Sikap Vania berubah drastis saat Dani terkena PHK dari tempatnya bekerja. Dia yang dulu manis dan penurut, berubah menjadi pembangkang. Dani terus berusaha untuk memperbaiki keadaan dan mempertahankan keutuhan rumah tangganya itu. Namun, bukannya semakin membaik, semuanya justru memburuk. Vania semakin menjauh karena malu dengan keadaan dan termakan hasutan mamanya. Akhirnya, dia memilih berpaling dan berkhianat. Pada awalnya semua terasa berat bagi Dani. Hanya saja, selalu ada karma dan penyesalan bagi sang pengkhianat di akhir cerita!
Lihat lebih banyak"Assalamualaikum!" Kuketuk pintu rumah yang terkunci sambil sekali-kali melongok ke dalam melalui jendela.
"Assalamualaikum! Van, buka pintunya. Abang pulang!" Keadaan di dalam rumah gelap. Tak ada satu pun lampu yang menyala. Entah ke mana perginya istriku, Vania.
Kucoba menghubungi nomor ponselnya, tapi tak ada jawaban. Apakah ia sedang keluar lagi, seperti kemarin-kemarin?
Sekitar lima belas menit kemudian, sebuah mobil hitam metalik memasuki pekarangan. Vania turun dari mobil, lalu melambaikan tangannya ke arah kendaraan beroda empat itu. Sekilas kulihat ada beberapa perempuan lainnya di dalam sana, yang membalas lambaian Vania sambil tersenyum.
"Eh, Bang Dani. Udah lama, Bang?" Vania bertanya tanpa rasa bersalah saat melihatku yang terduduk kelelahan di teras rumah.
"Dari mana saja kamu?" tanyaku pelan. Tak ada jawaban. Vania langsung membuka kunci pintu dengan santainya, lalu melenggang masuk. Aku mengekor sambil mendorong motor masuk ke rumah.
"Abang tanya, kamu dari mana?" Kali ini suaraku sedikit meninggi.
"Dari ikut teman-teman senam," jawab Vania dengan nada malas.
"Kamu tau, kan, kalau Abang jam setengah enam sudah pulang?" Kesabaranku mulai menipis karena sikapnya itu.
Bukan pertama kalinya dalam minggu ini Vania pulang terlambat dengan berbagai alasan. Aku mencoba untuk memaklumi, mungkin saja ia bosan di rumah. Akan tetapi, semakin hari tingkahnya semakin menjadi.
"Gak usah lebay, Bang! Sekarang baru juga jam enam." Vania berkata sambil melirikku sinis. Hilang sudah tutur katanya yang dulu lembut dan penuh hormat kepadaku. Vania, beginikah sifat aslimu?
Dadaku bergemuruh. Rasa letih yang dirasakan setelah seharian bekerja, membuatku kesulitan mengendalikan emosi. Kulihat Vania masih dengan sikapnya yang acuh tak acuh. Segera ia masuk ke kamar mandi. Kuusap wajah yang terasa panas. Lapar dan haus yang aku tahan sedari tadi seketika lenyap bersama pikiran yang melayang entah kemana.
Vania terdengar bersenandung riang dari dalam kamar mandi. Berbanding terbalik denganku, yang terpekur duduk di depan meja makan yang kosong melompong tanpa makanan sedikitpun. Tadi pagi, aku ingat betul sudah meninggalkan selembar uang berwarna merah di meja makan. Dengan harapan, saat pulang nanti ia sudah memasak makanan seperti yang selalu dilakukannya dulu.
Kupandangi tangan dan kakiku yang kotor berdebu. Pekerjaan yang sekarang membuatku seperti ini. Setelah terdampak PHK tiga bulan yang lalu, aku dengan terpaksa menjadi kuli bangunan. Berbekal keahlian seadanya, aku nekat banting setir. Semua aku lakukan untuk tetap bertahan hidup dan membahagiakan Vania. Masih segar dalam ingatan saat aku menyampaikan kabar tak enak itu. Istriku menangis seolah-olah takkan bisa lagi hidup esok hari. Dengan sabar aku selalu mengingatkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Meskipun dengan penghasilan yang jauh berkurang dan sedikit pesangon, tak pernah sekalipun aku tak menafkahi Vania. Namun, entah mengapa, sikapnya perlahan-lahan mulai berubah.
"Kamu tidak masak tadi pagi?" tanyaku hati-hati setelah Vania keluar dari kamar dengan keadaan segar dan rambut panjangnya yang basah.
