Share

Duka kehilangan

Kandunganku kini sudah masuk lima bulan, aku sudah mulai terlihat lebih gemuk. Denyut halus mulai terasa dari dalam sana. Bapak dan ibu Sanjaya mencurahkan segenap perhatian dan kasih sayang pada makhluk kecil yang ku kandung ini. Hingga suatu malam …

Tok … tol … tok … pintu kamarku diketuk menjelang tengah malam.

“Rin, ini Bapak, tolong buka pintunya sebentar.”

Aku bergegas bangun dan membuka pintu, tampak pak Sanjaya tengah bersiap-siap untuk pergi.

“Lho, Bapak mau kemana-mana malam-malam begini?” dahiku berkerut keheranan.

“Ikut Bapak ke Rumah Sakit yaa, ibu mau ketemu kamu sekarang. Bapak tunggu kamu ganti pakaian. Pakai baju yang tebal udara lebih dingin malam ini.” pak Sanjaya berbalik dan duduk menunggu di ruang tengah. Aku menutup kembali pintu kamar dan mengikuti sarannya. Mendadak firasatku buruk tentang panggilan tengah malam ini.

Selasar Rumah Sakit terasa lengang dan sepi. Bapak mencoba mensejajarkan langkahku karena awalnya aku cukup kesusahan mengejar langkahnya yang panjang-panjang. Bapak terlihat buru-buru tapi tetap menggenggam erat tanganku.  Tak lama kami tiba di kamar VIP perawatan ibu Sanjaya. Terlihat beberapa orang dokter dan suster yang tengah menangani ibu. Kesadaran ibu mulai menurun menjelang malam tadi namun setelah dokter berusaha keras melakukan yang terbaik ibu mulai membaik namun langsung memanggil kami datang. Kami berdua diminta mengenakan baju protektif dan masker.

Dokter menyalami pak Sanjaya dan hanya memberikan gelengan kepala serta tepukan di bahunya.

Kami berdua mendekat, berbagai alat medis tampak dipasang ke tubuh ibu yang semakin lemah bahkan bernapaspun ibu dibantu dengan oksigen.

Pandangan ibu sudah sangat sayu, namun beliau masih menggenggam tanganku setelah mengelus perutku. Tak ada raut kesedihan di wajahnya.

“Jaga anak ini baik-baik yaa Airin, didik dia menjadi anak yang tangguh seperti dirimu. Tolong rawat bapak, Ibu titip beliau harta Ibu yang paling berharga.” Dengan terbata-bata ibu Sanjaya menyampaikan kalimat itu kepadaku. Lalu aku bergantian dengan pak Sanjaya. Ibu berbisik kepada bapak yang diikuti anggukan bapak dan air mata yang meleleh di pipinya.  Sesekali bapak tersenyum meski bulir bening itu tetap berjatuhan. Inilah mungkin akhir dari kebersamaan kami dengan wanita yang berhati malaikat ini.

Menjelang fajar ibu Sanjaya  benar-benar pergi … melepaskan semua rasa sakit yang mendera tubuhnya berbulan-bulan. Meninggal dalam senyum yang tenang. Aku menangis meraung meratapi perempuan yang sudah memberiku kesempatan kedua untuk hidup lebih baik. Ku pegangi kedua kakinya yang dingin dan menangis keras di sana.

“kenapa Ibu harus pergi sekarang? Kenapa ibu tidak menunggu Sandrina lahir Bu, bayi ini anak ibu …,” aku terisak-isak kesedihan ini mengoyak-ngoyak hatiku.

“Ibu, nanti saya harus bagaimana memmbesarkan Sandrina? Kekuatan saya menghadapi semua ini ada pada Ibu, mengapa ibu harus pergi sekarang? Jangan tinggalkan saya Bu … saya mohon….”

Kembali kuratapi kepergian wanita baik hati ini dengan tangisku yang pilu. Pak Sanjaya merengkuh bahuku dan melepaskan tanganku dari kaki Ibu Sanjaya yang akan dipersiapkan dibawa ambulance pulang ke rumah.

“Kuatkan dirimu Airin, ini yang terbaik buat ibu, tenanglah Sayang.” pak Sanjaya memelukku dengan penuh kesabaran. Aku masih tak kuasa menghentikan tangisku kesedihan ini sudah membuat lubang besar di hatiku.

“Saya masih ingin bersama ibu,Pak. Ibu sangat baik kepada saya, ibu telah memberi saya kehidupan yang lebih baik. Ibu harus melihat saya berhasil seperti yang ibu katakan kepada saya, ibu terlalu cepat pergi bahkan sebelum Sandrina lahir Pak.” Aku tergugu dalam pelukan pak Sanjaya

“Kelak kau akan berhasil Airin dan ibu pasti tahu itu. Tenangkan lah dirimu dan kita membawa pulang ibu ke rumah.”

Tampak mba Tias dan pak Andy berjalan cepat menuju kamar ini. Mba Tias memelukku erat tampak kesedihan yang dalam bagi asisten pribadi ibu yang telah menemaninya selama satu dekade. Pak Andy pun terlihat memeluk pak Sanjaya dan laki-laki itu tetap berusaha tegar menahan sesak kehilangan wanita yang paling dicintainya. Pak Sanjaya meminta mba Tias untuk menemaniku di mobil sedan yang awalnya kami tumpangi dengan bapak. Sementara pak Sanjaya dan pak Andy pulang dengan ambulance yang membawa jenazah ibu.

