Karma Perselingkuhan
Bab 3
Istri Bodoh
Bu Rani mengajakku ke Mushola yang terletak di belakang toko. Urusan kasir diserahkan pada Pak Burhan yang kebetulan sedang berada di toko.
"Kenapa, ada masalah apa, Fatimah?" tanya Bu Rani sambil memberikan botol air mineral padaku. Aku menerima pemberian Bu Rani, membuka tutupnya dan meminum sedikit isinya.
"Kami, diusir dari kontrakan, Bu Harus pindah secepatnya."
Bu Rani tampak terkejut. "Diusir? Kok bisa? Kenapa? Kalian nunggak bayar kontrakan?"
Aku menghela napas, kasar. "Bukan, Bu. Tapi, Mas Ahmad. Dia …."
Aku bingung, apa harus cerita yang sebenarnya atau tidak? Kalau cerita, sama saja menyebar aib rumah tangga sendiri. Kalau tidak cerita, aku juga bingung harus mencari alasan kenapa sampai diusir dari kontrakan. Lagi pula, percuma saja walaupun tidak cerita, pasti lambat laun, Bu Rani dan Pak Burhan akan tahu yang sebenarnya. Karena, supir toko ini juga mengontrak di tempat yang sama denganku.
"Ahmad, kenapa suamimu?" tanya Bu Rani lembut.
"Mas Ahmad, selingkuh, Bu," jawabku sambil menunduk.
"Astagfirullahaladzim, ama siapa, Fat?"
Dengan terbata-bata dan sesekali terisak, aku menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Bu Rani menyimak ceritaku dengan seksama. Wanita berkerudung lebar itu mengusap-usap pundakku, seolah memberikan kekuatan.
"Maaf, saya terpaksa cerita sama Ibu. Saya nggak tau mau cerita ama siapa. Di sini, saya nggak punya siapa-siapa, Bu. Kalo cerita ama orang tua saya, takut jadi beban pikiran buat mereka. Maaf, ya, Bu."
Bu Rani tersenyum lembut. Wanita yang terkenal bijaksana ini, mengusap lembut pundakku.
"Saya malah seneng, kamu mau cerita jujur tentang masalah kamu. Bagi saya, karyawan bukan sekedar karyawan. Kalian adalah keluarga. Apalagi karyawan sepertimu, yang udah bertahun-tahun kerja di sini. Jadi, nggak usah sungkan. Anggap saja, kami sebagai orang tuamu di sini."
"Iya, Bu. Terima kasih. Sebenarnya saya juga malu, menceritakan ini semua. Bagaimanapun aib suami saya adalah aib saya juga. Tapi, saya juga nggak tau harus bagaimana.
"Iya, Fat. Saya ngerti, kok. Tapi, kalau pun kamu nggak cerita, cepat atau lambat, saya akan tetap mendengar masalah ini. Selain kontrakan kamu yang letaknya dekat, karyawan saya juga kan, ada yang ngontrak di sana juga."
"Iya, Bu. Sekali lagi, maaf, dan terima kasih."
"Iya, udah, nggak apa-apa. Sekarang, apa rencana kamu?"
"Saya mau cari kontrakan dulu, Bu."
"Ke mana?"
"Belum tahu, Bu. Kalo bisa jangan di daerah sini. Saya takut, lama-lama orang lain tau perbuatan suami saya, dan saya malu, Bu."
Bu Rani diam, seperti memikirkan sesuatu. "Gini, Fat, saya ada saudara yang punya kontrakan, tapi, agak jauh, sih. Bentar saya hubungi dia dulu, kali aja ada kamar kosong."
"Baik, Bu. Terima kasih."
"Kamu tunggu dulu di sini sebentar."
Bu Rani masuk ke dalam toko, mungkin mau menelepon temannya yang punya kontrakan itu. Tak lama kemudian, wanita berhidung mancung itu kembali.
"Fat, alhamdulillah ada satu kamar kosong di sana. Kamu ke sana saja, lihat dulu. Ini alamat dan nomor teleponnya." Bu Rani menyerahkan selembar kertas bertuliskan alamat dan nomor telepon temannya. Aku membacanya sekilas. Alamatnya tidak terlalu jauh. Hanya satu kali naik angkutan umum. Tak apalah, toh, aku juga masuk pagi terus, dan sebentar lagi cuti. Kalau Mas Ahmad, dia kan laki-laki. Masa iya tidak berani naik angkot malam-malam. Toh, shift siang cuma sampai jam sepuluh malam.