"Gak sempat, Bang. Nanti Abang masak mie aja sama telor, di kulkas masih ada!"
Astaghfirullah. Aku berusaha keras untuk tidak mengeluarkan kata-kata kasar.
"Kan, tadi pagi Abang sudah meninggalkan uang? Kamu belum bangun saat Abang berangkat. Bahkan, Abang tidak sarapan sama sekali." Bukannya aku perhitungan pada istri. Namun, dengan kondisi saat ini, kurasa seratus ribu yang diberikan padanya bisa untuk membeli lauk bahkan sampai dua hari.
"Uangnya Vania pakai untuk bayar iuran senam. Terus tadi nongkrong di kafe sama temen-temen," jawabnya enteng sambil menyisir rambut, tanpa sedikit pun melihat ke arahku.
"Ya Allah, Vania! Coba kamu lihat Abang baik-baik sekali saja! Tidakkah kasihan melihat suamimu yang bekerja banting tulang dari pagi sampai sore? Pulang dengan perut kosong, tapi di rumah sebutir nasi pun tak ada? Sementara di luar sana, kamu dengan mudahnya menghabiskan uang seperti itu!" cecarku. Wajah Vania sontak berubah seperti tak terima.
"Abang gak ikhlas, Bang? Ingat Bang, memang sudah kewajiban seorang suami kerja banting tulang! Sama istri gak usah pelit, biar rejeki gak sempit!" balasnya sengit.
Sakit, sakit sekali rasanya mendengar jawaban itu keluar dari mulutnya.
"Jangan kau ajari Abang tentang kewajiban! Setiap hari Abang sudah melakukan yang terbaik untukmu, untuk kita. Hanya saja keadaan sekarang yang tidak memungkinkan untuk kita bersenang-senang seperti dulu. Tolong, Vania. Mengertilah sedikit saja!" Kutatap wajahnya dalam-dalam, mencari-cari sosok Vania yang dulu. Sosok yang selalu penuh kasih sayang dan manja kepadaku. Ia memalingkan wajah saat tatapan mata kami bertemu.
"Terus, mau Abang gimana? Tak usah bertele-tele!" tanya Vania ketus.
"Abang ingin, kamu seperti dulu. Melakukan kewajibanmu sebagai seorang istri yang baik!" jawabku penuh penekanan, berharap ia mengerti.
"Kalau Abang bisa seperti dulu lagi, maka aku juga akan kembali menjadi istri yang manis dan baik!" Setelah mengucapkan kalimat itu, ia berlalu meninggalkanku.
"Maksudmu, apa? Vania, tunggu! Vania, Abang belum selesai bica—" Suara hempasan pintu terdengar lantang. Aku mengurut dada yang tiba-tiba terasa nyeri. Ya Allah, tolong! Tolong kembalikan, istriku yang dulu!
Bangkit, kuletakkan peralatan tukangku di gudang. Kususun satu persatu peralatan yang kini menemani untuk mengais rejeki. Sebagai tukang yang belum terlalu berpengalaman, gajiku tidaklah sama dengan tukang lainnya yang sudah ahli. Namun aku sangat bersyukur, masih ada yang mau menerima bekerja. Jika tidak, entah apa yang bisa aku lakukan sekarang. Suara adzan maghrib terdengar, bergegas kubersihkan badan lalu bertolak ke mesjid.
*
Sama seperti tadi, kutemui rumah dalam keadaan sepi. Vania belum keluar dari kamar sama sekali. Bahkan, saat aku berpamitan untuk ke mesjid, tak ada jawaban darinya. Entah apa yang ia lakukan di dalam sana. Perut yang keroncongan, memaksaku ke dapur. Kubuka pintu kulkas. Hanya ada dua bungkus mie instan, kecap, saos, dan sebutir telur di sana. Dulu, kulkas ini selalu penuh dengan stok makanan. Aku selalu membebaskan Vania untuk membeli makanan apa pun yang ia suka, asalkan halal. Namun kini, aku harus berlapang dada dengan mie instan dan sebutir telur. Tidak apa-apa, yang penting masih bisa makan.
Setelah berkutat di dapur, kuhidangkan dua mangkuk mie rebus di atas meja. Tak menunggu lama, aku berlalu ke kamar. Kudapati Vania berbaring menghadap ke tembok. Tangannya sibuk dengan ponsel di genggaman. Sesekali tawa lirih keluar dari mulutnya. Ia tak menyadari kedatanganku.
"Van ...." panggilku lembut. Ia tersentak kaget dan langsung berbalik melihatku.
"A—apa?!" jawabnya gugup.
