"Ma-mama?" Mataku membulat sedikit terkejut dengan kedatangannya.
"Ck! Lama banget sih, buka pintu!" Ia menerobos masuk, melewatiku yang masih berdiri di depan pintu. Badanku sedikit terhuyung ke samping dibuatnya.
"Ah, maaf, Ma. Tadi Dani sedang makan," jawabku sambil menutup pintu, lalu mengekorinya.
"Vania mana?" Matanya menatap sekeliling, tanpa memedulikan ucapanku sedikit pun.
"Vania sudah tidur, Ma. Tadi katanya kecapekan." Aku kembali ke meja makan, berniat menghabiskan mie yang mulai dingin.
Mama melirik ke arahku sekarang. "Ya ampun, Dani ... jadi, kamu makan sendiri? Ckckck!" tuduhnya tanpa tahu situasi. Kepalanya menggeleng-geleng sambil menggumamkan sesuatu.
"Gak gitu, Ma. Tadi Dani—" Ucapanku terpotong. Mama seketika sudah berdiri di pintu kamar sambil mengetuk.
"Van, kamu sudah tidur? Ini Mama datang!" teriaknya lantang.
Selera makanku seketika hilang. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kepala Vania menyembul dari dalam. Wajahnya semringah melihat kehadiran Mama.
"Mama?! Kok malam-malam gini, datengnya?" pekik Vania sambil memeluk mamanya.
"Hmm! Mama kangen sama kamu!" Keduanya lalu tertawa.
"Kok, kamu gak makan, Sayang?" tanya Mama kepada anak bungsunya.
Vania melirik ke arahku. Aku hanya terdiam membalas lirikannya. Entah apa yang akan dikatakannya sekarang.
"Ya ... gak selera, Ma. Cuma mie aja, kok!" Dadaku bergemuruh mendengar jawabannya.
"Cuma mie? Dani, kamu cuma kasih Vania makan mie? Ya mana selera lah, dia makan!"
Wanita bermake-up tebal itu melotot ke arahku. Seolah-olah semua itu adalah kesalahan yang kuperbuat. Aku mendesah, tak ingin menjawab. Kulanjutkan makan malam yang sempat tertunda.
"Kamu jangan begitu, Dani! Kamu pikirkan kesehatan Vania. Jangan sampai dia gak selera makan!" tukas Mama lagi. Vania hanya berdiri mematung di sampingnya, acuh tak acuh. Mungkin juga merasa senang dengan perkataan mertuaku itu. Alih-alih membelaku, ia justru tampak tak peduli.
"Oh iya, Mama kenapa ke sini malam-malam?" Kali ini Vania buka suara.
"Ehem. Sebenernya Mama mau minta uang sama Dani. Kan, seminggu lagi harus bayar arisan. Uang belanja Mama juga sudah menipis." Tanpa malu wanita yang sesungguhnya kuhormati itu berkata demikian.
Aku bergegas menuju dapur, meletakkan mangkuk kotor ke tempat cucian piring yang penuh. Vania tampaknya tidak mencuci piring sejak pagi. Kubiarkan saja, terlalu lelah untuk mengerjakan semuanya.
"Bang, Mama minta uang! Minggu depan ada arisan!" Vania menyusulku ke dapur. Aku tak menggubrisnya.
"Bang! Denger gak, sih? Abang tuli atau bisu?" tanya Vania gusar.
Kutatap dalam-dalam wajahnya. Dulu, ia tak pernah seperti ini. Dari mana datangnya kata-kata tak enak didengar itu?
"Yang sopan bicara dengan suamimu, Vania!" tegurku. Ia melengos. Aku kembali ke ruang tengah, duduk di depan TV. Sengaja tak memedulikan kehadiran Mama mertua.
"Gimana, ada gak, uangnya?" tanya wanita paruh baya itu. Vania mengangkat bahunya.
"Maaf, Ma. Dani belum ada uang. Kalau ada, pasti Dani berikan," jawabku sejujur-jujurnya. Uang yang kupegang sekarang, hanya cukup untuk menyambung hidup esok hari. Tak mungkin aku berikan untuknya.
