Share

2. Suami Tak Berguna

"Ma-mama?" Mataku membulat sedikit terkejut dengan kedatangannya.

"Ck! Lama banget sih, buka pintu!" Ia menerobos masuk, melewatiku yang masih berdiri di depan pintu. Badanku sedikit terhuyung ke samping dibuatnya.

"Ah, maaf, Ma. Tadi Dani sedang makan," jawabku sambil menutup pintu, lalu mengekorinya.

"Vania mana?" Matanya menatap sekeliling, tanpa memedulikan ucapanku sedikit pun.

"Vania sudah tidur, Ma. Tadi katanya kecapekan." Aku kembali ke meja makan, berniat menghabiskan mie yang mulai dingin.

Mama melirik ke arahku sekarang. "Ya ampun, Dani ... jadi, kamu makan sendiri? Ckckck!" tuduhnya tanpa tahu situasi. Kepalanya menggeleng-geleng sambil menggumamkan sesuatu.

"Gak gitu, Ma. Tadi Dani—" Ucapanku terpotong. Mama seketika sudah berdiri di pintu kamar sambil mengetuk.

"Van, kamu sudah  tidur? Ini Mama datang!" teriaknya lantang.

Selera makanku seketika hilang. Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kepala Vania menyembul dari dalam. Wajahnya semringah melihat kehadiran Mama.

"Mama?! Kok malam-malam gini, datengnya?" pekik Vania sambil memeluk mamanya.

"Hmm! Mama kangen sama kamu!" Keduanya lalu tertawa.

"Kok, kamu gak makan, Sayang?" tanya Mama kepada anak bungsunya.

Vania melirik ke arahku. Aku hanya terdiam membalas lirikannya. Entah apa yang akan dikatakannya sekarang.

"Ya ... gak selera, Ma. Cuma mie aja, kok!" Dadaku bergemuruh mendengar jawabannya.

"Cuma mie? Dani, kamu cuma kasih Vania makan mie? Ya mana selera lah, dia makan!"

Wanita bermake-up tebal itu melotot ke arahku. Seolah-olah semua itu adalah kesalahan yang kuperbuat. Aku mendesah, tak ingin menjawab. Kulanjutkan makan malam yang sempat tertunda.

"Kamu jangan begitu, Dani! Kamu pikirkan kesehatan Vania. Jangan sampai dia gak selera makan!" tukas Mama lagi. Vania hanya berdiri mematung di sampingnya, acuh tak acuh. Mungkin juga merasa senang dengan perkataan mertuaku itu. Alih-alih membelaku, ia justru tampak tak peduli.

"Oh iya, Mama kenapa ke sini malam-malam?" Kali ini Vania buka suara.

"Ehem. Sebenernya Mama mau minta uang sama Dani. Kan, seminggu lagi harus bayar arisan. Uang belanja Mama juga sudah menipis." Tanpa malu wanita yang sesungguhnya kuhormati itu berkata demikian.

Aku bergegas menuju dapur, meletakkan mangkuk kotor ke tempat cucian piring yang penuh. Vania tampaknya tidak mencuci piring sejak pagi. Kubiarkan saja, terlalu lelah untuk mengerjakan semuanya.

"Bang, Mama minta uang! Minggu depan ada arisan!" Vania menyusulku ke dapur. Aku tak menggubrisnya.

"Bang! Denger gak, sih?  Abang tuli atau bisu?" tanya Vania gusar.

Kutatap dalam-dalam wajahnya. Dulu, ia tak pernah seperti ini. Dari mana datangnya kata-kata tak enak didengar itu?

"Yang sopan bicara dengan suamimu, Vania!" tegurku. Ia melengos. Aku kembali ke ruang tengah, duduk di depan TV. Sengaja tak memedulikan kehadiran Mama mertua.

"Gimana, ada gak, uangnya?" tanya wanita paruh baya itu. Vania mengangkat bahunya.

"Maaf, Ma. Dani belum ada uang. Kalau ada, pasti Dani berikan," jawabku sejujur-jujurnya. Uang yang kupegang sekarang, hanya cukup untuk menyambung hidup esok hari. Tak mungkin aku berikan untuknya.

Kondisi keuanganku sekarang berubah seratus delapan puluh derajat. Seharusnya, mertuaku paham akan hal itu. Tetapi tidak, baginya aku hanyalah mesin uang yang harus mengeluarkan lembaran-lembaran itu kapan pun ia membutuhkan.

Dulu, aku terbiasa memberinya jatah bulanan tanpa perhitungan. Sampai-sampai aku tak bisa menyisihkan untuk menabung. Dalam sebulan, ia biasanya meminta uang dua sampai tiga kali. Kini, aku hanya berharap pengertiannya sedikit saja.

"Ah! Gimana, sih? Masa kamu gak ada uang sedikit pun, Dan?" ketusnya.

"Maaf, Ma! Memang kenyataannya seperti itu." Aku berusaha menjawab dengan tenang.

"Uang pesangonmu, sudah habis?" Sungguh tak tahu malu! Aku tertunduk.

"Uang yang Dani berikan kepada Mama bulan kemarin, adalah sisa uang pesangon. Jadi, Dani sudah gak punya simpanan."

