"Hah?"
Bibir Fiona terlihat menganga, sorotnya menatapku tak percaya. Dia tertawa kecil sesaat, lalu memandangku tajam."Maksudmu?" ucapnya dengan mimik serius."Iya," kepalaku mengangguk tegas. "Saya ingin kamu menjadi bagian dalam hidup saya."Fiona masih bergeming, jemarinya manaut satu sama lain."Saya tahu ini bukan sesuatu yang mudah bagi kamu, kita akan saling mengenal dalam waktu tiga bulan. Jika Non tidak yakin, Non bisa mengembalikan cincin itu pada saya. Jika Non yakin, Insha Alloh saya akan segera menghallalkan, Non Fiona." jelasku dengan tenang, walau jantung berdetak tak beraturan.Mata Fiona berkedip-kedip, dia mengatup bibirnya sambil menatapi cincin yang berteger diatas meja. Jika perempuan lain akan menangis dan terharu, expresi Fiona malah sebaliknya. Dia terlihat bersusah payah menutupi binar bahagianya, walau rona wajahnya tak menutupi dia sedang senang saat ini."Bagaimana?" tanyaku dePov Fiona.Dasar konyol ....Yasir, Yasir ... mengapa kamu begitu menggemaskan.Melamarku, tidak ada romantis-romantisnya. Memasang cincin pun salah sasaran. Kurasa dia sudah cukup berumur, apa aku adalah wanita pertama yang membuatnya berdebar?Hmm ... kurasa tidak?Ahh!!Mengingat itu pipiku langsung menghangat dibuatnya. Aku bahkan belum tahu tentang hidupnya, latar belakangnya dan juga pekerjaannya.Kenapa bisa dengan mudahnya aku memakai cincin ini?Apa iya ... aku tidak masalah bersuamikan supir? Sepertinya aku harus mencari tahu dulu, tiga bulan aku rasa cukup untuk mengenalnya dan mengambil keputusan.Kupandangi cincin yang terlihat sederhana ini dijemari manisku. Bibirku terkulum sendiri, mengingat Yasir dengan wajah berserinya.Hhhh.***ofd.Pagi sekali mata sudah terbuka, meregangkan seluruh otot lalu melangkah menuju toilet. Kepala masih ter
Aku tergagap sesaat, mata kembali fokus pada gambar yang menempel di dinding.Aku meringis saat melihatnya memajukan bibir dan menaik turunkan alis tebalnya.Mengapa sekarang, Yasir jadi sok manis ya? Tapi dia memang manis sih."Hei ... Pak Dokter, dicariin malah mojok disini." laki-laki yang sempat menggoda, Yasir berjalan mendekat dan menepuk pundaknya."Kenapa?" tanya Yasir."Ayo kita jalan, sudah siang ini." terangnya sambil kembali menepuk pundak lalu berlalu setelah menganggukan kepala padaku."Yukk ..." ajak Yasir.Aku tersenyum dan mengekori langkahnya dari belakang."Yas, Ridwan sama kamu ya." ucap Pak Karim."Iya Mang, Ibu sama siapa Mang. Sekalian bareng saja disini," ucap Yasir seraya celingukan mencari sosok Ibundanya."Non Fiona, silahkan Non." Pak Karim menyapa ramah."Nah ... ini dia pengantinnya," Pak Karim melebarkan tangan lalu menepuk pundak, R
Yasir menatap bingung, langkahnya perlahan datang mendekat kearah kami."Dokter ..." sapa riang gadis kecil itu."Hai cantik, sama siapa?" tanya Yasir, matanya melirikku, lalu melihat kearah Mas Daniel."Dok ..." sapa, Mas Daniel."Iya, Pak Daniel." balas Yasir dengan senyum ramah."Ada keperluan apa disini?" Mas Daniel bertanya, namun sorotnya dipenuhi kekhawatiran."Saya mau jemput, Fiona." jawab Yasir, sambil tersenyum kearahku."Oh ..." balas Mas Daniel, wajahnya semakin tak nyaman."Sudah siap?" tanya, Yasir padaku.Aku mengangguk pasti, lalu berjalan mendekatinya. Menatap matanya dalam, memamerkan senyum termanis lalu mengamit lengannya.Yasir, nampak sedikit terkejut dengan tingkahku yang sedikit agresif ini. Namun sedetik kemudian dia tersenyum lembut padaku."Perkenalkan, ini calon suami saya." ucapku dengan senyum yang teramat merekah dihadapan, Mas Dani
Mata Ayah masih menghadap Yasir, sorotnya tajam seolah menembus isi hati pujaanku. Kulihat Yasir hanya tersenyum, sesekali dia menundukan pandangannya. Ketara sekali Yasir terlihat sangat gugup, aku tahu betul bagaimana posisinya saat ini."Fiona," suara Ayah menyebut namaku, namun pandangannya masih tertuju pada, Yasir."Iya Ayah?" sahutku cepat."Apa yang membuatmu yakin dengan laki-laki yang ada didepanmu ini?" tanyanya dengan sorot tajam menatapku. Lalu kembali menelisik, Yasir."Dia bisa membuat Fiona lebih baik dari sebelumnya." jawabku mantap. Mataku menatap Yasir dengan lekat, senyum tipis menghiasi bibirnya saat aku menyelesaikan kalimat."Lebih baik?" Ayah nampak berfikir."Ya ... Yasir bisa membuat Fio berhenti memikiran rasa sakit, dan dia bisa membuat Fio kembali bersemangat." ucapku mengingat akhir-akhir ini setelah melewati hari dengannya."Hanya itu?" tanya Ayah dengan sinis."Ya