Kondisi keuanganku sekarang berubah seratus delapan puluh derajat. Seharusnya, mertuaku paham akan hal itu. Tetapi tidak, baginya aku hanyalah mesin uang yang harus mengeluarkan lembaran-lembaran itu kapan pun ia membutuhkan.
Dulu, aku terbiasa memberinya jatah bulanan tanpa perhitungan. Sampai-sampai aku tak bisa menyisihkan untuk menabung. Dalam sebulan, ia biasanya meminta uang dua sampai tiga kali. Kini, aku hanya berharap pengertiannya sedikit saja.
"Ah! Gimana, sih? Masa kamu gak ada uang sedikit pun, Dan?" ketusnya.
"Maaf, Ma! Memang kenyataannya seperti itu." Aku berusaha menjawab dengan tenang.
"Uang pesangonmu, sudah habis?" Sungguh tak tahu malu! Aku tertunduk.
"Uang yang Dani berikan kepada Mama bulan kemarin, adalah sisa uang pesangon. Jadi, Dani sudah gak punya simpanan."
Kulihat Mama menghempaskan pantatnya di kursi meja makan. Aku berusaha fokus menonton acara di TV.
"Ya, terus gimana, dong? Mama sudah terlanjur ikut arisan satu tahun. Kan sayang, kalau harus berhenti di tengah jalan!" rengeknya, seolah-olah itu adalah salahku.
Aku mengembuskan napas berat.
"Maaf, Ma. Kali ini Dani benar-benar gak bisa menolong. Mungkin Mama bisa minta tolong bang Robi dulu?" Aku menawarkan solusi. Bang Robi adalah kakak iparku, anak sulung keluarga mereka. Bukankah bang Robi pegawai kantoran dengan gaji tetap yang lumayan? Gajinya tak jauh beda dengan gajiku dulu.
"Lahh, kok malah ngomongin Robi? Jangan melempar tanggung jawab, Dan! Robi itu banyak cicilannya. Bayar rumah, bayar mobil, belum lagi uang sekolah anaknya! Mama kan, ngambil arisan itu, karena dulu kamu janji mau memberi Mama uang setiap bulan!"
Entah bagaimana lagi aku harus menjawab sekarang. Sementara istriku hanya terdiam dengan tangan berlipat di dada. Berdua, mereka seakan menghakimi ketidak-mampuanku. Dulu, sebelum menikahi Vania, aku memang berjanji untuk membantu menafkahi Mama. Papa mertua hanyalah seorang pensiunan PNS, dengan gaji yang pastinya relatif kecil. Namun kini, memang salahku yang harus ingkar terhadap janji itu. Keadaanlah yang memaksa.
"Kalau Dani ada, pasti Dani berikan. Maaf, sekarang kondisinya sedang benar-benar tidak memungkinkan. Keadaan sedang sulit, Ma," kataku, meminta pengertiannya sekali lagi.
"Ya usaha apa, kek! Gadai motor, gadai rumah, atau apalah!" Ringan sekali ia berkata.
"Iya, Bang. Coba gadaikan motor atau rumah! Kan, lumayan uangnya?" Vania mendukung ucapan mamanya, tanpa pikir panjang. Sepertinya, mendengar kata uang saja sudah membuatnya senang.
"Jangan memaksakan keadaan, Vania! Menggadaikan barang memang kelihatannya enak, tetapi juga harus membayar cicilan setiap bulan untuk menebusnya lagi. Juga, rumah ini takkan pernah Abang gadaikan, apalagi dijual! Ini rumah warisan dari almarhum bapak dan ibu mertuamu!" Suaraku sedikit meninggi. Tak kusangka Vania akan berpikir segampang itu untuk mendapatkan uang.
Kulihat Mama beranjak dari kursi. Raut wajahnya terlihat kesal.
"Ya, sudah! Percuma Mama datang ke sini! Suami kamu sekarang pelit, Vania!" tuduhnya dengan suara lantang. Membicarakanku seolah-olah aku tak ada di sana.
