4; Investigasi
----
Dari hari ke hari, sikap Bang Asrul makin aneh dan dingin kepadaku.
Jika selama ini Bang Asrul tidak terlalu memperhatikan penampilannya, kini dia selalu tampak rapi dan modis serta wangi.
Bahkan betah berlama-lama di depan cermin memadu padankan pakaian yang akan dikenakannya.
Aku sering berpikir, mungkin Bang Asrul tengah mengalami puber ke-dua.
Walau aku tahu pekerjaan Bang Asrul memang harus dituntut berpenampilan rapi.
Namun sebagai seorang chef atau koki, Bang Asrul selalu memakai baju seragam kokinya.
Pernah suatu hari ketika dia hendak keluar rumah, kulihat Abang tampak sangat berbeda. Harum parfum menguar dari tubuhnya.
"Abang rapi sekali hari ini, mau kemana?" tanyaku penuh selidik.
"Aku ada urusan di luar sebentar, kamu di rumah saja. Tidak usah ikut."
Bang Asrul menjawab pertanyaanku dengan sinis. Padahal, akupun tidak berminat untuk ikut keluar.
***
Kutelusuri satu per satu nama teman-teman kerja Bang Asrul.
Hampir semuanya berteman dengan akun media sosialku.
Kuklik salah satu teman Abang, yang juga seorang Koki di salah satu hotel ternama di Medan.
Setelah memilih kalimat yang pas, kutekan tombol pesan untuk mengirim pesan yang baru kutulis.
"Assallammuallaikum Bang Nizar, Marina mau bertanya sesuatu. Tolong di jawab dengan jujur, ya, Bang."
Sekali klik, pesan tersebut telah terkirim.
Tak menunggu lama, sebuah balasan dari Bang Nizar kuterima.
"Waallaikum salam Marina, mau bertanya soal apa? Sepertinya serius sekali?"
"Perihal Bang Asrul. Bang Asrul punya wanita lain, bukan?" tanyaku.
Pesan yang kukirim telah dibaca, namun Bang Nizar tak kunjung membalasnya.
Atau mungkin Bang Nizar tidak ingin menceritakannya kepadaku?
Karena, walau bagaimanapun, mereka sudah lama berteman.
Akhirnya kuputuskan untuk mengirimkan pesan lagi.
"Kalau Bang Nizar keberatan untuk menceritakannya padaku, tidak apa-apa. Marina akan cari tahu ke yang lain."
Setelah mengirim pesan, kumatikan ponselku.
Sementara pikiranku mengingat kembali siapa saja teman Bang Asrul yang bisa aku hubungi.
Walau aku kenal dengan mereka, namun ada rasa kurang nyaman jika tiba-tiba aku bertanya perihal suamiku ke mereka.
Setidaknya, dengan begitu, tidak banyak yang tahu tentang masalah yang sedang terjadi antara aku dan Bang Asrul.
Tiba-tiba, aku teringat seorang teman kerja Bang Asrul. Mereka pernah berkerja bersama untuk waktu yang lumayan lama.
Namun beberapa bulan yang lalu, dia pindah ke Cikarang dan menjadi koki di salah satu hotel di sana.
Tak menunggu lama, segara aku hubungi nomernya. Setelah berdering beberapa kali, akhirnya panggilanku tersambung.
"Assallammuallaikum, Bang Yahya. Maaf sebelumnya karena menggangu waktu Abang." Ucapku membuka percakapan.
"Waallaikum salam Marina, apa kabar? Sudah lama sekali ya, ga ketemu. Kamu dan Asrul apa kabar?" ucap Bang Yahya ketika panggilan telepon terhubung.
"Semua baik-baik saja Bang. Marina sebenarnya menelepon Abang karena hendak bertanya sesuatu."
"Bertanya sesuatu, apa itu, Marina?" Selidik bang Yahya.
"Bang Yahya kan sudah lama berteman dengan Bang Asrul. Pasti sedikit banyak tahu sesuatu tentang Bang Asrul."
Dari ujung telepon, terdengar Bang Yahya menarik napas mendengar pertanyaanku.
