Share

3. Vania Kartikasari

last update Last Updated: 2022-08-01 20:15:10

Vania Kartikasari, wanita yang baru setahun lalu aku persunting sebagai istri. Pertemuan pertama kami tidaklah disengaja. Saat itu, aku sedang mengantri di sebuah mini market untuk membayar barang belanjaan. Antrian yang cukup panjang, membuat orang-orang tak sabaran saat gadis yang berdiri tepat di depan meja kasir sedari tadi mengecek tasnya.

"Buruan, Dek! Pegel nih, berdiri!" sahut seorang ibu bertubuh tambun di belakangku. Tangannya menenteng sekeranjang penuh berbagai macam barang. Wajahnya terlihat kesal.

Gadis itu bertambah panik. Kutebak ia lupa membawa uang atau dompetnya ketinggalan. Kulirik sekilas meja kasir, sebotol jus dan sebungkus snack saja yang dibelinya.

"Duh, lama sekali sih!" Sekarang seorang bapak yang berdiri tepat di belakangnya protes.

Aku yang sedari tadi memperhatikan, mulai merasa kasihan. Wajah gadis itu memerah, seperti akan menangis. Tanpa pikir panjang, segera kudekati kasir yang sedari tadi sabar menunggu.

"Berapa semua belanjaannya, Kak?" tanyaku cepat kepada kasir itu.

"Dua puluh delapan ribu, Bang." Segera kuserahkan selembar uang lima puluh ribu. Gadis itu diam menatapku dengan mulutnya yang sedikit menganga, seakan tak percaya.

"Ini, sudah dibayar." Kuserahkan kantung berwarna putih kepadanya. Sedikit ragu ia mengambil kantung itu dari tanganku.

"Ah, te—terima kasih, Bang!" ujarnya tergagap. Aku mengangguk, lalu kembali ke antrian. Orang-orang menatap kami dengan pandangan yang sulit kuartikan.

*

Saat keluar, kulihat gadis tadi sedang duduk meminum jus di bangku luar mini market. Saat melihatku, buru-buru ia bangkit lalu menghampiri.

"Bang, tunggu!" panggilnya saat aku baru hendak mengenakan helm.

"Ada apa?" tanyaku sedikit penasaran. Tiba-tiba tangannya terulur.

"Eh ... perkenalkan, namaku Vania! Nama Abang siapa?" Wajahnya sedikit memerah, entah karena cuaca yang panas atau karena tersipu.

Kusambut uluran tangan kecil itu. Terasa sangat halus dan lembut.

"Nama Abang, Dani," jawabku sambil tersenyum.

"Terima kasih ya Bang, sudah membayar untukku di dalam tadi. Sepertinya dompetku ketinggalan!" katanya sambil menarik tangannya dari genggamanku.

"Sama-sama, tak usah sungkan.  Oh ya, mau pulang ke mana? Atau sudah ada yang ditunggu?" selidikku, sesekali menatap wajahnya yang imut dan putih mulus. Rambut hitam panjangnya tergerai, sesekali ditiup angin lalu.

Vania terlihat sedikit bingung.

"Aku pulangnya ke arah Tanah Patah, Bang. Rencananya mau pesan ojek online saja!" Sesekali ia mengecek ponsel dalam genggaman.

"Kebetulan Abang ke arah Lingkar Barat, ayo kalau mau bareng!" ajakku tanpa pikir panjang. Ia tampak bimbang.

"Apa gak merepotkan, Bang?" tanyanya.

"Sudah, gak usah banyak berpikir. Ayo naik!" Kuserahkan helm cadangan padanya.

*

Sepanjang perjalanan, kami hanya diam tanpa kata. Entah karena merasa canggung atau bagaimana. Tak ada di antara kami yang memulai percakapan. Sampai akhirnya, di jalan yang sedikit berlubang aku tiba-tiba mengerem. Lengan Vania yang tadi entah ia posisikan di mana, sekarang melingkar erat di pinggangku. Namun, tak lama kemudian segera dilepaskan lagi.

Jantungku berdegup kencang seakan mau keluar dari tempatnya. Rasanya grogi sekali. Seumur hidup, baru kali ini aku dipeluk oleh seorang gadis meskipun tak sengaja.

Tak lama kemudian, motorku berhenti di depan sebuah rumah kecil berwarna biru muda. Di sanalah Vania tinggal.

"Abang, tidak mampir dulu?" tawarnya sedikit malu-malu.

