sekolah tempat Amara mengajar. Amara duduk tenang di kursi penumpang, tatapannya kosong ke luar jendela dengan kedua tangan saling terpaut di atas pangkuan. Selama perjalanan, Arga tak banyak bicara. Hanya sesekali melirik ke arah Amara.Arga harus menginjak pedal rem karena lampu lalu lintas berubah merah.Dia kembali melirik Amara, ekspresi wajahnya tak terbaca. Arga tidak bisa membaca apa yang sedang Amara pikirkan.Tapi satu yang pasti, wajah putih mulus dengan hidung mancung dan bulu mata lentik itu tidak menggunakan make up berlebihan tapi Amara kelihatan … cantik.Tiba-tiba Amara menoleh membuat tatapan mereka bersirobok.“Kenapa?” tanyanya datar.Arga mengalihkan pandangannya setenang mungkin ke depan tanpa menjawab pertanyaan Amara.Lalu Amara mengeluarkan sebuah notebook setelahnya tenggelam dalam dunianya sendiri sibuk mengecek catatan rencana pelajaran hari in

    Last Updated : 2025-04-13
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Makan Malam Yang Membawa Bencana

    Aroma makanan yang baru saja diantar memenuhi ruang makan rumah Arga. Di atas meja makan, empat kotak makanan dari restoran seafood terkenal tersusun rapi. Amara membuka satu persatu kotaknya. Udang saus padang, cumi goreng tepung, capcay kuah, dan seporsi nasi putih hangat dengan telur dadar.Arga datang dengan langkah ringan dari lantai dua, rambutnya basah karena habis mandi, kaos polos berwarna navy membungkus tubuhnya begitu sempurna ia. Pandangannya tertuju pada makanan.“Wangi banget … kamu yang pesan?” tanya Amara basa-basi begitu dia menangkap sosok Arga. “Memangnya kelihatan aku yang masak?” Arga menjawab ketus tanpa menoleh.Amara hanya tersenyum kecil, lalu mengambil sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak siang tadi.Namun saat membuka kotak berisi udang saus padang, Amara mendadak ragu.“Aku… alergi udang sebenarnya,” katanya pelan, hampir seperti berbicara dengan dirinya sendiri.Arga yang duduk di seberang langsung berhenti mengunyah. “Lalu kenapa dipegang?”

    Last Updated : 2025-04-14
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Antara Luka Lama Dan Rasa Baru

    Aroma bawang putih yang ditumis lembut menusuk hidung Arga. Pria itu menggeliat pelan, matanya terbuka setengah, lalu terbelalak begitu melihat jam di nakasnya: 07:36.“Shit!” Arga bangkit sambil merutuki dirinya sendiri. Baru kali ini dia bangun terlambat sejak … bertahun-tahun menjadi CEO CitraKredit.Arga melangkah cepat ke kamar mandi, air menyiram wajahnya yang masih setengah kantuk, mencoba membangunkan otaknya yang berat. Beberapa menit kemudian, ia sudah rapi dengan kemeja putih bersih dan celana bahan abu gelap. Rambutnya disisir ke belakang, parfum maskulin menyelimuti tubuhnya.Arga pergi ke dapur dengan langkah panjang dan yang pertama dilihatnya adalah punggung Amara.Sang istri mengenakan apron biru muda, rambut dikuncir rendah, tangan sibuk mengaduk sup di panci.Arga mendengus panjang, dan dalam sekejap marahnya langsung meledak.“Kamu enggak belajar dari semalam, ya? Masih sempat-sempatnya masak segala!” hardiknya tajam dari ambang pintu.Amara yang sedang memo

    Last Updated : 2025-04-15
  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Peduli