"Maaf ya, Ma .... Coba nanti Vania bujuk Bang Dani lagi," jawab istriku mengiba.
Tak kupedulikan lagi mereka berdua.
"Kalau gitu, Mama mau pulang saja! Mana ongkos Mama, Dan!" Tangannya terulur ke arahku. Gelang-gelang emas di lengannya bergemerincing. Segera kurogoh saku, lalu meletakkan selembar uang berwarna hijau di tangannya.
"Cuma segini? Keterlaluan suamimu, Vania!" teriaknya, lalu melempar uang yang kuberikan ke lantai. Nyaris saja habis kesabaranku. Pelipis terasa berdenyut. Rahangku mengeras dengan tinju yang mengepal.
Vania berlari menyusul mamanya yang berjalan ke luar sambil mengoceh tak karuan. Kupungut uang dua puluh ribu yang tadi dibuang begitu saja. Dulu, uang berwarna hijau itu tak ada artinya bagiku. Namun kini, aku dapat menyambung hidup sehari dengannya. Terdengar derap langkah kaki dari depan.
"Keterlaluan kamu, Bang!" geram Vania sambil menghentakkan kaki. Aku menoleh ke arahnya sekilas, lalu melanjutkan menonton TV.
"Sekarang Abang pura-pura tak peduli, hah?" Nada suaranya meninggi. Direbutnya remote TV dari tanganku, lalu dimatikannya benda berwarna hitam itu.
"Vania! Di mana sopan santunmu!" Aku tersulit emosi. Matanya mendelik tak suka. Luar biasa. Kurasa memang inilah wajah asli seorang Vania Kartikasari. Tanganku mengepal erat.
"Minggu ini, uang arisan mama harus Abang sediakan! Entah bagaimana caranya!"
"Sudah Abang bilang, uangnya belum ada! Tolonglah mengerti!" pintaku dengan gusar.
Wajah Vania merah padam menahan amarah. Dadanya kembang kempis.
"Benar-benar suami tidak berguna!" Dilemparkannya remote ke arahku dengan kasar.
Pandanganku seketika merah. Tanpa sadar tanganku terangkat.
Plak!
***
Vania Kartikasari, wanita yang baru setahun lalu aku persunting sebagai istri. Pertemuan pertama kami tidaklah disengaja. Saat itu, aku sedang mengantri di sebuah mini market untuk membayar barang belanjaan. Antrian yang cukup panjang, membuat orang-orang tak sabaran saat gadis yang berdiri tepat di depan meja kasir sedari tadi mengecek tasnya."Buruan, Dek! Pegel nih, berdiri!" sahut seorang ibu bertubuh tambun di belakangku. Tangannya menenteng sekeranjang penuh berbagai macam barang. Wajahnya terlihat kesal.Gadis itu bertambah panik. Kutebak ia lupa membawa uang atau dompetnya ketinggalan. Kulirik sekilas meja kasir, sebotol jus dan sebungkus snack saja yang dibelinya."Duh, lama sekali sih!" Sekarang seorang bapak yang berdiri tepat di belakangnya protes.Aku yang sedari tadi memperhatikan, mulai merasa kasihan. Wajah gadis itu memerah, seperti akan menangis. Tanpa pikir panjang, segera kudekati kasir yang sedari tadi sabar menunggu."Berapa semua belanjaannya, Kak?" tanyaku cepa
Plak!Vania terpekik sambil memegang pipinya yang panas memerah. Aku menatapnya nanar dengan tangan yang bergetar, belum sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja terjadi."A—abang, berani tampar aku?!" teriaknya diiringi isakan. Air mata sudah meleleh di kedua pipinya."Suami tak berguna katamu, Vania?" bisikku dengan mata nyalang. Istriku itu tampak sedikit ketakutan. Kuraih kedua pundaknya dan menatap tajam."Di mana rasa hormatmu, Vania? Abang benar-benar kecewa!" Badannya bergetar, sementara aku mencengkram bahu mungil itu dengan kuat."Abang memang tidak berguna! Abang keterlaluan!" jeritnya sambil berusaha melepaskan diri. Kulonggarkan cengkeraman, membiarkannya berlalu."Akan kuadukan pada Mama dan Papa! Lihat saja apa yang akan Mama lakukan!" ancamnya sebelum berlari ke kamar. Suara bantingan pintu, sekali lagi menggema.Badanku luruh ke lantai. Kuusap kasar wajah yang terasa panas. Air mata memaksa keluar sejak tadi, tapi kutahan sekuat tenaga. Suara isakan terdengar lirih.