"Ehm, mungkin lain kali saja, ya! Soalnya Abang sudah janji main futsal dengan teman-teman sore ini," jawabku jujur.

Vania mengangguk mengerti.

"Ya sudah, kalau gitu! Vania boleh minta nomor ponsel Abang?" Matanya berbinar-binar penuh harap. Kujawab dengan anggukan. Dia tersenyum, cantik sekali.

Bukan main senangnya perasaanku!

*

Seiring waktu, hubungan kami semakin dekat. Kuakui sangat menyukai, bahkan jatuh cinta pada sosok Vania. Tampaknya, gayungku bersambut. Vania sangat manja dan menempel padaku. Gadis berusia dua puluh tahun itu terkadang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya. Perbedaan umur kami yang sedikit jauh, tidak menyurutkan perasaan masing-masing sedikit pun.

Menunjukkan keseriusan, kubawa ia berkunjung ke rumah kak Fitri, kakak kandungku. Kak Fitri menyambut kami dengan sangat baik. Namun, entah mengapa Vania tampaknya kurang menyukai keponakanku yang masih berusia empat tahun. Berkali-kali Adelia mencoba mendekat, tapi Vania tak menggubrisnya. Padahal, keponakanku itu adalah anak yang sangat manis dan menggemaskan.

 Hal itu tentunya menjadi penilaian negatif dari kak Fitri. Mengapa seorang perempuan dewasa seperti Vania, bahkan tak ingin berinteraksi dengan anak kecil sedikit pun? Namun, aku tepis segala prasangka buruk tentangnya. Biarlah, mungkin umurnya yang terbilang masih muda membuat Vania tidak terbiasa dengan anak-anak.

Saat menemui kedua orangtua Vania, papanya adalah orang yang sangat baik dan terbuka. Sedangkan mamanya, menatapku sinis dari ujung kepala sampai ujung kaki. Syarat yang sedikit berat diberikan oleh Mama jika aku ingin menikahi Vania. Salah satunya adalah, harus memberinya uang bulanan. Kak Fitri sempat menentang rencana pernikahan kami yang sedikit tergesa-gesa. Menyuruhku untuk berpikir matang-matang sebelum melanjutkan. Apa lagi mendengar tentang sikap Mama, kak Fitri benar-benar khawatir. Tapi entahlah, sepertinya aku telah dibutakan oleh cinta.

Biaya fantastis bahkan tak segan aku kucurkan untuk melaksanakan pesta pernikahan yang mewah. Tabunganku selama bertahun-tahun, lenyap dalam waktu singkat. Uang yang seharusnya dapat digunakan untuk membeli rumah atau mobil, kami habiskan dalam sehari saja. Tak masalah, asalkan aku dan Vania bisa bersama.

Awal-awal pernikahan, adalah masa paling manis dan menyenangkan. Aku merasa bagaikan hidup di surga. Vania menjelma  menjadi seorang bidadari siang dan malam. Kupercayakan ia untuk mengurus rumah, sedangkan aku bekerja. Hanya tamatan SMA, ia tak memiliki keahlian khusus. Aku tak pernah mempermasalahkan itu, cukuplah aku yang bekerja banting tulang untuk kami berdua.

Sifat boros Vania dan Mama menjadikan kami hidup tanpa tabungan. Uang selalu habis bahkan sebelum akhir bulan tiba. Tutur katanya yang manis dan manja selalu membuatku luluh. Bagiku, asalkan istri bahagia, semuanya akan kuberikan. Saat ia mengeluh soal pekerjaan rumah tangga, aku pun selalu sigap untuk membantu. Ah Vania, betapa aku mencintaimu!

*

Setelah kabar PHK aku sampaikan, Vania sedikit terguncang. Aku tahu, ia pasti belum  siap jika harus hidup  dengan mengencangkan ikat pinggang. Aku mulai mencari pekerjaan pengganti ke mana-mana, tapi hasilnya nihil. Sementara Vania, berubah menjadi istri pendiam yang malas berbicara denganku. Bahkan, hak sebagai suami yang dulu selalu kudapatkan, kini malas-malasan ia berikan.

Vaniaku, berubah menjadi orang asing. Perlahan-lahan menjauh, tak bisa lagi kuraih dalam dekapan. Makanan hangat dan lezat, entah kapan terakhir kalinya terhidang di meja makan kami. Meski aku tak pernah lupa memberinya sedikit uang sebelum bekerja, Vania tetap berubah. Apakah benar uang telah mengubah segalanya? Kupikir cinta itu tulus, tak memandang keadaan.