"Makasih, Bu. Saya permisi dulu, takut keburu sore."
"Iya, hati-hati. Sama Ahmad, kan?"
"Iya, Bu. Maaf, kami berdua izin nggak masuk kerja, ya."
"Iya, nggak apa-apa. Nanti saya bilang ke suami saya kalo Ahmad izin."
"Iya, Bu. Terima kasih, permisi assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Dengan langkah gontai, aku meninggalkan toko, menuju kontrakan. Hatiku terasa sedikit lega, mungkin karena sudah membagi bebanku dengan Bu Rani.
***
Setibanya di kontrakan, terlihat Mas Ahmad sedang bersiap untuk berangkat kerja.
"Nggak usah kerja, Mas. Aku udah mintain izin tadi. Mending kita cari kontrakan. Nih, kata Bu Rani ada kamar kosong di alamat ini." Aku menyerahkan kertas dari Bu Rani pada Mas Ahmad.
"Kamu, cerita semuanya, Fat?"
"Ya iyalah. Aku, kan, nggak pintar bohong buat cari alasan kenapa kita tiba-tiba pindah."
"Ya ampun, Fatimah! Kamu ini! Aib suami sendiri disebar ke orang lain!"
Aku terkejut mendengar bentakan Mas Ahmad. "Terserah apa katamu!"
Mas Ahmad melotot ke arahku, tapi aku tidak takut.
"Terserah kamu mau ikut apa nggak. Aku mau datang ke alamat itu, buat ngecek kontrakan. Aku pengen cepet pindah dari sini! Malu sama tetangga sini. Cepat atau lambat, mereka pasti bakalan tau kelakuan kamu!"
"Malu! Malu! Semua gara-gara kamu! Kalo kamu bisa sedikit menahan diri, nggak akan ada yang tau!"
"Yang harusnya bisa nahan diri itu kamu, Mas! Jelas-jelas kamu yang salah! Atau kamu keberatan pindah karena nggak bisa lagi ketemu selingkuhan tersayangmu itu? Iya? Nih, kasih ke dia! Suruh cuci yang bersih, tak sudi aku mencuci bekas dosa kalian!"
Aku melemparkan sprei yang sudah kulepas dari kasur pada Mas Ahmad. Mas Ahmad yang berdiri di depan pintu, tampak terkejut. Tepat saat aku melempar sprei itu, Nurma muncul dari kamarnya. Dia juga tampak salah tingkah.
"Mbak, udah. Tenang aja, aku nggak bakal ngerebut Mas Ahmad, kok. Aku udah punya tunangan!"
"Udah tunangan tapi masih kegatelan godain suami orang!" ketusku.
"Mbak, kami cuma iseng!"
Astagfirullah, apa aku tidak salah dengar? Menjijikkan! Mereka berhubungan sejauh itu, dan mengatakan cuma iseng? Apa mereka berdua sudah tak waras?
Aku mendekati Mas Ahmad. "Kamu denger, Mas? Cuma iseng! Jangan-jangan, isengnya bukan cuma ama kamu, hiiy!"
Wajah Mas Ahmad terlihat memerah, mungkin menahan marah, atau malu, aku tak peduli dan pura-pura tak melihat. Aku meraih sapu yang tergantung di dekat pintu. Kemudian dengan sapu itu, aku mendorong sprei yang tergeletak di dekat kaki Mas Ahmad.
"Nur, nih! Cuci bersih! Nggak usah dikembalikan! Ambil aja sekalian buat kamu! Buat nanti kalo iseng lagi ama cowok lain!"
Wajah Nurma seketika berubah pias. Dia seperti akan membalas perkataanku, tapi aku bergegas kembali ke kamar, mengambil dompet dan HP.
"Kamu mau ikut liat kontrakan, apa mau tetap di sini?" tanyaku pada Mas Ahmad.
"Ikutlah!"
"Kirain, masih mau di sini! Mau menikmati keisengan Nurma untuk yang terakhir kali sebelum pindah!" ketusku sambil berjalan melewati badan Mas Ahmad begitu saja.
