Share

4. Tamparan Keras

last update Huling Na-update: 2022-08-01 20:16:00

Plak!

Vania terpekik sambil memegang pipinya yang panas memerah. Aku menatapnya nanar dengan tangan yang bergetar, belum sepenuhnya sadar dengan apa yang baru saja terjadi.

"A—abang, berani tampar aku?!" teriaknya diiringi isakan. Air mata sudah meleleh di kedua pipinya.

"Suami tak berguna katamu, Vania?" bisikku dengan mata nyalang. Istriku itu tampak sedikit ketakutan. Kuraih kedua pundaknya dan menatap tajam.

"Di mana rasa hormatmu, Vania? Abang benar-benar kecewa!" Badannya bergetar, sementara aku mencengkram bahu mungil itu dengan kuat.

"Abang memang tidak berguna! Abang keterlaluan!" jeritnya sambil berusaha melepaskan diri. Kulonggarkan cengkeraman, membiarkannya berlalu.

"Akan kuadukan pada Mama dan Papa! Lihat saja apa yang akan Mama lakukan!" ancamnya sebelum berlari ke kamar. Suara bantingan pintu, sekali lagi menggema.

Badanku luruh ke lantai. Kuusap kasar wajah yang terasa panas. Air mata memaksa keluar sejak tadi, tapi kutahan sekuat tenaga. Suara isakan terdengar lirih. Vaniaku yang tak pernah menangis sebelumnya, kini harus terluka. Penyesalan menyeruak, memenuhi rongga dada. Namun, malam ini aku takkan berusaha untuk menenangkan hatinya.

Kubaringkan tubuh yang terasa remuk di atas sofa. Rasa letih setelah bekerja berat seharian, dan ditambah kejadian barusan, membuatku seolah tak bertenaga. Mataku terpejam seketika. Tak lama, aku sudah terhanyut ke alam mimpi.

*

Suara azan subuh yang mendayu memaksaku bangun. Rasa dingin seketika menyergap. Hujan rintik di luar sana. Aku tertidur di sofa tanpa bantal dan selimut. Teringat kembali dengan kejadian semalam, seketika membuat kepalaku berdenyut-denyut. Kulangkahkan kaki untuk menunaikan kewajiban seorang muslim. Meskipun bukan seseorang yang taat, aku masih berusaha menjalankan perintah-Nya. Lama aku terpekur dalam do'a. Meminta kepada-Nya agar keadaan kembali seperti sedia kala.

Kubuka pintu kamar perlahan. Vania tampak tertidur pulas. Kupandangi wajahnya yang terlihat damai. Pipinya yang masih sedikit merah bekas tamparan, membuatku menyesal. Sebelumnya, tak pernah sekali pun aku berbuat kasar padanya. Jangankan menamparnya keras, membentaknya saja tak pernah kulakukan. Rasa cinta yang terlalu besar, membuatku lemah.

Kukecup keningnya lembut sembari membisikkan kata maaf. Istriku yang cantik tiba-tiba menggeliat. Kelopak matanya yang ditumbuhi bulu-bulu lentik perlahan terbuka. Melihatku yang duduk di sampingnya, seketika ia mendekap bantal dan menjauh.

"A—abang mau apa?" tanyanya gugup dan cemas. Aku mendesah.

"Abang ... minta maaf, sudah menyakitimu. Abang khilaf, Van," jawabku, menatap kedua manik berwarna cokelat miliknya lekat-lekat. Wanita bertubuh mungil itu memalingkan wajahnya, tanpa berkata-kata.

"Van ... dengerin Abang, Sayang!" Kuelus rambutnya yang tergerai. Seketika tangannya menepis tanganku.

"Bicaralah, Van .... Tolong jangan diamkan Abang begini," pintaku lagi. Ia bergeming.

"Vani—"

"Diamlah, Bang! Aku masih mengantuk! Jangan harap aku memaafkan kejadian semalam begitu saja!" Dengan cepat ia memotong ucapanku. Aku tertunduk, lantas bangkit untuk ke luar kamar.

*

Kusiapkan semua kebutuhan sebelum berangkat kerja. Mulai dari mengisi botol air minum, menyiapkan pakaian, dan menyusun alat tukang. Dulu, biasanya Vania sudah meletakkan baju kerjaku di atas ranjang bersama dengan tas kerja. Makanan lezat sudah terhidang di meja. Sekarang semuanya menghilang. Hari ini aku harus berangkat kerja tanpa sarapan lagi. Kuputuskan untuk membeli nasi uduk di simpang pasar. Sedangkan untuk Vania, kutinggalkan selembar uang berwarna biru.

