Share

6. Pengakuan Asrul

Pengakuan Asrul

---

“Kalimat yang diucapkan dari orang yang kita cintai, tidak selalu membuat hati menjadi bahagia. Adakalanya, kalimat tersebut justru bisa membuat kita hancur” 

---

Aku masih tergugu sambil menutup wajah dengan kedua telapak tanganku. Sementara Bang Asrul masih belum beranjak dari kursi, di mana dia duduk. Dia membisu, hanya suara isakku yang terdengar memenuhi ruangan.

Di saat seperti itu, aku benar-benar merindukan sosok Bang Asrul, suamiku yang pernah kumiliki dahulu. Karena dahulu, aku benar-benar bisa merasakan memiliki seorang suami. 

Seseorang yang bisa berbagi apa saja denganku, mengulurkan tangannya ketika aku terjatuh, juga menyeka airmataku di kala aku menangis.

Namun kini, tak lagi kutemui laki-laki yang sudah menjadi suamiku selama 15 tahun.

Bang Asrul membiarkanku menangis, diam terpaku bak patung tanpa melakukan apapun.

"Sejak kapan Bang Asrul berhubungan dengan wanita itu?" Tanyaku setelah menyeka airmata dengan kasar.

"Marina ... ini tidak seperti yang kamu bayangkan," jawabnya tanpa melihat ke arahku.

"Jadi ... apa yang ada di bayangan Bang Asrul tentang dia?" Cecarku.

"Kalaupun aku mengatakannya, kamu tak akan mempercayaiku, Marina!"

"Katakan saja, Bang. Itu lebih baik daripada aku mengetahui dari orang lain."

Kutatap wajah Bang Asrul, tampak dia mengeha nafas dalam beberapa kali.

"Aku kasihan padanya, Marina. Dia diputuskan oleh kekasihnya dan ditinggalkan dalam keadaan hamil," jawab Bang Asrul lirih.

Kudongakkan wajahku, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Bang Asrul.

"Kasihan ... Abang kasihan dengan wanita itu, bagaimana denganku, Bang? Abang tak kasihan denganku? Yang harus menahan sakit hati dan malu?"

Bang Asrul hanya diam, tanpa menjawab sepatah katapun.

"Jadi, apa yang akan Bang Asrul lakukan sekarang?" tanyaku kemudian.

"Aku ... akan menikahinya."

Glek! 

Hati kembali terasa sakit, bagai dirajam sembilu mendengar jawaban Bang Asrul.

Walaupun aku sudah mengetahui perselingkuhannya, namun tetap saja terasa sakit mana kali kalimat itu langsung diucapkan oleh Bang Asrul.

"Aku tidak mau dimadu Bang, sampai kapanpun!" jawabku sambil berlari masuk ke dalam kamar.

Setelah mengunci pintu, kembali aku menangis.

Aku benar-benar tidak menyangka, suamiku membuat sebuah pengakuan dan menyampaikan keinginannya dalam waktu yang bersamaan.

Dan aku benar-benar tidak siap untuk itu.

Membayangkan harus berbagi suami dengan wanita lain saja, sudah membuat dadaku sesak.

Bergegas aku mengeluarkan tas ransel dan memasukkan beberapa potong baju kedalamnya dan berencana untuk pulang ke rumah orangtuaku.

Namun, ketika sudah selesai berkemas, justru muncul rasa ragu.

Aku tak bisa membayangkan bagaimana perasaan kedua orang tuaku dan saudara-saudaraku jika mengetahui bahwa Bang Asrul berselingkuh.

Dan bagaimana nantinya aku menjelaskan pada mereka tentang apa yang terjadi, sungguh membuat aku dalam dilema.

Rasa malu jika ada orang lain mengetahui apa yang telah di perbuat Bang Asrul, membuatku mengurungkan niat untuk pergi kerumah orangtuaku.

Kukeluarkan lagi baju yang tadi afa dalam tas ransel.

Saat aku menyusun kembali bajuku, terdengar pintu kamar di ketuk.

Tok tok tok...

"Marina ... buka pintunya, Abang mau ganti baju. Sebentar lagi aku harus berangkat kerja."

 Suara Bang Asrul dari luar mengetuk pintu. Tak kuhiraukan ketukan di pintu dan ucapan bang Asrul.

"Marina, buka pintunya sebentar ...." Kembali Bang Asrul memanggil.

Tak ingin Bang Asrul masuk ke kamar, kuputuskan mengambil satu setel bajunya dari lemari.

Perlahan kubuka sedikit daun pintu, dan mengulurkan tangan untuk menyerahkan baju yang sudah kuambil.

"Marina ...."

