Pintu besar rumah keluarga Wibisono mengayun keras saat dibuka. Suara langkah sepatu hak tinggi Margareth menggema tajam di marmer foyer. Di belakangnya, Bernadus mengekor dengan ekspresi gelap, menggenggam lengan Cassandra yang nyaris terseret.“Masuk!” bentak Bernadus.Cassandra mendesis pelan, “Ayah, Ibu! Ini enggak perlu dibesar-besarkan .…”Plak!Tamparan Margareth mendarat tepat di pipi kirinya, membuat kepala Cassandra terpelanting ke samping.“Kamu pikir apa yang kamu lakukan itu hebat?! Kamu pikir kami bangga punya anak seperti kamu?!” suara Margareth meledak, matanya penuh amarah dan luka.Cassandra memegang pipinya, terkejut. “Ibu?! Aku cuma—aku ingin membuktikan kepada kalian kalau Alena tidak sebaik yang kalian pikir!”“Membuktikan?!” Bernadus maju. “Membuktikan apa?! Kamu menjebak adik kamu sendiri dengan mempermalukan kami di depan keluarganya Arga! Kamu menghancurkan Alena—adikmu sendiri!”“Aku cuma menunjukkan kebenaran!” pekik Cassandra, emosinya ikut naik. “
Alena sudah diperbolehkan pulang oleh dokterPenthouse malam itu terang oleh lampu gantung kristal yang memantulkan kilau elegan ke seluruh ruangan. Balon-balon biru muda dan putih menghiasi sudut ruangan, sementara meja penuh dengan hidangan yang ditata rapi oleh katering langganan Margareth.Suasana hangat dan penuh tawa. Bernadus berdiri di dekat mini bar, mengangkat gelas anggur ringan, sementara Gunawan sedang menggendong si bayi yang baru diberi nama: Aryana Bagaskara sesuai dengan nama belakang Arga. Bayi itu tampak tenang dalam balutan bedong biru, tidur di pelukan sang kakek tirinya.Margareth duduk di sofa bersama Laraswati dan Alena yang masih mengenakan gaun longgar pascamelahirkan. Arga berdiri tak jauh dari mereka, memperhatikan dari kejauhan dengan senyum tipis namun hati yang kosong dan hampa.Dia senang karena telah memiliki anak laki-laki yang bisa menggantikannya memimpin perusahaan namun sayang bukan lahir dari rahim Amara-wanita yang dicintainya.Meski begitu
Suara monitor detak jantung bayi berdentang cepat di ruang bersalin. Angka-angka di layar berganti setiap detik, sementara suara Alena mengerang nyaring menembus dinding kamar. Rasa sakit dari kontraksi sudah mencapai puncaknya. Ia berkeringat, wajahnya pucat, dan tangan kanannya mencengkeram erat lengan Arga yang berdiri di sisi ranjang.“Alena, fokus. Tarik napas… dorong perlahan saat kami instruksikan,” ujar sang dokter dengan suara tenang namun tegas.Arga telah mengenakan pakaian steril lengkap, masker dan penutup kepala, tapi tidak bisa menyembunyikan kegugupan di matanya. Tangannya menggenggam erat jemari Alena yang basah oleh keringat.“Aku enggak kuat, Arga .…” Alena menangis, suaranya serak.“Kamu bisa, Alena … sebentar lagi,” bisik Arga di dekat telinganya, mencoba tetap tegar. “Aku di sini.”Alena menoleh, pandangannya kabur oleh air mata. Tapi bagi dirinya, ini adalah momen yang selama ini ia tunggu. Akhirnya Arga ada di sini. Menemani. Mendampingi. Menjadi suami yan
Alena berdiri di depan cermin kamar, mengenakan gaun tidur satin warna krem pucat. Perutnya yang membesar terlihat begitu mencolok, membuat siluet tubuhnya berubah total. Namun alih-alih merasa tak nyaman, ia memandangi dirinya sendiri dengan senyum puas.Tangannya mengusap lembut tonjolan perut itu.“Lihat, Nak… sekarang pria yang Mami cintai semakin sering di rumah. Semakin dekat dengan kita. Kita menang.”Ia menoleh ke sisi ranjang, di mana ponsel Arga tergeletak. Suaminya itu sedang mandi setelah seharian bekerja dan kembali langsung ke penthouse—kebiasaan yang kini makin sering terjadi sejak usia kandungannya memasuki trimester akhir.Tidak ada lagi nama ‘Amara’ dalam percakapan mereka. Tidak ada lagi ruang untuk perempuan itu dalam hidup Arga.Alena duduk perlahan di ranjang, membuka aplikasi foto dan menatap gambar USG terakhir yang tersimpan di galerinya. Di sana, gambar bayi mungil itu tertera jelas, posisi kepala sudah mengarah turun—siap lahir kapan saja dalam beberapa
Hujan di luar sudah reda ketika Bayu meninggalkan vila itu, menyisakan aroma tanah basah dan embun yang merayap masuk lewat celah jendela.Villa kecil itu perlahan tenggelam dalam keheningan. Ima sudah kembali ke kamarnya, dan Rembulan tertidur pulas di dalam box dengan selimut tebal menutupi tubuh mungilnya.Amara menutup pintu kamar dengan perlahan, kemudian berjalan ke ruang tengah. Di sana, ibu Sumiati sedang duduk di kursi rodanya, memeluk selimut sambil menatap api kecil yang tinggal bara di tungku.“Ibu belum tidur?” tanya Amara pelan, duduk di karpet di sebelah ibunya.Sumiati menoleh dan tersenyum lembut. “Belum. Ibu nunggu kamu.”Amara menatap api, diam sejenak. “Bayu udah pulang. Dia bawain banyak bahan makanan dan obat untuk Ibu.”“Iya, Ibu tahu.” Suara ibu Sumiati terdengar pelan tapi berat. “Dan Ibu juga lihat caramu menatap dia.”Amara menegang sedikit. “Aku enggak—”Sumiati memotong dengan lembut, “Kamu enggak perlu ngelak. Ibu tahu kamu perempuan yang enggak g
Dari jendela kamar yang terbuka setengah, suara ayam jantan dan gemericik sungai kecil terdengar samar. Jam di dinding menunjukkan pukul lima pagi. Tapi bagi Amara, hari sudah dimulai sejak satu jam lalu.“Pelan-pelan, Nak … iya sayang … Mama di sini,” bisiknya lembut sambil menggendong Rembulan yang menangis kecil minta disusui.Dengan rambut yang masih acak-acakan dan mata yang sembab karena belum cukup tidur, Amara duduk di kursi goyang di pojok kamar. Selimut tipis menyelimuti kakinya. Di pelukannya, Rembulan yang mungil mengisap dengan rakus, matanya terpejam, tenang dalam dekapan ibunya.Amara menatap wajah bayinya yang begitu damai, kulitnya kemerahan, napasnya kecil dan teratur. Hatinya terasa penuh—bukan karena segalanya sudah baik-baik saja, tetapi karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa sangat berarti.“Maaf ya, Bulan … Mama masih belajar,” bisiknya. “Tapi mama janji… akan jadi tempat pulangmu yang paling aman.”Beberapa saat kemudian, pintu kamar diket