Di sisi lain, Mama selalu merongrong tanpa berusaha mengerti keadaan. Sekuat tenaga, aku berusaha memenuhi tuntutannya setiap bulan. Uang pesangon yang seharusnya bisa menjadi cadangan darurat untukku dan Vania, harus kurelakan untuk memenuhi gengsi Mama.

Tapi, kali ini aku tak bisa lagi memaksakan. Seumur pernikahanku dengan Vania, baru kali ini aku menolak permintaan Mama. Sifat asli istri dan mertuaku sedikit demi sedikit terkuak. Aku yang dulu, benar-benar telah dibutakan oleh tipu muslihatnya.

"Suami tak berguna!" Kalimat itu meluncur dari mulut orang yang paling aku sayangi. Vania, kenapa kau tega? Pikiranku seketika berkabut. Tak sadar, tanganku sudah menyentuh wajahnya dengan keras.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   49. Di Balik Jeruji Besi

    (PoV Vania)“Ma, tolong, Ma, Vania gak mau di sini! Vania takut, Ma!” Aku tak dapat berhenti menangis sejak kemarin. Tak betah rasanya berada di ruangan sempit dan pengap tanpa jendela ini. Aku terus memohon kepada Mama untuk segera membebaskanku. Mama pun sama, tak bisa berhenti meneteskan air mata. Aku dan Bang Roby, kemarin dijemput paksa oleh polisi. Ternyata perbuatan kami tertangkap basah oleh kamera CCTV. Aku merasa bodoh sekali. Awalnya aku hanya berniat iseng untuk meneror calon istri Bang Dani. Bukan apa, aku hanya kesal oleh jawaban Bang Dani yang mengatakan kalau ia sudah tak menyimpan rasa untukku lagi. Padahal aku yakin sekali kalau ia menikahi wanita itu untuk membuat cemburu, lalu kembali padaku.Berbekal dari informasi rumah sakit, aku berhasil mengetahui alamat kediaman Tyas. Ternyata ia adalah anak orang berada. Rasa iri seketika menyelimuti hatiku. Aku benar-benar harus memberinya pelajaran. Dia sudah membuat Bang Dani berpaling dariku. Mendengarkan saran dari B

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   48. Pengantin Baru

    Acara sungkeman kami lewati, dengan diwarnai oleh isak tangis bahagia. Kak Fitri berkali-kali mengusap air matanya yang meleleh. Bu Marni terisak saat mencium dan memeluk Tyas, putri satu-satunya. Saat aku bersimpuh di pangkuan Pak Wira, ia mengusap kepala dan pundakku. “Mas Dani, jagalah putri kami sebaik mungkin. Perlakukan ia dengan lembut. Jangan pernah sakiti hati dan badannya. Jika kau sudah tak berkenan menjaganya, kembalikan ia dengan baik-baik kepadaku,” bisik Pak Wira. Aku mengangguk pelan, lalu mencium tangannya. “Insya Allah, Pak. Insya Allah, akan saya jaga ia dengan segenap jiwa dan raga. Melebihi Bapak dan Ibu menjaga serta mencintainya sejak kecil,” janjiku dengan suara parau.Tak lama kemudian, kami semua sudah duduk di pelaminan. Bang Tamrin, Kak Fitri dan Adel di deretan kursi sebelah kiri, sementara pasangan mertuaku di deretan sebelah kanan. Tamu undangan nampak memenuhi tenda yang disediakan. Rasanya tak ada lagi yang aku inginkan. Kebahagiaan hari ini bagaika

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   47. Air Mata Bahagia

    “Gimana, Dan? Kakak tadi menelepon Tyas sebentar, tapi kelihatannya di sana sibuk sekali. Jadi, tak bisa ngobrol banyak. Sebenarnya apa yang terjadi?” Kak Fitri belum tidur saat kami pulang, ia sedari tadi sudah menunggu dengan wajah cemas.“Sebentar Kak, Dani duduk dulu,” ucapku sambil menghempaskan badan di sofa.“Duh, Kakak benar-benar gak bisa tidur! Bang, ceritalah, Bang!” desak Kak Fitri kepadaku, lalu pada suaminya.“Ngobrol sama Dani aja, Dek. Abang mau langsung mandi, lalu tidur!” Bang Tamrin dengan cepat berlalu ke kamar mandi, tanpa menghiraukan Kak Fitri yang tampak sebal.“Ah, kalian ini! Sebenarnya ada apa, sih?” Kak Fitri menghentakkan kakinya tak sabaran.“Kebakaran, Kak. Tenda dan kursi untuk acara besok di bakar,” jawabku sambil memejamkan mata.“Hah, apa? Kebakaran? Kok bisa?!” Kak Fitri mendekat, duduk di sampingku.“Iya, Kak. Kakak tau sendiri kan, tenda dari kain seperti itu pastilah mudah terbakar. Belum lagi bangku untuk para tamu yang dibungkus kain dekorasi.

