Gunawan mengaduk es teh lemon yang nyaris mencair, wajahnya tampak kesal karena putra sambungnya selalu membela Amara. Tidak lama setelah Cassandra kembali dari yang katanya mengangkat panggilan telepon, Gunawan buka suara lagi.“Kita ke Surabaya dulu setelah dari sini,” ujar Gunawan dengan nada yang berusaha terdengar biasa saja.“Ada rapat penting sama mitra lama kita, dan Ayah mau kamu hadir langsung. Cassandra juga ikut, kebetulan dia punya agenda pitching ke salah satu perusahaan properti digital di sana,” sambung Gunawan terdengar seperti sebuah perintah.Arga hanya mengangkat satu alis. “Zeno bisa gantiin.”Gunawan berhenti mengaduk minumannya. “Maksud kamu?”“Zeno udah tahu semua agenda meeting. Proposal pun dia yang rancang. Jadi logisnya, dia yang handle. Aku enggak bisa ikut.”Cassandra langsung menoleh cepat. “Tapi ini penting, Ga. Kamu sendiri yang bilang, proyek di Surabaya bisa jadi langkah besar untuk ekspansi.”“Benar,” jawab Arga santai. “Makanya aku percaya
Setelah sarapan pagi keesokan harinya, Arga membawa Amara checkout dari resort itu padahal Amara masih betah, dia belum menikmati kolam renang dan kenyaman kamar di resort tersebut.Mereka cukup lama berkendara dengan jalur menanjak hingga Amara merasakan udara dingin membelai pipinya melalui jendela yang sengaja dia buka.“Jadi, dari laut kita naik ke gunung?” Amara membuka suaranya setelah lama mereka hanya diam sibuk dengan benak masing-masing.“Tadinya aku spent sampai kita pulang nanti di resort sebelumnya, tapi kayanya pegunungan cocok untuk honeymoon,” kata Arga dari balik kaca mata hitamnya yang Amara duga sedang menatapnya penuh minat.Amara memalingkan wajah ke arah lain menahan senyum.“Enggak perlu ke Bali untuk honeymoon, semenjak kita menikah—kita udah langsung honeymoon,” gumam Amara menahan senyum.Arga terkekeh, dia merangkul pundak Amara dan membawa kepala istri tercintanya itu bersandar di pundaknya.Driver yang mengemudi di depan melirik melalui kaca spion t
Mentari pagi menyusup dari celah tirai kayu, menyentuh kulit Amara yang masih bersandar di dada Arga. Nafas mereka perlahan, nyaris bersatu dalam irama tidur yang damai. Seprei linen berantakan menutupi separuh tubuh mereka, sisa malam penuh keintiman yang terasa berbeda dari sebelumnya—lebih dalam, lebih bermakna.Amara membuka mata pelan. Detik pertama yang ia lihat adalah rahang Arga yang kokoh, lehernya yang hangat, dan detak jantung yang stabil di bawah telinganya.“Aku enggak mau hari ini selesai,” bisik Amara pelan, seolah takut suara bisa merusak sihir pagi itu.Arga, yang ternyata sudah bangun namun enggan beranjak, membuka matanya dan mengusap punggung Amara lembut. “Kita masih punya beberapa hari. Bahkan kalau kamu mau… kita enggak usah pulang dulu.”Amara tersenyum. “Nanti kamu bisa dipecat.”“Siapa yang mau pecat CEO?” balas Arga santai, membuat Amara terkekeh dan menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.“Lima menit lagi aja ya,” kata Amara.“Kalau lima belas meni