Masuk ke kamar untuk berpamitan, kudengar Vania sedang bercakap di telepon.

"Ma, nanti Mama ke sini ya!" katanya disertai sedikit isakan.

"Pokoknya Mama ke sini!" ucapnya lagi.

"Bukan, uangnya belum ada! Bang Dani gak ada uang. Pokoknya nanti Mama ke sini!" rengek Vania. Entah apa yang Mama katakan. Namun sepertinya, aku akan mendapat masalah lagi.

Tak lama, sambungan telepon ia tutup. Melihatku yang berdiri mematung di depan pintu, ia keringkan matanya yang tadi sedikit basah.

"Van ... Abang pamit berangkat kerja. Uang sudah Abang tinggalkan di atas meja. Doakan Abang bisa dapat uang untuk Mama ya! Soal semalam, Abang benar-benar minta maaf. Abang sungguh khilaf!" kataku panjang lebar. Tak ada jawaban darinya. Matanya sibuk menatap layar ponsel pintar itu. Aku mengembuskan napas berat.

"Abang minta tolong ... kalau tidak keberatan, masakkan nasi untuk nanti sore. Lauknya terserah, apa pun yang kamu masak, pasti Abang makan," pintaku. Ia terus bergeming. Kali ini kembali meringkuk di dalam selimut. Entah sampai kapan ia akan seperti itu.

Aku berlalu meninggalkan kamar sedikit tergesa. Tak ada lagi ceritanya Vania yang mencium tangan dan pipi, sebelum aku berangkat kerja. Sudah pukul setengah delapan. Dengan perasaan tak menentu, kulajukan motor ke tempat kerja.

*

"Mas Dani, kok melamun!" Aku tersentak. Pak Wira, bos proyek, sudah duduk di sampingku. Sekarang jam ishoma. Setelah salat zuhur, aku duduk di auning yang sengaja di bangun untuk tempat istirahat para pekerja.

"Waduh, saya gak sadar, Pak!" jawabku sambil tertawa. Pak Wira menyodorkan rokok, kubalas dengan gelengan.

"Sampean mikirin opo, to?" tanyanya dengan logat khas Jawa yang kental.

"Entahlah, Pak. Memikirkan nasib yang semakin tak jelas," ujarku mengalir begitu saja. Asap rokok Pak Wira mengebul.

"Masih muda jangan terlalu banyak pikiran, Mas! Nikmati hidup!" titah Pak Wira.

Tak lama kemudian, mengalirlah cerita-cerita tentang hidupnya yang dulu sulit dan penuh rintangan. Beliau dulu bekerja serabutan. Apa pun dilakukan untuk memberi makan anak dan istri. Istrinya yang belakangan kuketahui bernama bu Mirna, juga seseorang yang rajin dan ulet. Berjualan pecel, nasi uduk, dan lontong di depan kontrakan sepetak mereka. Sekarang, warung itu masih tetap bertahan, malah menjadi lebih maju dan sudah berbentuk ruko. Rumah kontrakan yang dulu ditempati pun, sudah mereka beli. Sesekali, kami mendapatkan makan siang gratis dari bu Mirna.

Dua orang anak Pak Wira semuanya berhasil menamatkan pendidikan sarjana. Anak sulung bernama Raditya, sekarang bekerja sebagai arsitek. Sedangkan anak kedua bernama Tyas, bekerja sebagai guru.

Aku salut dengan perjuangan pasangan suami istri itu. Namun tak pelak, juga merasakan iri. Pak Wira memiliki pasangan hidup yang sama tangguhnya dalam berjuang bersama.

"Bapak beruntung sekali, mempunyai pasangan seperti bu Mirna," ucapku tulus. Lelaki di sampingku tertawa, menampilkan keriput halus di sudut matanya.

"Rumput tetangga memang terkadang kelihatan lebih hijau, Mas! Tidak ada rumah tangga yang sempurna." Ia mengisap rokoknya dalam-dalam sebelum melanjutkan.

"Saya tidak tau seperti apa rumah tangga Mas Dani, tapi seorang istri itu bersikap sebagaimana didikan dari imamnya. Kalau kita bisa menuntun mereka dengan baik, pasti tak akan ada banyak masalah."

Aku tertegun. Benar juga. Ingatanku melayang pada Vania. Selama ini ia terlalu kumanjakan. Semua yang ia inginkan, didapatkan dengan mudah. Vania tak pernah merasakan sulitnya perjuangan dalam mencari rejeki. Kadang kubiarkan ia bersikap seenaknya. Jika ia senang, maka aku pun senang. Sekarang, saat kondisi terpuruk, ia berubah sangat jauh. Jangankan memberi semangat, ia malah menjauhiku.

