Aku Menyerah---“Dinginnya es akan menyakitkan saat kita terlalu lama menggenggamnya”-Marina-****"Abang ... apa yang kalian lakukan?!"Lengkingan Risa memecahkan keheningan pagi.Membuat aku yang masih begitu mengantuk berusaha membuka mata, walau terasa berat. Degup jantung tak beraturan, karena rasa kaget mendengar teriakan.Sementara di sampingku, Bang Asrul bangkit dan bersandar di ranjang sambil mengucek matanya, berusaha mengumpulkan kesadarannya setelah terjaga dari tidur.Disapukannya pandangan mata Bang Asrul ke seluruh ruangan.Dan seketika dia turun dari tempat tidur ketika dilihatnya Risa, dengan tangan berkacak pinggang berdiri di hadapannya.Namun, Bang Asrul buru-buru kembali ke tempat tidur ketika dia menyadari bahwa dirinya dalam keadaan tanpa busana."Rina ... mana pakaianku?" tanya Bang Asrul panik."Tuh ...." jawabku sambil menunjuk pakaian yang berserakan di lantai."Kalian berdua ... apa yang sudah kalian lakukan?" Risa bertanya dengan penuh emosi.Sementara
Kartu ATM Hilang ---Bergegas kulangkahkan kaki menuju kamar tidur. Mempersiapkan berkas yang dibutuhkan untuk gugatan perceraianku nanti.Map tebal biru tua, tempat aku menimpan berbagai berkas di dalam nya. Kuambil beberapa lembar foto kopi kartu keluarga, KTP dan surat nikah. Ah ... ternyata aku tidak mempunyai foto kopi dari surat nikah."Besok sekalian mampir di tempat foto copy," gumamku pada diri sendiri.Lalu, mataku tertuju pada sebuah kotak kecil yang biasanya kusimpan di rak paling bawah. Tapi, kenapa pindah di sini? Segera, kutarik keluar kotak tersebut. Didalam nya, ada koleksi perhiasan yang sengaja kusimpan di sana. Semuanya masih utuh.Tapi ... kemana buku tabungan bersama dan ATM yang selalu kujadikan satu di dalamnya? Dengan gusar, aku keluarkan semua isi kotak tersebut satu per satu satu isinya. Namun, apa yang kucari tidak kutemukan.Hanya ada buku tabunganku dan sebuah buku tabungan bersama yang isinya tidak seberapa. Tiba-tiba saja, hatiku menjadi gusar. Firasa
Talak Aku, Bang.---“Jika hati yang kita pertahankan memilih hati yang lain dan kita tidak bisa begitu saja mengikhlaskan, lepaskan!"-Marina----Setelah melempar berkas yang kusodorkan ke atas meja, Bang Asrul meninggalkanku menuju kamar. Entah apa yang akan dia lakukan, aku memilih untuk mengekor di belakangnya."Apa lagi yang kamu inginkan dariku, Marina, hah?!" Tanyanya masih dengan emosi. Bang Asrul misalkan tubuh, ketika menyadari bahwa aku mengikutinya."Tidak... aku hanya memastikan tidak ada lagi barang berharga yang hilang dari rumah ini," jawabku sinis."Kamu...."ucapnya.Kalimat itu tidak dilanjutkan oleh Bang Asrul, namun dia lebih memilih meraih handuk yang tergantung untuk menutup tubuhnya sebelum masuk ke kamar mandi, sementara baju yang dia kenakan tadi dilemparkannya begitu saja dilantai.Kukepalkan tangan menahan amarah. Bahkan dalam percakapanpun, sudah tidak ada lagi kalimat Adek, Abang atau nama panggilan sayang.Semua berubah menjadi aku dan kamu. Baiklah jika
Menjadi Janda---Aku menatap kosong ruang tamu, ada rasa nyeri menyeruak dari dasar hati paling dalam.Bertahun-tahun mengarungi biduk rumah tangga, namun kandas hanya karena kehadiran orang ketiga.Mataku berhenti pada deretan foto yang ada di dinding. Lagi-lagi, terasa hati terasa nyeri, laksana sesuatu yang dicabut dengan paksa dari dalam sana. Yang menyisakan ruang kosong dengan luka menganga.Kuambil kursi kecil, dan menurunkan satu persatu foto yang tergantung. Foto yang merupakan gambaran suka cita dan kebahagiaan pada saat itu, perlahan kumasukkan ke dalam kardus. Dan hanya menyisakan sebuah foto besar, foto pernikahan kami dulu.Kuhela napas dalam, sebelum akhirnya foto itu kuturunkan dan membungkusnya dengan potongan kardus. Tinggal menyimpannya dalam gudang. Benar-benar hari yang melelahkan.Tok tok tok....Aku menghentikan langkah dan meletakkan kembali kardus berisi foto-foto itu di lantai. Kuseka keringat yang menetes di pelipisku, sebelum akhirnya melangkah menuju pint