“Utangnya atas nama siapa?” Nada suara Amara terdengar bergetar, meski wajahnya masih berusaha tenang. Ia duduk di depan meja besar berwarna gelap, ruangan dingin dengan panel dinding kayu mengelilinginya. Kantor hukum. Bukan tempat yang seharusnya ia datangi di pagi buta, apalagi dengan seragam mengajar yang masih rapi. Wanita paruh baya di seberangnya—salah satu pengacara dari firma hukum Santosa & Partners—menyodorkan dokumen. “Atas nama Rendy Ramadhan. Adik kandung Anda.” Amara meraih lembaran kertas itu dengan tangan gemetar. Angka di situ membuat perutnya berputar. Rp1.263.000.000. Lalu matanya turun ke bawah. Suku bunga. Denda keterlambatan. Penalti. CitraKredit Corporation. Nama itu sudah sering ia dengar. Perusahaan pinjaman online raksasa yang katanya “bermuka dua”: profesional di depan, tapi tajam seperti lintah di belakang. “Maaf, saya rasa ini salah. Adik saya—dia memang punya beberapa masalah, tapi enggak mungkin—” “Ini tanda tangannya.” Sang
Amara menggenggam koper kecil di pangkuannya, duduk di pojok gerbong LRT yang nyaris kosong. Jam delapan pagi dan langit Jakarta seperti ikut menyimpan rahasia yang hendak ia telan bulat-bulat. Tubuhnya diam, tapi batinnya gemuruh. Nafasnya pendek-pendek dan sesekali ia menyeka keringat di pelipis yang tak kunjung berhenti meski AC menyala. Matanya menatap ke luar kaca jendela. Pemandangan gedung-gedung tinggi berkelebat cepat, secepat langkah hidupnya berubah semalam. Dari guru sederhana jadi calon istri seorang CEO—dalam waktu kurang dari 24 jam. Bukan karena cinta. Tapi karena utang. Karena adiknya. Karena tak ada pilihan lain. “Sebentar lagi kamu menikah, Ra…” “Dengan pria asing … yang bahkan enggak pernah tersenyum padamu.” Suara itu bergaung di kepalanya. LRT berhenti di stasiun Dukuh Atas. Amara berdiri, menyeret kopernya lalu bergegas masuk ke toilet umum di pojok terminal. Tangan Amara gemetaran saat membuka kancing blus, menggantinya dengan kebaya puti
Langit Jakarta sudah berwarna abu keunguan saat Amara turun dari ojeg online di depan sebuah cluster elite yang senyap. Petugas keamanan di pos masuk memeriksa wajahnya sesaat, lalu membuka portal otomatis dengan anggukan singkat. Rumah Arga berada di blok paling ujung. Bentuknya minimalis-modern, dengan dinding kaca besar dan cat abu muda. Tak ada pagar tinggi. Hanya sensor gerak di teras, dan CCTV di empat sudut. Seperti pria yang menempatinya—tenang di luar, tapi mengawasi setiap inci. Amara membuka pintu menggunakan sidik jari, seperti yang telah diatur Zeno-asistennya Arga. Begitu masuk, aroma ruang kosong langsung menyambutnya. Ia berdiri di tengah ruang tamu yang bersih, terlalu rapi, terlalu hening. Tidak ada staf rumah tangga. Tidak ada suara penggorengan. Tidak ada aroma nasi. Ia melepas sepatu lalu menaiki anak tangga menuju ke kamarnya. Kamar tamu yang cukup luas dengan ranjang queen-size, lemari, dan satu jendela besar menghadap halaman belakang. Sepi. Di
Pagi menyapa rumah itu tanpa suara. Tak ada burung. Tak ada suara teko air. Hanya matahari yang menembus kaca lebar di sisi ruang makan, menyorot meja marmer panjang yang masih kosong. Amara sudah bangun sejak pukul lima. Tubuhnya masih terasa pegal dan nyeri di beberapa bagian, tapi ia menahan semua itu. Tak ada ruang untuk merengek dalam peran yang dipilihnya sendiri. Ia berdiri di dapur, masih mengenakan daster satin seksi tadi malam hanya saja sekarang dibalut nightrobe dengan bahan dan warna yang sama, rambutnya dikuncir longgar, aroma minyak kayu putih samar masih tercium dari kulitnya. Ia menanak nasi, menggoreng telur, dan menumis sayur sawi putih yang dibumbui kaldu. “Istri kontrak pun tetap harus bisa masak,” gumamnya pelan sambil mengaduk wajan. Pukul enam kurang sepuluh, suara langkah kaki terdengar dari tangga. Amara memalingkan wajah. Tatapannya bersirobok dengan Arga yang menggunakan kaus hitam tipis dan celana jogger abu-abu. Rambutnya sedikit beran