"Saya do'akan apa pun masalah yang Mas Dani hadapi sekarang, akan ada jalan keluarnya. Sudah, sekarang ayo kita kerja lagi!" Pak Wira menepuk pundakku sedikit keras. Aku bangkit mengekor di belakangnya.

*

Kembali kutemui rumah dalam keadaan kosong. Bedanya, kali ini rumah tidak terkunci.

"Assalamu'alaikum. Van, Abang pulang!" Kucari ia di seluruh ruangan. Tak kutemukan sosoknya di mana pun.

Tiba-tiba pintu depan terbuka. Vania dan Mama datang tanpa mengucap salam. Di tangan mereka kulihat beberapa kantung belanja. Mama langsung menatapku tajam. Bergegas ia mendekatiku yang terdiam.

***

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   49. Di Balik Jeruji Besi

    (PoV Vania)“Ma, tolong, Ma, Vania gak mau di sini! Vania takut, Ma!” Aku tak dapat berhenti menangis sejak kemarin. Tak betah rasanya berada di ruangan sempit dan pengap tanpa jendela ini. Aku terus memohon kepada Mama untuk segera membebaskanku. Mama pun sama, tak bisa berhenti meneteskan air mata. Aku dan Bang Roby, kemarin dijemput paksa oleh polisi. Ternyata perbuatan kami tertangkap basah oleh kamera CCTV. Aku merasa bodoh sekali. Awalnya aku hanya berniat iseng untuk meneror calon istri Bang Dani. Bukan apa, aku hanya kesal oleh jawaban Bang Dani yang mengatakan kalau ia sudah tak menyimpan rasa untukku lagi. Padahal aku yakin sekali kalau ia menikahi wanita itu untuk membuat cemburu, lalu kembali padaku.Berbekal dari informasi rumah sakit, aku berhasil mengetahui alamat kediaman Tyas. Ternyata ia adalah anak orang berada. Rasa iri seketika menyelimuti hatiku. Aku benar-benar harus memberinya pelajaran. Dia sudah membuat Bang Dani berpaling dariku. Mendengarkan saran dari B

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   48. Pengantin Baru

    Acara sungkeman kami lewati, dengan diwarnai oleh isak tangis bahagia. Kak Fitri berkali-kali mengusap air matanya yang meleleh. Bu Marni terisak saat mencium dan memeluk Tyas, putri satu-satunya. Saat aku bersimpuh di pangkuan Pak Wira, ia mengusap kepala dan pundakku. “Mas Dani, jagalah putri kami sebaik mungkin. Perlakukan ia dengan lembut. Jangan pernah sakiti hati dan badannya. Jika kau sudah tak berkenan menjaganya, kembalikan ia dengan baik-baik kepadaku,” bisik Pak Wira. Aku mengangguk pelan, lalu mencium tangannya. “Insya Allah, Pak. Insya Allah, akan saya jaga ia dengan segenap jiwa dan raga. Melebihi Bapak dan Ibu menjaga serta mencintainya sejak kecil,” janjiku dengan suara parau.Tak lama kemudian, kami semua sudah duduk di pelaminan. Bang Tamrin, Kak Fitri dan Adel di deretan kursi sebelah kiri, sementara pasangan mertuaku di deretan sebelah kanan. Tamu undangan nampak memenuhi tenda yang disediakan. Rasanya tak ada lagi yang aku inginkan. Kebahagiaan hari ini bagaika

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   47. Air Mata Bahagia

    “Gimana, Dan? Kakak tadi menelepon Tyas sebentar, tapi kelihatannya di sana sibuk sekali. Jadi, tak bisa ngobrol banyak. Sebenarnya apa yang terjadi?” Kak Fitri belum tidur saat kami pulang, ia sedari tadi sudah menunggu dengan wajah cemas.“Sebentar Kak, Dani duduk dulu,” ucapku sambil menghempaskan badan di sofa.“Duh, Kakak benar-benar gak bisa tidur! Bang, ceritalah, Bang!” desak Kak Fitri kepadaku, lalu pada suaminya.“Ngobrol sama Dani aja, Dek. Abang mau langsung mandi, lalu tidur!” Bang Tamrin dengan cepat berlalu ke kamar mandi, tanpa menghiraukan Kak Fitri yang tampak sebal.“Ah, kalian ini! Sebenarnya ada apa, sih?” Kak Fitri menghentakkan kakinya tak sabaran.“Kebakaran, Kak. Tenda dan kursi untuk acara besok di bakar,” jawabku sambil memejamkan mata.“Hah, apa? Kebakaran? Kok bisa?!” Kak Fitri mendekat, duduk di sampingku.“Iya, Kak. Kakak tau sendiri kan, tenda dari kain seperti itu pastilah mudah terbakar. Belum lagi bangku untuk para tamu yang dibungkus kain dekorasi.

