Suasana hening menyelimuti kami. Fiona terlihat lelah, tubuhnya bersandar di punggung jok mobil. Sesekali dia mengurut keningnya sendiri.
"Kenapa Fi?" tanyaku, menghapus sunyi. Fiona tersenyum tipis lalu menggelengkan kepalanya."Mas ....""Iya sayang?" sahutku lembut."Besok kita pulang ke rumahku ya, Ayah mau pulang ke Desa." terang Fiona."Iya sayang, besok kita pulang." balasku sambil menggenggam tangannya. Fiona tersenyum tipis, dan menggeretkan jemarinya di tanganku.Sesampainya dirumah sudah ada Ibu dan Ridwan diruang televisi. Mereka tengah asik berbincang-bincang."Eh baru pulang, Yas?" sapa Ibu."Iya Bu ..." sahutku."Kak?" sapa Ridwan, sambil menganggukkan kepala pada Fiona."Eh iya, Wan. Putri mana?" tanya Fiona."Lagi dikamar, ngerjain tugas." jawab Ridwan. Fiona menganggukkan kepalanya.Setahuku, Putri memang masih melanjutkan studinya."Mas ... aku tidak ingin memaksamu, namun kamu tahu sendirikan. Aku paling tidak suka dibohongi!" Fiona semakin curiga."Jangan sampai aku mencari tahu sendiri, dan pada akhirnya aku kecewa padamu. Aku yakin, hanya perempuan itu yang menyimpan foto ini." sambung Fiona dengan tegas, sorotnya masih saja menghujamku. Membuat aku semakin salah tingkah.Aku menaruh gambar diatas nakas, lalu meremas tangan yang mulai berasa dingin. Aku bingung harus berkata apa. Tatapan Fiona semakin mengintimidasi, baru kali ini aku melihatnya seserius ini.Apa aku harus berterus terang? Bagaimana nasib, Ibu. Fiona pasti membencinya."Mas. .. semua ini ada hubungannya dengan perempuan itu, bukan?" Fiona menudingku."Kamu mengenalnya?" lagi Fiona bertanya."Ada hubungan apa kamu sama perempuan itu?" cecarnya tak sabar.Fiona bahkan memanggil Ibu dengan sebutan perempuan itu. Sungguh tragis sekali.Bismillah ....
Pov Fiona.Menutup pintu toilet dengan hati yang begitu remuk, tubuhku lunglai di baliknya. Kepala terasa berputar hebat, dengan pandangan yang menjadi buram.Bugh ... bugh ... bugh!Memukul dada sekuat tenaga, untuk menyamarkan rasa sesaknya. Kenyataan memang sangat menyakitkan. Siapa yang mengira, aku akan bertemu dengan Ibu kandungku lagi. Dan yang lebih hancur, selama ini dia bersandiwara, berpura menjadi mertua yang baik.Cih! Dasar picik. Egois. Hanya memikirkan dirinya sendiri. Dari dulu tidak pernah berubah. Selalu mementingkan dirinya sendiri. Entah dia anggap apa aku selama ini.Memori ingatan menyeret saat pertama kali aku singgah di rumah ini. Perlakuan Ibu sangat hangat dan penuh kasih sayang, hingga aku merasa nyaman didekatnya.Hah ... mengapa aku begitu bodoh, tak menyadari kejanggalan ini.Perlahan tubuhku bangkit, menyalakan sower dan berdiri dibawahnya. Ribuan tetes air menerjang kepala,
Suasana menjadi hening, Nadia hanya menatapku nanar dengan senyum tipis di bibirnya. Sementara aku, hatiku sangat kesal mengingat perempuan itu."Fi ..." desahnya."Ya?" aku mengangkat kepala."Dalam hidup, terkadang bayak sekali hal-hal yang menyakitkan. Kita di paksa untuk mengerti. Padahal, sebenarnya kita tuh memang tidak tahu apa pun." Nadia menatap hangat."Lo tahu sendirikan, betapa bejatnya Ayah gue. Beberapa kali ketahuan bermain gila. Sampai gue pernah jambak rambut gundiknya di keramaian. Tapi apa? Mamah malah memukul gue. Bisa lo banyangkan betapa kecewanya gue sama dua orang itu," wajah Nadia berubah murung. Masalalu kami memang sama-sama berat, tidak bersahabat."Hal yang paling memuakkan, saat gue tanya alasan kenapa, Mamah masih bertahan? Dia hanya bilang kasian Adik-Adikmu, mereka masih kecil. Ayahmu hanya tersesat nanti juga pasti akan tersadar dan kembali bersama lagi. Sementara Mamah sendiri tidak peduli deng
"Maksud Ayah?" tanyaku dengan alis yang menaut.Apa selama menikah, Ayah bukanlah suami yang baik hingga Ibu memutuskan untuk berselingkuh?Ayah menarik nafas, lalu tersenyum kecut setelahnya."Kami menikah karna perjodohan. Ibumu mencoba patuh pada orangtuanya. Begitupun dengan Ayah. Bisa saja selama menikah Ibumu tidak menyimpan rasa cinta untuk, Ayah. Sehingga dia pergi untuk ..." kalimat Ayah terhenti, nafasnya seolah tercekat di tenggorokan."Untuk ... ya itu, untuk mencari kebahagiaannya sendiri." Ayah tersenyum getir saat menyelesaikan kalimatnya.Dengan cepat Ayah meraih minuman di depannya, lalu meneguknya perlahan."Ayah menerima begitu saja?" tanyaku tak percaya."Yah ... Ayah bisa apa? Biarkan saja. Yang penting ada kamu disisi Ayah. Ayah sudah bahagia," jawab Ayah."Ayah bahagia, meski tidak memiliki pasangan?"Ayah menarik nafas mendengar ucapanku."Mencari pas