    Langit siang itu cerah, tapi hati Amara tak begitu. Mobil mewah dengan kaca gelap berhenti tepat di depan gerbang sekolah tempatnya mengajar. Seorang sopir berseragam formal keluar, membukakan pintu dengan sopan. Amara turun, sedikit kikuk. Pandangan beberapa guru yang sedang duduk di bangku depan ruang guru langsung tertuju padanya.“Wuih, Bu Amara! Itu mobil siapa? Jangan bilang suaminya artis sinetron!” celetuk bu Wulan, guru Bahasa Inggris.“Minimal crazy rich! Kaca filmnya hitam pekat, yang turun juga cantik banget,” sahut bu Ema dengan gaya bercanda khasnya.Amara hanya tertawa kecil. “Iya, itu sopir kantor suami saya.”“Lho, jadi kamu beneran udah nikah?” Suara berat itu datang dari arah lapangan.Amara menoleh dan mendapati pak Ricky, guru olahraga menghampiri mereka dengan langkah santai. Seragam olahraganya sedikit basah karena keringat, rambutnya masih basah setelah selesai melatih.“Kenapa enggak ngundang kita?” Ricky mengangkat alis. “Padahal aku udah siap jas dari

    Last Updated : 2025-04-15

Latest chapter

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Saat Masalah Itu Kembali

    Mentari pagi menyusup dari celah tirai kayu, menyentuh kulit Amara yang masih bersandar di dada Arga. Nafas mereka perlahan, nyaris bersatu dalam irama tidur yang damai. Seprei linen berantakan menutupi separuh tubuh mereka, sisa malam penuh keintiman yang terasa berbeda dari sebelumnya—lebih dalam, lebih bermakna.Amara membuka mata pelan. Detik pertama yang ia lihat adalah rahang Arga yang kokoh, lehernya yang hangat, dan detak jantung yang stabil di bawah telinganya.“Aku enggak mau hari ini selesai,” bisik Amara pelan, seolah takut suara bisa merusak sihir pagi itu.Arga, yang ternyata sudah bangun namun enggan beranjak, membuka matanya dan mengusap punggung Amara lembut. “Kita masih punya beberapa hari. Bahkan kalau kamu mau… kita enggak usah pulang dulu.”Amara tersenyum. “Nanti kamu bisa dipecat.”“Siapa yang mau pecat CEO?” balas Arga santai, membuat Amara terkekeh dan menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.“Lima menit lagi aja ya,” kata Amara.“Kalau lima belas meni

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Bulan Madu

    Setelah sarapan pagi keesokan harinya, Arga membawa Amara checkout dari resort itu padahal Amara masih betah, dia belum menikmati kolam renang dan kenyaman kamar di resort tersebut.Mereka cukup lama berkendara dengan jalur menanjak hingga Amara merasakan udara dingin membelai pipinya melalui jendela yang sengaja dia buka.“Jadi, dari laut kita naik ke gunung?” Amara membuka suaranya setelah lama mereka hanya diam sibuk dengan benak masing-masing.“Tadinya aku spent sampai kita pulang nanti di resort sebelumnya, tapi kayanya pegunungan cocok untuk honeymoon,” kata Arga dari balik kaca mata hitamnya yang Amara duga sedang menatapnya penuh minat.Amara memalingkan wajah ke arah lain menahan senyum.“Enggak perlu ke Bali untuk honeymoon, semenjak kita menikah—kita udah langsung honeymoon,” gumam Amara menahan senyum.Arga terkekeh, dia merangkul pundak Amara dan membawa kepala istri tercintanya itu bersandar di pundaknya.Driver yang mengemudi di depan melirik melalui kaca spion t

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Menjadi Nyata

    Gunawan mengaduk es teh lemon yang nyaris mencair, wajahnya tampak kesal karena putra sambungnya selalu membela Amara. Tidak lama setelah Cassandra kembali dari yang katanya mengangkat panggilan telepon, Gunawan buka suara lagi.“Kita ke Surabaya dulu setelah dari sini,” ujar Gunawan dengan nada yang berusaha terdengar biasa saja.“Ada rapat penting sama mitra lama kita, dan Ayah mau kamu hadir langsung. Cassandra juga ikut, kebetulan dia punya agenda pitching ke salah satu perusahaan properti digital di sana,” sambung Gunawan terdengar seperti sebuah perintah.Arga hanya mengangkat satu alis. “Zeno bisa gantiin.”Gunawan berhenti mengaduk minumannya. “Maksud kamu?”“Zeno udah tahu semua agenda meeting. Proposal pun dia yang rancang. Jadi logisnya, dia yang handle. Aku enggak bisa ikut.”Cassandra langsung menoleh cepat. “Tapi ini penting, Ga. Kamu sendiri yang bilang, proyek di Surabaya bisa jadi langkah besar untuk ekspansi.”“Benar,” jawab Arga santai. “Makanya aku percaya