"Ayo, makan! Abang sudah masak mie dua mangkuk," ajakku, berharap bisa duduk bersama menikmati makan malam seadanya.
Vania membalikkan badannya lagi. "Tak usah! Vania gak lapar. Abang habiskan saja semua, biar perutnya puas!" Ketus sekali kalimat-kalimat dari mulutnya terdengar. Aku mendesah.
"Paling tidak, temani Abang makan, Van?" pintaku lagi sambil menyentuh bahunya.
"Ck! Gak usah manja, Bang! Mau makan, ya tinggal makan aja! Vania capek!" Tangannya segera menepis tanganku, lalu menarik selimut menutupi sekujur tubuhnya.
Dengan langkah gontai aku berlalu. Kunikmati perlahan semangkuk mie yang terhidang. Tengggorokan seperti tak bisa menelan karena dada yang sesak. Mataku seketika basah. Ah, mungkin mie ini terlalu pedas.
Lamat-lamat kudengar suara ketukan di depan. Beranjak, kuhapus sungai kecil yang sempat mengalir di pipi.
"Vania! Dani! Buka pintu!" Pemilik suara terdengar tak sabar.
Kubuka pintu tergesa, mendapati Mama mertua sudah berdiri di sana.
***
(PoV Vania)“Ma, tolong, Ma, Vania gak mau di sini! Vania takut, Ma!” Aku tak dapat berhenti menangis sejak kemarin. Tak betah rasanya berada di ruangan sempit dan pengap tanpa jendela ini. Aku terus memohon kepada Mama untuk segera membebaskanku. Mama pun sama, tak bisa berhenti meneteskan air mata. Aku dan Bang Roby, kemarin dijemput paksa oleh polisi. Ternyata perbuatan kami tertangkap basah oleh kamera CCTV. Aku merasa bodoh sekali. Awalnya aku hanya berniat iseng untuk meneror calon istri Bang Dani. Bukan apa, aku hanya kesal oleh jawaban Bang Dani yang mengatakan kalau ia sudah tak menyimpan rasa untukku lagi. Padahal aku yakin sekali kalau ia menikahi wanita itu untuk membuat cemburu, lalu kembali padaku.Berbekal dari informasi rumah sakit, aku berhasil mengetahui alamat kediaman Tyas. Ternyata ia adalah anak orang berada. Rasa iri seketika menyelimuti hatiku. Aku benar-benar harus memberinya pelajaran. Dia sudah membuat Bang Dani berpaling dariku. Mendengarkan saran dari B
Acara sungkeman kami lewati, dengan diwarnai oleh isak tangis bahagia. Kak Fitri berkali-kali mengusap air matanya yang meleleh. Bu Marni terisak saat mencium dan memeluk Tyas, putri satu-satunya. Saat aku bersimpuh di pangkuan Pak Wira, ia mengusap kepala dan pundakku. “Mas Dani, jagalah putri kami sebaik mungkin. Perlakukan ia dengan lembut. Jangan pernah sakiti hati dan badannya. Jika kau sudah tak berkenan menjaganya, kembalikan ia dengan baik-baik kepadaku,” bisik Pak Wira. Aku mengangguk pelan, lalu mencium tangannya. “Insya Allah, Pak. Insya Allah, akan saya jaga ia dengan segenap jiwa dan raga. Melebihi Bapak dan Ibu menjaga serta mencintainya sejak kecil,” janjiku dengan suara parau.Tak lama kemudian, kami semua sudah duduk di pelaminan. Bang Tamrin, Kak Fitri dan Adel di deretan kursi sebelah kiri, sementara pasangan mertuaku di deretan sebelah kanan. Tamu undangan nampak memenuhi tenda yang disediakan. Rasanya tak ada lagi yang aku inginkan. Kebahagiaan hari ini bagaika
“Gimana, Dan? Kakak tadi menelepon Tyas sebentar, tapi kelihatannya di sana sibuk sekali. Jadi, tak bisa ngobrol banyak. Sebenarnya apa yang terjadi?” Kak Fitri belum tidur saat kami pulang, ia sedari tadi sudah menunggu dengan wajah cemas.“Sebentar Kak, Dani duduk dulu,” ucapku sambil menghempaskan badan di sofa.“Duh, Kakak benar-benar gak bisa tidur! Bang, ceritalah, Bang!” desak Kak Fitri kepadaku, lalu pada suaminya.“Ngobrol sama Dani aja, Dek. Abang mau langsung mandi, lalu tidur!” Bang Tamrin dengan cepat berlalu ke kamar mandi, tanpa menghiraukan Kak Fitri yang tampak sebal.“Ah, kalian ini! Sebenarnya ada apa, sih?” Kak Fitri menghentakkan kakinya tak sabaran.“Kebakaran, Kak. Tenda dan kursi untuk acara besok di bakar,” jawabku sambil memejamkan mata.“Hah, apa? Kebakaran? Kok bisa?!” Kak Fitri mendekat, duduk di sampingku.“Iya, Kak. Kakak tau sendiri kan, tenda dari kain seperti itu pastilah mudah terbakar. Belum lagi bangku untuk para tamu yang dibungkus kain dekorasi.