Sepanjang jalan,aku menangis tersedu-sedu dan mba Tias merangkulku erat. Meski baru berapa bulan kebersamaanku bersama ibu namun peran ibu Sanjaya begitu besar. Andai saja ibu Sanjaya tidak “memungutku” dari kondisiku yang ternoda oleh Ariel entah bagaimana nasibku saat ini. Mba Tias pun sibuk mengusap air matanya yang terus saja meleleh. Kami saling menguatkan genggaman untuk bertahan dengan rasa duka luar biasa ini.

Rumah sudah mulai ramai dengan para pelayat. Ibuku tak sedetik pun meninggalkanku, aku masih saja menangis belum bisa menerima kenyataan ini. Mba Tias dan pak Andy serta bawahan pak Sanjaya yang terlihat  sibuk mengurus segala keperluan untuk proses pemakaman ibu. Semua kepala divisi hotel pun tampak hadir dan beberapa staf lainnya. Ada pula yang menyalamiku meski hanya sekedar basa basi.

Beberapa pasang mata tertuju kepadaku yang duduk dekat dengan jenazah ibu Sanjaya. Sepintas lalu aku tampak seperti seorang putri yang sedang menangisi kematian ibunya. Tapi di mata orang-orang aku tetaplah hanya istri kedua pak Sanjaya yang sedang bersandiwara dengan mata sembab. Bisik-bisik tajam itu masih saja terdengar bahkan dalam keadaan aku berduka sekarang ini. Ingin rasanya aku teriak kepada orang-orang yang selalu menuduhku sebagai pelakor dan membuat ibu Sanjaya menderita. Tetapi aku sudah kehabisan energi untuk menantang mereka.

Waktu sudah menunjukkan menjelang siang dan jenazah sudah siap untuk dimakamkan. Ibuku sudah berkali-kali untuk membujukku untuk tidak ikut ke pemakaman mendiang ibu Sanjaya. Aku pun tak merasa lapar atau haus. Aku hanya merasakan hampa yang menyelimuti diriku. Ibupun akhirnya mengalah dan menemaniku ke pemakaman bersama mba Tias.  

Banyak pelayat  yang mengantarkan jenazah mendiang ibu Sanjaya ke tempat peristirahatan beliau yang terakhir. Semua itu adalah pertanda jika memang ibu Sanjaya adalah orang yang baik dan punya tempat tersendiri di hati orang-orang yang mengenalnya.

Gundukan tanah itu dipenuhi dengan bunga, aku memeluk nisan mendiang ibu Sanjaya dengan erat. Masih banyak yang belum kulakukan untuk beliau, masih banyak janjiku yang belum bisa kupenuhi. Air mata ini juga susah sekali untuk kuhentikan dan tak jua habis untuk mengenang kebaikan ibu Sanjaya.

“Nak, ayo pulang sekarang yaa, kamu juga butuh istirahat, ingat kamu sedang hamil Nak.” Ibu sedang membujukku yang masih bergeming di makam ibu Sanjaya.

“Ayo Airin kita pulang, ibumu benar, kasihan bayi kamu jika kamu kelelahan.” pinta pak Sanjaya dengan lembut, aku tahu beliau juga lelah.

“Bapak duluan saja pulangnya nanti saya menyusul.” Ujarku datar.

Mba Tias pun mendekat untuk turut membujukku agar mau pulang, pak Andy juga menatapku dengan khawatir.  Akhirnya aku luluh juga dan beranjak pergi dari sana.

Pak Sanjaya berjalan di depan dan diikuti oleh pak Andy, sementara aku diapit oleh ibuku dan mba Tias. Kami semua terdiam menambah sunyi areal pemakaman yang terkenal dengan harga fantastisnya untuk sepetak tanah yang kuburan. Ponsel mba Tias berdering dan dia memberi kode untuk meminta menerima telpon. Di depanku persis  Pak Andy berjalan seakan ingin mengawasiku dan memastikan aku baik-baik saja. Tiba-tiba aku merasakan nyeri di perutku bagian bawah. Aku menarik napas dan merasakan sakit itu kembali datang dan lebih nyeri.  Aku berhenti berjalan dan memegangi perutku.

“Rin, kamu kenapa?” ibu memegangiku dan memandangiku dengan cemas.

“Engh … gak Bu, Airin gak apa-apa. Kurasa bayi ini bergerak di dalam perut Airin.” Aku mencoba menutupi rasa sakit yang sebenarnya. Kami kemudian melanjutkan perjalanan. Pak Andy beberapa kali menoleh ke arahku raut kecemasannya semakin jelas. Entah apa yang salah hingga rasa sakit itu kembali datang dan menghebat hingga aku spontan memekik.

“Ibuuu … aaah …!” aku merasakan ada yang mengalir di sela pahaku yang terasa hangat.

“Airin, kamu kenapa Nak?” buru-buru ibu mendekatiku dan memegangiku. Pak Sanjaya yang mendengar itu segera berbalik juga pak Andy dan mba Tias.

“Pak Sanjaya, mba Airin berdarah!” seru mba Tias yang melihat darah mengaliri betisku.

Sekali lagi sakit perut itu datang dan spontan aku berpegang pada ibu dan pak Andy hingga aku melihat langit berubah menjadi gelap dan tenagaku habis.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status