"Sebenarnya aku tak enak hati jika harus mengatakan ini padamu, Marina. Karena aku sudah beberapa bulan tidak bertemu dengannya." Bang Yahya menjawab setelah beberapa saat terdiam.
"Maksud Marina, Bang Yahya ceritakan saja apa yang Abang ketahui dulu," ucapku sedikit memaksa.
Walau ada rasa tidak yakin, Bang Yahya akan mengatakan apa yang dia ketahui tentang Bang Asrul.
"Jadi ... apa yang ingi Marina ketahui?" Tanya bang Yahya.
Segera kukirim foto gadis yang bersama Bang Asrul, karena aku tidak tahu siapa namanya. Tak berapa lama, Bang Yahya menyambung pembicaraan yang sempat terhenti tadi.
"Gadis yang bersama Asrul itu karyawan baru ditempat kami dulu. Sebenarnya dia sudah punya pacar, karena aku sering melihat dia diantar jemput oleh pacarnya. Namun aku lihat dia malah lebih akrab dengan Asrul." Jelas bang Yahya.
"Jadi, Bang Yahya tidak tau mereka mempunyai hubungan spesial?" cecarku.
"Sebagai seorang laki-laki, instingku mengatakan mereka lebih dari teman. Tapi semoga saja aku salah. Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan hal ini, kalian ada masalah?"
"Entahlah Bang. Tapi akhir-akhir ini sikap Bang Asrul berubah. Tiap aku tanya tentang gadis itu, dia selalu menjawab hanya teman kerja."
"Marina yang sabar ya, mungkin saat ini Asrul sedang khilaf," ujar bang Yahya.
Degh....
Aku begitu terkejut mendengar bang Yahya mengatakan kalau saat ini Bang Asrul sedang khilaf. Sehingga membuatku bertanya tentang apa maksud dari kalimatnya tersebut.
"Maksud Bang Yahya khilaf kenapa?" tanyaku penasaran.
"Maksud Bang Yahya mungkin Asrul sedang jenuh, kenapa kalian tidak liburan bersama saja."
Bang Asrul meralat kalimatnya.
Namun hal tersebut justru membuatku semakin yakin ada sesuatu yang sedang di tutupi.
Karena tidak mendapatkan informasi seperti yang kuinginkan, aku mengakhiri panggilan teleponku.
Dan berpesan pada Bang Yahya untuk memberi tahukan padaku jika dia mengetahui sesuatu.
***
Dua orang teman Bang Asrul sudah aku hubungi, namun tidak ada informasi yang bisa kujadikan pegangan.
Akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke tempat kerja Bang Asrul, sekalian mengajaknya makan siang.
Setelah motor maticku melaju membelah terik siang, akhirnya aku sampai di tempat parkir hotel di mana Bang Asrul bekerja.
Aku bermaksud menelepon Bang Asrul untuk memberitahukannya, tiba-tiba seseorang menyapaku.
"Marina, apa kabar? Lama tidak datang kesini?" Dengan ramah, pemilik suara itu menyapaku.
Setelah mengingat-ingat siapa sosok yang berdiri di hadapanku, aku membalas sapaannya.
"Mustofa ... ini beneran kamu?" tanyaku, karena sosok yang berdiri di hadapanku sedikit berubah dengan yang kukenal beberapa tahun yang lalu.
"Iya ... ini aku, Mustofa teman kamu dulu," jawabnya sambil tertawa lebar.
"Eh ... ngomong-ngomong, gimana Risa? Kandungannya baik-baik saja, kan?"
"Ra--Raisa siapa?" tanyaku gugup.
"Adik madu kamu lah, siapa lagi. Tempo hari kan Asrul mengantarkan nya ke klinik. Kebetulan aku bertemu dia disana pas ngantar istriku kontrol."
Degh...
Mendengar kalimat yang keluar dari mulut Mustofa, hatiku begitu nelangsa.
Tidak, ini bukan rasa nelangsa, namun sakit.
Entah seperti apa raut wajahku saat itu.
Sekuat mungkin, aku mencoba untuk bersikap biasa saja dan mengiyakan perkataan Mustofa.
Bukankah ini adalah informasi yang aku cari selama ini?