Braakkk!!

Belum selesai Bang Asrul berkata, pintu kututup dengan keras yang menimbulkan suara berdebam yang lumayan keras.

Masih berdiri mematung di depan pintu, kutajamkan pendengaranku.

"Apakah Bang Asrul sudah berangkat?" tanyaku dalam hati.

Tak berapa lama, terdengar suara motor sport Bang Asrul meninggalkan rumah.

****

Masih dengan pikiran yang buntu dan kosong, tak tahu harus berbuat apa. Aku mengambil ponsel, mencoba menghubungi Rahma. Karena, hanya Rahma dalam keluargaku yang mengetahui tentang perselingkuhan Bang Asrul. Berharap dengan menghubunginya, dia bisa membantu masalahku ini, atau sekedar mendengarkan keluh kesahku.

"Rahma ... bisa datang kerumah kakak?"

Tanyaku setelah sambungan telepon terhubung.

"Ada apa, Kak?" Tanyanya penasaran.

"Datang saja, penting," jawabku singkat. Lalu kumatikan sambungan telepon sebelum Rahma menjawab.

Tak berapa lama, mobil Rahma sudah memasuki halaman rumah. Aku yang sudah mengetahui kedatangan Rahma, menunggu di ruang tamu.

Dan ketika tubuhnya baru melangkah masuk ke rumah, aku langsung menubruknya, menghambur dalam pelukannya sambil menangis.

Dengan wajah penasaran, Rahma menatapku sesaat setelah tangisanku reda.

"Kak Marina ... ada apa ini? Kenapa tiba-tiba menangis?" tanyanya penuh selidik.

"Bang Asrul, dia ... dia selingkuh ...." Jawabku sambil terisak. Setelah mengatakan itu, tangiskupun pecah kembali.

"Aku sudah tau ... makanya aku bilang ke Kakak untuk menjaga Abang kan, waktu itu ...." Rahma berkata pelan, namun tetap saja membuat hatiku teriris.

"Aku tidak menyangka, Bang Asrul tega berbuat curang di belakangku, Rahma." 

"Bang Asrul cerita sama Kakak?" Selidik Rahma, sambil menatapku tajam.

"Iya, bahkan bang Asrul ingin menikahi gadis itu, karena ... dia hamil," jawabku lirih, hampir tidak terdengar.

Rahma menutup mulut dengan kedua tangannya mendengar ucapanku. Aku tahu, dia terkejut dan tidak menyangka Bang Asrul akan melakukan itu padaku.

"Kakak mengijinkannya?" Selidik Rahma.

"Aku tidak mau di madu!" Jawabku cepat.

Sejenak ruang tamu menjadi hening. Baik aku maupun Rahma, larut dalam pikiran masing-masing.

"Kak Marina sebaiknya menenangkan pikiran dulu, meminta petunjuk pada Allah dalam tiap lantunan doa," ucap Rahma memecah keheningan.

"Itu adalah hal terbaik yang bisa Rahma berika ke Kak Marina. Walau sebenarnya, aku merasakan ada suatu hal lain yang tidak bisa jabarkan dengan logika. Kakak tahu kan ... maksudku." Rahma melanjutkan.

Kucerna kalimat Rahma, sambil sesekali menghela nafas berat.

Iya, aku tahu apa yang Rahma maksud. Dia terlalu peka untuk hal-hal yang di luar nalar.

Namun, dia lebih memilih memberiku sebuah nasehat dalam menyelesaikan masalah yang aku hadapi.

"Terima kasih, Rahma. Saat ini, memang doa lah yang bisa menyelamatkan pernikahanku dengan Bang Asrul."

"Kak, bukankah tadi Kakak bilang Bang Asrul ingin menikahi gadis itu karena dia ditinggalkan kekasihnya dalam keadaan hamil. Kakak merasa aneh ga sih ....?"

Seperti tertohok sesuatu yang keras, dadaku terasa nyeri. Dan timbul sebuah rasa penasaran yang teramat sangat.

Kenapa tak terpikirkan olehku tadi, ketika Bang Asrul menceritakannya padaku? Apa karena aku bergitu emosi, sehingga pikiran dan akal menjadi kurang peka?

"Kamu benar Rahma. Kalau memang Bang Asrul bukan orang yang menghamili gadis itu, dia tidak harus bertanggung jawab terhadap sesuatu yang tidak pernah dia lakukan. Bahkan alasan ingin mempunyai anak juga terdengar janggal. Kenapa baru sekarang mempermasalahkan soal anak, ada apa sebenarnya?"

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
istri sampah kayak si marina inilah. punya otak tapi g berfungsi. najis banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status