Aku berjalan mendahului Mas Ahmad. Terdengar suara langkah Mas Ahmad mengikuti di belakangku. Beberapa orang yang berpapasan dengan kami, menyapa ramah. Hampir semua penghuni di sini dan tetangga sekitar kontrakan, mengenalku dan Mas Ahmad. Karena sejak belum menikah, kami sudah tinggal di daerah sini. Terutama aku yang memang belum pernah pindah ke tempat lain. Kalau Mas Ahmad, dulu mengontrak di tempat lain. Semenjak menikah pindah ke sini.
Sebenarnya aku betah di daerah sini. Mereka menerima dan memperlakukanku dengan baik. Para penduduk di sini juga tidak menganggapku sebagai pendatang. Seandainya Mas Ahmad tidak mencurangiku, aku enggan pindah dari sini. Tapi, apa mau dikata? Semua sudah terjadi.
Karma Bab 26MimpikuBeberapa ibu-ibu yang merupakan para tetangga dan kerabat, terlihat sibuk. Ada yang memasak di dapur, ada juga yang menata kue-kue di ruang tengah. Sementara suami-suami mereka terlihat membantu Bapak. Para pria itu, mengeluarkan meja dan kursi dari ruang tamu. Kemudian menggelar karpet, yang sebagian meminjam dari tetangga sekitar. Sedangkan aku, hanya diam mengawasi Zea yang asyik bermain barbie di depan televisi. Ada juga Mbak Nurul di dekatku. Wanita kalem itu sedang menata dus snack untuk para tamu.Hari ini, rumah orang tuaku sedikit sibuk. Tiga hari sudah aku berada di rumah. Rencananya, malam ini, orang tuaku akan mengadakan syukuran atas kepulanganku. Hanya acara kecil, mengundang tetangga sekitar saja. Akan tetapi, karena jiwa gotong royong masih melekat kuat, para tetangga dan kerabat, datang membantu dengan sukarela. Aku terharu dengan keikhlasan mereka semua. Mereka mengerjakan tugas masing-masing dengan riang, diiringi celoteh khas ibu-ibu. Aku dan
Karma Bab 25PulangHari ini akhirnya tiba juga. Dengan hati berdebar tak karuan, aku mengecek sekali lagi barang-barang yang akan dibawa, takut ada yang tertinggal. Nyonya Thai Thai dan suaminya mengingatkan tentang dokumen perjalanan dan tiket pesawat, takut tertinggal. Sementara Oma, menatapku sendu. Wanita tua itu berkali-kali memintaku untuk cepat kembali. Katanya, dia pasti akan merindukanku. Ah, Oma, bikin aku terharu saja. Setelah semuanya selesai, dibantu sopir keluarga majikan, aku memasukkan semua barang bawaan ke bagasi. Seperti anak kecil yang akan ditinggal pengasuhnya, Oma merajuk. Dia bersikeras ikut ke Bandara, untuk mengantarku. Akhirnya, anak dan menantu Oma menyerah. Mereka membawa serta Oma ke Bandara. Aku tersenyum kecil saat melihat Oma tersenyum senang. Sepanjang perjalanan, Oma terus-terusan menasehatiku. Selain memintaku cepat kembali dan selalu menghubunginya, dia juga memintaku untuk tidak buru-buru menikah lagi. Katanya, fokus saja membesarkan anak dan
Karma Perselingkuhan Bab 24Dia Pergi Kabar tentang kecelakaan Mas Ahmad terus mengganggu pikiran. Apalagi sejak musibah itu, Fitri jadi lebih sering menghubungiku. Tanpa kuminta, dia mengabarkan bagaimana keadaan Mas Ahmad. Katanya, luka yang diderita mantan suamiku itu cukup parah. Tangan dan kaki kanannya mengalami patah pada tulang. Fitri tidak menjelaskan detailnya. Dia hanya mengatakan bahwa kemungkinan untuk pulih itu memakan waktu cukup lama. Setelah hampir dua minggu dirawat, akhirnya Mas Ahmad diperbolehkan pulang. Menurut cerita Fitri, mereka pulang ke kampung, karena kalau di Jakarta tidak ada yang membantu merawat Mas Ahmad.Aku memberitahu Ibu, kabar soal kecelakaan yang menimpa mantan menantunya itu. Reaksi ibu biasa saja. Akan tetapi, wanita berhati lembut itu tak menolak saat diminta menjenguk Mas Ahmad yang sudah dibawa pulang kampung. Menurut cerita ibu, Mas Ahmad berkali-kali minta maaf padanya. Aku meminta ibu untuk memaafkan semua kesalahan Mas Ahmad di masa l
Karma Bab 23Ahmad Kecelakaan Seperti biasa, saat hari minggu tiba, aku berkumpul bersama Anisa dan teman-teman TKW yang lain di Taipei Main Station. Sebenarnya bukan cuma TKW dan TKI saja yang berkumpul di sini. Mahasiswa dan pekerja imigran dengan profesi lain juga banyak yang berkumpul di sini. Apalagi, kalau pengajian rutin sedang berlangsung, seperti pagi ini. Pasti jumlah pengunjung semakin banyak. Kebetulan pagi ini, penceramahnya seorang Ustadzah terkenal yang diundang langsung dari Indonesia. Dengan tekun, aku menyimak semua yang disampaikan oleh Ustadzah yang selama ini hanya bisa dilihat melalui layar televisi. Entah kebetulan atau tidak, tema kajian pagi ini, adalah 'Jangan Mendendam' sesuai dengan apa yang sedang kualami. Dalam hidup ini, tentu kita tidak selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Ada saja kejadian yang membuat kita kecewa dan berujung sakit hati. Ketika sakit hati, kita dapat merasa sangat merana. Apalagi bila yang menyakiti hati kita adalah orang terd
Karma Bab 22Kabar Duka 2Cerita ibu soal permintaan maaf mantan ibu mertua mengganggu pikiranku selama berhari-hari. Hal itu mau tak mau membuatku bertanya pada diri sendiri, apakah aku sudah benar-benar memaafkan mereka? Atau mungkin masih ada sedikit dendam di hatiku untuk mereka? Setiap kali sholat, aku berdoa, memohon ampun untuk diriku sendiri dan untuk mantan ibu mertua. Tak henti-hentinya aku memohon pada Yang Maha Kuasa agar penyakit mantan ibu mertua diangkat dan disembuhkan seperti sedia kala. Sebuah nomor tak dikenal terpampang di layar. Aku yang sedang melipat mukena, seusai sholat Isya, segera menekan tombol hijau. Takutnya penting. "Assalamualaikum," sapaku. Terdengar sahutan salam dari seberang sana. Suara pria yang masih kuingat dengan baik. Suara Mas Ahmad. "Fat. Maaf mengganggu malam-malam begini.""Iya, Mas. Ada apa? Gimana keadaan ibu?""Fat, keadaan ibu semakin memburuk.""Ya Allah, terus sekarang gimana?""Ibu bilang, pengen ngomong sama kamu. Kalo kamu berk
KarmaBab 21Mantan Ibu MertuaTiba-tiba panggilan terputus. Mungkin mantan ibu mertua tidak nyaman dengan kata-kataku. Takut terjadi apa-apa pada Zea dan keluargaku, segera kutekan nomor telepon ibu. Tersambung dan langsung diangkat. Terdengar suara ibu menyapaku dari seberang sana. "Bu, pokoknya jangan berikan Zea sama mereka. Fatimah nggak rela kalo Zea diasuh sama mereka. Kalo memang mereka peduli sama Zea, kenapa selama ini tidak memperhatikan keadaan Zea?" cerocosku dengan napas tersengal menahan amarah. Dari seberang telepon, ibu meyakinkanku bahwa mantan ibu mertua tidak akan bisa membawa Zea."Pantesan anakku cari perempuan lain buat dijadikan istri. Dia bosan punya istri keras kepala sepertimu. Dan, lihat! Setelah cerai dari Ahmad, nggak ada laki-laki yang mau menikah denganmu! Perempuan keras kepala! Untung udah nggak jadi mantuku. Bisa stres lama-lama punya mantu sepertimu!" Tiba-tiba terdengar omelan mantan ibu mertua. Mungkin dia merebut hape di tangan ibuku. Aku mend