Dengan menahan bara dan gejolak dalam dada, kulanjutkan percakapkanku dengan Mustofa.
"Kapan kamu bertemu Bang Asrul di klinik?" Tanyaku dengan menahan perasaan yang bergejolak.
"Hari kamis kemarin. Eh Marina, selamat ya, sebentar lagi kamu juga bakal dipanggil Ibu."
Aku hanya tersenyum mendengar apa yang baru saja dikatakan Mustofa. Walau hati terasa sakit dan begitu getir.
Jadi, inikah teka-teki dari perubahan dari sikap Bang Asrul selama ini padaku? Kuurungkan niat untuk bertemu dengan Bang Asrul.
Aku belum siap untuk bertemu dengannya saat ini, apalagi dengan beberapa fakta yang baru saja aku dapat.
Kutinggalkan Mustofa yang masih berdiri mematung.
Motorku melaju cepat, aku hanya ingin cepat-cepat sampai dirumah.
Sepanjang perjalanan, airmata tak henti mengalir dari kedua mataku.
Kamu benar-benar menguji kesabaranku, Mas!!
****
Aku Ingin Berjalan Beriringan Denganmu----“Marina, dengan disaksikan ibuku, aku memintamu untuk menjadi istriku. Menikahlah denganku ….” Setelah mengatakan kalimat tersebut, Alvaro mengeluarkan cincin dari kotak kecil yang dipegangnya. Perlahan, dia mengulurkan tangannya dan meraih tanganku.Untuk sesaat, dunia seperti berhenti berputar. Aku seolah dibawa kembali ke masalalu, di mana seorang pria melakukan persis seperti yang dilakukan Alvaro saat ini. Lelaki itu meraih tanganku dan menyematkan cincin di jari manisku. Aku tersenyum lebar begitu cincin itu sudah tersemat di jari manisku. Lalu, perlahan sosok pria itu mendekat dan mencium lembut punggung tanganku. Namun, aku tidak merasakan apa-apa ketika bibirnya meyentuh tanganku, karena sosok pria itu perlahan menghilang dari pandangan mata.“Marina,” panggil Alvaro. Panggilan itu sontak membuatku tersentak dan serta-merta menarik tanganku dari genggaman tangannya.“Al, aku tidak bisa, maafkan aku,” kataku lirih.Kulihat wajah Alva
Wanita Dalam Hidupnya----“Siapa?” Tanyaku penuh penasaran.Meski sempat terbersit tentang gambaran seseorang yang pernah dia ceritakan waktu itu, namun aku ragu apakah orang yang dimaksud adalah beliau.“Kamu akan mengetahuinya dalam waktu dekat,” jawabnya sambil tersenyum.Aku masih memandangnya penuh tanya, mencoba memintanya untuk memberitahuku siapa orang yang dia maksud dengan menggunakan bahasa isyarat. Namun bukannya memberi jawaban yang kuinginkan, dia memilih mengambil bunga yang kuletakkan di atas pangkuan lalu memindahkannya ke atas meja, lalu dengan pelan tangan kekarnya mendorong kursi rodaku menuju jendela.“Aku sudah menceritakan semua tentangmu padanya,” ucapnya sambil memandang ke luar jendela. Aku menoleh, kulihat kedua sudut bibirnya melengkung dan senyum itu jelas terlihat olehku ketika dia menoleh ke arahku.“Jangan takut, aku yakin kamu akan menyukainya,” ucapnya lagi.Lalu kalimat demi kalimat meluncur dari bibirnya, dan entah sejak kapan, aku begitu menikmati
Happy Ending----“Syukurlah, kamu sudah sadar Marina,” ucap seseorang di sampingku.Aku berusaha menoleh untuk memastikan siapa orang yang ada di sampingku, namun ketika aku menggerakkan kepala untuk menoleh, terasa sakit dan ngilu hingga membuatku mengaduh dan merintih kesakitan.“Aduh ….” Ucapku sambil memegang leherku yang terasa sakit. Dan di saat itu pula aku melihat jarum infus yang menancap di lenganku, juga sebuah perban di leher ketika aku merabanya.Aku memejamkan mata sejenak, mencoba mengingat kejadian terakhir yang kualami sebelum akhirnya aku kehilangan kesadaran.“Kamu tidak apa-apa, Nak? Ibu tahu ini pasti sangat menyakitkan sekali bagimu.”Aku kembali membuka mata perlahan, kulihat ibu yang duduk di sampingku meneteskan air mata. Rupanya, suara-suara yang kudengar adalah suara ibuku, dan suara itu juga yang selalu membuatku kembali ke alam sadar setiap kali aku pingsan dan juga ketika koma. Wanita yang melahirkanku itu selalu berada di sampingku, yang tidak putus mel