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Merasa Dihargai

    “Arga! Tunggu!” seru Cassandra, melangkah cepat menyusul Arga di lorong menuju ke kamar.Arga terus melangkah tapi Cassandra berhasil meraih pergelangan tangannya lalu pria itu menghela kasar.“Apaan sih!” serunya dengan ekspresi wajah tidak bersahabat.“Semenjak sampai di Bali kita belum bicara Arga, tadi siang kamu ngelengos gitu saja waktu ayah ibu kamu minta kita duduk berdua untuk ngobrol,” kata Cassandra melotot.“Terus kenapa? Kalau enggak ada urusan ngapain ngobrol … lagian kamu lupa sama kelakuan kamu waktu itu di kantor sampai nyaris membuat rumah tangga aku berantakan? Kamu enggak malu, Cassandra? Apa maksud kamu, hah?” Arga mengkonfrontasi sembari maju selangkah membuat Cassandra mundur selangkah.“Aku … aku hanya enggak mau kamu dimanfaatkan Amara … aku menduga, dia memberikan tubuhnya untuk membayar hutang adiknya, kan?” Pernyataan Cassandra itu membuat kening Arga mengernyit.“Kenapa kamu berpikir seperti itu?” Cassandra langsung gelagapan. “Emmm … ituuu … aku

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Tidak Dianggap Menantu

    Pagi itu, langit Bali seolah mengerti semangat yang sedang tumbuh. Matahari belum terlalu tinggi, namun lapangan rumput di sisi resort sudah penuh oleh karyawan CitraKredit yang mengenakan kaus berlogo perusahaan. Tenda-tenda kecil berjajar rapi, dipenuhi aneka makanan ringan, minuman segar, dan hadiah lomba.Amara duduk di samping Arga, mengenakan celana panjang linen putih dan blus biru muda, wajahnya segar dan cerah. Arga sendiri tampil santai dalam kemeja putih lengan pendek dan celana chino navy. Meski terlihat dingin seperti biasa, pria itu tak pernah jauh dari sisi Amara.Suasana gathering meriah. Ada lomba tarik tambang, balap karung, hingga estafet antar-departemen yang mengundang tawa. Karyawan bersorak-sorai, para petinggi perusahaan duduk di tenda VIP sambil memantau—termasuk Gunawan, Laraswati, Vikram dan Lavina. Musik akustik Bali dengan irama kecapi dan gamelan modern mengalun lembut, menciptakan suasana eksklusif namun tetap santai. Aroma sate lilit dan kopi Bali m

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Pillow Talk

    Langkah mereka menyusuri lorong hotel terasa lebih sunyi dari biasanya. Seolah dunia memutuskan untuk memberi ruang hanya bagi mereka berdua. Arga berjalan setengah langkah di depan, tangannya tetap menggenggam jemari Amara—erat, hangat, tidak tergesa.Sesampainya di kamar, lampu tidak langsung dinyalakan. Cahaya remang dari balkon cukup menerangi siluet ruangan. Ombak masih terdengar samar di kejauhan, menjadi alunan latar bagi detak jantung yang mulai berpacu.Arga menutup pintu. Sunyi seketika melingkupi mereka.Amara menoleh pelan, menatap wajah Arga yang kini hanya berjarak beberapa jengkal darinya. Tatapan pria itu tidak lagi datar. Ada sesuatu yang berubah—lebih dalam, lebih nyata.“Terima kasih untuk pesta ulang tahun kecilnya, sangat berarti untuk aku, Ga …,” bisik Amara, suaranya nyaris tak terdengar.Arga tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan, menyentuh pipi Amara dengan telapak hangatnya. Sentuhan yang tidak memaksa, tapi membuat tubuh Amara merespons dengan berg