“Bang, bisa lebih ngebut lagi?” tanyaku kepada Bang Tamrin yang fokus menyetir. Mobil yang kami kendarai membelah jalanan yang sedikit ramai. Hatiku cemas tak karuan, ingin cepat sampai ke kediaman Tyas. Jika saja bisa terbang, sudah kulakukan sejak tadi.“Tak usah terburu-buru, Dan. Jangan sampai kita kenapa-kenapa gara-gara ingin cepat sampai ke sana,” jawab Bang Tamrin tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan raya.“Iya Bang, tapi Dani benar-benar cemas. Mau cepat sampai ke sana,” keluhku.“Tenangkan pikiran, lebih baik kamu berdoa dan zikir!” titah Bang Tamrin kemudian.Aku terdiam, mulai membaca doa dalam hati. Zikir-zikir kulantunkan dalam keheningan. Hatiku mulai terasa sedikit tenang. Sebentar lagi, kami akan segera sampai ke rumah Tyas.*Di depan kediaman megah itu, tampak ramai. Banyak orang berkerumun memadati halaman dan depan gerbang. Aku terpana, saat melihat sebuah mobil pemadam kebakaran terparkir di sana. Terlihat pula terparkir sebuah mobil patroli polisi di jalan.
“Ya Allah, mimpi apa Kakak semalam, melihat kamu melamar Tyas?” ujar Kak Fitri saat kami sudah berada di mobil yang kami pesan untuk pulang ke rumah.Bang Tamrin terkekeh. “Si Dani, bener-bener dapat durian runtuh. Lepas dari jeratan lintah beracun, sekarang dapat bidadari,” candanya. Aku meninju pelan lengan kakak iparku yang menyebalkan itu.“Pokoknya, awas kalau kamu berani main-main dengan perempuan lain, Dan! Ingat, sebulan lagi kamu akan menikah dengan Tyas. Jaga tingkah laku! Kalau kamu berani aneh-aneh, awas aja!” Kata Kak Fitri, sedikit mengancam. Aku tertawa.“Insya Allah, Dani gak akan macam-macam, Kak. Malahan, Dani maunya tadi bulan ini juga menikah sama Tyas!” selorohku.“Lah, terus, kenapa gak ngomong tadi?” timpal Bang Tamrin.“Ya, gak enak, Bang. Biar tuan rumah yang menentukan, tanggal berapa mereka siap untuk mengadakan acara. Dani ikut saja,” kataku.“Ya, iya, benar. Mana mereka gak minta bantuan sama sekali soal biaya. Kakak jadi sedikit gak enak. Kakak malah teri
Dua jam kemudian, aku dan Kak Fitri sudah sampai lagi di rumah. Tanganku menenteng beberapa kantong belanja yang entah apa isinya. Seingatku, tadi hanya membelikan satu set pakaian dan sebuah cincin untuk Tyas. Namun, Kak Fitri beberapa kali keluar masuk beragam toko, entah apa yang dibelinya.“Kak, kok belanjaannya jadi banyak gini? Kakak beli apa aja?” tanyaku seraya menyerahkan kantong-kantong belanjaan kepadanya.“Ini untuk isian hantaran lamaran nanti. Besok Kakak pesen sama temen, untuk kotak hantarannya,” terang Kak Fitri.“Lah, tapi tadi kan, Dani Cuma beli satu set pakaian sama cincin aja? Kok jadi beranak gini?” Dahiku mengkerut.“Ini Kakak yang beli, hadiah untuk Tyas. Dah, kamu gak usah protes, terima beres aja!” Kak Fitri kemudian meninggalkanku yang masih terpaku. Ya sudahlah!*Setelah mandi, badanku terasa segar. Aku keluar kamar, menuju ke teras. Terlihat Adelia yang sedang asyik sendiri dengan mainannya yang bertebaran di lantai. Kubiarkan keponakanku itu dengan duni
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen