Karma Perselingkuhan
Bab 5
Omelan Ibu Mertua
Hari persalinan tiba, aku melahirkan bayi perempuan. Didampingi ibuku dan Mas Ahmad, aku melahirkan secara caesar. Kami terpaksa mengambil jalan ini, karena panggul yang sempit, dan tidak memungkinkan untukku melahirkan secara normal.
Bayi perempuan yang diberi nama Zea Nara itu, disambut bahagia oleh seluruh keluarga. Terutama keluargaku.
Keluarga Mas Ahmad tinggal di kampung yang berbeda dengan kampungku. Makanya, ibu mertua baru datang hari ini, setelah aku pulang dari rumah sakit. Alasannya, sibuk mengurus dua cucunya. Kedua anak kakaknya Mas Ahmad memang tinggal bersama mertuaku. Sedangkan kakaknya Mas Ahmad bersama suaminya menjadi buruh pabrik di Korea. Mereka pulang dua atau tiga tahun sekali.
"Kenapa mesti caesar, Fat? Emang nggak bisa diusahakan lahir normal?" tanya ibu mertuaku sambil menimang Zea.
"Kan, Ahmad udah bilang, Fatimah panggulnya sempit, Bu," jawab suamiku.
"Makanya, kalo lagi hamil itu, jangan males, harus banyak bergerak, apa lagi menjelang persalinan. Biar lahirannya gampang. Nih, ibu, anak empat semuanya lahir di rumah. Cuma sama emak paraji. Nggak ada yang pake acara jalan-jalan ke rumah sakit. Buang-buang uang saja," omel ibu mertuaku.
Meski hati terasa sakit mendengar omelan ibu mertua, tapi aku diam saja. Dua tahun menjadi menantunya, aku paham betul sifat beliau. Perempuan berkulit sawo matang itu akan semakin meradang kalau omongannya dibantah. Bakal panjang urusannya. Karena itulah aku memilih diam. Begitu juga Mas Ahmad, yang malah memilih keluar kamar, pura-pura ke kamar mandi.
"Fat, apa rencanamu setelah melahirkan?" tanya ibu mertua setelah Mas Ahmad berlalu.
"Maksudnya, Bu?"
"Ya, apa mau tetap di kampung, apa balik lagi ke Jakarta?"
"Belum tau, Bu." Aku memang belum menyusun rencana apa-apa setelah melahirkan. Luka bekas jahitan di perut saja belum sepenuhnya pulih, boro-boro memikirkan hal lain.
"Kalian ini bagaimana? Hidup, kok, nggak punya rencana!"
"Bukan begitu, Bu. Nunggu saya pulih dulu, baru mikirin hal lain."
"Nih, saran ibu, ya. Kamu jangan keluar kerja. Anakmu ini, titipkan saja sama ibu. Nanti, tiap bulan kalian kirimkan biaya untuk beli kebutuhannya, ke ibu. Kakaknya Ahmad juga gitu, kok."
Jujur aku agak terkejut mendengar usul ibu mertua. "Saya pikir-pikir dulu, Bu. Anak saya juga baru lahir. Cuti saya masih dua bulan lagi."
"Jangan kelamaan mikir! Nih, mumpung kalian masih muda, kerja aja yang rajin. Kumpulin uang, buat masa depan kalian. Masalah ngurus anak, serahin aja sama ibu yang udah pengalaman."
"Gimana nanti aja, Bu." Malas berdebat, aku menjawab sekenanya, berharap ibu mertuaku diam dan tidak melanjutkan omelannya. Namun, ternyata aku salah.
"Fat, hidup itu jangan gimana nanti! Harus direncanakan! Apalagi kalian belum punya rumah! Boro-boro tabungan! Emangnya kalian mau terus-terusan numpang di rumah orang tua?"
'Duh, salah lagi! Mas Ahmad ke mana coba? Harusnya dia juga ikut mendengarkan omelan ibunya. Bukan malah pergi gitu aja. Ish, ibuku juga ke mana? Ke warung, kok, nggak balik-balik dari tadi.' Aku hanya berani menggerutu dalam hati sambil memilin tepian daster yang kupakai.
"Nggak malu apa? Nikah udah dua tahun, tapi masih numpang! Tuh, lihat! Kakaknya Ahmad, mereka berdua kerja di pabrik! Sekarang udah punya rumah, sawah, sepeda motor, sebentar lagi mau bikin tambak ikan! Anak-anak, mereka titipkan ke ibu. Tidak masalah! Masih muda itu, cari duit yang banyak! Nggak usah manja! Apalagi sok-sokan mau ngurus anak sendiri! Tau dirilah, punya orang tua pas-pasan!"
"Astagfirullah!" tanpa sadar aku beristighfar cukup keras mendengar kalimat ibu mertua yang kurasa semakin menjadi. Sementara untuk melawan, aku pun tak berani.
"Ada apa ini? Sepertinya serius banget. Loh, Bu Besan, kok berdiri? Belum disuguhi minum lagi. Kamu ini gimana, Fat? Kok, ibu mertuamu dianggurin," ujar Ibu yang tiba-tiba muncul di pintu kamar.
"Nggak usah repot-repot! Saya juga nggak lama, kok. Kasihan kedua cucu saya di rumah kalo terlalu lama ditinggal!" sahut ibu mertua ketus.
"Loh, kenapa mereka tadi nggak diajak aja? Pasti mereka seneng, dapat adik baru."
"Kedua cucuku itu, nggak biasa panas-panasan dan kena angin! Takut sakit. Kalo sakit, aku juga yang repot."
"Oh, gitu. Anaknya Fatimah juga, kan, cucumu juga. Apa nggak pengin nemenin, nginep dulu barang sehari atau dua hari. Biar kedua cucumu yang lain dijemput sama Ahmad, nanti."
"Nggak usah! Biar aku pulang saja. Kalo Fatimah pengin anaknya deket sama saya, bawa saja ke sana! Biar saya yang urus! Sama kayak anak kakaknya Ahmad!"
"Maksudnya, Bu?"
Ibu mertua mengulangi lagi kata-kata yang ia ucapkan padaku tadi. Ibuku menyimak dengan seksama. Aku melihat raut wajah ibu sedikit keruh, mungkin beliau juga tidak nyaman dengan kalimat besannya. Sementara aku, memilih diam. Karena, jika bersuara, pasti akan semakin memperkeruh suasana.
"Maaf, Bu Besan. Usul Bu Besan memang bagus. Tapi, Fatimah sama Ahmad pasti sudah punya rencana sendiri untuk hidup mereka. Sebaiknya, kita tidak usah ikut campur, apalagi ikut mengatur. Sebagai orang tua, lebih baik, kita mendoakan agar mereka dimudahkan dalam mencari rejeki," timpal ibu setelah ibu mertuaku selesai bicara.
"Halah! Ibu sama anak sama saja! Dikasih saran bagus, membantah terus! Banyak alasan! Terserah ah! Saya mau pulang saja! Pusing di sini lama-lama!"
Saat ibuku terlihat akan membantah, aku memberikan kode agar diam. Untung anakku menangis, jadi ibuku tak membalas omelan besannya. Cepat aku meminta Zea, yang masih dalam gendongan ibu mertua, untuk ditenangkan, lalu kususui.
"Ibu pulang dulu! Mana Ahmad! Suruh dia cari tukang ojek!"
Tanpa menjawab, ibuku langsung pergi dari kamarku. Kemudian terdengar suara ibu memanggil Mas Ahmad.
"Coba kalo kalian punya sepeda motor, kan enak. Nggak perlu naik ojek ke mana-mana. Makanya, kerja yang rajin. Mumpung masih muda. Contoh tuh, kakaknya Ahmad!"
"Iya, Bu. Nanti saya pikir-pikir dulu saran ibu."
"Ya sudah. Ibu pulang. Assalamualaikum.'
"Iya, Bu. Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan."
Aku mencium tangan kanan ibu mertua, lalu mengikuti langkahnya ke luar dari kamarku. Di teras, terlihat Mas Ahmad sudah bersama Kang Amin, tetangga kami, yang memang berprofesi sebagai tukang ojek. Setelah berpamitan pada ibuku, ibu mertuaku langsung naik ke jok sepeda motor. Detik berikutnya Kang Amin membawa pergi ibu mertua dari halaman rumah ibuku.
Kami semua masuk ke rumah. Ibuku langsung ke dapur. Sementara aku dan Mas Ahmad duduk di ruang tamu sekaligus ruang keluarga. Rumah orang tuaku memang sangat sederhana dengan perabot seadanya. Televisi menjadi satu-satunya barang mewah di sini.
"Mas, tadi kamu ke mana?"
Mas Ahmad yang sedang menonton televisi, menoleh. "Ada, di sini. Nonton tivi."
"Kamu ini, aku diomelin ama ibu malah ke luar. Bukannya belain. Tega banget, sih!"
"Bukan gitu, Dek. Kamu tau sendiri sifat ibuku gimana, kan? Kalo dijawab, semakin menjadi. Makanya aku ke luar kamar. Daripada nggak bisa nahan emosi."
"Iya, juga, sih."
"Udah, kamu nggak usah mikirin omongan ibuku. Benar apa kata ibumu tadi. Kita berhak merencanakan sendiri hidup kita. Aku malah pengennya kamu diam aja di rumah, ngurus anak. Biar aku aja yang kerja."
"Iya, Mas."
Akhirnya aku diam, ikut menonton televisi. Benar apa kata ibuku dan Mas Ahmad. Kami berhak merencanakan hidup kami sendiri. Orang tua cukup mendukung dan mendoakan, selama itu baik dan tidak merugikan orang lain.
Karma Bab 26MimpikuBeberapa ibu-ibu yang merupakan para tetangga dan kerabat, terlihat sibuk. Ada yang memasak di dapur, ada juga yang menata kue-kue di ruang tengah. Sementara suami-suami mereka terlihat membantu Bapak. Para pria itu, mengeluarkan meja dan kursi dari ruang tamu. Kemudian menggelar karpet, yang sebagian meminjam dari tetangga sekitar. Sedangkan aku, hanya diam mengawasi Zea yang asyik bermain barbie di depan televisi. Ada juga Mbak Nurul di dekatku. Wanita kalem itu sedang menata dus snack untuk para tamu.Hari ini, rumah orang tuaku sedikit sibuk. Tiga hari sudah aku berada di rumah. Rencananya, malam ini, orang tuaku akan mengadakan syukuran atas kepulanganku. Hanya acara kecil, mengundang tetangga sekitar saja. Akan tetapi, karena jiwa gotong royong masih melekat kuat, para tetangga dan kerabat, datang membantu dengan sukarela. Aku terharu dengan keikhlasan mereka semua. Mereka mengerjakan tugas masing-masing dengan riang, diiringi celoteh khas ibu-ibu. Aku dan
Karma Bab 25PulangHari ini akhirnya tiba juga. Dengan hati berdebar tak karuan, aku mengecek sekali lagi barang-barang yang akan dibawa, takut ada yang tertinggal. Nyonya Thai Thai dan suaminya mengingatkan tentang dokumen perjalanan dan tiket pesawat, takut tertinggal. Sementara Oma, menatapku sendu. Wanita tua itu berkali-kali memintaku untuk cepat kembali. Katanya, dia pasti akan merindukanku. Ah, Oma, bikin aku terharu saja. Setelah semuanya selesai, dibantu sopir keluarga majikan, aku memasukkan semua barang bawaan ke bagasi. Seperti anak kecil yang akan ditinggal pengasuhnya, Oma merajuk. Dia bersikeras ikut ke Bandara, untuk mengantarku. Akhirnya, anak dan menantu Oma menyerah. Mereka membawa serta Oma ke Bandara. Aku tersenyum kecil saat melihat Oma tersenyum senang. Sepanjang perjalanan, Oma terus-terusan menasehatiku. Selain memintaku cepat kembali dan selalu menghubunginya, dia juga memintaku untuk tidak buru-buru menikah lagi. Katanya, fokus saja membesarkan anak dan
Karma Perselingkuhan Bab 24Dia Pergi Kabar tentang kecelakaan Mas Ahmad terus mengganggu pikiran. Apalagi sejak musibah itu, Fitri jadi lebih sering menghubungiku. Tanpa kuminta, dia mengabarkan bagaimana keadaan Mas Ahmad. Katanya, luka yang diderita mantan suamiku itu cukup parah. Tangan dan kaki kanannya mengalami patah pada tulang. Fitri tidak menjelaskan detailnya. Dia hanya mengatakan bahwa kemungkinan untuk pulih itu memakan waktu cukup lama. Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya Mas Ahmad diperbolehkan pulang. Menurut cerita Fitri, mereka pulang ke kampung, karena kalau di Jakarta tidak ada yang membantu merawat Mas Ahmad.Aku memberitahu Ibu, kabar soal kecelakaan yang menimpa mantan menantunya itu. Reaksi ibu biasa saja. Akan tetapi, wanita berhati lembut itu tak menolak saat diminta menjenguk Mas Ahmad yang sudah dibawa pulang kampung. Menurut cerita ibu, Mas Ahmad berkali-kali minta maaf padanya. Aku meminta ibu untuk memaafkan semua kesalahan Mas Ahmad di masa l
Karma Bab 23Ahmad Kecelakaan Seperti biasa, saat hari minggu tiba, aku berkumpul bersama Anisa dan teman-teman TKW yang lain di Taipei Main Station. Sebenarnya bukan cuma TKW dan TKI saja yang berkumpul di sini. Mahasiswa dan pekerja imigran dengan profesi lain juga banyak yang berkumpul di sini. Apalagi, kalau pengajian rutin sedang berlangsung, seperti pagi ini. Pasti jumlah pengunjung semakin banyak. Kebetulan pagi ini, penceramahnya seorang Ustadzah terkenal yang diundang langsung dari Indonesia. Dengan tekun, aku menyimak semua yang disampaikan oleh Ustadzah yang selama ini hanya bisa dilihat melalui layar televisi. Entah kebetulan atau tidak, tema kajian pagi ini, adalah 'Jangan Mendendam' sesuai dengan apa yang sedang kualami. Dalam hidup ini, tentu kita tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Ada saja kejadian yang membuat kita kecewa dan berujung sakit hati. Ketika sakit hati, kita dapat merasa sangat merana. Apalagi bila yang menyakiti hati kita adalah orang terd
Karma Bab 22Kabar Duka 2Cerita ibu soal permintaan maaf mantan ibu mertua mengganggu pikiranku selama berhari-hari. Hal itu mau tak mau membuatku bertanya pada diri sendiri, apakah aku sudah benar-benar memaafkan mereka? Atau mungkin masih ada sedikit dendam di hatiku untuk mereka? Setiap kali sholat, aku berdoa, memohon ampun untuk diriku sendiri dan untuk mantan ibu mertua. Tak henti-hentinya aku memohon pada Yang Maha Kuasa agar penyakit mantan ibu mertua diangkat dan disembuhkan seperti sedia kala. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. Aku yang sedang melipat mukena, seusai sholat Isya, segera menekan tombol hijau. Takutnya penting. "Assalamualaikum," sapaku. Terdengar sahutan salam dari seberang sana. Suara pria yang masih kuingat dengan baik. Suara Mas Ahmad. "Fat. Maaf mengganggu malam-malam begini.""Iya, Mas. Ada apa? Gimana keadaan ibu?""Fat, keadaan ibu semakin memburuk.""Ya Allah, terus sekarang gimana?""Ibu bilang, pengen ngomong sama kamu. Kalo kamu berk
KarmaBab 21Mantan Ibu MertuaTiba-tiba panggilan terputus. Mungkin mantan ibu mertua tidak nyaman dengan kata-kataku. Takut terjadi apa-apa pada Zea dan keluargaku, segera kutekan nomor telepon ibu. Tersambung dan langsung diangkat. Terdengar suara ibu menyapaku dari seberang sana. "Bu, pokoknya jangan berikan Zea sama mereka. Fatimah nggak rela kalo Zea diasuh sama mereka. Kalo memang mereka peduli sama Zea, kenapa selama ini tidak memperhatikan keadaan Zea?" cerocosku dengan napas tersengal menahan amarah. Dari seberang telepon, ibu meyakinkanku bahwa mantan ibu mertua tidak akan bisa membawa Zea."Pantesan anakku cari perempuan lain buat dijadikan istri. Dia bosan punya istri keras kepala sepertimu. Dan, lihat! Setelah cerai dari Ahmad, nggak ada laki-laki yang mau menikah denganmu! Perempuan keras kepala! Untung udah nggak jadi mantuku. Bisa stres lama-lama punya mantu sepertimu!" Tiba-tiba terdengar omelan mantan ibu mertua. Mungkin dia merebut hape di tangan ibuku. Aku mend