Vania Kartikasari, wanita yang baru setahun lalu aku persunting sebagai istri. Pertemuan pertama kami tidaklah disengaja. Saat itu, aku sedang mengantri di sebuah mini market untuk membayar barang belanjaan. Antrian yang cukup panjang, membuat orang-orang tak sabaran saat gadis yang berdiri tepat di depan meja kasir sedari tadi mengecek tasnya.
"Buruan, Dek! Pegel nih, berdiri!" sahut seorang ibu bertubuh tambun di belakangku. Tangannya menenteng sekeranjang penuh berbagai macam barang. Wajahnya terlihat kesal.
Gadis itu bertambah panik. Kutebak ia lupa membawa uang atau dompetnya ketinggalan. Kulirik sekilas meja kasir, sebotol jus dan sebungkus snack saja yang dibelinya.
"Duh, lama sekali sih!" Sekarang seorang bapak yang berdiri tepat di belakangnya protes.
Aku yang sedari tadi memperhatikan, mulai merasa kasihan. Wajah gadis itu memerah, seperti akan menangis. Tanpa pikir panjang, segera kudekati kasir yang sedari tadi sabar menunggu.
"Berapa semua belanjaannya, Kak?" tanyaku cepat kepada kasir itu.
"Dua puluh delapan ribu, Bang." Segera kuserahkan selembar uang lima puluh ribu. Gadis itu diam menatapku dengan mulutnya yang sedikit menganga, seakan tak percaya.
"Ini, sudah dibayar." Kuserahkan kantung berwarna putih kepadanya. Sedikit ragu ia mengambil kantung itu dari tanganku.
"Ah, te—terima kasih, Bang!" ujarnya tergagap. Aku mengangguk, lalu kembali ke antrian. Orang-orang menatap kami dengan pandangan yang sulit kuartikan.
*
Saat keluar, kulihat gadis tadi sedang duduk meminum jus di bangku luar mini market. Saat melihatku, buru-buru ia bangkit lalu menghampiri.
"Bang, tunggu!" panggilnya saat aku baru hendak mengenakan helm.
"Ada apa?" tanyaku sedikit penasaran. Tiba-tiba tangannya terulur.
"Eh ... perkenalkan, namaku Vania! Nama Abang siapa?" Wajahnya sedikit memerah, entah karena cuaca yang panas atau karena tersipu.
Kusambut uluran tangan kecil itu. Terasa sangat halus dan lembut.
"Nama Abang, Dani," jawabku sambil tersenyum.
"Terima kasih ya Bang, sudah membayar untukku di dalam tadi. Sepertinya dompetku ketinggalan!" katanya sambil menarik tangannya dari genggamanku.
"Sama-sama, tak usah sungkan. Oh ya, mau pulang ke mana? Atau sudah ada yang ditunggu?" selidikku, sesekali menatap wajahnya yang imut dan putih mulus. Rambut hitam panjangnya tergerai, sesekali ditiup angin lalu.
Vania terlihat sedikit bingung.
"Aku pulangnya ke arah Tanah Patah, Bang. Rencananya mau pesan ojek online saja!" Sesekali ia mengecek ponsel dalam genggaman.
"Kebetulan Abang ke arah Lingkar Barat, ayo kalau mau bareng!" ajakku tanpa pikir panjang. Ia tampak bimbang.
"Apa gak merepotkan, Bang?" tanyanya.
"Sudah, gak usah banyak berpikir. Ayo naik!" Kuserahkan helm cadangan padanya.
*
Sepanjang perjalanan, kami hanya diam tanpa kata. Entah karena merasa canggung atau bagaimana. Tak ada di antara kami yang memulai percakapan. Sampai akhirnya, di jalan yang sedikit berlubang aku tiba-tiba mengerem. Lengan Vania yang tadi entah ia posisikan di mana, sekarang melingkar erat di pinggangku. Namun, tak lama kemudian segera dilepaskan lagi.
Jantungku berdegup kencang seakan mau keluar dari tempatnya. Rasanya grogi sekali. Seumur hidup, baru kali ini aku dipeluk oleh seorang gadis meskipun tak sengaja.
Tak lama kemudian, motorku berhenti di depan sebuah rumah kecil berwarna biru muda. Di sanalah Vania tinggal.
"Abang, tidak mampir dulu?" tawarnya sedikit malu-malu.
"Ehm, mungkin lain kali saja, ya! Soalnya Abang sudah janji main futsal dengan teman-teman sore ini," jawabku jujur.