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   46. Jadi Abu

    “Bang, bisa lebih ngebut lagi?” tanyaku kepada Bang Tamrin yang fokus menyetir. Mobil yang kami kendarai membelah jalanan yang sedikit ramai. Hatiku cemas tak karuan, ingin cepat sampai ke kediaman Tyas. Jika saja bisa terbang, sudah kulakukan sejak tadi.“Tak usah terburu-buru, Dan. Jangan sampai kita kenapa-kenapa gara-gara ingin cepat sampai ke sana,” jawab Bang Tamrin tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya.“Iya Bang, tapi Dani benar-benar cemas. Mau cepat sampai ke sana,” keluhku.“Tenangkan pikiran, lebih baik kamu berdoa dan zikir!” titah Bang Tamrin kemudian.Aku terdiam, mulai membaca doa dalam hati. Zikir-zikir kulantunkan dalam keheningan. Hatiku mulai terasa sedikit tenang. Sebentar lagi, kami akan segera sampai ke rumah Tyas.*Di depan kediaman megah itu, tampak ramai. Banyak orang berkerumun memadati halaman dan depan gerbang. Aku terpana, saat melihat sebuah mobil pemadam kebakaran terparkir di sana. Terlihat pula terparkir sebuah mobil patroli polisi di jalan.

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   45. Ada Apa?

    “Ya Allah, mimpi apa Kakak semalam, melihat kamu melamar Tyas?” ujar Kak Fitri saat kami sudah berada di mobil yang kami pesan untuk pulang ke rumah.Bang Tamrin terkekeh. “Si Dani, bener-bener dapat durian runtuh. Lepas dari jeratan lintah beracun, sekarang dapat bidadari,” candanya. Aku meninju pelan lengan kakak iparku yang menyebalkan itu.“Pokoknya, awas kalau kamu berani main-main dengan perempuan lain, Dan! Ingat, sebulan lagi kamu akan menikah dengan Tyas. Jaga tingkah laku! Kalau kamu berani aneh-aneh, awas aja!” Kata Kak Fitri, sedikit mengancam. Aku tertawa.“Insya Allah, Dani gak akan macam-macam, Kak. Malahan, Dani maunya tadi bulan ini juga menikah sama Tyas!” selorohku.“Lah, terus, kenapa gak ngomong tadi?” timpal Bang Tamrin.“Ya, gak enak, Bang. Biar tuan rumah yang menentukan, tanggal berapa mereka siap untuk mengadakan acara. Dani ikut saja,” kataku.“Ya, iya, benar. Mana mereka gak minta bantuan sama sekali soal biaya. Kakak jadi sedikit gak enak. Kakak malah teri

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   44. Sepakat

    Dua jam kemudian, aku dan Kak Fitri sudah sampai lagi di rumah. Tanganku menenteng beberapa kantong belanja yang entah apa isinya. Seingatku, tadi hanya membelikan satu set pakaian dan sebuah cincin untuk Tyas. Namun, Kak Fitri beberapa kali keluar masuk beragam toko, entah apa yang dibelinya.“Kak, kok belanjaannya jadi banyak gini? Kakak beli apa aja?” tanyaku seraya menyerahkan kantong-kantong belanjaan kepadanya.“Ini untuk isian hantaran lamaran nanti. Besok Kakak pesen sama temen, untuk kotak hantarannya,” terang Kak Fitri.“Lah, tapi tadi kan, Dani Cuma beli satu set pakaian sama cincin aja? Kok jadi beranak gini?” Dahiku mengkerut.“Ini Kakak yang beli, hadiah untuk Tyas. Dah, kamu gak usah protes, terima beres aja!” Kak Fitri kemudian meninggalkanku yang masih terpaku. Ya sudahlah!*Setelah mandi, badanku terasa segar. Aku keluar kamar, menuju ke teras. Terlihat Adelia yang sedang asyik sendiri dengan mainannya yang bertebaran di lantai. Kubiarkan keponakanku itu dengan duni

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status