Aku meminta Darwis untuk menjemputku di salon, penampilanku hari ini tampil dengan sempurna untuk menghadiri pesta paling kunantikan selama ini. Kejatuhan Ariel! Betapa aku menunggu wajah pucat laki-laki itu ketika dia mengetahui jika bukan hanya Sandrina yang diingkarinya tetapi juga ada seorang anak laki-laki yang sedang menabur dendam padanya.“Anda sudah siap, Nyonya?” tanya Darwis memastikan kondisiku. Jemariku gemetar dan jelas terlihat oleh Darwis. Sesaat dia meraih jemariku dan menggenggamnya erat, mata elangnya menatap ke arahku. Baru kali ini Darwis melakukan kontak fisik denganku yang membuatku sedikit terkejut.“Tarik napas Anda dan bersikaplah lebih rileks, Anda akan baik-baik saja dan aman bersama kami, Nyonya.” Laki-laki itu berusaha menenangkanku dan seakan sedang mentransfer tenaganya aku merasakan kecemasanku berkurang. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Kemudian Darwis mempersilakan aku untuk naik dengan mobil mempelai perempuan menuju hotel di mana Arie
“Dari awal aku memang telah meragukanmu! Dan memang kau ingin mengacaukan semuanya di saat seperti ini, begitu besarnya dendammu padaku, Airin, hingga kau menghalangiku bersama gadis yang aku cintai!” Cengkraman tangan Ariel semakin kuat dan membuatku semakin tidak bisa bernapas. Dengan sisa-sisa kekuatan yang aku punya, jemariku berusaha menjangkau vas bunga di dekatku dan…Praaak…!Bunyi hantaman vas bunga di kepala Ariel terdengar seiring dengan erangan rasa sakit di kepalanya.“Hanya binatang yang sanggup mengawini keturunannya sendiri dan aku tidak akan membiarkan dirimu menikahi putri kandungmu, Ariel!” bentakku yang hampir menjerit. Aku bergegas mengambil berkas hasil tes DNA Sandrina dan Budi dan melemparkan ke arah wajahnya.“Vasektomi yang kau lakukan itu gagal, kau bukan hanya telah menghamili aku tapi juga seorang perempuan bernama Marcella!”Ariel memegangi kepalanya yang mengucurkan darah, wajah Ariel semakin pucat ketika aku menyebut nama Marcella. Jemarinya gemetar me
Darwis melirikku sesaat dari kaca spion depan, tersirat kecemasan dalam tatapannya kepadaku dan Budi. Lalu aku menoleh pada Budi yang sedang memejamkan matanya, aku merasakan jika anak muda ini tengah meredam semua gejolak dalam hatinya. Perlahan aku meraih tangannya dan melihat buku-buku jemarinya yang memerah dan masih terdapat bercak darah.“Budi, Ariel … dia melompat dari atas balkon, dia mengakhiri nyawanya.” Aku menunggu respon Budi sesaat.“Dia sudah membayar nyawa mamaku dengan lunas ….” gumam Budi yang terdengar pelan di telingaku. Terlihat duka di wajahnya meskipun dari awal berkali-kali dia mengharapkan bisa melenyapkan Ariel dengan tangannya sendiri.“Apa kau baik-baik saja?” tanyaku lagi untuk memastikan, aku tak pernah melihat ekspresi Budi yang sekacau itu.“Aku baik-baik saja, Nyonya. Kurasa kita harus mengkhawatirkan Nona Sandrina.”Aku menghela napas, masih terngiang di telingaku saat Ariel meneriakkan ibu macam apa aku ini, yaah aku mungkin ibu terburuk di dunia. Ak
Aku berjalan beriringan bersama Sandrina, jemari kami saling tertaut dengan erat dan sesekali saling melemparkan tawa kecil ketika Sandrina berceletuk lelucon yang lucu. Jemariku semakin erat bertaut ketika kami sudah ada di ambang pintu kamar perawatan mas Andy. Sejenak kami saling memandang, aku tersenyum padanya dan mengelus kepalanya penuh kasih sayang.“Ayo kita jenguk ayahmu, semoga setelah ada dirimu di sini, Ayah akan sadar dan terbangun untuk kita.”Sandrina mengangguk mendengar ucapanku, lalu aku mendorong pintunya.Di sisi tempat tidur tampak ibuku yang tengah membaca buku, wajahnya mendongak dan berubah menjadi semringah setelah melihat kedatangan kami.“San Sayang …!” serunya dengan suara tertahan, ditutupnya segera buku itu dan bergegas menghampiri cucunya.“Kalian tidak mengabari ibu jika kalian akan datang, kalian tahu jika dokter tidak membolehkan ibu menggunakan ponsel pintar, mereka hanya membolehkan ibu memakai ponsel biasa yang katanya radiasinya lebih aman. Ibu s