Pukul tujuh tiga puluh pagi, Amara berdiri di halte kecil di depan cluster elite tempat ia tinggal. Rambutnya dikuncir rapi, blazer biru muda membalut tubuh mungilnya, dan wajahnya hanya dilapisi bedak tipis. Taksi online tiba dan ia masuk dengan senyum tipis pada sopir. Sepanjang perjalanan ke sekolah tempatnya mengajar, Amara hanya menatap keluar jendela, mencoba membaurkan diri dengan lalu lintas Jakarta yang padat dan penuh suara. “Di luar sini, semua orang berjalan seperti biasa. Tak satu pun tahu aku sudah menjadi istri seseorang … tanpa cinta.” Amara membatin. Setibanya di sekolah, beberapa murid melambai ramah. Tapi ada satu-dua tatapan bingung saat mereka melihat cincin di jari manisnya. “Bu Amara udah nikah?” bisik salah satu murid perempuan. Amara pura-pura tak dengar. Ia tersenyum lalu masuk ke ruang guru dan langsung disambut pelukan ringan dari Rania. “Kamu kelihatan lelah, Amara.” Amara hanya tersenyum tipis. “Baru adaptasi. Banyak hal baru yang haru
Mentari pagi menyusup dari celah tirai kayu, menyentuh kulit Amara yang masih bersandar di dada Arga. Nafas mereka perlahan, nyaris bersatu dalam irama tidur yang damai. Seprei linen berantakan menutupi separuh tubuh mereka, sisa malam penuh keintiman yang terasa berbeda dari sebelumnya—lebih dalam, lebih bermakna.Amara membuka mata pelan. Detik pertama yang ia lihat adalah rahang Arga yang kokoh, lehernya yang hangat, dan detak jantung yang stabil di bawah telinganya.“Aku enggak mau hari ini selesai,” bisik Amara pelan, seolah takut suara bisa merusak sihir pagi itu.Arga, yang ternyata sudah bangun namun enggan beranjak, membuka matanya dan mengusap punggung Amara lembut. “Kita masih punya beberapa hari. Bahkan kalau kamu mau… kita enggak usah pulang dulu.”Amara tersenyum. “Nanti kamu bisa dipecat.”“Siapa yang mau pecat CEO?” balas Arga santai, membuat Amara terkekeh dan menyembunyikan wajahnya di dada pria itu.“Lima menit lagi aja ya,” kata Amara.“Kalau lima belas meni
Setelah sarapan pagi keesokan harinya, Arga membawa Amara checkout dari resort itu padahal Amara masih betah, dia belum menikmati kolam renang dan kenyaman kamar di resort tersebut.Mereka cukup lama berkendara dengan jalur menanjak hingga Amara merasakan udara dingin membelai pipinya melalui jendela yang sengaja dia buka.“Jadi, dari laut kita naik ke gunung?” Amara membuka suaranya setelah lama mereka hanya diam sibuk dengan benak masing-masing.“Tadinya aku spent sampai kita pulang nanti di resort sebelumnya, tapi kayanya pegunungan cocok untuk honeymoon,” kata Arga dari balik kaca mata hitamnya yang Amara duga sedang menatapnya penuh minat.Amara memalingkan wajah ke arah lain menahan senyum.“Enggak perlu ke Bali untuk honeymoon, semenjak kita menikah—kita udah langsung honeymoon,” gumam Amara menahan senyum.Arga terkekeh, dia merangkul pundak Amara dan membawa kepala istri tercintanya itu bersandar di pundaknya.Driver yang mengemudi di depan melirik melalui kaca spion t
