Share

5. Kecewa

5; Kecewa

---

Sepanjang perjalanan pulang, air mataku tak berhenti mengalir. 

Sesekali kuseka airmata yang sedikit membuat pandangan buram, pikiran semakin tidak menentu.

Tidak lagi kuhiraukan klakson yang kebetulan kendaraannya aku dahului beberapa di antara mereka bahkan sengaja berteriak padaku.

Yang ada dalam pikiranku hanya ingin secepatnya sampai di rumah dan menumpahkan air mata jika masih terisa.

Setelah sampai di rumah, aku langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci pintunya. 

Aku menangis seperti seperti orang kesurupan, tidak lagi pedulikan apakah suara tangisanku terdengar sampai keluar rumah dan didengar oleh tetanggaku atau tidak, aku tidak perduli lagi.

Segala benda yang ada di atas tempat tidur sudah berpindah ke lantai hingga membuat kamar seperti kapal pecah. Karena tanpa sadar, tanganku melempar apa saja yang bisa kujangkau pada saat menangis. 

Setelah puas menumpahkan segala kekecewaan yang menggumpal di hati melalui air mata, aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Begitu berantakan. 

Pandanganku berhenti pada foto pernikahan kami yang dicetak dengan ukuran besar. 

Foto yang sudah terpasang hampir 15 tahun di sana, di tengah ruangan kamar kami.

Apakah foto itu akan tergantikan dengan foto pernikahan yang lain? Hatiku benar-benar sakit.

Semakin terasa sakit ketika mengingat bahwa ternyata sudah ada wanita lain yang berstatus sebagai istri Bang Asrul. 

Tega sekali Bang Asrul melakukan hal itu padaku, dan yang lebih menyakitkan, aku justru mengetahui dari orang lain. Betapa bodoh dan naifnya aku selama ini, yang selalu mempercayai apapun yang keluar dari mulut Bang Asrul.

****

Entah sudah berapa lama aku tertidur, saat aku terbangun, kulihat pintu kamar sudah terbuka.

Dan barang-barang yang berserakan di atas lantai pun sudah bersih, tertata rapi di tempat semula. 

"Siapakah yang merapikan semua ini?" Tanya hatiku.

Aku merapikan rambutku yang acak-acakan dan bergegas melangkah ke luar kamar. Mata terasa berat, karena terlalu lama menangis. Aku bahkan susah untuk membuka kelopak mataku.

Apakah Bang Asrul sudah pulang? Dia kah yang merapikannya. 

Kembali, dadaku bergemuruh oleh amarah sekaligus sakit karena pengkhianatannya selama ini padaku.

Kulangkahkan kaki menuju dapur, hendak mengambil air minum ketika kulihat Bang Asrul duduk sambil menyesap secangkir kopi di sana. Dia bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Setelah meneguk segelas air putih, kudekati Bang Asrul. 

Sambil berdiri di sebelahnya, kucoba untuk mengeluarkan suara. 

Begitu sulit suara keluar dari mulutku, namun aku tetap mencoba untuk berkata, mengeluarkan segala tanya yang tersimpan dalam dada. 

"Bang, siapa Risa?" Tanyaku dengan suara parau.

Entah kenapa, justru pertanyaan itu yang keluar dari mulutku. 

"Risa? Oh ... dia hanya teman kerjaku." Bang Asrul menjawab tanpa menoleh ke arahku.

"Benarkah hanya seorang teman?" tanyaku lagi sambil meremas ujung baju sekaligus menahan amarah yang kembali memuncak.

"Iya, dia anak baru." Bang Asrul menjawab dengan suara datar, namun dia matanya menghindari pandanganku.

"Oh ... anak baru, ya? Kok sudah hamil? Bukankah peraturan di tempat kerja Abang, tidak boleh hamil jika masih magang atau training?" Kejarku.

Sengaja kuucapkan kalimat itu untuk memancing reaksi Bang Asrul. Dan benar saja, Bang Asrul kini menoleh bahkan menatapku tajam. 

"Apa maksud kamu, Marina?" Tanya Bang Asrul penuh selidik.

Aku tidak menjawab pertanyaan Bang Asrul, namun melangkah menuju kursi dan duduk tepat di depannya. 

Masih tidak kujawab pertanyaan Bang Asrul, sementara nafasku memburu turun naik menahan kemarahan. Seperti singa yang siap menerkam mangsa di depannya. 

"Bang, jawab pertanyaan Marina dengan jujur. Sejak kapan Abang berhubungan dengan Risa?" Cecarku.

Uhuk uhuk uhuk.... 

