Share

Kesempatan Kedua

Karma Perselingkuhan 

Bab 4

Satu hari setelah kejadian aku mengetahui perselingkuhan Mas Ahmad dan Nurma, kami pindah kontrakan. Beberapa tetangga menatap iba padaku saat berpamitan. Mereka yang rata-rata sudah bertahun-tahun menghuni tempat ini, sudah kuanggap seperti saudara sendiri. Satu persatu aku menyalami mereka. Para tetangga perempuan, menangis melepas kepindahanku. 

Sementara Nurma entah ke mana dia. Dari kemarin pintu kamarnya selalu tertutup rapat. Lampu kamarnya juga tidak dinyalakan. Mungkin dia pulang kampung atau menginap di salah satu temannya. Bodo amat, aku tak peduli. Malah bagus, aku tak perlu bertemu dengannya. 

"Jaga istri dan calon anakmu baik-baik, Ahmad. Jangan diulangi lagi perbuatan yang kemarin!" pesan Bu Haji pada suamiku.

"Iya, Bu," jawab Mas Ahmad tanpa mengangkat kepalanya. 

"Kamu hati-hati, ya, Fat. Kalo butuh bantuan, jangan sungkan hubungi kami."

"Iya, Insya Allah, Bu."

Kemudian wanita bertubuh gempal itu, memelukku erat, beliau berpesan agar aku tetap bersabar. 

Dibantu para tetangga, semua barang dimasukkan ke dalam truk. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, kami bergegas meninggalkan kontrakan yang penuh kenangan itu. Mereka meminta maaf, tidak bisa mengantar kepindahan kami. Karena memang, selain mendadak, kami juga pindah di hari kerja. Bagiku, tak mengapa. Aku mengerti posisi mereka yang rata-rata bekerja, dan tidak mungkin meminta izin mendadak. Yang penting, aku sudah pamit baik-baik, dan tidak meninggalkan kesan buruk di mata mereka. 

***

Tak lama kemudian kami sampai ke tempat tujuan. Jarak dari kontrakan lama ke kontrakan baru sekitar lima belas menit menggunakan angkutan umum. Kamar yang kami sewa juga ukurannya hampir sama dengan kontrakan lama. 

Karena tetangga tak ada yang mengantar, jadi Mas Ahmad menata sendiri perabotan yang besar. Seperti lemari pakaian, rak piring, dan meja televisi. Sementara aku menata barang yang kecil-kecil. Kami melakukan semua itu tanpa percakapan berarti. Jujur, aku masih dongkol dengan kelakuan Mas Ahmad. Selain tidak meminta maaf, dia juga masih terus menyalahkanku. 

Kalau tidak takut membebani pikiran orang tua, ingin rasanya aku pulang ke kampung dan mengadukan semua perbuatan Mas Ahmad. Mengingat tentang orang tua, tak terasa air mataku menetes. Pasti mereka sedih, kalau tahu masalah yang menimpaku. Selama ini, bapak ibuku tahunya, Mas Ahmad itu memperlakukan aku dengan baik. 

"Kapan beresnya kerjaan kamu kalo sambil ngelamun gitu?" tegur Mas Ahmad. Nada bicaranya sudah tidak seketus sebelumnya. 

"Siapa yang ngelamun? Aku cuma inget bapak ibu di kampung, kok. Nggak boleh?"

Mas Ahmad mendekat lalu duduk di depanku. "Kamu, nggak cerita masalah ini ke orang tuamu, kan?" 

Aku menghela napas dengan kasar. Kutatap sekilas wajah yang pernah membuatku tergila-gila itu. "Nggak-lah, Mas."

Mas Ahmad tersenyum. Senyum yang dulu membuatku merindukannya siang malam. "Bagus, anak pintar," ujar Mas Ahmad sambil mengusap puncak kepalaku yang tertutup kerudung hitam.

Aku melengos. Entah sihir apa yang dipakai Mas Ahmad. Aku selalu mudah luluh setiap kali dia bersikap manis walaupun sehabis berbuat salah. 

"Kita cari makan dulu, yuk," ajak Mas Ahmad. "Kamu mau makan apa?" 

"Ngerayu, nih?" 

"Aduh, Dek. Aku ini suamimu. Masa, suami nawarin makan ke istri sendiri, disebut merayu."

Aku sengaja mengerucutkan bibir. Biar Mas Ahmad tahu, aku masih belum memaafkan perbuatannya. 

"Udah, cepetan. Aku nggak mau disebut suami dzolim, karena membiarkan istrinya kelaparan."

Tanpa menunggu jawaban, Mas Ahmad menarik tanganku agar aku berdiri.

"Tadi aku liat ada warteg di dekat jalan masuk ke sini. Kita beli makanan di sana, aja ya."