Aku berdiri di atas balkon hotel yang menjulang tinggi bersama gedung pencakar langit lainnya. Aku sudah sampai di posisi pemilik tunggal dengan saham terbanyak, memiliki segalanya dan dihormati serta disegani banyak orang.Siapa yang akan menduga jika aku nyonya Airin Zafira dulunya hanya seorang gadis kampung lulusan diploma pariwisata perhotelan yang mampu mencapai posisi tertinggi di sini. Aku tersenyum puas mungkin malam ini adalah puncak keberhasilanku dan juga titik kehancuranku. Dendamku sudah usai, kubayar dengan tunai pada seorang laki-laki yang dulu tidak melihatku sebagai manusia.Laki-laki itu tidak melihatku sebagai manusia, dia hanya menganggap semua wanita hanya permainan dan pemuas nafsunya belaka. Betapa dulu dengan mudahnya dia menginjak harga diriku, merampas kehormatanku dan membuangku begitu saja.Kamar hotel VIP ini jadi saksinya, saksi atas bejadnya seorang laki-laki memperdaya gadis lugu yang sedang bekerja membiayai keluarganya di kampu
Aku membuka mata perlahan, kepalaku masih terasa pusing dan berat. Ku coba untuk mengumpulkan ingatanku, ruangan ini … aku ada di kamar hotel. Dengan terperanjat aku bangun, hanya selimut saja yang menutupi tubuhku, semua pakaianku terserak di lantai. Mendadak aku gemetar, jantungku seakan mau meledak karena degupannya yang kencang.Aku pun membungkus diriku dengan selimut, air mataku deras mengalir tanpa suara, ku punguti pakaian dalam, rok dan baju seragamku dengan hati yang pecah. Rasa perih dan sakit di bawah sana semakin mempertegas perbuatan laki-laki itu yang telah menghancurkan hidupku. Aku benci dirinya dengan semua kebencian yang aku punya!Jemariku masih gemetar mengancing satu persatu kancing baju seragamku bahkan ada sobekan di bagian bahu baju ini. Sanggul rambutku terurai dan membuatku sangat kacau. Napasku berhenti sesaat ketika suara air di kamar mandi terhenti dan laki-laki itu keluar dari kamar mandi hanya mengenaka
Pernikahan berjalan secara sederhana dan hanya dihadiri oleh orang terdekat saja. Ibuku sangat terkejut dengan keputusanku yang mendadak ini. Beliau sempat menolak karena tak percaya aku mau jadi istri kedua laki-laki yang usianya lebih pantas jadi ayahku saja.Akan tetapi semua penjelasanku tentang sakit kanker yang diderita ibu Sanjaya dan kuliah lanjutan yang ku cita-citakan itu mampu meluluhkan hati ibuku. Hanya Kartika saja dan pak Andy yang menghadiri pernikahanku itu pun aku meminta mereka untuk merahasiakannya sementara waktu paling tidak sampai aku kembali dari luar negeri kelak.Aku dan ibu diboyong keluarga Sanjaya ke rumahnya yang besar. Semua asisten rumah tangga menaruh hormat yang sama seperti mereka menghormati ibu Sanjaya. Di malam pertama itu aku melihat kasih sayang antara suami istri yang baru saja mengambilku sebagai madunya.Ibu Sanjaya kelelahan karena ikut mengurus proses pernikahan kami sehingga kesehatannya m
'Tidak … Bu, jangan pergi sekarang, aku masih membutuhkan Ibu, ku mohon bertahanlah sedikit lagi Bu.’ Berkali-kali kalimat itu ku ucapkan di dalam hati. Mataku tak lepas memandangi ruang ICU tempat ibu Sanjaya dirawat. Mba Tias masih menemaniku juga sesosok laki-laki yang memberiku banyak tanda tanya.“Rin, aku mau ke toilet dulu yaa, gak apa kan kamu di sini dengan Andy?” tanya mba Tias sambil membetulkan letak kacamatanya. Aku hanya mengangguk, pak Sanjaya pasti sudah dalam perjalanan ketika kami mengabari istrinya tak sadarkan diri.Pak Andy mendekat lalu duduk di sampingku, terdengar helaan nafasnya yang berat.“Rin, aku minta maaf, aku tidak pernah berniat mencelakaimu seperti yang dikatakan Ariel.”“Maaf Pak, saya tidak ingin membahas itu lagi.” Ujarku dingin. Sebenarnya aku sudah cukup lama mengenal pak Andy, dia dulu seniorku di kampus sejak dia menaruh perhatian padaku aku menjaga jarak sejauh mung