Kulihat Mama menghempaskan pantatnya di kursi meja makan. Aku berusaha fokus menonton acara di TV.

"Ya, terus gimana, dong? Mama sudah terlanjur ikut arisan satu tahun. Kan sayang, kalau harus berhenti di tengah jalan!" rengeknya, seolah-olah itu adalah salahku.

Aku mengembuskan napas berat.

"Maaf, Ma. Kali ini Dani benar-benar gak bisa menolong. Mungkin Mama bisa minta tolong bang Robi dulu?" Aku menawarkan solusi. Bang Robi adalah kakak iparku, anak sulung keluarga mereka. Bukankah bang Robi pegawai kantoran dengan gaji tetap yang lumayan? Gajinya tak jauh beda dengan gajiku dulu.

"Lahh, kok malah ngomongin Robi? Jangan melempar tanggung jawab, Dan! Robi itu banyak cicilannya. Bayar rumah, bayar mobil, belum lagi uang sekolah anaknya! Mama kan, ngambil arisan itu, karena dulu kamu janji mau memberi Mama uang setiap bulan!"

Entah bagaimana lagi aku harus menjawab sekarang. Sementara istriku hanya terdiam dengan tangan berlipat di dada. Berdua, mereka seakan menghakimi ketidak-mampuanku. Dulu, sebelum menikahi Vania, aku memang berjanji untuk membantu menafkahi Mama. Papa mertua hanyalah seorang pensiunan PNS, dengan gaji yang pastinya relatif kecil. Namun kini, memang salahku yang harus ingkar terhadap janji itu. Keadaanlah yang memaksa.

"Kalau Dani ada, pasti Dani berikan. Maaf, sekarang kondisinya sedang benar-benar tidak memungkinkan. Keadaan sedang sulit, Ma," kataku, meminta pengertiannya sekali lagi.

"Ya usaha apa, kek! Gadai motor, gadai rumah, atau apalah!" Ringan sekali ia berkata.

"Iya, Bang. Coba gadaikan motor atau rumah! Kan, lumayan uangnya?" Vania mendukung ucapan mamanya, tanpa pikir panjang. Sepertinya, mendengar kata uang saja sudah membuatnya senang.

"Jangan memaksakan keadaan, Vania! Menggadaikan barang memang kelihatannya enak, tetapi juga harus membayar cicilan setiap bulan untuk menebusnya lagi. Juga, rumah ini takkan pernah Abang gadaikan, apalagi dijual! Ini rumah warisan dari almarhum bapak dan ibu mertuamu!" Suaraku sedikit meninggi. Tak kusangka Vania akan berpikir segampang itu untuk mendapatkan uang.

Kulihat Mama beranjak dari kursi. Raut wajahnya terlihat kesal.

"Ya, sudah! Percuma Mama datang ke sini! Suami kamu sekarang pelit, Vania!" tuduhnya dengan suara lantang. Membicarakanku seolah-olah aku tak ada di sana.

"Maaf ya, Ma .... Coba nanti Vania bujuk Bang Dani lagi," jawab istriku mengiba.

Tak kupedulikan lagi mereka berdua.

"Kalau gitu, Mama mau pulang saja! Mana ongkos Mama, Dan!" Tangannya terulur ke arahku. Gelang-gelang emas di lengannya bergemerincing. Segera kurogoh saku, lalu meletakkan selembar uang berwarna hijau di tangannya.

"Cuma segini? Keterlaluan suamimu, Vania!" teriaknya, lalu melempar uang yang kuberikan ke lantai. Nyaris saja habis kesabaranku. Pelipis terasa berdenyut. Rahangku mengeras dengan tinju yang mengepal.

Vania berlari menyusul mamanya yang berjalan ke luar sambil mengoceh tak karuan. Kupungut uang dua puluh ribu yang tadi dibuang begitu saja. Dulu, uang berwarna hijau itu tak ada artinya bagiku. Namun kini, aku dapat menyambung hidup sehari dengannya. Terdengar derap langkah kaki dari depan.

"Keterlaluan kamu, Bang!" geram Vania sambil menghentakkan kaki. Aku menoleh ke arahnya sekilas, lalu melanjutkan menonton TV.

"Sekarang Abang pura-pura tak peduli, hah?" Nada suaranya meninggi. Direbutnya remote TV dari tanganku, lalu dimatikannya benda berwarna hitam itu.

"Vania! Di mana sopan santunmu!" Aku tersulit emosi. Matanya mendelik tak suka. Luar biasa. Kurasa memang inilah wajah asli seorang Vania Kartikasari. Tanganku mengepal erat.

"Minggu ini, uang arisan mama harus Abang sediakan! Entah bagaimana caranya!"

"Sudah Abang bilang, uangnya belum ada! Tolonglah mengerti!" pintaku dengan gusar.

Wajah Vania merah padam menahan amarah. Dadanya kembang kempis.

"Benar-benar suami tidak berguna!" Dilemparkannya remote ke arahku dengan kasar.

Pandanganku seketika merah. Tanpa sadar tanganku terangkat.

Plak!

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status