Penyesalan Asrul---Seorang kurir mengetuk pintu kontrakanku.Dia menyerahkan sebuah amplop, tak sabar kubuka surat tersebut setelah sang kurir pergi.Surat keputusan dari pengadilan agama, yang menyatakan bahwa gugatan Marina telah dikabulkan. Hal ini membuatku resmi menyandang status duda.Terbersit sebuah sesal menyeruak di dada, atas kebodohanku. Namun semua telah terlambat, nasi sudah menjadi bubur dan aku tidak bisa mengembalikan apa yang telah terjadi.Kuremas kertas hingga menjadi sebuah gumpalan dan melemparkannya begitu saja ke lantai.Drttt...drrtt....Ponsel yang ada di saku celana bergetar, sebuah panggilan dari Risa.Ah ... dia makin lama bikin aku gregetan dan menyebalkan.Tak pernah memberiku waktu untuk menikmati bersantai, atau sekedar pergi keluar bersama teman-temanku."Halo ...." Dengan malas, kujawab panggilannya. Karena aku yakin, jika kuabaikan, dia akan makin gila."Bang ... hari ini kita ada jadwal fitting baju lho, jangan lupa ya," ucap Risa di ujung telep
Rumah Tangga Baru Asrul---Risa membuka paket yang baru saja diantar oleh kurir. Dua pasang sepatu warna silver dan hitam."Bang ... mana yang cocok di kaki Risa?" Sambil mencoba sepatu bergantian, Risa bertanya padaku."Dua-duanya cocok." Jawabku asal."Pilih salah satu Bang, bukan semua," protes Risa mendengar jawabanku."Yang hitam lebih bagus." Kataku setelah mengamati sejanak sepatu yang baru saja dia beli."Kok hitam, bukan silver ya? Padahal kalau silver lebih cocok dipadu padankan sama baju pengantin kita," ujarnya.Aku tidak menanggapi ucapan Risa. Sepatu warna silver memang lebih cocok untuknya, namun aku tidak menginginkan dia memakai warna itu. Karena silver adalah warna kesukaan Marina.Sementara, resit dari pembelian sepatu tersebut masih kupegang. Sebuah harga yang menurutku cukup mahal.Bahkan selama pernikahanku dengan Marina, pun, belum pernah aku membelikan dia sepatu dengan harga mahal.Dia selalu berdalih "sayang uangnya, lebih baik ditabung untuk hal yang lebih
Bukan Pernikahan Impian---Semua tamu dan keluarga sudah pulang, rumah orang tua Risa, yang sekarang sudah menjadi mertuaku kembali sepi."Risa, ini anak kamu, dari tadi rewel. Padahal sudah diberi susu," ucap ibu mertua. Beliau kemudian masuk dengan menggendong bayi mungil yang sedang menangis."Bang, gendonglah sebentar, dia sekarang kan anakmu juga. Aku mau ganti baju," ucap Risa.Tanpa menunggu persetujuanku, Risa memberikan bayi itu ke pangkuanku, kemudian dia berlalu."Cup cup cup, dede lapar ya?"Aku berusaha menenangkannya dengan memberi susu yang ada di botol sambil menimang-nimang dan mengajaknya berbicara. Perlahan, bayi mungil itu mulai tenang hingga akhirnya tertidur pulas.Sementara Risa yang sudah mengganti pakaiannya, berbaring di tempat tidur sambil memainkan ponsel, entah apa yang dia lihat di sana."Risa, dede sudah tidur," ucapku padanya. Dede adalah nama panggilan untuk bayi mungil ini."Tidurkan di box nya Bang, itu ada di dekat Abang," jawab Risa sambil menunju
Asrul Sakit ---"Rina ... Asrul sakit."Pesan Bang Nizar pagi itu, namun karena aku terlalu sibuk, pesan itu baru kubuka siang hari, dan langsung membuatku syok dan terkejut.Di bawah pesan tersebut, sebuah foto terpampang, entah foto siapa. Karena aku juga belum sempat mendownload nya.Ponselku hampir saja terlepas, ketika foto tersebut telah terdownload. Sosok yang begitu aku kenal, terbaring di atas tempat tidur.Namun, bukan itu yang membuatku jatuh dan luruh memeluk lutut. Buru-buru kuambil ponsel yang tergeletak di lantai.Mencoba meyakinkan pandangan mataku, dan berharap apa yang kulihat tadi adalah orang lain. Namun, semakin kutatap sosok dalam foto tersebut, membuat hatiku terasa nyeri, sakit.Bang Asul. Laki-laki yang pernah menjadi suamiku selama lima belas tahun itu tampak tak berdaya, di atas tempat tidur.Sosok yang pernah begitu kukenal itu kini begitu kurus, dengan mata cekung dan wajah tirus yang menonjolkan tulang wajahnya. Tak ada lagi kehidupan di sana.Tubuh yang