Gunawan mengaduk es teh lemon yang nyaris mencair, wajahnya tampak kesal karena putra sambungnya selalu membela Amara. Tidak lama setelah Cassandra kembali dari yang katanya mengangkat panggilan telepon, Gunawan buka suara lagi.“Kita ke Surabaya dulu setelah dari sini,” ujar Gunawan dengan nada yang berusaha terdengar biasa saja.“Ada rapat penting sama mitra lama kita, dan Ayah mau kamu hadir langsung. Cassandra juga ikut, kebetulan dia punya agenda pitching ke salah satu perusahaan properti digital di sana,” sambung Gunawan terdengar seperti sebuah perintah.Arga hanya mengangkat satu alis. “Zeno bisa gantiin.”Gunawan berhenti mengaduk minumannya. “Maksud kamu?”“Zeno udah tahu semua agenda meeting. Proposal pun dia yang rancang. Jadi logisnya, dia yang handle. Aku enggak bisa ikut.”Cassandra langsung menoleh cepat. “Tapi ini penting, Ga. Kamu sendiri yang bilang, proyek di Surabaya bisa jadi langkah besar untuk ekspansi.”“Benar,” jawab Arga santai. “Makanya aku percaya
“Arga! Tunggu!” seru Cassandra, melangkah cepat menyusul Arga di lorong menuju ke kamar.Arga terus melangkah tapi Cassandra berhasil meraih pergelangan tangannya lalu pria itu menghela kasar.“Apaan sih!” serunya dengan ekspresi wajah tidak bersahabat.“Semenjak sampai di Bali kita belum bicara Arga, tadi siang kamu ngelengos gitu saja waktu ayah ibu kamu minta kita duduk berdua untuk ngobrol,” kata Cassandra melotot.“Terus kenapa? Kalau enggak ada urusan ngapain ngobrol … lagian kamu lupa sama kelakuan kamu waktu itu di kantor sampai nyaris membuat rumah tangga aku berantakan? Kamu enggak malu, Cassandra? Apa maksud kamu, hah?” Arga mengkonfrontasi sembari maju selangkah membuat Cassandra mundur selangkah.“Aku … aku hanya enggak mau kamu dimanfaatkan Amara … aku menduga, dia memberikan tubuhnya untuk membayar hutang adiknya, kan?” Pernyataan Cassandra itu membuat kening Arga mengernyit.“Kenapa kamu berpikir seperti itu?” Cassandra langsung gelagapan. “Emmm … ituuu … aku
Pagi itu, langit Bali seolah mengerti semangat yang sedang tumbuh. Matahari belum terlalu tinggi, namun lapangan rumput di sisi resort sudah penuh oleh karyawan CitraKredit yang mengenakan kaus berlogo perusahaan. Tenda-tenda kecil berjajar rapi, dipenuhi aneka makanan ringan, minuman segar, dan hadiah lomba.Amara duduk di samping Arga, mengenakan celana panjang linen putih dan blus biru muda, wajahnya segar dan cerah. Arga sendiri tampil santai dalam kemeja putih lengan pendek dan celana chino navy. Meski terlihat dingin seperti biasa, pria itu tak pernah jauh dari sisi Amara.Suasana gathering meriah. Ada lomba tarik tambang, balap karung, hingga estafet antar-departemen yang mengundang tawa. Karyawan bersorak-sorai, para petinggi perusahaan duduk di tenda VIP sambil memantau—termasuk Gunawan, Laraswati, Vikram dan Lavina. Musik akustik Bali dengan irama kecapi dan gamelan modern mengalun lembut, menciptakan suasana eksklusif namun tetap santai. Aroma sate lilit dan kopi Bali m
Langkah mereka menyusuri lorong hotel terasa lebih sunyi dari biasanya. Seolah dunia memutuskan untuk memberi ruang hanya bagi mereka berdua. Arga berjalan setengah langkah di depan, tangannya tetap menggenggam jemari Amara—erat, hangat, tidak tergesa.Sesampainya di kamar, lampu tidak langsung dinyalakan. Cahaya remang dari balkon cukup menerangi siluet ruangan. Ombak masih terdengar samar di kejauhan, menjadi alunan latar bagi detak jantung yang mulai berpacu.Arga menutup pintu. Sunyi seketika melingkupi mereka.Amara menoleh pelan, menatap wajah Arga yang kini hanya berjarak beberapa jengkal darinya. Tatapan pria itu tidak lagi datar. Ada sesuatu yang berubah—lebih dalam, lebih nyata.“Terima kasih untuk pesta ulang tahun kecilnya, sangat berarti untuk aku, Ga …,” bisik Amara, suaranya nyaris tak terdengar.Arga tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan, menyentuh pipi Amara dengan telapak hangatnya. Sentuhan yang tidak memaksa, tapi membuat tubuh Amara merespons dengan berg