Lima belas menit Bik Inah datang dengan alat tespack ditangan. Bibirnya terkulum senyum saat menyerahkan benda itu ketanganku."Semangat, Non ..." ucapnya sambil mengangkat tangan yang terkepal dan mata yang berbinar."Iya ..." aku meringis lalu tersenyum kecil menanggapi tingkah, Bik Inah.Ayah menganggukkan kepala, wajahnya terlihat sangat bersemangat."Ayo, Mas bantu." Mas Yas meraih tangan dan menuntunku masuk ke dalam toilet."Bismillah ya sayang ..." ucapnya seraya membelai wajahku, matanya berbinar dengan bibir terangkat sempurna.Aku hanya mengangguk, lalu menutup pintu toilet. Kupandangin alat berwarna putih panjang ini, dengan gamang. Tiba-tiba saja perasaan ini menjadi sedih. Takut, harapan orang yang ada diluar pupus saat melihat hasil dari alat ini."Bismillahirrahmanirrahim ...."Kupejamkan mata setelah meneteskan air seni ditempat yang ditunjuk pada alat. Jantung berdebar-debar, de
Sejak siang rintik hujan terus membasahi bumi, meski pendingin ruangan sudah di matikan tetap saja rasa dingin membuat tubuhku menggigil. Kembali menarik selimut, merapatkan pelukkan pada kekasih hati, memandangi ke Indahan wajahnya yang mampu membuatku tergila-gila."Ishh ... gemes!" gumamku sambil menjawil kedua pipinya. Meraba bulu halus yang ada di samping telinga, lalu menciumi pipi tirusnya."Hm ..." tubuh itu menggeliat, lalu kembali tenang. Tersadar aku memperhatikannya, Mas Yasir mengeratkan pelukkan."Kagum ya." lirihnya, masih dengan mata yang terpejam.Alisku menaut, mendengar suaranya. Sudah bangun?"Aku, ganteng kan?" ucapnya dengan manik menyorot padaku.Aku ternganga, dibuatnya."Baru tahu ya, kalau aku gantengnya pakai banget." sambungnya dengan senyum yang merekah. Kedua alisnya naik-turun dengan ekpresi yang menggelikan."Ishh ... sok ganteng!" cebikku, sambil memukul manja dad
Belaian air laut menyentuh kulit, suara ceria terdengar di telinga. Meski dingin terasa menggigit kulit, namun kaki ini terus saja melangkah, menyusuri pantai.Udara segar memasuki indra penciuman, kupejamkan mata seraya menarik nafas dalam-dalam."Cantik ..." bisiknya di telinga. Kedua tangan kekar itu perlahan melingkar di pinggangku. Aku mengeratkan badan, rasa nyaman menyelusup saat berada dalam dekapannya.Suasana pantai yang tamaram, dan tidak terlalu banyak orang, membuatnya berani mendekapku di alam bebas."Sudah malam, balik kamar yuk ..." ajaknya.Mataku masih fokus melihat hamparan air laut yang berwarna gelap, sesekali ombak kecil menerjang kaki ini. Walau angin laut begitu dingin, namun airnya terasa hangat menyentuh kulit."Mas ..." desahku."Hm?" aku membalik badan, menghadap wajah tampannya.Aku menatap dalam-dalam manik hitam miliknya, binar cinta terpancar jelas di matanya.
Perjalanan pulang ke rumah lancar tanpa kendala. Paman pun sudah sigap di pintu pagar, sementara Bik Inah menyambut kepulanganku dengan suka cita."Non ..." teriak, Bik Inah dengan mata berkaca-kaca, aku hanya tersenyum menanggapinya."Bibik sampai kangen," tuturnya seraya meraih koper yang ada di tangan Mas Yasir."Sama aku kangen tidak, Bik?" goda Mas Yasir.Bik Inah terkekeh geli mendengarnya. "Paman yang kangen Mas, tidak ada teman main catur," balas Bik Inah."Paman sehat?" tanya suamiku seraya menjabat tangan Paman."Sehat." jawab Paman dengan badan tegap dan anggukkan kepala."Saya masuk duluan ya, Paman." pamit Mas Yasir sambil menyeret koper miliknya. Sementara koper milikku dibawa oleh, Bik Inah.Waktu menunjukkan pukul 16:00, setelah membersihkan badan Mas Yas langsung tepar berbaring diatas ranjang. Aku meregangkan otot, merasakan badan yang mulai terasa capek dan pegal-pegal. Saat in