Amanda Menggila----“A---apa yang akan kamu lakukan, Amanda?” tanyaku gugup saat kulihat Amanda berjalan mendekati, di tangannya menggenggam sesuatu yang berkilau.Amanda tidak menghiraukan ucapanku, dia makin mendekat dan akhirnya berhenti tepat di depanku. Perlahan, dia membungkukkan tubuhnya ke arahku, bukan itu saja, dia lalu berjongkok tepat di depanku sambil menatapku tajam.Amanda menyeringai, memperlihatkan giginya yang rapi, andai saat ini dia tidak membawa benda itu, mungkin senyum itu terlihat sangat cantik, namun kini, senyumnya terlihat sangat menakutkan. Aku seperti sedang berada dalam suatu adegan menegangkan di mana sang tokoh antagonis sedang berusaha melukai tokoh protagonis. Meskipun sebenarnya, apa yang saat ini terjadi bukan lagi sebuah adegan dalam film atau nonel, namun terjadi langsung padaku.“Kamu tahu, Marina, aku itu sangat sangat membencimu. Jangankan melihatmu, mendengar namamu disebut saja, membuatku sangat muak dan benci,” ucapnya.“Aku tidak tahu apa
Suami Irna Tertangkap----“Aku baru saja mendapat kabar dari Alvaro, kalau saat ini suamimu sudah tertangkap. Dia dan seorang pria ditangkap di salah satu rumah kos yang tidak jauh dari tempat tinggal Amanda.”Irna terdiam, dia terlihat seperti kehilangan kata-kata. Karena kulihat dia beberapa kali seperti ingin mengatakan sesuatu namun urung. Mungkinkah kabar tertangkapnya suaminya itu membuatnya sedih? Bisa jadi begitu, bagaimanapun juga, mereka adalah suami istri yang sudah menghabiskan waktu belasan tahun hidup bersama. Meskipun Irna saat ini begitu murka terhadap suaminya atas semua yang telah dilakukan, namun tetap saja tidak merubah kenyataan kalau keduanya pernah saling menyintai.“Irna, kamu baik-baik saja?” tanyaku setelah beberapa saat.“i---iya, aku baik-baik saja,” jawabnya gugup sambil merubah posisi duduknya.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya pemuda yang tadi datang bersamanya pelan. Dia terlihat khawatir melihat perubahan Irna.“Aku tidak apa-apa,” jawab Irna pelan.
Bertemu Irna-----Percakapanku dengan Alvaro berlalu begitu saja, tanpa adanya kejelasan tentang apa maksud dari ucapannya saat itu. Meskipun sudah satu minggu berlalu, namun aku masih mengingat dengan jelas kata demi kata yang dia ucapkan saat itu.Dia mengatakan kalau dirinya akan menjadi pengganti kakiku seandainya aku benar-benar kehilangan kemampuan untuk berjalan, dia juga mengatakan akan menggendongku ke manapun aku ingin pergi. Sungguh sebuah kalimat yang romantic dan puitis dan akan membuat hati setiap wanita meleleha saat mendengarnya. Dan seandainya aku mendengar kalimat itu sepuluh atau lima belas tahun lalu, hatiku pun akan meleleh dan luluh. Namun sayang, dia mengucapakan kalimat itu di saat yang tidak tepat, di saat aku tidak ingin mendengar apapun selain kabar baik tentang kesehatanku, juga kasus tabrak lari yang kualami. Aku ingin sekali melihat mereka, para pelaku dan juga dalang di balik semuanya, tertangkap dan meringkuk di balik jeruji besi.Drtt … drtt ….Lamuna