Aku tak menjawab kalimat Mas Ahmad, tapi tetap mengikuti langkahnya menuju ke warung yang dimaksud olehnya. Sebenarnya Mas Ahmad itu baik dan tidak pernah kasar pada perempuan. Selama menikah dengannya, aku belum pernah mengalami kekerasan terutama secara fisik. Berkata kasar pun hampir tidak pernah. Mas Ahmad itu, termasuk pria yang penuh perhatian dan penyayang. Namun, sayangnya dia baik, perhatian dan penyayangnya bukan cuma sama aku. 

***

Tidak terasa sudah hampir satu bulan kami pindah ke kontrakan baru. Beberapa tetangga juga mulai akrab denganku. Sementara Mas Ahmad sepertinya mulai berubah. Dia pergi dan pulang tepat waktu. Walaupun hubungan kami tidak sehangat dulu, tapi aku tetap berusaha menjadi istri yang baik. Kujalankan semua kewajiban sebagai seorang istri. 

"Ingat, Mas. Walaupun tidak sempurna, tapi aku sudah berusaha menjalankan semua kewajiban sebagai istri. Kalau kamu masih macam-macam, aku tidak akan memberi kesempatan lagi. Aku juga tidak akan membalas perbuatanmu kalo kamu menyakitiku lagi. Aku yakin, Allah tidak tidur. Biar, Dia yang membalas semua perbuatanmu," kataku suatu malam sebelum kami tidur. 

"Iya, Dek. Maafkan aku yang terkadang tak bisa menahan diri. Mas janji, tidak akan menyakitimu lagi. Apalagi sebentar lagi, anak kita lahir. Aku nggak mau, anak kita menanggung akibat dari perbuatanku."

Aku tersenyum mendengar janji Mas Ahmad. Walaupun belum sepenuhnya bisa percaya, tapi apa salahnya mencoba. Sebagai seorang istri, percaya itu harus, tapi waspada juga wajib. Sesekali aku. Memeriksa hape Mas Ahmad, barangkali ada nama kontak atau chat mencurigakan. Sejauh ini aman. Mungkin benar, Mas Ahmad mulai berubah menjadi lebih baik.

Tentang Nurma, mungkin Mas Ahmad sudah tidak lagi berhubungan dengannya. Kabar terakhir yang kudengar, Nurma menikah dengan tunangannya. Pernikahan mereka dipercepat karena tunangannya mendapatkan pekerjaan di luar pulau. Nurma dibawa serta. Tentu saja aku lega mendengar kabar itu. Setidaknya aku merasa tenang. Aku tidak perlu khawatir dan takut Mas Ahmad menjalin hubungan dengan perempuan itu. 

Mungkin beberapa orang mengatakan aku ini bodoh, karena mau memaafkan kesalahan Mas Ahmad. Beginilah, aku. Lemah dan mudah memaafkan orang lain. Bukankah, manusia itu tempatnya salah dan dosa? Allah saja Maha Pemaaf, masa kita manusia tidak mau memaafkan kesalahan sesama. Apalagi, Mas Ahmad itu suamiku, calon ayah dari anak-anakku, bukan orang lain. Jadi, tak ada alasan untuk tidak memaafkannya. 

***

Kandunganku semakin besar. Bulan ini memasuki usia delapan bulan. Aku pun sudah mengajukan cuti melahirkan. Rencananya, aku akan melahirkan di kampung halaman saja. Biar ada yang mengurus dan mengajariku merawat bayi. Mas Ahmad setuju dengan keinginanku. Dia akan mengambil cuti tiga hari untuk mengantarku pulang. 

Sebenarnya, aku agak khawatir meninggalkan Mas Ahmad sendirian di sini. Ada aku saja, dia berani selingkuh, apalagi jika tidak ada aku. Terkadang aku berpikir ingin menetap di kampung saja. Berkumpul bersama keluarga. 

Andai saja di kampung tersedia lapangan pekerjaan, kami juga enggan merantau. Namun, apalah daya kami. Apalagi cuma tamatan SMA dengan pengalaman terbatas. Untuk membuka usaha pun, kami tak punya modal. Terlahir dari keluarga petani, jangankan bermimpi diberi modal besar. Bisa sekolah sampai SMA saja, sudah hal luar biasa buat kami. 

Mencari pekerjaan di tempat yang jauh dari rumah, itu bukan sesuatu yang mudah. Hidup jauh dari orang tua dan sanak saudara itu, membutuhkan keberanian dan keinginan yang kuat. Di sini, kami merasakan suka duka sendiri. Setiap kali mengalami kesulitan, kami berusaha agar orang tua jangan sampai tahu. Biarlah mereka tahunya kami bahagia dan baik-baik saja. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status