Vania mengangguk mengerti.
"Ya sudah, kalau gitu! Vania boleh minta nomor ponsel Abang?" Matanya berbinar-binar penuh harap. Kujawab dengan anggukan. Dia tersenyum, cantik sekali.
Bukan main senangnya perasaanku!
*
Seiring waktu, hubungan kami semakin dekat. Kuakui sangat menyukai, bahkan jatuh cinta pada sosok Vania. Tampaknya, gayungku bersambut. Vania sangat manja dan menempel padaku. Gadis berusia dua puluh tahun itu terkadang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya. Perbedaan umur kami yang sedikit jauh, tidak menyurutkan perasaan masing-masing sedikit pun.
Menunjukkan keseriusan, kubawa ia berkunjung ke rumah kak Fitri, kakak kandungku. Kak Fitri menyambut kami dengan sangat baik. Namun, entah mengapa Vania tampaknya kurang menyukai keponakanku yang masih berusia empat tahun. Berkali-kali Adelia mencoba mendekat, tapi Vania tak menggubrisnya. Padahal, keponakanku itu adalah anak yang sangat manis dan menggemaskan.
Hal itu tentunya menjadi penilaian negatif dari kak Fitri. Mengapa seorang perempuan dewasa seperti Vania, bahkan tak ingin berinteraksi dengan anak kecil sedikit pun? Namun, aku tepis segala prasangka buruk tentangnya. Biarlah, mungkin umurnya yang terbilang masih muda membuat Vania tidak terbiasa dengan anak-anak.
Saat menemui kedua orangtua Vania, papanya adalah orang yang sangat baik dan terbuka. Sedangkan mamanya, menatapku sinis dari ujung kepala sampai ujung kaki. Syarat yang sedikit berat diberikan oleh Mama jika aku ingin menikahi Vania. Salah satunya adalah, harus memberinya uang bulanan. Kak Fitri sempat menentang rencana pernikahan kami yang sedikit tergesa-gesa. Menyuruhku untuk berpikir matang-matang sebelum melanjutkan. Apa lagi mendengar tentang sikap Mama, kak Fitri benar-benar khawatir. Tapi entahlah, sepertinya aku telah dibutakan oleh cinta.
Biaya fantastis bahkan tak segan aku kucurkan untuk melaksanakan pesta pernikahan yang mewah. Tabunganku selama bertahun-tahun, lenyap dalam waktu singkat. Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli rumah atau mobil, kami habiskan dalam sehari saja. Tak masalah, asalkan aku dan Vania bisa bersama.
Awal-awal pernikahan, adalah masa paling manis dan menyenangkan. Aku merasa bagaikan hidup di surga. Vania menjelma menjadi seorang bidadari siang dan malam. Kupercayakan ia untuk mengurus rumah, sedangkan aku bekerja. Hanya tamatan SMA, ia tak memiliki keahlian khusus. Aku tak pernah mempermasalahkan itu, cukuplah aku yang bekerja banting tulang untuk kami berdua.
Sifat boros Vania dan Mama menjadikan kami hidup tanpa tabungan. Uang selalu habis bahkan sebelum akhir bulan tiba. Tutur katanya yang manis dan manja selalu membuatku luluh. Bagiku, asalkan istri bahagia, semuanya akan kuberikan. Saat ia mengeluh soal pekerjaan rumah tangga, aku pun selalu sigap untuk membantu. Ah Vania, betapa aku mencintaimu!
*
Setelah kabar PHK aku sampaikan, Vania sedikit terguncang. Aku tahu, ia pasti belum siap jika harus hidup dengan mengencangkan ikat pinggang. Aku mulai mencari pekerjaan pengganti ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Sementara Vania, berubah menjadi istri pendiam yang malas berbicara denganku. Bahkan, hak sebagai suami yang dulu selalu kudapatkan, kini malas-malasan ia berikan.
Vaniaku, berubah menjadi orang asing. Perlahan-lahan menjauh, tak bisa lagi kuraih dalam dekapan. Makanan hangat dan lezat, entah kapan terakhir kalinya terhidang di meja makan kami. Meski aku tak pernah lupa memberinya sedikit uang sebelum bekerja, Vania tetap berubah. Apakah benar uang telah mengubah segalanya? Kupikir cinta itu tulus, tak memandang keadaan.