"Oh, bagus. Menantu tak berguna sudah pulang rupanya!" ketus Mama sambil mendekat. Garang ia menatapku. Sementara Vania duduk di meja makan, tak peduli."Sekarang kamu sudah berani berbuat kasar ya? Berani kamu menampar Vania!" Mama menunjuk-nunjuk mukaku. Tak tahu harus menjawab apa, aku hanya diam. Rupanya istriku benar-benar mengadu. Jantungku berdebar kencang, menerka-nerka apa yang akan terjadi selanjutnya."Mana suaramu? Jangan cuma berani sama perempuan kamu! Vania itu anak kesayangan Mama. Seumur hidup, tidak pernah seujung jari pun Mama memukulnya!" Wanita paruh baya di depanku berkacak pinggang."Ma—maaf, Ma. Semalam Dani benar-benar khilaf ...." Hanya itu kalimat yang bisa kuucapkan. Tak ada pembelaan lain. Bagaimanapun juga, tindakanku memang salah. Kulirik istriku yang langsung membuang muka."Khilaf, khilaf, katamu! Sudah jadi kere, sekarang malah berani main kasar! Nih, rasakan!" Sebuah tamparan keras dari Mama mendarat di pipiku. Terhuyung, aku merasa penglihatan sedik
Setelah kepergian Mama, aku langsung ke kamar. Badan dan pikiran perlu diistirahatkan. Letih badan mungkin tak seberapa, tapi lelah hati sungguh menyiksa. Rumah yang dulu seperti surga, perlahan terasa seperti neraka.Aku baru saja akan memejamkan mata, saat pintu kamar tersibak. Vania datang setelah mengantarkan kepergian Mama yang pulang dengan taksi online. Kuacuhkan kedatangannya. Dari raut wajahnya yang ditekuk itu, aku tahu dia pasti sangat kesal dengan kejadian tadi. Biarlah, agar mereka mengerti bahwa aku tidak bisa dilemahkan."Abang masih bisa tidur, setelah berucap jahat kepada Mama?" sindir Vania. Aku bergeming. Malas untuk meladeninya."Aku tak menyangka, Abang bisa seperti ini!" geramnya lagi."Terus, maumu Abang tetap diam saat kalian bertingkah seenaknya?" Aku akhirnya buka suara."Seenaknya, Abang bilang? Abang pun sekarang hanya memberiku uang seenaknya!" Vania berkacak pinggang di pinggir ranjang. Uang dan selalu uang yang ia bahas."Kamu tau kan, kondisi kita seda
Wanita berambut pirang dan berbaju ketat di depanku tersenyum."Vanianya, ada?" tanya wanita itu. Aku masih melongo."Eh, i—iya ada. Ada perlu apa?" Aku balik bertanya."Saya mau ketemu aja!" jawabnya tiba-tiba judes."Ok, tunggu. Saya panggilkan!" Aku berlalu ke dalam.Vania terlihat menyeka keringatnya. Menjemur pakaian bukanlah hal berat, tapi ia kelihatan letih sekali. Mungkin karena sudah lama ia tidak melakukan pekerjaan rumah."Ada yang mencarimu di depan," kataku sambil mendekatinya."Siapa?" sahutnya."Abang gak tau. Rambutnya pirang!" Mata Vania langsung berbinar mendengar jawabanku. Diletakkannya keranjang pakaian, lalu langsung berlari ke depan. Aku yang merasa penasaran, diam-diam mengekor."Bella!" teriak Vania girang. Kedua perempuan itu kemudian berpelukan seperti Teletubbies."Apa kabar, Van?" kata wanita yang ternyata bernama Bella."Ayo, duduk dulu. Aku baik-baik aja, Bell. Ya ampun, udah lama banget gak ketemu. Kamu tambah cantik aja!" puji Vania. Aku yang mendenga