Suara dering ponsel Arga dari atas meja bar membuat Amara menoleh. Ia baru saja selesai menekan tombol start pada mesin cuci ketika Arga turun dari tangga, sudah berpakaian rapi dengan kemeja putih dan celana chino abu-abu yang membuatnya tampak santai tapi tetap karismatik. Bi Eti tidak datang lagi, katanya sakit sehingga Amara yang menggantikannya mengerjakan pekerjaan rumah pagi ini. “Ra,” panggil Arga sembari meraih ponsel lalu datang menghampiri. Amara menyeka tangannya menggunakan handuk kecil, masih berdiri di depan mesin cuci. “Ya?” “Kita harus ke Bali besok pagi,” kata Arga tanpa basa-basi. Amara mengerjap. “Besok pagi?” suaranya meninggi. “Kamu serius?” Arga mengangguk singkat. “Gathering tahunan CitraKredit, sekalian ulang tahun perusahaan. Ayah dan ibu akan hadir juga. Vikram sama istrinya datang. Jadi … kamu harus ikut.” Amara menghela napas panjang, dia tahu kalau dia dikontrak untuk menemani Arga, menjadi pendamping pria itu tapi, “Kenapa baru bil
Perlahan—dengan ragu—Amara mendekat ke sofa panjang lalu duduk di sana.Perutnya seketika berbunyi tatkala aroma ramen menyeruak masuk ke indra penciumannya.Amara melirik Arga sekilas dengan ekspresi kesal namun tak ayal dia raih juga mangkuk besar ramen dari atas meja.Arga duduk di samping Amara, dia meraih sumpit yang masih dibungkus kemudian membukanya setelah itu diberikan kepada Amara.“Kayanya udah enggak panas lagi, bisa kamu makan sekarang,” kata Arga sembari meraih mangkuk ramen miliknya.Amara makan dengan lahap tanpa banyak bicara karena perutnya memang sangat lapar, dia melewatkan makan siang dan banyak bersedih serta menangis seharian ini.Sesekali Arga melirik Amara yang tekun menghabiskan ramennya.“Kamu tahu ‘kan kalau Cassandra itu dulu mantan aku ….” Arga akhirnya buka suara.“Tahu … tapi aku enggak peduli,” balas Amara ketus.Arga mengulum senyum, dia merasa Amara cemburu dan entah kenapa rasanya menyenangkan seolah dengan cemburunya Amara itu dia jadi ta
Kotak makan siang itu jatuh ke lantai marmer, terbuka sedikit, menumpahkan aroma ayam lada hitam yang tadi pagi dimarinasi Amara sendiri.Tapi tak ada yang memedulikan makanan itu.Arga masih duduk di sofa, matanya melebar saat melihat Amara berdiri di ambang pintu.Dan Cassandra?Sudah bangkit dari atas pangkuan Arga dengan blouse setengah terbuka, bibir merahnya membentuk senyum kecil penuh kemenangan.“Ama—”“Kamu .…” Suara Amara nyaris tak terdengar.Matanya tidak berkedip. Menatap Arga dan Cassandra yang baru saja berpisah dalam posisi yang sulit dijelaskan.Tangannya masih menggenggam paperbag kosong di sisi kanan, sementara tangan kirinya mengepal, gemetar.Amara pikir apa yang mereka lakukan selama ini begitu berarti.Ah, tidak. Mungkin hanya bagi Amara sangat berarti. Bagi Arga, Amara hanya istri kontrak.Sedangkan Cassandra adalah mantan Arga yang mungkin masih pria itu cintai.“Amara, aku bisa jelaskan.” Arga berdiri cepat, suara beratnya terdengar terburu-buru