Di sisi lain, Mama selalu merongrong tanpa berusaha mengerti keadaan. Sekuat tenaga, aku berusaha memenuhi tuntutannya setiap bulan. Uang pesangon yang seharusnya bisa menjadi cadangan darurat untukku dan Vania, harus kurelakan untuk memenuhi gengsi Mama.
Tapi, kali ini aku tak bisa lagi memaksakan. Seumur pernikahanku dengan Vania, baru kali ini aku menolak permintaan Mama. Sifat asli istri dan mertuaku sedikit demi sedikit terkuak. Aku yang dulu, benar-benar telah dibutakan oleh tipu muslihatnya.
"Suami tak berguna!" Kalimat itu meluncur dari mulut orang yang paling aku sayangi. Vania, kenapa kau tega? Pikiranku seketika berkabut. Tak sadar, tanganku sudah menyentuh wajahnya dengan keras.
***
Kunikmati makan siang kali ini dengan sensasi yang berbeda. Bukan karena menunya yang sangat nikmat, tapi karena kejadian tadi pagi yang selalu terbayang di pelupuk mata.Aku duduk berdampingan dengan Pak Wira yang hampir menghabiskan bekalnya. Sementara aku, menghayati dan menikmati setiap kunyahan dengan sepenuh hati.“Kenapa Mas Dani, makanannya kurang enak? Kok ngunyahnya pelan-pelan gitu?” selidik Pak Wira sambil memandangiku.Aku tersenyum malu. “Eng-enggak kok, Pak. Justru sebaliknya. Ini makanan yang paling nikmat yang pernah saya makan!” jawabku sambil menyendokkan nasi dan potongan ayam bakar.“Halah, masa sih, Mas? Bukannya udah sering makan masakan istri saya?” kata Pak Wira sambil tertawa lebar.Ah, andai Pak Wira tau apa yang aku rasakan. “Iya sih, Pak. Tapi, kali ini ada yang berbeda saja.” Aku melanjutkan makanku.Pak Wira geleng-geleng sambil tersenyum menampakkan deret gigi putihnya yang masih lengkap.“Ngomong-ngomong, makasih ya Mas, sudah mau mampir ke rumah ngamb
“Kak, tolong!” pintaku sambil menyerahkan ponsel ke tangannya.Kak Fitri sedikit gelagapan dengan tindakanku. Dahinya mengkerut seraya membaca nama yang tertera. Sejurus kemudian, ia paham dengan situasi. Tak lama, panggilan ia angkat. Tak lupa ia aktifkan pula pengeras suaranya, agar aku bisa mendengar percakapan.“Halo, Assalamu’alaikum!” ucap Kak Fitri datar. Untuk beberapa saat, tak ada jawaban. Hening.“Halo?” ucap Kak Fitri lagi.“Halo, mana si Dani sialan itu, hah? Dia apakan Vania tadi sore? Kenapa anak saya menangis setelah ketemu dia? Dasar mantan menantu tak tahu diri!” maki Mama tanpa ampun. Ya ampun, untung bukan aku yang menjawab teleponnya tadi.“Lah. Kok, Ibu nyalahin adik saya terus? Salahin anak perempuan Ibu sendiri, dong! Sudah bercerai, kok, masih maksa-maksa minta ketemu! Gak punya malu namanya!” balas Kak Fitri sengit. Aku memperhatikan bibirnya yang maju lima senti. Ternyata kakakku galak juga, bisikku dalam hati.“Halah, alasan saja! Paling si Dani tuh yang ma
“Ah, ma-maaf, Bang! Vania gak sadar kalau air mata sudah meleleh.” Ia menghapus air matanya dengan hati-hati menggunakan tisu yang tersedia di meja.“Kalau sudah tak ada yang dibicarakan lagi, aku pamit pulang.”‘Sebentar Bang, sebentar!” cegahnya.“Apa lagi?” tanyaku sedikit gusar. Sekarang sudah hampir jam enam. Seharusnya aku sudah sampai di rumah sejak tadi. Rasa lelah dan lapar semakin mendera, membuatku mudah terpancing emosi.Vania tampak sedikit ragu-ragu untuk berkata. Wajahnya terlihat sangat gelisah. Apa sih, maunya dia? Aku mulai tak sabaran.“Bang … ayo kita menikah lagi, Bang!” Kalimat itu berhasil lolos dari bibirnya. Aku seakan tak percaya dengan yang baru saja kudengar.“Vania … apa kamu tidak tahu, kalau kita sudah tidak bisa menikah lagi? Kecuali kalau kamu menikah dahulu dengan orang lain, lalu kemudian bercerai?” tanyaku dengan nada tajam.“A-apa iya, Bang? Vania … benar-benar gak tahu!” cicitnya.“Sekarang kamu sudah tahu. Jadi, tak usah bicara aneh-aneh lagi! Ki