Sepanjang perjalanan kerumah, bibirku selalu tersenyum. Hati terasa ditumbuhi bunga-bunga yang bermekaran. Aku menoleh pada Yasir, memandanginya yang sedang fokus menatap jalan."Biasa saja dong lihatnya," ucapnya tanpa menoleh.Aku tertawa geli, lalu melempar pandang keluar jendela. Tangan Yasir tiba-tiba ada dikepala lalu mengacak-acak rambutku dengan gemas."Ish ... berantakan tahu," cebikku, namun suka.Yasir terkekeh lalu kembali fokus pada jalan.Ah ... kamu manis sekali sih Mas, berantakin aku secepatnya dong Mas. Ish!"Ehm ... senyum-senyum saja dari tadi, sudah tak sabar yah aku hallalkan?" godanya sambil menjawil pipiku, membuat wajah memanas. Kembali aku melempar pandang, menyembunyikan wajah yang sudah seperti kepiting saus padang ini.Setelah mengantarku sampai rumah, Yasir langsung memutar mobil. Seminggu kedepan Yasir kerja malam, dia ingin memejamkan matanya terlebih dahulu.
Aku terpaku ditempat, mengamati gerakan Yasir saat menelisik gaun yang menurutku sangat biasa itu. Yasir menoleh, lalu memasang senyum diwajahnya."Aku terserah kamu saja Fi ... pakai apapun kamu pasti cantik." ucapnya dengan anggukan kepala."Begitukah?""Yap!" sahutnya seraya tersenyum.Aku menganggukan kepala, lalu kembali mengagumi kebaya dan gaun yang indah nan mempesonan ini. "Aish ... cantik-cantik sekali kalian." ucap kagum, sambil menyentuh patung manekin yang memakai gaun pengantin."Untuk ijab qobul, aku memakai yang ini saja ya. Bagaimana menurutmu?" ucapku sambil memamerkan kebaya cantik didepannya.Yasir berjalan mendekat, kemudian memperhatikan kebaya yang aku pilih."Maaf ... aku rasa dibagian ini terlalu rendah." ucapnya seraya menunjuk bagian atas kebaya."Bukankah tadi, kamu bilang terserah aku. Dan aku rasa gaun ini yang paling cantik," ucapku sambil mencocokan kebaya berwarna
Kaki menginjak pada pasir putih, sorotku menatap mentari, yang hanya dalam hitungan detik akan tenggelam diufuk barat. Yasir menggenggam jemari ini, senyum yang membuatku berdebar kembali dia pamerkan dihadapanku.Terasa damai, rasa nyaman langsung menyelusup kedalam jiwa."Mau berenang?" tanyanya. Perlahan dia melepaskan pegangan lalu berjalan menuju air laut yang menghembuskan ombak."Sini ..." ucapnya sedikit teriak, tangannya melambai mengisyaratkan agar aku segera mendekat. Yasir kembali menerobos air laut, sesekali dia menoleh padaku dengan lambaian tangannya. "Sini Fi ..." suaranya lantang, mengalahkan suara bising air laut dan deburan ombak.Aku tersenyum riang, perlahan kaki melangkah menginjak air laut yang terasa hangat.Aneh, bukankah matahari sudah menghilang cukup lama. Mengapa air dilautan masih terasa hangat?Kembali aku melangkah, namun Yasir seolah semakin jauh dari gapaianku. Yasir terlihat senang,
Mata mengejrap lemah, selang oksigen terpasang dihidungku. Aku mendesah lelah, melihat tangan yang sudah tertusuk jarum.Fikiran kembali menerawang, ruangan putih khas rumah sakit seperti menatapku dengan iba. Terdengar suara knop pintu diputar, setelahnya terlihat Nadia dibalik pintu membawa plastik makanan."Fiona ..." lirihnya saat melihatku, aku hanya terdiam memandanginya yang berjalan mendekat.Nadia menaruh plastik berisi makanan diatas meja. "Aku bawain kamu makanan, dimakan yah," ucapnya tanpa melihatku. Tangannya sibuk membuka kotak makan."Alhamdulillah ... Dokter sudah memberi pertolongan pada calonmu." ucapnya dengan senyum yang terlihat dipaksakan."Makan yah ... isi tenagamu, kamu belum makan dari pagikan?"Ahh ... aku bahkan lupa, belum makan apapun. Selain roti tawar dan teh hijau sebelum dirias tadi pagi.Selain hati, perut pun begitu perih. Pantas saja aku begitu lemas.Kupanda