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   46. Jadi Abu

    “Bang, bisa lebih ngebut lagi?” tanyaku kepada Bang Tamrin yang fokus menyetir. Mobil yang kami kendarai membelah jalanan yang sedikit ramai. Hatiku cemas tak karuan, ingin cepat sampai ke kediaman Tyas. Jika saja bisa terbang, sudah kulakukan sejak tadi.“Tak usah terburu-buru, Dan. Jangan sampai kita kenapa-kenapa gara-gara ingin cepat sampai ke sana,” jawab Bang Tamrin tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya.“Iya Bang, tapi Dani benar-benar cemas. Mau cepat sampai ke sana,” keluhku.“Tenangkan pikiran, lebih baik kamu berdoa dan zikir!” titah Bang Tamrin kemudian.Aku terdiam, mulai membaca doa dalam hati. Zikir-zikir kulantunkan dalam keheningan. Hatiku mulai terasa sedikit tenang. Sebentar lagi, kami akan segera sampai ke rumah Tyas.*Di depan kediaman megah itu, tampak ramai. Banyak orang berkerumun memadati halaman dan depan gerbang. Aku terpana, saat melihat sebuah mobil pemadam kebakaran terparkir di sana. Terlihat pula terparkir sebuah mobil patroli polisi di jalan.

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   45. Ada Apa?

    “Ya Allah, mimpi apa Kakak semalam, melihat kamu melamar Tyas?” ujar Kak Fitri saat kami sudah berada di mobil yang kami pesan untuk pulang ke rumah.Bang Tamrin terkekeh. “Si Dani, bener-bener dapat durian runtuh. Lepas dari jeratan lintah beracun, sekarang dapat bidadari,” candanya. Aku meninju pelan lengan kakak iparku yang menyebalkan itu.“Pokoknya, awas kalau kamu berani main-main dengan perempuan lain, Dan! Ingat, sebulan lagi kamu akan menikah dengan Tyas. Jaga tingkah laku! Kalau kamu berani aneh-aneh, awas aja!” Kata Kak Fitri, sedikit mengancam. Aku tertawa.“Insya Allah, Dani gak akan macam-macam, Kak. Malahan, Dani maunya tadi bulan ini juga menikah sama Tyas!” selorohku.“Lah, terus, kenapa gak ngomong tadi?” timpal Bang Tamrin.“Ya, gak enak, Bang. Biar tuan rumah yang menentukan, tanggal berapa mereka siap untuk mengadakan acara. Dani ikut saja,” kataku.“Ya, iya, benar. Mana mereka gak minta bantuan sama sekali soal biaya. Kakak jadi sedikit gak enak. Kakak malah teri

  • Karma Pengkhianat Pernikahan   44. Sepakat

    Dua jam kemudian, aku dan Kak Fitri sudah sampai lagi di rumah. Tanganku menenteng beberapa kantong belanja yang entah apa isinya. Seingatku, tadi hanya membelikan satu set pakaian dan sebuah cincin untuk Tyas. Namun, Kak Fitri beberapa kali keluar masuk beragam toko, entah apa yang dibelinya.“Kak, kok belanjaannya jadi banyak gini? Kakak beli apa aja?” tanyaku seraya menyerahkan kantong-kantong belanjaan kepadanya.“Ini untuk isian hantaran lamaran nanti. Besok Kakak pesen sama temen, untuk kotak hantarannya,” terang Kak Fitri.“Lah, tapi tadi kan, Dani Cuma beli satu set pakaian sama cincin aja? Kok jadi beranak gini?” Dahiku mengkerut.“Ini Kakak yang beli, hadiah untuk Tyas. Dah, kamu gak usah protes, terima beres aja!” Kak Fitri kemudian meninggalkanku yang masih terpaku. Ya sudahlah!*Setelah mandi, badanku terasa segar. Aku keluar kamar, menuju ke teras. Terlihat Adelia yang sedang asyik sendiri dengan mainannya yang bertebaran di lantai. Kubiarkan keponakanku itu dengan duni

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status