Tak terasa, sudah berbulan-bulan aku resmi bercerai dari Vania. Sidang berjalan mulus, meskipun mantanku itu harus hadir dengan kondisi yang masih kurang fit. Kuanggap tak ada lagi kemelut di antara kami berdua.Setelah terakhir kali bersalaman dengannya, Papa, Mama, dan Bang Roby, hatiku benar-benar merasakan kelegaan. Status duda pun sudah resmi kudapatkan.Hari-hari kujalani dengan perasaan optimis. Pekerjaan yang sekarang, benar-benar aku tekuni. Rencananya, aku akan kembali tinggal di rumah warisan yang dulu aku tempati bersama Vania. Tak enak rasanya, sudah terlalu lama merepotkan Bang Tamrin dan Kak Fitri.Niat itu, akan kusampaikan pada mereka malam ini. Kudekati kedua orang yang sedang fokus menonton TV. Mereka berdua duduk berdempetan, seperti sedang berpacaran.“Ehem!” Aku berdehem. Mereka berdua menoleh.“Apa, Dan? Kakak pikir kamu sudah tidur.” Kak Fitri menaikkan alisnya.“Bang, Kak, sepertinya … Dani harus kembali tinggal di rumah lama,” ujarku. Kedua kakakku itu terdia
“Si Roby semalem WA, nyuruh Dani tanggungjawab bayarin biaya rumah sakit Vania. Ditambah ganti rugi, katanya,” aduku kepada Bang Tamrin dan Kak Fitri saat kami sedang menyantap sarapan. Wajah mereka tampak terkejut.“Hah? Gak salah, tuh? Enak banget, minta-minta,” timpal Kak Fitri.“Iya, bener, Kak. Dia bilang begitu. Dani lawan aja. Paling nanti kalau ada rejeki, Dani sisihkan sedikit untuk membantu Papa,” terangku.“Kamu gak ngasih, juga gak apa-apa. Toh, Vania sudah bukan tanggungjawabmu.” Bang Tamrin ikut bersuara.“Iya, Bang. Kalau pun Dani memberi, anggap saja sedekah.”“Nah, itu Kakak setuju. Tak apa kamu membantu, tapi tak ada paksaan juga. Emang dasar sih, keluarga mantanmu itu kok matre!” umpat Kak Fitri. Aku terkekeh.“Tapi ngeri juga ya, si Vania berani nekat gitu,” sambung Bang Tamrin sambil mengelap mulutnya dengan tisu.“Dani juga kaget, Bang. Gak nyangka kalau dia sampai begitu.” Bayangan Vania yang berlari kencang ke arah jalan raya, kembali melintas. Aku memejamkan m
“Bukan main si Dani, Dek!” kelakar Bang Tamrin saat kami sampai di rumah. Senyumnya terus-terusan mengembang sejak tadi.“Kenapa dia, Bang?” tanya Kak Fitri sambil membuka bungkusan sate.“Ituuuuu, sejak dari rumah sakit tadi sering senyum-senyum sendiri! Kayak orang gila!” Wajah jenaka Bang Tamrin serasa ingin kutabok.“Apaan sih, Bang!” protesku sambil pura-pura sibuk menatap layar ponsel.“Lah, kepalanya habis terbentur paling?” sahut Kak Fitri asal.“Iya kayaknya, terbentur sama si Kacamata!” ledek Bang Dani. Dia kemudian tertawa puas sambil meninggalkan ruangan menuju kamar mandi. Awas saja dia. Aku sampai salah tingkah dibuatnya.“Maksud abangmu apa sih, Dan? Kakak gak ngerti!” Kak Fitri dan Adel tanpa basa basi menyantap sate yang tadi kubawa.“Mana Dani tahu. Suami kakak tuh, konslet!” Aku menggendikkan bahu.“Heh, kamu tuh! Ini satenya kok cuma tiga? Kan, kita berempat?” Duh, kakakku ini benar-benar banyak tanya.“Kan, Dani gak makan, Kak,” jawabku.“Lah, kok, malah dibeli?”