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Dimiliki

    Suara dering ponsel Arga dari atas meja bar membuat Amara menoleh. Ia baru saja selesai menekan tombol start pada mesin cuci ketika Arga turun dari tangga, sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih dan celana chino abu-abu yang membuatnya tampak santai tapi tetap karismatik. Bi Eti tidak datang lagi, katanya sakit sehingga Amara yang menggantikannya mengerjakan pekerjaan rumah pagi ini. “Ra,” panggil Arga sembari meraih ponsel lalu datang menghampiri. Amara menyeka tangannya menggunakan handuk kecil, masih berdiri di depan mesin cuci. “Ya?” “Kita harus ke Bali besok pagi,” kata Arga tanpa basa-basi. Amara mengerjap. “Besok pagi?” suaranya meninggi. “Kamu serius?” Arga mengangguk singkat. “Gathering tahunan CitraKredit, sekalian ulang tahun perusahaan. Ayah dan ibu akan hadir juga. Vikram sama istrinya datang. Jadi … kamu harus ikut.” Amara menghela napas panjang, dia tahu kalau dia dikontrak untuk menemani Arga, menjadi pendamping pria itu tapi, “Kenapa baru bil

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Penjelasan

    Perlahan—dengan ragu—Amara mendekat ke sofa panjang lalu duduk di sana.Perutnya seketika berbunyi tatkala aroma ramen menyeruak masuk ke indra penciumannya.Amara melirik Arga sekilas dengan ekspresi kesal namun tak ayal dia raih juga mangkuk besar ramen dari atas meja.Arga duduk di samping Amara, dia meraih sumpit yang masih dibungkus kemudian membukanya setelah itu diberikan kepada Amara.“Kayanya udah enggak panas lagi, bisa kamu makan sekarang,” kata Arga sembari meraih mangkuk ramen miliknya.Amara makan dengan lahap tanpa banyak bicara karena perutnya memang sangat lapar, dia melewatkan makan siang dan banyak bersedih serta menangis seharian ini.Sesekali Arga melirik Amara yang tekun menghabiskan ramennya.“Kamu tahu ‘kan kalau Cassandra itu dulu mantan aku ….” Arga akhirnya buka suara.“Tahu … tapi aku enggak peduli,” balas Amara ketus.Arga mengulum senyum, dia merasa Amara cemburu dan entah kenapa rasanya menyenangkan seolah dengan cemburunya Amara itu dia jadi ta

  • Karena Utang, Dinikahi Sultan   Bentuk Permintaan Maaf

    Kotak makan siang itu jatuh ke lantai marmer, terbuka sedikit, menumpahkan aroma ayam lada hitam yang tadi pagi dimarinasi Amara sendiri.Tapi tak ada yang memedulikan makanan itu.Arga masih duduk di sofa, matanya melebar saat melihat Amara berdiri di ambang pintu.Dan Cassandra?Sudah bangkit dari atas pangkuan Arga dengan blouse setengah terbuka, bibir merahnya membentuk senyum kecil penuh kemenangan.“Ama—”“Kamu .…” Suara Amara nyaris tak terdengar.Matanya tidak berkedip. Menatap Arga dan Cassandra yang baru saja berpisah dalam posisi yang sulit dijelaskan.Tangannya masih menggenggam paperbag kosong di sisi kanan, sementara tangan kirinya mengepal, gemetar.Amara pikir apa yang mereka lakukan selama ini begitu berarti.Ah, tidak. Mungkin hanya bagi Amara sangat berarti. Bagi Arga, Amara hanya istri kontrak.Sedangkan Cassandra adalah mantan Arga yang mungkin masih pria itu cintai.“Amara, aku bisa jelaskan.” Arga berdiri cepat, suara beratnya terdengar terburu-buru

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status