Tanganku sedikit bergetar saat melihat story WA Vania. Kuremas geram ponsel di genggaman. Rahangku mengeras."Kamu yang bohong, atau Vania, Dan?" tanya Kak Fitri.Aku tertunduk, masih memandangi foto itu tak percaya."Istrimu Kakak lihat, kok pergaulannya seperti liar begitu? Kamu bilang dia sedang tak enak badan di rumah?" imbuh Kak Fitri lagi.Aku tak bisa berkata-kata. Dalam foto itu, terpampang jelas Vania yang sedang tersenyum hanya menggunakan hot pants dan sport bra di dalam sebuah gym. Lekuk tubuh dan auratnya terlihat jelas. Sementara di sampingnya berdiri Bella dengan penampilan yang sama.Yang menjadi masalah lagi, di kiri dan kanan mereka berdiri dua orang pria bertampang bule yang dengan bangga memamerkan perut sixpack. Salah satunya dengan sangat lancang merangkul pundak Vania! Kurang ajar!Aku mengembuskan napas kasar. Segera kutelpon Vania untuk menyuruhnya cepat pulang. Tak ada jawaban darinya. Sudah pasti ia sengaja tak mengangkat panggilan."Kakak tidak bermaksud ke
Sebuah mobil sudah terparkir di depan rumah. Ternyata Vania sudah pulang, sedang duduk mengobrol dengan Bella di teras. Bagus, sekarang dia sudah mengenakan pakaian sporty yang tadi pagi ia pakai sebelum pergi. Pintar sekali. Sementara, di dalam mobil berkaca hitam itu, sekilas kulihat dua orang pria yang ada dalam foto Vania tadi sedang duduk. Mungkin menunggu Bella.Saat turun dari motor, mereka tak menggubrisku sedikit pun. Vania melirik sekilas tanpa kata. Tak ada sambutan atau apa pun. Bahkan saat kuucap salam, tak ada jawaban. Kumasuki rumah dengan perasaan tak menentu. Vania dan Bella masih mengobrol sambil cekikikan. Duh, cepatlah kau pulang, Bella!Do'aku terkabul. Tak lama kemudian, Bella pamit. Vania masuk ke dalam. Aku yang sudah menunggu sejak tadi, langsung berdiri menghadang."Abang mau bicara, duduk dulu!" titahku tanpa basa-basi."Nanti saja bicaranya, Bang! Aku mau mandi, bau keringat!" ujarnya sambil berlalu.Kucekal tangannya, lalu kududukkan ia ke kursi."Duduk, V
(PoV Vania)Namaku Vania. Saat ini hidupku sedang sangat menderita. Belum setahun aku menikmati manisnya pernikahan, suamiku malah terkena PHK. Hari-hariku yang dulu aku habiskan dengan bersenang-senang dan belanja, kini terasa hampa. Aku banyak menghabiskan waktu di rumah saja, sampai merasa bosan.Suamiku sekarang bekerja sebagai kuli bangunan, yang gajinya tidak seberapa. Bayangkan, dia yang tadinya seorang manager, sekarang menjadi seorang kuli. K-U-L-I. Aku sangat malu dengan profesinya yang baru, tidak bergengsi sama sekali. Bagaimana kalau ada orang yang bertanya apa pekerjaan suamiku?Masa aku jawab kuli! Vania yang terkenal mewah, punya suami kuli. Belum lagi, uang gajinya sangat jauh lebih kecil dibandingkan gajinya yang dulu. Aku tak bisa bebas jajan sana sini. Duh, pokoknya benar-benar sial hidupku!Dulu itu, aku sangat terpesona dengan Bang Dani. Selain wajahnya yang gak terlalu malu-maluin, dia juga sangat royal. Dirayu sedikit saja, dia langsung luluh dan memberikan ap