Bang Asrul terbatuk, mungkin tersedak. 

Karena saat aku melontarkan pertanyaan tersebut, dia tengah menyesap kopi di yang dibuatnya sendiri. 

"Jangan berbicara sembarangan Marina!"

Bang Asrul melotot ke arahku. 

Namun, aku membalas tatapan Bang Asrul. 

Tak ada lagi rasa segan ataupun takut di hatiku. 

Karena, rasa seganku dan hormat sebagai istri terhadap suami telah hilang, bersama dengan fakta perselingkuhannya. 

"Berapa bulan kehamilan Risa sekarang?" Aku melanjutkan pertanyaanku, masih dengan menatap mata Bang Asrul.

"Marina, kamu ngomong apa?"

Bang Asrul berkata lantang sambil berdiri. 

Tak ingin kalah, aku pun ikut berdiri, dengan masih menatap tajam matanya. 

"Sekali lagi aku tanya, kapan Bang Asrul menikahi wanita itu? Kurang apa aku selama ini, Bang ...?" Tanyaku dengan suara bergetar, kurasakan mataku menghangat menahan tangis.

Bang Asrul kembali duduk, wajah yang semula keras dan menegang, kembali menjadi lunak. 

Beberapa kali kulihat Bang Asrul menarik nafas dalam, kemudian mengembuskan kasar. 

"Jadi alasan Bang Asrul meminjam motorku kamis kemarin, untuk mengantar Risa ke klinik kandungan kan ...? Karena jika memakai motor sport Abang, akan sulit buat wanita hamil. Benar begitu, Bang....?" Aku kembali mencecar bang Asrul dengan pertanyaan.

"Marina ... aku ingin memiliki anak." Terdengar Bang Asrul berkata lirih.

Mendengar kalimat singkat dari Bang Asrul, lututku menjadi lemas. 

Gelas yang dari tadi kupegang merosot dan kubiarkan jatuh ke lantai, menjadi serpihan kaca kecil yang berserakan. Sama seperti hatiku, hancur berkeping-keping, berserak. 

Kemarahan yang tersimpan dan hendak meledak, kini meleleh. Berganti dengan rasa nelangsa seorang wanita yang gagal memberi keturunan.

Namun, apakah hal itu menjadi pembenaran bagi suami untuk mendua berbagi kasih dengan wanita lain? 

Aku terduduk lemas di atas kursi dengan air mata yang membasahi kedua pipi, sementara Bang Asrul duduk mematung di depanku, diam tanpa kata. Entah apa yang saat itu ada ada dalam pikirannya. Tidak terlihat kesedihan atau penyesalan dari sorot mata lelaki yang sudah menikahiku selama lima belas tahun itu, wajahnya begitu datar.

"Kenapa kamu tega melakukan itu padaku, Bang? Apakah pengorbananku selama ini padamu kurang?" Tanyaku lirih.

Bang Asrul terdiam, dia masih menunduk tanpa berani menantang tatapanku.

"Dari mana kamu tahu tentang Risa?" Bukannya menjawab pertanyaanku, Bang Asru justru balik bertanya dengan pertanyaan bodoh.

"Apakah masih penting untuk mencari tahu siapa yang telah memberitahu padaku tentang pernikahan ke-duamu, Bang?" Ujarku.

Bang Asrul kembali terdiam, hingga suasana menjadi sangat hening. Hanya embusan napas kami yang terdengar saling berkejaran.

"Aku tidak ingin membahas tentang hal ini," kata Bang Asrul lirih.

"Apakah Bang Asrul mencintai Risa?" Tanyaku. Rasa nyeri menusuk hati ketika aku melontarkan kalimat itu. Tiba-tiba aku merasa takut, takut mendengar jawaban Bang Asrul.

"Apakah Bang Asrul mencintai Risa?" Aku mengulangi pertanyaanku karena Bang Asrul belum menjawab.

"Marina, sudah? Jangan memaksaku menjawab pertanyaan konyolmu itu!" Hardik Bang Asrul.

Aku terkejut dan menutup mulutku dengan telapak tangan. Sungguh tidak kuduga, Bang Asrul akan meninggikan suaranya padaku sementara dia berada di posisi salah.

"Bang Asrul menikahi Risa karena cinta apa hanya karena ingin memiliki anak?" Tanyaku lagi.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
matilah kau marina. bukannya mengoptimalkan otak mu utk berpikir dan bertindak ketika suami mu ketahuan mendua malahan kau menye2 dan mengajukan pertanyaan sampah. 15 th jd istri kau ngpain aja njing. ngebabu dan ngangkang aja mampu kau!!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status